• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM NOVEL TELEMBUK; DANGDUT DAN KISAH CINTA YANG KEPARAT DAN BEKISAR MERAH TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM NOVEL TELEMBUK; DANGDUT DAN KISAH CINTA YANG KEPARAT DAN BEKISAR MERAH TESIS"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM NOVEL TELEMBUK;

DANGDUT DAN KISAH CINTA YANG KEPARAT DAN BEKISAR MERAH

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Kajiab Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh: Yeni Putranti

166322001

PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020

(2)

KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM NOVEL TELEMBUK;

DANGDUT DAN KISAH CINTA YANG KEPARAT DAN BEKISAR MERAH

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Kajiab Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh: Yeni Putranti

166322001

PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020

(3)

vi

KATA PENGANTAR

Tidak pernah terbayang sebelumnya jika saya bisa melanjutkan pendidikan saya hingga sejauh ini. Kegalauan apakah sebaiknya saya mencari kerja atau melanjutkan studi saya rasakan setelah lulus S1. Namun support dari beberapa dosen saya sebelumnya mampu memantik semangat saya untuk melanjutkan studi S2. Hal pertama yang saya rasakan ketika menempuh studi Kajian Budaya ini yaitu saya masih seperti cangkir kosong yang perlu diisi oleh hal-hal baru, dan cukup sulit bagi saya untuk beradaptasi terutama adaptasi gaya pikir. Saya akui saya cukup sulit menemukan ide tentang karya seperti apa yang akan saya tinggalkan nanti, hingga ada suatu momen kejadian yang cukup traumatis yang saya alami dan kejadian itu menimbulkan banyak tanya dalam pikiran saya. Saya lalu merasa pertanyaan ini harus dijawab namun saya tidak cukup kuat untuk mengangkatnya menjadi tesis, maka saya perlu menjacari alternatif lain yang bisa mewakili kegelisahan dan pertanyaan saya hingga akhirnya pilihan saya jatuh pada karya sastra.

Setelah menemukan alternatif yang bisa mewakili kegelisahan dan pertanyaan saya tentu bukan berarti semuanya langsung menjadi mudah. Banyak kendala yang saya hadapi dan setiap langkah yang saya tempuh melahirkan kebingungan baru, tapi itulah proses yang membawa saya belajar lebih banyak hal terutama bagaimana meneliti karya sastra melalui perspektif kajian budaya. Dalam proses tentu ada momen dimana semangat saya pasang surut, kadang malah ingin menyerah karena merasa salah jalan, tetapi saya memegang satu prinsip yaitu untuk menyelesaikan apa yang telah saya mulai selain sebagai tanggung jawab akademik,

(4)

vii

juga sebagai bentuk tanggung jawab terhadap diri saya sendiri sehingga saya mulai mencoba untuk menata hati dan pikiran saya lagi.

Terima kasih kepada Mbak Katrin Bandel yang dengan sabar dan teliti bersedia membimbing saya dan selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi, segala masukan yang telah diberikan sangat membantu saya dalam proses penyelesaian tesis ini. Terim kasih kepada Romo Banar dan bapak St. Sunardi untuk segala ilmu yang diberikan selama saya kuliah di Kajian Budaya. Terimakasih kepada ibu Dr.Y. Devi Ardhiani yang telah berbagi ilmu tentang strategi dan tata cara tentang bagaimana menghasilkan karya akademik. Terima kadi juga untuk Mbak Desy yang selalu aktif mengingatkan dan memberi informasi. Terima kasi kepada Bruder Valen, Mas Damas, Mbak Monik, Mbak Alit, Mbak Novi dan Pak Leo yang sudah menemani saya berproses selama di Kajian Budaya, terimaksih untuk waktu sharing dan diskusinya teman-teman. Terakhir saya ucapakan terima kasih untuk kedua orang tua saya, ayah dan ibu yang selalu mendukung dan menemani saya hingga akhir.

Tesis yang saya tulis ini bukanlah karya yang sempurna, ini hanya karya sederhana, namun saya berharap karya sederhana ini bis amenjadi batu loncatan saya untuk bisa menghasilkan karya tulis yang lebih baik lagi dan tidak akan menghentikan saya untuk terus belajar.

(5)

viii ABSTRAK

Topik relasi gender telah menjadi topik diskusi yang tidak akan pernah selesai, baik di masyarakat, maupun lewat karya sastra. Masalah ketimpangan pada perempuan seperti komodifikasi pada tubuh perempuan adalah hal yang nyata terjadi. Topik ini jarang muncul dalam karya sastra, sehingga rasanya perlu untuk melihat bagaimana ketika topik ini dibicarakan lewat karya sastra. Ada dua karya sastra yang memuat masalah komodifikasi pada tubuh perempuan yaitu Telembuk; Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat dan Bekisar Merah. Untuk melihat bagaimana masalah ini dibicarakan lewat karya sastra maka perlu menggunakan perangkat naratologi untuk melihat bagaimana narator menggambarkan momen tersebut, dan bagaimana fokalisasinya. Lalu untuk mengatahui bagaimana nilai-nilai gender dari cara penggambaran tersebut maka teori tentang relasi gender akan melengkapinya Gambaran umum tentang relasi gender dan seksualitas pada novel Indonesia sejauh ini bersifat heteronormatif, dan ketika membicarakan seks, selalu diwarnai dengan kekhawatiran dan menganggap topik itu berbahaya, sehingga beberapa penulis melakukan self-censorship. Suara tentang pembebasan perempuan atau modernisasi pada perempuan juga dirasa berbahaya karena berpotensi menghilangkan nilai-nilai asli perempuan Indonesia. Sebagai tandingannya lahir karya sastra yang menentang itu tetapi masih diliputi prasangka dan emosi.

Telembuk, dan Bekisar Merah sama-sama memiliki topik komodifikasi, sama-sama menyorot tokoh perempuan sebagai korban, dan menggambarkan komodifikasi sebagai praktik yang negatif tetapi dua novel ini memiliki sisi kritis yang berbeda. Bekisar Merah bersifat kritis pada kehidupan elit kota yang mulai jauh dari nilai-nilai dan tatanan gender konvensional, sementara kehidupan ideal adalah seperti di pedesaan. Sementara Telembuk bersikap kritis pada penilaian masyarakat pada pelecehan seksual, dunia prostitusi dan panggung dangdut.

(6)

ix ABSTARCT

Gender relation has become topic of discussion that will never be finished both in society, and literature. The problem of inequality on women such commodification of women’s body is real. This topic is rarely appears in literature so that, it will be necessary to see how commodification will be discuss through literary works. There are two novels which contain the problem of commodification of women’s body namely Telembuk;Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat and Bekisar Merah. To see how commodifcation will be spoken in literature, I will use narratology approach to see how the narrator describes the moment, and how the momen of commodification is will be focalized. Then to find out how the gender values, I will used the theory of gender relation to complete it.

So far, the general description about gender relation and sexuality in Indonesian novels are depicted in heterenormative value. When the novel speak about sex, it is always tinged with concern and people considers this topic as threat and dangers so several writers have to do self-censorship. The voice about women’s liberation or modernizing on women are also considered as danger because those topic have the potential to erase the original values of Indonesian women. As a conterpart, there are literary works that appear, but those works are still filled by prejudice and emotion.

Telembuk and Bekisar Merah are the same novel that contain topic of commodificaion by potraying the female character as victims and depicting commodification as a negative practice. These novels also have different critical sides. Bekisar Merah was critize about the life of urban elite who have begun move away from conventional gender values and orders, while the ideal life is potrayed in the countryside. Meanwhile Telembuk has critical side about people opinion on sexual harassment, prostitution and the dangdut stage.

(7)

x

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRAC ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Tema ... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Kajian Pustaka ... 8

1. Komodifikasi tubuh Perempuan Melalui Perspektif Marxisme.... 8

2. Budaya Nyawer di Panggung Dangdut Tarling 10 3. Mempertanyakan Eksistensi Perempuan Dalam Karya Sastra ... 12

4. Membaca Narasi Perempuan Dengan Perspketif Pascakolonial .... 14

G. Kerangka Teoritis ... 16

1. Melihat Relasi Gender Dalam Empat Dimensi ... 16

1.1. Power Relation; Direct, Discursive, Colonizing ... 18

1.2. Production, Consumtion and Gendered Accumulation ... 20

1.3. Emotional Relation ... 21

1.4. Symbolic, Culture, Discourse ... 22

1.5. Komodifikasi Sebagai Bagian Dari Relasi Gender ... 24

2. Naratologi dalam Karya Sastra ... 25

(8)

xi

I. Sistematika Penelitian ... 33

BAB II GAMBARAN UMUM RELASI GENDER DAN SEKSULITAS DALAM SASTRA INDONESIA ... 35

A. Seksualitas dan Relasi Gender dalam Novel Indonesia ... 35

B. Evaluasi Hasil Literatur Terdahulu tentang Seksualitas dan Relasi Gender ... 43

1. Dancing The Past; Ronggeng Dukuh Paruk and Sang Penari... 44

2. Perempuan dalam Fiksi Populer Indonesia Roman, Kecantikan, Identitas Politik Dalam Novel Metropop ... 48

3. Konstruksi Islam sebagai Simbol Identitas Melalui Representasi Muslim Pada Novel Religi ... 52

4. Motinggo Busye And His Popular Novels... 55

5. Analisis Post-Feminis Pada Novel Namaku Mata Hari karya Remy Sylado ... 58

6. Seks, Birahi, dan Cinta Dalam Karya Nh. Dini ... 62

7. Djenar Maesa Ayu dengan Karya Nayla ... 64

8. Vagina yang Haus Sperma; Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utamai ... 66

9. Seksualitas dalam Sastra Indonesia ... 69

10. A Comparison Of Two Indonesian Feminist Novels ... 71

C. Rangkuman ... 74

BAB III IMAJINASI FENOMENA KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM NOVEL TELEMBUK DAN BEKISAR MERAH ... 77

