• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POTENSI LOKALITAS BAGI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA PANCANA SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POTENSI LOKALITAS BAGI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA PANCANA SULAWESI SELATAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POTENSI LOKALITAS

BAGI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN

DI DESA PANCANA SULAWESI SELATAN

THE LOCALITY POTENTIAL ANALYSIS AND IDENTIFICATION OF THE EMPOWERMENT OF FISHING COMMUNITY STRATEGY IN PANCANA VILLAGE, SOUTH SULAWESI

Hamka Naping Icha Musywirah

Dosen Jurusan Antropologi FISIP UNHAS Kampus Tamalanrea Km. 10 Makassar

Pos-el: hamka_naping@yahoo.com Handphone: 082140408010

Diterima: 15 Agustus 2016; Direvisi: 21 Oktober 2016; Disetujui: 30 November 2016

ABSTRACT

This study aims to identify and analyze local potential of Pancana fishing communities in the form of social capital, cultural capital and institutional capital as a reference empowerment. This empowerment strategy can be an alternative and enhance conventional approach to poverty alleviation by the governmental and non-governmental organizations that implement positivistic approach with only emphasizes the economic aspect. The approach seems no longer relevant with the increasing capability and capacity of local communities to manage the potential resources owned by institutional system and local culture.This study used a qualitative approach, relying on in-depth interviews and participatory observation as a key strategy to collect data. With this approach the substance of social capital, cultural capital and institutional revealed intact, then analyzed to find the key dimensions to improve the livelihoods of fishermen.The results showed that, Pancana fishing communities has the potential social capital, cultural capital and institutions that could be a potential increase in their welfare. The forms of social capital, cultural capital and institutional capital that is owned by the Pancana local fishing communities among others summed-up in an institution known as “ponggawa sawi,” which it contains, among others, their collaborative actions, their value will you please help each other, their ability to build and develop social networks, and their capacity and capability of self organizing and proficiency and expertise in the management and utilization of marine resources are owned by the public of Pancana. With the management of the local potential enables productivity will increase, and the use of revenue to meet consumption needs to be more efficient so as to allow the surplus and savings that will ensure the certainty of life and levels of welfare.

Keywords: empowerment, institutional capital, social capital, and cultural capital. ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi lokal masyarakat nelayan Pancana dalam bentuk modal sosial, modal budaya dan modal kelembagaan sebagai acuan pemberdayaan.Strategi pemberdayaan ini dapat menjadi alternative dan menyempurnakan pendekatan pengentasan kemiskinan konvensional yang dilakukan oleh pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat yangmenerapkan pendekatan positivistic dengan hanya menekankan pada aspek ekonomi. Tampaknya pendekatan tersebut tidak relevan lagi dengan meningkatnya kemampuan dan kapasitas masyarakat lokal dalam mengelola potensi sumberdaya yang dimiliki melalui sistem kelembagaan dan budaya lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, mengandalkan wawancara mendalam dan observasi partisipasi sebagai strategi utama mengumpulkan data. Dengan pendekatan ini substansi dari modal sosial, modal budaya dan kelembagaan terungkap dengan utuh, kemudian dianalisis untuk menemukan dimensi pokok untuk meningkatkan kesejahtraan nelayan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, masyarakat nelayan Pancana memiliki potensi modal sosial, modal budaya dan kelembagaan yang dapat menjadi potensi peningkatan

(2)

kesejahtraan mereka. Bentuk-bentuk modal sosial, modal budaya dan kelembagaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat nelayan Pancana antara lain tersimpul dalam sebuah kelembagaan yang dikenal dengan “punggawa sawi”, dimana di dalamnya terkandung antara lain adanya aksi-aksi kolaboratif, adanya nilai saling tolong- menolong, adanya kemampuan untuk membangun dan mengembangkan jaringan sosial, dan adanya kapasitas dan kemampuan pengorgaisasian diri dan kemahiran serta keahlian dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang dimiliki oleh masyarakat Pancana. Dengan pengelolaan potensi lokal tersebut memungkinkan produktifitas akan meningkat, dan pemanfaatan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akan lebih efisien sehingga memungkinkan terjadinya surplus dan tabungan yang akan lebih menjamin kepastian hidup dan tingkat kesejahteraan.

Kata kunci: pemberdayaan, modal kelembagaan, modal sosial dan modal budaya. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumberdaya laut yang sangat besar, memiliki kurang lebih 17.500 pulau dengan luas wilayah laut 3,1 juta km2, panjang garis pantai mencapai 81.000 km, mampu menyerap 44% CO2 dan menyediakan pekerjaan bagi lebih dari 50 juta orang. Letak Indonesia di wilayah tropis dengan tingkat perubahan suhu lingkungan relatif rendah memungkinkan berkembangnya berbagai keanekaragaman hayati laut dan menjadikan Indonesia sebagai negara megadiversity kelautan dunia (Pujayanti, 2012).