A. Sinopsis Bekisar Merah ... 78

B. Sinopsis Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat ... 80

C. Permasalahan Komodifikasi Pada Tubuh Perempun dalam Novel Telembuk dan Bekisar Merah ... 83

1. Praktik Prostitusi ... 84

(9)

xii

4. Perdagangan Perempuan ... 93

5. Arogansi Maskulinitas ... 96

6. Cara Menandang Sosok Perempuan ... 100

7. Pelecehan Seksual ... 107

8. Gambaran Kecantikan Perempuan ... 111

9. Gambaran Nilai Ideal Perkawinan dan Kahidupan ... 115

D. Rangkuman ... 120

BAB IV PANDANGAN KRITIS TERHADAP KOMODIFIKASI PADA TUBUH PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA ... 121

A. Gaya Narasi Pada Masing-Masing Novel ... 121

1. Gaya Narasi Bekisar Merah ... 122

2. Gaya Narasi Telembuk; Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat 142 B. Penggambaran Komodifikasi Tubuh Perempuan dalam Novel ... 165

1. Relasi Tokoh Perempuan Deangan Laki-Laki ... 165

2. Relasi Tokoh Perempuan Dengan Mucikari ... 170

3. Relasi Antara Mucikari Dengan Laki-Laki ... 173

C. Rangkuman ... 179

BAB V PENUTUP ... 181

A. Kesimpulan ... 181

B. Rekomendasi ... 184

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Relasi gender dalam kehidupan bermasyarakat telah menjadi topik pembicaraan yang tidak akan pernah selesai mengingat relasi gender yang terus berubah-ubah, dan terus direkonstruksi oleh masyarakat. Relasi gender sudah menjadi bagian dalam kehidupan sosial, berbagai macam jenis pola relasi gender selalu dibentuk dan melibatkan berbagai elemen seperti ideologi, budaya, dan agama. Elemen-elemen ini menentukan bagaimana pola relasi gender mempengaruhi interaksi antara laki dan perempuan. Dalam berinteraksi, laki-laki dan perempuan memiliki arah tujuan yang berbeda, sebagaimana yang Michael Kimmel (2011) katakan bahwa, sebuah relasi atau hubungan dibentuk oleh gender menentukan bagaimana perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang berbeda dan ekspektasi yang berbeda dalam persahabatan, cinta dan seks.1 Ekspektasi yang berbeda ini lantas menimbulkan masalah ketimpangan seperti komodifikasi pada tubuh perempuan.

Komodifikasi umumnya dipahami sebagai segala sesuatu yang memiliki tujuan untuk dipertukarkan dengan uang.2 Hubungan antara komodifikasi dengan masalah ketimpangan gender yaitu ketika perempuan dinilai memiliki suatu nilai yang bisa dipertukarkan. Hal ini bisa terjadi akibat efek panjang dari objektifikasi

1Diparafrasekan dari Michael Kimmel dalam Bagian 3: Gendered Interaction, sub-bab 11, Gender Intimacies;

Friendship and Love, Hal.317 yang menjelaskan tentang pengaruh gender dalam menentukan dan menata

interaksi sosial antar gender. The Gendered Society Fourth Edition (2011)

2Arjun Appadurai, Commodities and the Politics of Value, hal 35, dalam Rethinking Commodification; Case and Reading in Law and Culture, oleh Martha M. Ertman dan Joan C. Williams (2005)

(11)

2

seksual yaitu suatu keadaan ketika perempuan diobjektifikasi secara seksual dan diperlakukan sebagai objek yang dinilai atas dasar kegunaanya oleh orang lain3. Artinya bahwa perempuan dilihat tidak bersama dengan kepribadian dirinya secara utuh, mereka dinilai berdasarkan fungsinya sesuai dengan jenis kelamin yang melekat padanya. Selain itu, tindakan objektifikasi juga membuat perempuan mendapat internalisasi dari pandangan orang luar yang membuat mereka melakukan objektifikasi pada diri dengan memperlakukan diri mereka sendiri sebagai objek yang harus dilihat dan dievaluasi berdasarkan penampilan.4 Fenomena ini biasa dijumpai masyarakat lewat lewat iklan, televisi, ataupun secara langsung seperti prostitusi dan human trafficking.

Dalam perspektif feminis, fenomena seperti ini tentu merupakan salah satu bentuk ketimpangan dalam relasi gender yang membuat perempuan mengalami ketidakadilan, seperti objektifikasi seksual yang berlanjut menjadi komodifikasi semakin menempatkan posisi perempuan hanya sebagai benda yang bisa ditukarkan dengan nilai uang. Fenomena seperti ini bisa terjadi pada kelas sosial manapun sehingga butuh tanggapan kritis. Salah satu sarana yang mampu untuk menyampaikan perspektif kritis terkait fenomena ketimpangan gender adalah karya sastra seperti novel. Lalu bagaimana jadinya jika persoalan seperti ini digambarkan lewat karya sastra seperti novel?

Pada dasarnya novel sebagai salah satu jenis karya sastra telah menjadi teks yang umum dibaca dan dibicarakan oleh masyarakat. Sebagai suatu karya sastra,

3 Objectification Theory by Fredrickson & Roberts (1997) dalam Sexual Objectification of Women: Advances

to Theory and Research oleh Dawn M. Szymanski, Lauren B. Moffitt, and Erika R. Carr (2011)

4Lihat. by Fredrickson & Roberts (1997) dalam Sexual Objectification Theory hal.7, Sexual Objectification of

(12)

3

novel di sini menempati posisi sebagai rekaman yang mampu mencerminkan atau mengekspresikan kehidupan.5 Ekspresi cermin kehidupan dalam novel merupakan

penggabungan antara narasi dan imajinasi yang menjembatani antara yang nyata dan yang tidak nyata6. Namun perlu diingat bahwa adanya batasan pengarang dalam menggambarkan rekaman pengalaman, membuat narasi dalam teks menjadi subjektif bahkan realita yang disampaikan susah diukur. Susah tidaknya suatu fenomena itu untuk di ukur bisa dilihat dari bagaimana cara pengarang menentukan pilihan naratologis narator ketika menggambarkan fenomena yang menjadi topik cerita. Kadang pengarang menghadirkan narator pihak yang terbatas pengetahuannya, kadang juga pengarang menghadirkan narator yang yang maha tahu.

Peran imajinasi pengarang bersifat menentukan konstruksi realita seperti apa yang ingin ia tampilkan. Pada proses penyampaian narasi sebagai ekspresi cermin realita, pengarang bisa membayangkan situasi tertentu yang mungkin terjadi7,

namun di sisi lain pengarang tidak memiliki kekuatan untuk campur tangan di dunia nyata8, pengarang hanya bisa menawarkan dunia alternatif di bagian akhir

cerita sebagai ‘obat’ untuk menangkal realita yang pahit, dan mengajak pembaca untuk berfikir dan memberikan penilaiannya sendiri. Dengan kata lain, pengarang tidak memiliki kapasitas untuk memperbaiki situasinya. Pengarang hanya

5Wellek dan Warren, BAB 9: Sastra dan Sosial hal.90 Theory of Literature (1949)

6Molly Andrew, Chapter 1: Introduction; Trafficking in Human Possibility, Hal.2, paragraph 2, aline 1.

Narrative Imagination and Everyday Life (2014)

7Mary Warnock menjelaskan pemikiran Jean Paul Starte The Psychology of Imagination. London : Methuen , p. xv. dalam Narrative Immagination and Everyday Life, The Real, The Not-Real, and The Not-Yet Real hal.5 oleh Molly Andrew, 2014. (kata Keadaanya dalam kutipan ini mengacu pada dunia nyata)

8Diparafrasekan dari penjelasan Mary Warnock tentang pemikiran Jean Paul Starte The Psychology of

Imagination. London: Methuen, p. xv. dalam Narrative Immagination and Everyday Life, The Real, The Not-Real, and The Not-Yet Real hal.5 oleh Molly Andrew, 2014

(13)

4

memiliki kekuatan untuk melihat sesuatu dengan cara yang berbeda dan untuk membentuk gambar tentang masa depan yang tidak ada9 sebagai bentuk suatu

reaksi pada fenomena sosial seperti ketimpangan dalam relasi gender.

Dalam realita, masalah komodifikasi biasanya dilihat sebagai persoalan posisi antara laki-laki, perempuan, dan mucikari. Pihak laki-laki di sini merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial,10. Sementara pihak perempuan merupakan objek

eksploitasi yang menarik, tidak hanya dari sisi seksual, tapi juga dari sisi steriotip perempuan sebagai makhluk yang lemah11 dan sebagai mahluk yang bisa diukur dan

ditundukkan dengan materi seperti uang. Perempuan juga mendapat penghakiman yang bisa dilihat dari cara masyarakat dalam menyikapi persoalan tubuh perempuan dan perdagangan manusia sebagai tidak bermoral, berbahaya, sebuah ancaman dan sebagai konsekuensinya, mereka12 para pekerja seks ini, menderita secara sosial,

dikucilkan, termarginalisasi13. Sementara ketika ada karya sastra yang

membicarakan masalah seperti ini, sastra hadir bukan untuk menghakimi atau memberikan stigma buruk bagi perempuan yang terlibat dalam praktik komodifikasi tersebut, tetapi justru untuk dikritisi tentang konstruksi sosial seperti apa yang bisa melahirkan praktik komodifikasi pada tubuh perempuan, mengajak

9 The Real, The Not-Real, and The Not-Yet Real hal.5 oleh Molly Andrew, 2014

10Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Bagian 2: inferiotitas perempuan hal. 82, paragraf 4, alinea 4, Gender dan Inferioritas perempuan: Praktik Kritik Sastra Feminis, 2010.

11Ibid. Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, hal.87, 12Mengacu pada pekerja seks komersial.

13Di parafrasekan dari Maggie O’Neil, Historical Text, hal.129, Gendered bodies/cultural texts: from tradition to Postmodernity, Chapter 5: Imagining Women: Prostitution, the Aestheticization of the Whore and the Social Organization of Desire, Prostitution and Feminism Towards a Politics of Feeling, 2001.

(14)

5

pembaca untuk berefleksi bahwa realita ini ada dan mengajak pembaca melihat masalah komodifikasi pada tubuh perempuan secara lebih mendalam.

Terkait dengan masalah komodifikasi pada tubuh perempuan, ada dua karya sastra yang memuat representasi masalah tersebut, yaitu Telembuk: Dangdut Dan

Kisah Cinta Yang Keparat14 karya Kedung Darma Romasha (2017) dan yang

kedua berjudul Bekisar Merah karya Ahmad Tohari (2011)15. Secara singkat, novel Bekisar Merah menceritakan tentang seorang perempuan berdarah campuran Indo-Jepang bernama Lasi yang dikhianati suaminya bernama Darsa. Lasi lalu kabur ke kota dan terlibat jaringan perdagangan perempuan kelas atas yang diurus Bu Lanting. Sementara Lasi sendiri tidak begitu menyadari kalau dirinya sedang dijual untuk menjadi simpanan kaum elit. Dalam kondisi seperti itu Lasi akhirnya selamat berkat pertolongan Kanjat teman lama Lasi yang pada akhirnya menjadi suami Lasi. Sementara dalam novel Telembuk, secara singkat novel ini bercerita tentang perempuan bernama Safitri yang diperkosa oleh sekelompok pemuda tak dikenal. Kejadian itu membuatnya kabur dari rumah dan untuk bertahan hidup ia menjadi telembuk16 sekaligus penyanyi dangdut seksi yang banyak ditaksir orang seperti Aan, Govar dan Mukimin. Dalam kondisi seperti ini, Safitri tetap menaruh harap akan datangnya laki-laki yang mau membawanya keluar dari profesi telembuk.

Dari deskripsi singkat tentang kedua novel ini, ada persamaan yang saya temukan yaitu (1) sama-sama memiliki tokoh perempuan sebagai tokoh sentral,

14Selanjutnya novel ini akan disebut dengan Telembuk.

15Terbitan tahun 2011 merupakan seri gabungan antara Bekisar Merah (1993) dan Belantik (2001) 16sebutan pekerja seks di daerah Indramayu

(15)

6

(2) sama-sama memuat masalah komodifikasi terhadap tubuh perempuan meski dengan tipe yang berbeda dan dengan latar belakang yang berbeda, (3) kedua novel ini sama-sama ditulis oleh pengarang laki-laki, lalu (4) novel-novel ini juga secara garis besar memberikan gambaran tentang kondisi seksualitas masyarakat Indonesia kontemporer dan gambaran relasi gender. Meskipun demikian dua novel ini juga memiliki perbedaan yang cukup menonjol yaitu di novel Telembuk (1) kecantikan perempuan diuatarakan dari sudut pandang tokoh laki-laki, (2) sudut pandangnya berganti-ganti, (3) memiliki struktur cerita yang berlapis, dan (4) memiliki Flash-back. Sementara di novel Bekisar Merah, hal yang paling menonjol yaitu (1) perempuan di novel ini lebih ditempatkan sebagai simbol kebanggan (pride), gengsi (prestige) dan kesenangan (pleasure) di kalangan kaum elit, (2) struktur narasinya linier, (3) narator bersifat omniscient, (4) tokoh perempuan tidak punya agensi atas dirinya sendiri.

Dari persamaan dan perbedaan yang telah disebutkan tentang novel Telembuk dan Bekisar Merah, persoalan tubuh perempuan menjadi tidak sebatas pertukaran uang saja, tapi juga cerminan kondisi seksualitas era modern sebagai bagian dari fenomena gender. Namun karena persoalan ini dibicarakan lewat karya sastra, maka cara bagaimana narator menggambarkan masalah ini menjadi penting mengingat gaya narasi dari kedua teks ini akan melahirkan persepsi yang

berbeda-beda. Bagaimana masalah ini dikisahkan dan bagaimana narator

menyampaikannya, juga akan menentukan seperti apa fokalisasi dari masing-masing narasi, apa saja yang penting untuk diketahui oleh pembaca, apa yang boleh dibicarakan, dan kenapa persoalan-persoalan ini menjadi menarik untuk

(16)

7

didiskusikan mengingat dua novel ini ditulis oleh pengarang laki-laki, maka besar kemungkinan adanya perspektif tertentu yang dilibatkan.

B. Tema Penelitian

Komodifikasi tubuh perempuan dalam novel Telembuk dan Bekisar Merah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi di atas, berikut ini sejumlah masalah yang ingin dianalisis terkait komodifikasi tubuh perempuan yang ada dalam relasi gender

1. Bagaimana relasi gender dan seksualitas secara umum digambarkan dalam karya sastra Indonesia?

2. Bagaimana fenomena komodifikasi pada tubuh perempuan diimajinasikan dalam novel Telembuk dan Bekisar Merah?

3. Perspektif apa yang disampaikan oleh novel Bekisar Merah dan Telembuk mengenai komodifikasi tubuh perempuan?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin saya capai dalam penelitian ini yaitu; (1) ingin menjawab bagaimana seksualitas dan relasi gender sejauh ini digambarkan dalam karya sastra Indonesia. (2) Ingin menjawab bagaimana persoalan komodifikasi tubuh perempuan digambarkan dalam karya sastra terlebih dari karya sastra yang ditulis oleh pengarang laki-laki. (3) Ingin melihat perspektif kritis seperti apa yang disampaikan lewat novel tentang fenomena komodifikasi pada tubuh perempuan.

(17)

8 E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa membawa manfaat bagi; (1) pengembangan pemikiran kritis pada teks yang membicarakan persoalan relasi gender seperti komodifikasi tubuh perempuan. (2) Bisa menambah khasanah dalam ilmu humaniora maupun kajian sastra dengan lebih mendalam baik dari aspek sosial, estetika, dan budaya. (3) Bisa memahami sebuah karya sastra tidak hanya sebatas teks, tapi juga sebagai perangkat wacana, ideologi, dan rekonstruksi kejadian.

F. Kajian Pustaka

Sebelum membahas lebih jauh, penting kiranya untuk melihat terlebih dahulu berbagai referensi dan penelitian terhadulu yang membicarakan persoalan komodifikasi tubuh perempuan, relasi gender, ataupun karya sastra itu sendiri. Pentingnya untuk melihat penelitian terdahulu yaitu untuk memetakan sejumlah penelitian sehingga saya bisa mengetahui di mana posisi penelitian tersebut sekaligus memberikan penilain kritis pada penelitian terdahulu.

1. Komodifikasi tubuh Perempuan Melalui Perspektif Marxisme

Penelitian ini ditulis oleh dari Soon Wai Yee (2018) dengan judul The Female Body as Commodity. Dalam tulisannya, Soon Wai Yee meyakini adanya hubungan antara pengaruh wacana kolonial dengan ketidakadilan gender yang dijalankan lewat praktik kapitalis. Ketidakadilan ini ia curigai lewat adanya usaha untuk mengkomodifikasi tubuh perempuan lewat beberapa faktor seperti adanya pertukaran hak matriarki menjadi patriarki, modal, dan pertukaran nilai. Pertukaran

(18)

9

ini terjadi dalam lingkup kecil berupa keluarga, yang membuat posisi sosial perempuan berganti menjadi properti pribadi.