Posisi kepulauan Indonesia yang diapit oleh dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia,

dua samudera yakni samudra Pasifik dan

samudra India, serta merupakan pertemuan tiga lempeng besar di dunia (Eurasia, India-Australia

dan Pasifik) menjadikan kepulauan Indonesia dikaruniai kekayaan sumberdaya kelautan yang berlimpah, baik berupa sumberdaya hayati dan non-hayati, maupun jasa-jasa lingkungan. Indonesia merupakan suatu karakteristik unik yang di dalamnya terdapat jutaan potensi sumber daya alam yang bisa termanfaatkan untuk kepentingan pembangunan bangsa (Haryani, 2012).

Namun fakta ironis terjadi ketika perhatian terhadap sektor kelautan dan perikanan lebih rendah dari sector pertanian yang menyebabkan tidak berkembangnya secara proporsional masyarakat pesisir dan nelayan di Indonesia. Bila dibandingkan dengan kelompok pelaku ekonomi lainnya, kelompok nelayan merupakan

pelaku ekonomi yang mengalami kondisi keterasingan dari dinamika perekonomian nasional. Konsekuensi logis dari situasi seperti ini adalah kelompok masyarakat nelayan cenderung tertinggal jauh dibandingkan kelompok masyarakat yang bekerja di darat. Dari beberapa studi, seperti Naping (2011) dan Darwis, (2015) terlihat bahwa kelompok nelayan merupakan kantong kemiskinan dengan persentase masyarakat miskin jauh lebih besar dari rata-rata nasional. Tampaknya arah kebijakan pembangunan perikanan yang dicanangkan pemerintah selama ini dengan mengintrodusir teknologi perikanan berupa perahu motor tempel beserta alat tangkap yang canggih belum berhasil meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat nelayan di semua desa-desa pantai di seluruh Indonesia (Naping, 2009).

Berbagai kebijakan dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan nelayan antara lain melalui program pengembangan kawasan terpadu (PKT), kebijakan pengentasan kemiskinan melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan program Jaringan Pengamanan Sosial (JPS) (Hasugian; 2000). Namun kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan ini kurang efektif karena terbukti belum mampu mengangkat posisi masyarakat pesisir dan nelayan beserta keluarganya ke taraf hidup yang lebih baik. Pembangunan perikanan di Indonesia yang telah dilaksanakan selama ini, belum secara optimal mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan sosial-ekonomi yang berarti, baik bagi perolehan devisa dan pendapatan negara

(3)

maupun bagi peningkatan kesejahteraan nelayan. Dalam perspektif yang lebih teknis, masalah pembangunan perikanan menghadapi berbagai kendala, di antaranya; kemampuan memproduksi yang rendah dibanding potensi yang tersedia, kemampuan mengolah dan memasarkan produk perikanan yang masih lemah serta kemampuan pembiayaan untuk faktor-faktor produksi yang masih kurang.

Rizal (2004), memberikan gambaran bahwa fenomena kemiskinan yang melingkupi komunitas nelayan, yakni; pertama, kuatnya tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah dalam membangun sub sektor perikanan. Implikasinya adalah kepentingan-kepentingan nelayan tradisional terabaikan akibat perlakuan diskriminatif dari pemerintah. Kedua, ketergantungan yang berbentuk hubungan patron client antara pemilik faktor produksi (kapal dan alat tangkap) dengan buruh nelayan. Bahwa akibat penetrasi kapitalisme dalam aktivitas nelayan menyebabkan kelompok nelayan dan buruh nelayan lebih cepat terseret dalam kemiskinan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang diharapkan mengakibatkan terjadinya perubahan mode of production dari sistem tradisional menjadi modern ternyata jauh dari harapan. Hal ini dikarenakan proses yang terjadi tidak dibarengi oleh pergeseran hubungan kerja ke arah yang lebih rasional dan saling menguntungkan. Justru sebaliknya yang berkembang adalah pemilik modal (kapal dan teknologi penangkapan) melalui mekanisme ketergantungan yakni hubungan patron client dengan sistem bagi hasil menikmati pendapatan yang lebih besar dan menguasai akses pasar.

Rendahnya produksi nelayan tradisional juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem pesisir akibat pencemaran. Jika mereka ingin memperoleh hasil tangkapan yang lebih baik, maka harus lebih jauh ke tengah laut dan hal tersebut membutuhkan modal yang besar. Pada sisi lain, mereka kesulitan dalam memperoleh pinjaman modal karena keterbatasan aksebilitasnya terhadap sumber -sumber pembiayaan. Selain itu, penghasilan mereka juga masih sangat bergantung pada kondisi alam dan musim.