Dari pandangan Wai Yee ini, saya melihat ada konsep-konsep penting yang digunakan yaitu konsep kapitalis, nilai, dan komoditas yang dekat dengan perspektif analisis marxis. Ketiga konsep ini ia hubungkan dengan persoalan gender. Wai Yee menggunakan kata Slavery untuk menjelaskan kondisi dan posisi perempuan untuk menggambaran ketidakmampuan perempuan dalam urusan ekonomi. Dengan merujuk pada pemikiran Friedrich Engels dalam bukunya yang berjudul the Origin of the Family, Private Property, and the State (1884) banyak aspek yang diyakini Wai Yee memiliki hubungan dengan kapitalisme.

Secara keseluruhan Soon Wai Yee menggunakan konsep komoditas, kapitalis dan kolonial. Lalu konsep-konsep ini ia bahas dengan melibatkan dua perspektif feminis dan marxis. Kritik yang Soon Wai Yee sampaikan dalam tulisanya ini lebih menunjukan resistensi. Sementara perspektif feminis yang ia munculkan di sini lebih mengarah pada keinginan untuk pro pada hak perempuan dan ingin membebaskan. Hanya saja beberapa kata-katanya terkesan terlalu menghakimi sehingga menjadi kurang relevan karena kondisi perempuan di era modern yang mulai membaik meskipun dalam budaya, hierarki maskulinitas dan sistem yang phallosentris masih berjalan.

Tulisan Soon Wai Yee ini cukup relevan dengan penelitian saya terutama untuk konsep komodifikasi. Konsep komodifikasi yang Wai Yee gunakan ini meniktikberatkan pemahaman komodifikasi sebagai segala sesuatu yang bisa ditukar dengan uang untuk tujuan tertentu, dan ini sesuai dengan perspektif marxis.

(19)

10

Salah satu contoh komodifikasi dalam arena sosial adalah perempuan selalu dinilai sebagai atau diniatkan untuk dipertukarkan. Perempuan juga selalu dinilai memiliki nilai tertentu yang bisa dijadikan komoditas. Jika Wai Yee mengambl contoh komodifikasi yang terjadi dalam rumah tangga, maka dalam penelitian saya, komodifikasi yang saya bicarakan lebih ke arah komodifikasi sebagai bagian dari relasi gender, dan karena saya membahas ini lewat karya sastra maka cara penggambaran komodifikasi menjadi kunci utama untuk melihat bagaimana fenomena tersebut diperlihatkan pada pembaca. Jenis-jenis komodifikasi yang saya singgung nanti seperti perdagangan perempuan, prostitusi dan panggung dangdut. Artinya arena komodifikasi yang saya bicarakan nanti menyangkut arena sosial yang lebih luas.

2. Budaya Nyawer di Panggung Dangdut Tarling

Hal pertama yang ingin saya katakan tentang tulisan ini yaitu, penelitian yang Sandra Bader lakukan memang bukan penelitian tentang sastra, tetapi muatan seksualitas dan relasi gender dalam penelitiannya ini cukup relevan dan penting untuk diperhatikan. Berangkat dengan judul penelitian Dancing Bodies On Stage: Negotiating Nyawer Encounters at Dangdut and Tarling Dangdut Performances in West Java, Sandra Bader membuka tulisannya dengan menggambarkan suasana panggung dangdut tarling di Cirebon, Jawa Barat. Dalam catatannya, Bader menuliskan kata ‘tarling’ sebagai singkatan dari gitar dan seruling. Genre musik ini Bader catatkan muncul sekitar tahun 1930 di daerah Indramayu dan Cirebon. Berbeda dengan musik dangdut pada umumnya yang menggunakan bahasa Indonesia, konten lagu dangdut tarling cenderung lebih luas dan menampakkan sisi

(20)

11

hibrid dengan musik luar. Dangdut tarling dinyanyikan dengan bahasa Jawa dialek Indramayu atau Cirebon, dan konten lagu yang dinyanyikan kebanyakan lagu patah hati.

Bader memaknai nyawer encounters sebagai suatu aktivitas ketika penyanyi dan penonton yang di atas panggung menyanyi dan berjoget bersama lalu terjadilah transaksi dengan cara si penonton yang dipanggung ini memberikan lembaran uangnya secara bertahap pada penyanyi, dan dari sini tampak sekali yang menjadi fokus utama Bader adalah masyarakat dan budaya setempat. Meskipun penelitian Bader ini berfokus pada interaksi yang terjadi di panggung dangdut, tetapi poin-poin penitng yang saya garis bawahi justru terletak pada momen transfer uang ke penyanyi yang secara teknis jelas ini bentuk komodifikasi tubuh perempuan. Sementara sisi seksualitas perempuan menjadi fitur utama dalam pertunjukan dangdut atau dangdut tarling. Seksualitas Jawa menganalogikan perempuan sebagai Dewi kesuburan yang perlu diinseminasi oleh kekuatan maskulin dalam bentuk hujan untuk melahirkan kehidupan baru yang berkelanjutan, dan aksi penyanyi dangdut atau tarling yang berinteraksi dengan audiens di panggung adalah gambaran dari analogi tersebut.

Terkait soal menari atau berjoget di atas panggung dangdut, Bader menggambarkan suasana yang menunjukkan bagaimana seksualitas perempuan dalam dunia dangdut seperti dirayakan, diberi panggung tapi penyanyi dangdut itu dikomodifikasi oleh audiensnya dengan cara memberikan uang saweran pada penyanyi yang berpenampilan cantik dan seksi. Dari penelitian Bader ini, topik seksualitas dan komodifikasi relevan dengan penelitian yang akan saya tulis. Hal

(21)

12

yang berbeda di sini yaitu penelitian Bader ini berbasis pada pengalamannya dengan warga setempat, sementara penelitian saya berbasis pada karya sastra yang memiliki perspektif lain dalam menarasikan realitas sosial ini.

3. Mempertanyakan Eksistensi Perempuan Dalam Karya Sastra

Tulisan ilmiah kali ini berangkat dari jurnal penelitian sastra yang mempertanyakan tentang eksistensi perempuan dalam karya sastra Telembuk; Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat karya Kedung Darma Romansha. Dengan judul tulisan Eksistensi Tokoh Perempuan Dalam Novel Telembuk; Dangdut Dan Kisah Cinta Yang Keparat Karya Kedung Darma Romansha (Feminisme Eksistensi Simone De Beauvoir) yang ditulis oleh Yesitiana S, Juanda, dan Faisal (2019). Seperti pada judulnya tulisan ini menggunakan pendekatan feminisme eksistensialis dari Simone De Beauvoir dan memfokuskan diskusinya pada poin marginalisasi perempuan karena dilihat sebagai Liyan, serta bentuk perlawanan tokoh perempuan dalam novel.

Penelitian ini saya katakan cukup eksplisit dalam membicarakan prasangka gender tentang sikap menomerduakan perempuan dalam segala aspek sosial, sementara feminisme di sini hadir sebagai bentuk usaha menentang segala bentuk ketimpangan gender. Feminisme yang digunakan dalam penelitian ini tidak hanya merujuk dari Simone De Beauvoir, tapi juga merujuk pada pemikiran Jean Paul Sartre. Dikatakan bahwa konsep Sartre yang paling dekat dengan feminisme yaitu ‘ada untuk orang lain’ yang artinya ini menggambarkan tentang hubungan simbiosis mutualisme, hubungan antar individu, tetapi hubungan seperti ini justru tidak tampak, yang tampak yaitu perempuan justru dilihat sebagai other atau liyan.

(22)

13

De Beauvoir mendeskrispsikan, laki-laki dilihat sebagai 'diri' dan perempuan sebagai 'liyan'. Liyan adalah ancaman bagi ‘diri’ sehingga jika ingin terbebas harus menekan dan mengsubordinasi liyan. Dari konsep seperti ini saya justru malah melihat pemikiran seperti ini menjadi landasan laki-laki untuk bertindak misoginis misalnya dalam Telembuk, tindakan misogini itu dilakukan dengan pelcehan seksual.

Para peneliti misoginis ini menyatakan bahwa, tokoh perempuan dalam novel ini memiliki pikiran yang modern karena berani mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri dan berani menentukan hidupnya tanpa bergantung pada orang lain. Hal ini membuat saya bertanya-tanya apakah tolak ukur kemodernan perempuan hanya diukur dari keberanian penggambilan keputusan secara logika? Karena sepemahaman saya tentang novel ini, keputusan yang diambil oleh tokoh-tokoh perempuan ini bukan karena dorongan logika, melainkan karena adanya sisi traumatis, kondisi yang mendesak, dan perasaan yang tidak tersampaikan.

Konsep feminisme eksistensialis sebaiknya dihubungkan dengan konsep gender order supaya bisa lebih leluasa lagi dalam menganalisis tentang marginalisasi yang dialami oleh tokoh perempuan. Gender order akan lebih membantu peneliti untuk melihat sebuah konstruksi bisa mempengaruhi posisi dan eksistensi perempuan di masyarakat. Akan tetapi, pencarian eksistensi ini tetap bisa terhubung dengan persoalan komodifikasi tubuh perempuan, di mana esensi perempuan menjadi sebatas komoditas seksual dan lambang gengsi laki-laki.

(23)

14

4. Membaca Narasi Perempuan Dengan Perspektif Pascakolonial

Jurnal ilmiah ini berangkat dari penelitian sastra dengan menggunakan perspektif pascakolonial dengan mengambil novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari sebagai objek penelitian. Dengan judul penelitian Perempuan dalam Narasi Pascakolonial (Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari) yang ditulis oleh Anhar Widodo (2009), Widodo di sini mencoba untuk melihat hubungan masalah gender dengan efek dari pascakolonial. Dalam tulisannya ini, Widodo memetakan masalah-masalah gender dalam koridor pascakolonial seperti (1) sosok Lasi yang Liyan di kampungnya sendiri karena dia memiliki darah keturunan Jepang. (2) penggambaran latar tempat yang memposisikan perempuan tidak bisa bersuara (subaltern). Kondisi ini melambangkan kondisi pascakolonial, dan ini juga berlaku pada Lasi yang mengakui dirinya sebagai bagian dari dunia ke-tiga. (3) masalah penggambaran oposisi biner seperti kaya-miskin, terpelajar-tidak terpelajar, perempuan laki-laki. (4) Relasi gender antara Pak Han dan Lasi yang dianalogikan seperti hubungan kaum penjajah dan terjajah. Dan (5) kesadaran semu tokoh Kanjat yang ingin membela kampungnya sementara dia sendiri adalah anak tengkulak kaya.

Membaca Bekisar Merah dengan pendekatan pascakolonial ini mampu untuk melihat konstruksi masyarakat terlebih yang berkaitan dengan gender. Gender dalam perspektif pascakolonial di sini mengambil dari sisi oposisi biner, yang melihat sesuatu secara berlawanan. Sebagai contoh, perempuan-laki-yang mewarnai tempat pembagian kerja seperti perempuan ditempatkan di ranah domestik dan laki-laki yang lebih aktif mencara nafkah di luar serta diyakini lebih unggul dalam segala hal dibandingkan perempuan. Lalu Lasi yang dalam perspektif

(24)

15

pascakolonial dilihat sebagai subaltern, digambarkan selalu dalam kebingungan, terdominasi sehingga sulit untuk melepaskan diri dari cengkraman elit laki-laki. Sehingga relasi yang dialami oleh Lasi ini ibarat cermin hubungan antara ‘orang desa’ dengan ‘orang kota’.

Dari sisi oposisi biner dan perempuan sebagai liyan, pendekatan pascakolonial ini diharapkan bisa membantu baik pembaca atau peneliti lain untuk bisa melihat dan memahami bahwa adanya hubungan kekuasaan yang terstruktur dengan rapi dalam Bekisar Merah. Sebagai contoh Lasi yang dijadikan objek ekonomi saat akan dijual dalam lingkaran elit, dan alasan ia menjadi target ekonomi adalah karena ia ditampilkan sebagai liyan dengan segala tampilan fisiknya yang berbeda membuka ruang kontentasi laki-laki baik elit maupun di kampungnya sendiri untuk mendapatkan cinta dalam arti fisik dan seksual. Pendekatan pascakolonial ini bisa saya katakan cocok untuk Bekisar Merah karena ada latar sejarah yang dimuat, dan eksplisitnya masalah oposisi biner, liyan, gender dan kekuasaan.

Ada beberapa hal yang cukup relevan dari sejumlah jurnal ini dengan penelitian saya, yaitu soal hubungan kekuasaan yang terstruktur. Tetapi untuk melihat itu saya memilih menggunakan jalur gender relation sebagaimana ada institusi yang menjalankan struktur kekuasaan tersebut. Lalu simbolisasi ‘baik-buruk’ dengan ‘desa-kota’ juga memliki relevansi, tetapi yang membedakan adalah saya di sini melihat simbolisasi ini sebagai cara untuk mengkritik praktik elit.

(25)

16 G. Kerangka Teoritis

Dalam penelitian ini, ada dua konsep teoritis yang ingin saya pakai untuk menganalisis masalah komodifikasi tubuh perempuan yang terefleksi dari karya sastra. Konsep-konsep itu adalah (1) konsep dari Raewyn Connell (2009), tentang Relasi Gender yang akan digunakan untuk menganalisis masalah gender yang tercermin dalam teks. (2) Mieke Bal (2009), tentang Naratologi Karya Sastra yang akan digunakan untuk melihat bagaimana masalah gender seperti komodifikasi tubuh perempuan digambarkan dalam teks sastra.

1. Relasi Gender oleh Raewyn Connell

Gender relation atau relasi gender menjadi salah satu fokus perhatian Raewyn Connell dalam studi gender. Perhatiannya itu berupa pengamatan pada pola-pola pengaturan gender dalam masyarakat, di mana dalam pengaturan gender itu jika dilihat secara keseluruhan ada sebuah tatanan gender yang bisa ditemukan dalam tiap-tiap institusi. Setiap institusi dalam masyarakat memiliki rezim gender, seperti yang bisa kita lihat pada umumnya pada institusi pendidikan lewat seragam sekolah, tempat kerja yang menghususkan beberapa profesi untuk laki-laki dan perempuan, dan masyarakat menyepakati nilai-nilai konvensional tentang bagaimana seharusnya menjadi perempuan dan laki-laki. Sementara dalam penelitian saya ini, institusi yang saya temukan yaitu prostitusi, panggung dangdut, dan perdagangan perempuan.

(26)

17

Dari beragam institusi tersebut, Connell melihat rezim gender telah menjadi semacam fitur (karakteristik) khusus yang mengorganisir hidup masyarakat.17 Rezim gender yang telah lama diterapkan dalam kehidupan ini seperti sudah dianggap biasa dan dilegitimiasi baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dalam interaksi sehari-hari. Legitimasi yang terus bertahan seiring waktu ini, Connell lihat sebagai pola pengaturan gender dalam jangkauan yang besar, dan ia menyebut momen itu sebagai gender order of society (Tatanan Gender Masyarakat).

Tatanan gender menurut Connell ia yakini sebagai sebuah sistem ideologis dan praktik material yang dilakukan oleh sejumlah orang dalam suatu masyarakat, melalui relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang terus direproduksi sehingga melahirkan kode-kode maskulinitas dan femininitas.18 Tatanan gender mempengaruhi bagaimana bentuk dari relasi gender baik yang bersifat langsung maupun yang tidak langsung. Namun dalam penelitian ini, saya akan lebih condong pada relasi gender yang bersifat langsung, yaitu relasi antara perempuan dan laki-laki.

“the main basis for relationships among men that define a

hegemonic form of masculinity in the society as a whole. ‘Hegemony masculinity’is always contructed in relation to various subordination masculinities as well as in relation to women ”19

Kalimat di atas ini saya pahami bahwa relasi gender antara perempuan dan laki-laki yang berada dalam naungan hierarki maskulinitas, yang artinya bahwa

17Diparafrasekan dari Raewyn Connell Bab 5. Gender Relarion; Patterns in gender: Structure and change, paragraf 2,alinea 4. Hal. 72, Gender In the world perspective (2009)

18Diparafrasekan dari Jane Pilcher & Imelda Whelehan, gender order, hal.61, Fifty Key Concepts in Gender

Studies (2004)

19R.W. Connell, Hegemonic Masculinity and Emphasized Femininity hal.183, p.2, 8. Sexual Character, Part III: Femininity and Masculinity, Gender and Power; Society, the Person and Sexual Politics (1987)

(27)

18

dalam relasi ini ada semacam bentuk kekuasaan yang mendominasi pengaturan pola gender menjadi amat terstruktur dalam masyarakat. Seperti yang Connell contohkan terkait struktur relasi;

“In a strongly patriarchal gender order, women may be denied

education and personal freedoms, while men may be cut off from emotional connection”20

Dari contoh gender order, patriarki yang Connell berikan ini memperlihatkan saya adanya ketimpangan gender yang diakibatkan oleh relasi kekuasaan yang mengatur struktur sosial masyarakat dalam berelasi. Connell lalu berpendapat bahwa struktur sosial yang menyebabkan perempuan mengalami penindasan terdiri dari empat struktur dimensi, yaitu; produksi, reproduksi, sosialisasi, dan seksualitas. Terkait dengan struktur dimensi, Connell lalu mencoba mengeksplisitkan dimensi-dimensi tersebut menjadi empat dimensi yaitu Power Relation, Production, Emotional Relation, dan Symbolic.

1.1. Power Relation; Direct, Discursive. Colonizing

Dimensi pertama Connell mulai dengan Power, (Kekuasaan). Kekuasan adalah salah satu dari dimensi gender sekaligus sumber dari lahirnya pemberontakan atas ketertindasan perempuan dari patriarki.21 Bentuk pemberontakan atas relasi kekuasanan yang mendominasi bisa hadir dalam berbagai cara, salah satunya lewat karya sastra. Karya sastra dari pengarang perempuan kebanyakan menyuarakan tentang pembebasan perempuan dari kstruktur patriarki dan kesetaraan gender. Usaha pembebasan baik lewat gerakan

20Ibid. Raewyn Connell, hal.74.