Sebagai sebuah usaha melepaskan diri dari jebakan paradigma pembangunan konfensional seperti yang selama ini dipraktekkan, perlu dilakukan pengkajian secara sistematis untuk menganalisis dan menemukan potensi lokalitas sebagai acuan pemberdayaan yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat lokal dengan mempertimbangkan variabel yang terkait dengan eksistensi lokalitas mereka. Untuk meningkatkan kondisi kehidupan komunitas nelayan miskin, diperlukan program pemberdayaan yang dapat mewujudkan kemandirian komunitas tersebut. Program pemberdayaan harus menekankan pada penggalian dan analisis potensi lokal komunitas nelayan. Keberhasilan program pemberdayaan sangat bergantung pada permasalahan dan kebutuhan riil komunitas, pendayagunaan potensi sumber daya yang tersedia serta strategi yang ditempuh dalam konteks lokalitas.

Potensi lokal komunitas nelayan di Desa Pancana yang dapat diberdayakan untuk peningkatan taraf kesejahteraan mereka diantaranya adalah modal budaya, modal sosial dan modal ekonomi. Ketiga potensi tersebut menjadi modal yang apabila dimanfaatkan secara maksimal dapat meningkatkan kualitas hidup nelayan. Pada prinsipnya, potensi tersebut belum didayagunakan secara optimal karena sejauh ini belum pernah ada penelitian mengenai strategi pemberdayaan dalam konteks lokalitas di Desa Pancana, Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada banyak kasus program pemberdayaan, inventarisasi permasalahan dan kebutuhan rill, serta potensi yang dimiliki oleh masyarakat, dapat menentukan keberhasilan program pemberdayaan yang diterapkan pada masyarakat tersebut. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Pancana, pertanyaan yang relevan adalah apakah telah disertai pemahaman yang benar terhadap potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat?.

Secara ideal, pemberdayaan komunitas nelayan tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya dan harga diri serta terpeliharanya

(4)

tatanan nilai budaya lokal. Pemberdayaan sebagai implementasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai sosial budaya. Persoalannya yang mendasar adalah bagaimana kearifan lokal dalam bentuk modal budaya, modal sosial dan kelembagaan dimanfaatkan untuk pemberdayaan komunitas nelayan di Desa Pancana?.

Mengacu pada berbagai pertanyaan tersebut di atas, maka penelitian ini memfokuskan diri pada bagaimana potensi lokalitas menjadi dasar pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa

Pancana, melalui proses identifikasi dan analisis

yang sistematis dan akurat.

Kegamangan komunitas nelayan dalam merespon proses perubahan merupakan fenomena sosio-ekonomis yang sangat kompleks dan harus diinterpretasikan secara cermat. Upaya efektif untuk memahami fenomena tersebut

adalah dengan mempelajari, mengidentifikasi

dan menganalisis potensi lokalitas. Strategi pemberdayaan komunitas nelayan berbasis lokalitas berinti pada pemahaman terhadap substansi potensi lokalitas yang meliputi potensi modal sosial, modal budaya dan kelembagaan dengan segala aspek yang terkait dengannya. Pemahaman utuh berkenan dengan masalah ini berguna mengendalikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam pengembangan suatu komunitas (community development), khususnya nelayan miskin pada skala lokal. Berdasarkan pertimbangan itu, penelitian ini secara umum

bertujuan; (1). Mengidentifikasi dan memahami

secara utuh dan komprehensif potensi lokalitas masyarakat nelayan di Desa Pancana, (2). Menganalisis potensi lokal masyarakat nelayaan untuk menjadi dasar pemberdayaan masyarakat nelayan di Desa Pancana. Sedangkan manfaat penelitian ini antara lain, memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan berupa; data, konsep, teori dan pendekatan yang berguna bagi ilmuan dan para peneliti yang berminat pada masalah lokalitas dan pemberdayaan masyarakat. Demikian pula secara praktis bermanfaat bagi pemerintah,

kalangan dunia usaha serta masyarakat dalam upaya pemberdayaan komunitas nelayan miskin berbasis lokalitas.

TINJAUAN PUSTAKA

Pemahaman Terhadap Kondisi Ketidak-berdayaan dan Kemiskinan

Ketidakberdayaan (powerless) dan kemiskinan merupakan dua kondisi yang pada kenyataannya mempunyai kaitan yang sangat erat. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa kondisi ketidakberdayaan yang ada pada individu maupun komunitas tertentu telah menjadi faktor yang banyak memicu munculnya permasalahan kemiskinan. Oleh karena itu sebelum berbicara mengenai pemberdayaan komunitas, terlebih dahulu yang harus dipahami adalah pemetaan kondisi ketidakberdayaan itu sendiri.