(28)

19

ataupun lewat karya sastra ini mengajarkan siapapun untuk melihat kekuasaan patriarki bukan hanya soal kontrol langsung perempuan oleh laki-laki, tetapi juga diwujudkan secara impersonal melalui negara.22

Salah satu contoh bentuk kontrol sosial yang diwujudkan secara impersonal oleh negara bisa dilihat dari cara bagaimana negara menangani kasus pemerkosaan. Pada kasus tersebut perempuan yang sebenarnya berada pada posisi sebagai korban, justru disalahkan, dituduh sebagai penyebab dan dituduh menikmati perlakuan tersebut. Penilaian yang keliru ini juga dikeluhkan oleh Connell yang mengatakan;

“Rape, for instance, routinely presented in the media as

individual deviance, is a form of person-to-person violence deeply embedded in power inequalities and ideologies of male supremacy.”23

yang jika saya artikan, dalam institusi media kekuasaan dipegang oleh supremasi laki-laki, sehingga perempuan semakin mengalami ketimpangan dalam relasi gender. Salah satu karya sastra seperti Telembuk memiliki potensi untuk mengurai bentuk kekuasaan tersebut sebagaimana Telembuk memiliki bagian khusus yang menampakkan adegan perkosaan. Bentuk lain dari kekuasaan yaitu maskulinitas sebagai usaha pembuktian adanya otoritas pihak tertentu dan hierarki dalam relasi gender. Dalam transaksi atau komodifikasi, pastinya melibatkan power (kekuasaan). Kekuasaan ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan karena hanya menguntungkan satu pihak yang diuntungkalaki-laki dan mucikari.

22Ibid. Power relation: direct, discursive, colonizing,hal.76

23Raewyn Connell, Cathexis hal.107, 5. Main Structure: Labour, Power, Power, Part II. The Structure of

Gender Relations, Gender and Power; Society, the Person and Sexual Politic (1987)

(29)

20

1.2. Production, Consumtion and Gendered Accumulation

Dimensi gender selanjutnya yang Connell catatkan yaitu Produksi, Dimensi ke dua ini membicarakan gender dari segi antropologi dan ekomoni yang menggambarkan adanya aktivitas kerja tertentu yang dikerjakan oleh laki-laki, dan sisanya dikerjakan perempuan. Kondisi seperti ini biasa dikenal orang dengan sebutan gender segregation, tetapi Connell tidak menggunakan terminologi tersebut, ia menggambarkan kondisi ini dengan sebutan sexual/gender division labour sebagai sebuah sebutan yang menurut Connell lebih bersifat universal berdasarkan latar sejarah dan budaya masyarakat tertentu. Di dimensi kedua ini Connell mengatakan bahwa;

“There is a larger division between ‘work’, the realm of paid labour

and production for markets, and ‘home’, the realm of unpaid labour. The whole economic sphere is culturally defined as a men’s world... while domestic life is defined as a women’s world.”24

Ada alasan mengapa wilayah perempuan dikonstruksi hanya di sekitar urusan domestik saja, yaitu jika perempuan yang menguasai 'the realm of paid labour' maka dikhawatirkan ini akan mengancam male supremacy, mengancam maskulinitas dan konstruksi yang selama ini sudah berjalan. Konstruksi dalam relasi gender ini berusaha untuk membuat pihak perempuan menjadi pihak yang membutuhkan laki-laki, bergantung pada laki-laki, dan laki-laki membutuhkan perempuan hanya sebagai pasangan atau penyangga kekuasaanya. Dengan demikian maka ini menjadi salah satu sebab mengapa perempuan yang lebih banyak ditempatkan pada pekerjaan yang bersifat pelayanan pada orang lain.

(30)

21

Seperti yang ada di Bekisar Merah, yang memiliki dua latar kejadian berbeda antara di desa dan di kota besar, di mana relasi gender di desa pola relasinya cenderung ke arah domestik-partnership, sementara relasi di kota besar lebih condong ke arah gundik dan tuan. Begitu pula dalam Telembuk yang profesinya bersifat pelayanan dan satu sama lain saling membutuhkan, hanya saja ada sekat yang membatasi perempuan untuk tidak melangkah keluar dari posisinya.

1.3. Emotional Relation

Dimensi ketiga yaitu emotional relation atau relasi emosional yang menurut Connell sisi emosional itu amat penting karena merupakan bagian dari struktur relasi sosial. Relasi emosional ini mengatur bagaimana keterikatan emosional antara satu orang dengan orang lain.25 Artinya bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki batasan dalam hal keterikatan emosional. Batasan itu ada karena posisi laki-laki dan perempuan yang berbeda misalnya seperti penyanyi telembuk dengan pelanggannya, telembuk adalah penyedia jasa dan layanan seksual yang bertugas melayani dan memberi kepuasan pada pelanggan tapi tidak boleh ada intimasi yang lebih dari hubungan tersebut. Begitu juga elit dengan perempuan peliharaannya, perempuan itu harus patuh dan terus berada di bawah kendali elit, tidak boleh terlalu dekat dengan yang lain.

Relasi emosional Connell katakan juga bisa ditemukan dalam pembagian bidang profesi yang secara umum perempuan ditempatkan pada profesi yang bekontak langsung dengan masyarakat, atau profesi yang sifatnya melayani

(31)

22

masyarakat seperti perwat atau front office. Sementara dalam kasus di tesis ini, profesi seperti penyanyi dangdut juga menjadi salah satu contoh bahwa profesi ini selalu diidentikan dengan perempuan. Dari contoh yang Connell berikan dan dari saya sendiri, maka di sini terlihat bahwa alasan kenapa profesi yang berkontak dengan masyarakat lebih diberikan pada perempuan, yaitu karena perempuan dipahami dan diyakini sebagai mahluk yang lebih mengandalkan hati atau perasaan dari pada laki-laki.

Terkait dimensi ketiga ini, Connell juga meminjam gagasan dari Sigmund Freud yang menuliskan teori tentang pola hubungan dalam institusi sosial, di mana teori Freud ini bisa digunakan untuk menginvestigasi struktur sosial dari realsi emosional. Pada dimensi ke tiga ini Connell menyatakan bahwa arena dari relasi emosional adalah seksualitas yang berkaitan dengan relasi seksual dan budaya yang menanguinya. Seperti pada Bekisar Merah dan Telembuk yang juga melibatkan relasi emosional, relasi emosional dalam Telembuk bisa saja muncul ketika perempuan berada di atas panggung, atau ketika sedang berhubungan seks dengan pelanggan, sementara di Bekisar Merah relasi emosional itu saya lihat muncul dalam hubungan rumah tangga.

1.4. Symbolic, Culture, Discourse

Dimensi keempat sekaligus yang terakhir yaitu dimensi simbolis, budaya dan wacana. Pada dimensi ini, Connell memulai dengan pernyataan bahwa tidak ada manusia yang berada di luar wacana.26 Perkataan Connell ini saya pahami

26Diparafrasekan dari “As post-structuralists observe, nothing human is ‘outside’ discourse.” Dalam

(32)

23

bahwa manusia tidak hanya terlibat dalam wacana, tapi juga sebagai pihak yang memproduksi dan menjalankan wacana. Hal ini lalu ditegaskan lagi oleh Connell yang menyatakan bahwa;

“we call into play a tremendous system of understandings,

implication, overtones and allusions that have accumulated through our cultural history”27

Dari sini saya memaknai bahwa ada kepentingan sosial tertentu yang dibawa dalam sistem budaya masyarakat, dan itu sudah tumbuh sekian lama. Connell lalu mengambil satu contoh yaitu ketika pelatih American football yang mengeluhkan kekelahan timnya itu layaknya perempuan. Keluhan ini saya artikan bahwa kelemahan, ketidakberdayaan dan segala kesan negatif seperti itu selalu selalu diasosiasikan dengan perempuan. Sama halnya dengan yang ada di Telembuk dan Bekisar Merah, tokoh perempuannya dikomodifikasi dan dilecehkan karena ada semacam kepercayaan bahwa perempuan itu inferior dan ini menimbulkan ketimpangan dalam relasi gender.

Suatu masyarakat memiliki struktur simbolis dalam menentukan bagaimana relasi gender itu harus berjalan, dan struktur itu disebut dengan phalosentris yaitu sistem yang menempatka otoritas, hak, dan subjektivitas untuk selalu berada dalam perspektif maskulin.28 Struktur simbolis ini menempatkan phallus sebagai master-symbol yang diasosiasikan sebagai law of the father. Master-master-symbol ini bisa hadir dalam berbagai cara misalnya lewat bahasa atau institusi, dan master-symbol ini bekerja di bawah kekuasaan male supremacy.

27Ibid. Symbolism, culture, discourse, hal.83, (2009) 28Ibid. Symbolism, culture, discourse, hal.84, (2009)

(33)

24

Empat dimensi gender ini saling berkaitan satu sama lain, dan ada alasan mengapa Connell menempatkan dimensi power sebagai elemen pertama. Alasan yang bisa saya perkirakan yaitu karena kekuasaan membawahi dimensi-dimensi lain, dan mengkonstruksi bagaimana batasan dari relasi emosional berdasarkan posisi yang secara implisit menempatkan posisi perempuan berbeda. Lalu kekuasaan membawahi bagaimana pekerjaan tertentu ada yang dikhususkan untuk perempuan. Ada alasan pula kenapa Connell menempatkan budaya sebagai elemen terakhir yang saya asumsikan, budaya di sini berfungsi sebagai frame dari kekuasaan tersebut.

1.5. Komodifikasi Sebagai Bagian Dari Relasi Gender

Komodifikasi memang tidak Connell singgung secara eksplisit dalam deskripsinya tentang relasi gender, tetapi di sini saya ingin menambahkan bahwa komodifikasi adalah bagian dari relasi gender. Konteks komodifikasi yang saya katakan ini lebih condong ke arena sosial yang bisa dicontohkan dengan perempuan dianggap sebagai nilai tukar yang paling intens, dan paling tepat.29 Lalu relasi gender seperti apa yang memiliki unsur komodifikasi? dan bagaimana komodifikasi bisa jadi bagian dari relasi gender?

Salah satu contoh yang bisa saya berikan kurang lebih bisa berupa usaha individu menjadikan orang lain mendapatkan untung, atau tujuan lain misalnya antara pekerja seks dengan klien. Ketika klien ingin mendapatkan layanan seksual, maka ia harus membayarkan sejumlah uang terlebih dahulu. Selanjutnya relasi

29Lihat Arjun Appadurai dalam Commodities and the Politics of Value, dalam Rethinking Commodification;

(34)

25

antara suami-istri juga bisa ada unsur komodifikasi yaitu ketika istri dinikahi untuk menaikkan gengsi laki-laki. Ini menunjukkan bahwa praktik komodifikasi bisa berjalan atas dasar adanya hubungan antara permintaan dengan hasrat atau keinginan, dan keinginan ada hubungannya dengan kepentingan. Praktik komodifikasi tidak bisa terlepas dari peran gender yang sudah dikotak-kotakan oleh konstruksi masyarakat. Relasi gender yang ada dalam hierarki maskulinitas membuka peluang untuk melakukan komodifikasi tubuh perempuan.

2. Naratologi dalam Karya Sastra

Novel merupakan bentuk karya sastra modern yang memiliki berbagai macam gaya narasi. Gaya narasi yang bervariasi ini ditentukan dari bagaimana cara narator ketika menggambarkan suatu peristiwa dan untuk mengetahui bagaimana suatu peristiwa digambarkan dalam sastra maka diperlukan suatu perangkat yaitu naratologi, Mieke Bal (2009) memahami naratologi sebagai;

Narratology is the ensemble of theories of narratives, narrative texts, images, spectacles, events; cultural artifacts that ‘tell a story.’ Such a theory helps to understand, analyse, and evaluate narratives30

Gagasan dari Bal ini dimaksudkan untuk mengungkap selapis demi selapis elemen sebuah teks narasi, yang dalam kasus ini teks itu adalah novel. Teks narasi seperti novel secara umum hanya memotret satu fenomena tertentu kemudian diinterpretasikan kembali oleh narator. Sementara makna dan fungsi dari suatu teks itu sendiri tetap bisa menjangkau segala aspek sosial. Hal ini juga berkaitan dengan

(35)

26

posisi teks naratif sebagai agen yang menyampaikan suatu cerita dalam media tertentu seperti bahasa kepada pembaca31. Dalam menyampaikan suatu cerita yang berangkat dari potret fenomena, teks narasi memiliki tiga lapisan utaman yang terstruktur sebagai dasar utama dalam kajian teks naratif. Tiga lapisan utama itu terdiri dari; teks, story dan fabula dengan susunan sebagai berikut;

Text Story Fabula

Tabel. Lapisan teks naratif 0.1

Ketiga lapisan ini saling terhubung satu sama lain dalam membentuk suatu narasi, di mana teks dilihat sebagai suatu wadah presentasi suatu cerita, yang mampu memberi gambaran tentang apa yang terjadi32. Teks di sini juga dipahami sebagai

tempat agen naratif menceritakan sebuah kisah33. Lalu ada Story sebagai konten dari teks yang menghasilakan manifestasi tertentu, infleksi dan memberi warna pada fabula34. Story tentunya memiliki plot sebagai elemen utama yang

menghidupkan sebuah cerita dengan mengatur ritme alur cerita. Terakhir adalah fabula yang dimaknai sebagai serangkaian peristiwa secara logis dan kronologis yang disebabkan atau dialami oleh aktor.35 Namun agar ketiga lapisan naratif ini bisa bekerja dan sampai ke pembaca maka dibutuhkan peran narator.

31Diparafrasekan dari Mieke Bal, Introduction hal.5 (2009)

32Diparafrasekan dari Jonathan Culler, Presentation hal.85, Chapter 6: Narrative, Literary Theory; A Very Short

Introduction (2000)

33Diparafrasekan dari Mieke Bal, 1. Preliminary Remarks hal.15, Text: Words and Other Signs (2009) 34Diparafrasekan dari Mieke Bal, Introduction hal.5 (2009)

(36)

27

Bal menyatakan bahwa narator dalam sebuah novel menempati posisi sebagai konsep paling sentral dalam analisis teks naratif.36 Alasan kenapa narator menempati posisi paling sentara yaitu;

It is the represented ‘colouring’ of the fabula by a specific agent of perception, the holder of the ‘point of view.’... The fact that ‘narration’ tends to imply focalization is related to the notion that language shapes vision and world-view, rather than the other way around.”37

Gagasan Bal ini saya artikan bahwa cara membawakan, suara (fokalisasi) dan perspektif dari narator sangat menentukan bagaimaa suatu kejadian itu dikisahkan kepada pembaca, dan persepsi apa yang nantinya akan muncul. Ketika teks naratif telah dibawakan oleh narator, hal yang perlu diperhatikan yaitu narator memiliki misinya tersendiri dalam membentuk world-view, sehingga penting untuk mengenal sebenarnya siapa narator ini, dan seberapa besar pengaruhnya dalam membawa dan menghidupkan teks naratif.

Narator dikenal sebagai agen yang berpengaruh dalam pembentukan subjektivitas para tokoh novel, dan ini lah yang membuat narator menempati konsep paling sentral dalam analisis teks naratif.38 Mieke Bal mengatakan bahwa istilah narator pertama kali dikenalkan oleh Wayne C. Booth (1961). Gagasan Booth ini digunakan untuk; membahas dan menganalisis sikap ideologis dan moral dari teks naratif tanpa harus merujuk langsung ke biografi penulis39.

36Mieke Bal. 2. The Narrator hal.18, Text: Words and Other Signs, Narratology; Introduction to The Theory

of Narrative (2009)

37Ibid. Mieke Bal. Ha.18

38Mieke Bal, 2: The Narrator hal.18, 1. Text: Words and Other Signs (2009) 39Mieke Bal, Preliminary Remarks hal.17, Text: Words and Other Signs (2009)

(37)

28

Setiap teks naratif seperti novel misalnya, pasti memiliki narator sebagai pihak yang membawakan cerita kepada pembacanya. Secara umum memang ada narator yang sebagai pihak mengambil alih jalannya cerita. Namun ada juga narator yang berasal dari salah satu tokoh dalam cerita. Atau malah ada juga teks naratif yang memiliki lebih dari satu narator yang pada akhirnya ini memberi warna-warna tersendiri pada teks naratif. Sisi narator yang lebih fleksibel ini yang mampu menghasiklan macam-macam bentuk fokalisasi dalam teks naratif. Narator juga sering dihubungkan dengan persoalan fokalisasi atau biasa disebut dengan ‘melihat’. Melihat yang dimaksud di sini yaitu melihat dalam arti naratologis yang menempatkan narator melihat sesuatu secara berbeda, dan melihat perbedaan yang mengubah fabula serta karakter.40

Fokalisasi adalah tentang sudut pandang yang dipilih sebagai cara tertentu dalam melihat sesuatu41 yang jika saya terjemahkan di sini, Fokalisasi itu tentang sudut pandang, (1) siapa yang bicara, (2) siapa yang melihat, (3) kepada siapa pembicara menuturkan perskpektifnya, (4) pada momen apa suatu kejadian itu berlangsung, dan (5) seberapa besar otoritas sosok yang bicara di situ. Poin-poin yang dipertanyakan dalam fokalisasi ini akan mengungkap bagaimana subjektivitas tokoh-tokoh dalam novel terbentuk, terkait dengan fenomena sosial yang menjadi sorotan dalam novel. Fokalisasi sangat penting untuk melihat fabula agar pembaca tahu bagaimana suatu kejadian itu digambarkan.

40Mieke Bal, 2: The Narrator hal.19, 1. Text: Words and Other Signs (2009) 41Diparafrasekan dari Mieke Bal, 8. Focalization, Background hal.145 (2009)

(38)

29

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa fabula itu merupakan serangkaian peristiwa secara logis dan kronoligis yang dialami oleh tokoh dalam narasi. Sebagai rangkaian peristiwa secara logis dan kronoligis, Bal berpendapat kalau;

the fabulas of most narrative texts do display some form of homology, both with a sentence structure and with ‘real life.’ Consequently, most fabulas can be said to be constructed according to the demands of human ‘logic of events,’ provided that this concept is not too narrowly understood. ‘Logic of events’ may be defi ned as a course of events that is experienced by the reader as natural and in accordance with some form of understanding of the world”42

Artinya bahwa fabula dalam narasi biasanya tidak jauh dengan apa yang ada dalam kehidupan nyata pembaca. Rangkaian kejadian peristiwa dalam kehidupan bisa saja memiliki sejuta kemunginan untuk menjadi kisah selanjutnya, tetapi di sini logika peristiwa yang disampaikan lebih mengutamakan logika yang mampu diterima oleh pembaca pada umumnya. Logika cerita dalam Telembuk menggunakan tipe logika cerita yang mirip dengan realita karena membuka banyak kemungkinan, dan terdapat banyak plot-twist dan setiap fabula baru adalah keberlanjutan dari fabula-fabula sebelumnya. Sementara logika cerita di Bekisar Merah, lebih bersifat linier, dan akhir ceritanya lebih mengikuti harapan pembaca.

Terkait dengan topik penelitian ini, teori gender dan naratologi adalah teori yang cukup tepat untuk menganalisis masalah komodifikasi tubuh perempuan yang tergambar dalam karya sastra. Masalah seperti ini merupakan bagian dari relasi gender yang kemungkinan bisa hadir karena pengaruh dari power relation, yang

(39)

30

mempengaruhi bagaimana sebuah konstruksi sosial menginternalisasi gender role dan posisi. Mengingat masalah komodifikasi yang saya teliti berangkat dari teks, maka interpretasi bahasa tentu memiliki pengaruh besar ketika menggambarkan momen komodifikasi tubuh perempuan. Penggambaran momen komodifikasi akan dikupas lebih jauh dengan naratologi karena dari sini kita bisa mengetahui suara siapa yang bicara, dari perspektif mana momen ini diceritakan, dan bagaimana komodifikasi ini dilihat dan diperlihatkan pada pembaca. Dua teori ini nantinya akan mengerucut pada nilai-nilai gender seperti apa yang ada dalam Telembuk dan Bekisar Merah terkait komodifikasi tubuh perempuan.

2.1. Breaking The Fourth Wall

Terminologi The fourth wall (dinding keempat) biasanya digunakan untuk analisis film dan masuk dalam kategori tehnik penarasian yang menentukan suatu perspektif. Fourth wall di sini saya gunakan sebagai teori pendukung naratologi guna membantu saya melihat jangkauan tokoh dalam cerita ketika ia meiliki agensi diri dan kesadaran. Breaking the fourth wall43, yaitu suatu momen ketika ‘pencerita’ dikonfrontasi oleh para tokoh dalam novel. Tokoh dalam cerita mendobrak dinding imajiner yang membatasi antara pencerita dengan dirinya dan penonton. Dalam dunia sastra, momen breaking the fourth wall disebut dengan metafiction44.

Menurut Patricia Waugh, Metafiksi adalah;

43Terminologi ini merujuk dari Tom Brown dalam bukunya Breaking The fourth Wall; Direct Address in The

Cinema hal.152, (2012), di mana Brown juga merujuk dari Perkins, V. F. (1982) dalam buku ‘La Ronde’, Ophuls season programme notes, Birmingham Arts Lab, July–October, yang menyatakan bahwa karakter

mampu mengaburkan peran kamera dan memiliki kesadaran.

44Terminilogi ini merujuk dari Patricia Waugh dalam bukunya Metafiction: The Theory and Practice of

(40)

31

Metafiction is a term given to fictional writing which self-consciously and systematically draws attention to its status as an artefact in order to pose questions about the relationship between fiction and reality.45

Gaya penarasian seperti ini selain memberi efek dramatis, juga memberi kesan kesadaran diri pada pembaca bahwa apa yang disampaikan oleh pencerita belum tentu benar, bisa jadi dilebih-lebihkan oleh narator. Sebagai contoh dalam novel Telembuk, si pencerita bisa langsung berkomunikasi dengan pembaca seolah tidak ada pembatas antara alam dunia pencerita dengan alam dunia pembaca. Lalu ada bagian khusus yang ditulis seperti dialog percakapan antara pencerita dan tokoh-tokoh yang keluar dan berhadapan dengan pencerita. Momen seperti ini menjadi semacam pengingat yang menekankan pada pembaca bahwa mereka sedang membaca cerita fiksi, atau melihat karya fiksi.

H. Metode Penelitian

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa penelitian ini berangkat dari karya sastra. Teks seperti karya sastra biasanya ditentukan dan disesuaikan dengan realitas masyarakat pada umumnya karena masyarakat dari waktu ke waktu akan selalu mengharapkan sebuah teks yang sesuai dengan kebutuhan mereka, yang bisa menyuarakan tentang apa yang terjadi, atau hanya sekedar menampilkan cuplikan realitas dalam bentuk lain. Praktik seperti ini melahirkan sebuah praktik pembacaan dalam masyarakat seperti A mainstream or compliant reading46 yang

melahirkan politik pembacaan teks yang berpotensi membuat pembaca mengikuti

45Patricia Waugh, 1. What is metafiction and why are they saing such awful things about it? hal.2, Metafiction

The Theory and Practice of Self-Conscious Fiction (1984)

46Terminologi ini merujuk dari Anne Carnny- Francis dkk pada bab 3: Ways of Reading dalam Gender Studies; Terms and Debates (2003)

(41)

32

perspketif dan ideologi dalam teks. Mainstream reading (bacaan arus utama) menjadi salah satu perhatian dalam studi gender. Satu hal yang menjadi perhatian dari Mainstream reading ini yaitu ideologi yang ada pada teks. Jika teks menyampaikan perspektif kritis dan sadar gender, maka pembaca bisa mengikuti perspektif kritis tersebut.

Resisitensi terhadap teks mainstream juga biasa disebut resistant reading di mana usaha resistensi ini tidak hanya menolak nilai-nilai sosial dari diri individu, tapi juga menolak ketika individu selalu dilekatkan dengan tanda-tanda tertentu.47 Selain itu resistant reading juga menolak berbagai bentuk mainstream reading beserta makna yang dihasilakan dari mainstream reading. Penolakan itu biasanya berasal dari prasangka pada teks yang dinilai melestarikan praktik gender patriarki konvensional seperti antara laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya dikisahkan bisa hidup bersama setelah banyak hal yang mereka lalui, dan perempuan digambarkan menerima begitu saja tekanan yang diberikan padanya. Praktik gender patriarki konvensional yang selalu muncul dalam bentuk teks yang terus direproduksi ini lama-lama membangkitkan keinginan untuk melahirkan resistensi pada teks mainstream.

Politik pembacaan ini bertujuan untuk membedakan gaya narasi yang ada pada Telembuk dan Beksiar Merah. Namun asumsi saya melihat bahwa dua novel ini memiliki kecenderungan menyampaikan perspektif kritis dan sadar gender sehingga pembaca bisa mengikuti perspektif kritis dalam teks. Sementara bagi

47merujuk dari Anne Carnny- Francis dkk pada bab 3: Ways of Reading dalam Gender Studies; Terms and Debates (2003)

(42)

33

karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan, saya asumsikan itu masuk dalam golongan resistant reading, karena banyak penolakan pada nilai-nilai dan norma yang selama ini telah dikonstruksi, bertujuan untuk menyuarakan suara perempuan dengan alasan pembebasan perempuan.

I. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penelitian ini membicarakan tentang bagaimana komodifikasi pada tubuh perempuan digambarkan dalam karya sastra Telembuk dan Bekisar Merah, dengan melihat dari segi (1) fokalisasinya, dan (2) relasi yang bermasalah. Tesis ini saya paparkan dalam lima bagian, yaitu bagian pertama berisi latar belakang penelitian saya mengambil topik komodifikasi dari karya sastra, rumusan maslah, dan kerangka teori serta metode penelitian yang saya gunakan untuk menganalisis dua novel yang telah saya pilih.

Bab dua berisikan deskripsi singkat tentang gambaran umum seksualitas dan relasi gender dalam sastra Indoensia selama ini dan hasil evaluasi literatur terdahulu guna menemukan topik apa saja yang selama ini ada dalam karya sastra terkait seksualitas dan relasi gender.

Bab tiga berisikan data yaitu sumlah kutipan yang telah saya pilih dari novel Telembuk dan Bekisar Merah, yaitu kutipan-kutipan yang menurut saya mengandung unsur komodifikasi dan persoalan relasi gender, dan memberikan sedikit tanggapan pada kutipan tersebut sebagai analisis awal.

Bab empat berisikan analisis lebih lanjut mengenai bagaimana komodifikasi pada tubuh perempuan digambarkan dalam karya sastra, dengan membahas terlebih

(43)

34

dahulu gaya bernarasi dari dua novel tersebut, kemudian menariknya ke arah pembahasan tiga jenis relasi guna menemukan nilai-nilai gendernya.

Bab lima berisikan kesimpulan, overview dari keseluruhan tesis, apa yang telah ditemukan dari penelitian ini, apa yang belum di temukan dan hal apa yang bisa dikembangkan dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

(Studi Analisis Wacana Kritis Sara Mills Representasi Perempuan Dalam Teks Novel Diary Pramugari : “Seks, Cinta &

Hasil penelitian ini menggambarkan relasi antara laki-laki dengan perempuan dalam novel Maha Cinta Adam-Hawa karya Muhammad El-Natsir sesuai dengan pandangan

Data yang berhubungan dengan penelitian ini berupa psikologis tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Merahnya Merah karya Iwan Simatupang.. Sumber data yaitu novel Merahya Merah