Menurut Craig G. Mayo (1995), ketidakberdayaan (powerlessness) individu atau kelompok masyarakat sebagai ketidakmampun untuk mengelola perasaan-perasaan, ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan-pengetahuan dan atau sumber-sumber material.

Dari definisi tersebut dapat kita pahami bahwa

orang atau kelompok masyarakat yang tidak berdaya (powerless) bukan berarti tidak memiliki potensi, pengetahuan atau sumber material lainnya. Akan tetapi, orang atau komunitas tersebut tidak berdaya (powerless) karena belum atau tidak memiliki kemampuan untuk mengelola potensi, perasaan dan pengetahuan serta sumber material yang sebenarnya mungkin sudah ada. Namun demikian, pada dimensi lain, masyarakat seringkali mengalami ketidakberdayaan atas kekuatan-kekuatan yang justru berasal dari luar dirinya, seperti ketidakberdayaan untuk melakukan tawar-menawar. Pada umumnya masyarakat miskin tidak mempunyai daya berkaitan dengan kekuatan-kekuatan tersebut. Sebagai contoh dapat diilustrasikan, seorang nelayan yang karena ketidakberdayaannya, sehingga harus menerima saja atau pasrah terhadap harga ikan tangkapannya yang telah ditetapkan secara sepihak oleh juragan.

(5)

Berbeda halnya dengan ilmuan lainnya yang meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap dirinya sebagai mahluk yang lemah dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut hal ini sebagai istilah alinasi, sementara Seligman menyebutnya sebagai ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) dan Learner menyebut dengan istilah ketidakberdayaan surplus (surplus powerlessness). Lebih lanjut Learner secara khusus menganalisa bahwa eksistensi powerlessness merupakan sebuah proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian kemungkinan -kemungkinan yang sebenarnya ada (Hikmat, 2001).

Pernyataan tersebut penting untuk dikaji karena ketidak berdayaan sekelompok masyarakat atau individu merupakan suatu hal yang bersifat gejala internal dalam setiap individu. Artinya bahwa ketidakberdayaan itu bersumber dari faktor individu yang oleh karenanya perlu dilakukan pemunculan kesadaran (awareness raising) oleh orang lain. Hal tersebut juga mengisyaratkan bahwa sebenarnya setiap orang memiliki daya (power) yang apabila diberdayakan, maka orang akan dapat mengaktualisasikan dirinya.

Kalaupun analisa-analisa di atas menandakan faktor-faktor internal menyebabkan ketidakberdayaan, Wirutomo (2001) justru meyakini bahwa ketidakberdayaan merupakan akumulasi dari faktor internal dan eksternal. Ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif (negative selfvaluation):interaksi negatif dengan lingkungan (negative interaction with environment) atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar (large environment).

Dari pemikiran-pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa secara teoritis

ketidakberdayaan merupakan sebuah kondisi yang kompleks. Oleh karenanya suatu kebijakan dan program pemberdayaan setidaknya harus didasarkan pemahaman dari ketidakberdayaan itu sendiri. Dengan demikian program pemberdayaan masyarakat akan dapat dilakukan secara komprehensif.

Kondisi ketidakberdayaan sangat terkait dengan fenomena kemiskinan. Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan Chamber (1983), dikutip Moeljarto (1994) memahami hakekat kemiskinan dari sudut pandang orang miskin itu sendiri. Chamber menyampaikan konsep mengenai perangkap depriviasi (concept of deprivation trap) yang menganalisa penyebab kemiskinan sebagai kompleksitas serta hubungan sebab akibat yang saling terkait dari ketidakberdayaan (powerlessness), kerentanan /kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik

(physical weakness), kemiskinan itu sendiri (poverty) dan keterasingan (isolation). Sementara itu, kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang yang memiliki standar hidup yang rendah sehingga tidak terpenuhi hak-hak dasarnya. (Mussadun, 2016)

Selanjutnya pemahaman yang komprehensif mengenai substansi kemiskinan tidak akan dapat dicapai apabila tidak disertai

kajian mengenai profil kemiskinan itu sendiri.

Penulis beranggapan, bahwa kajian mengenai

profil kemiskinan (poverty, profile) ini penting dilakukan karena kompleksitas kemiskinan itu sendiri. Dengan kajian ini diharapkan dapat diketahui bahwa kemiskinan bukan merupakan fenomena tunggal.

Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa untuk memahami fenomena kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, oleh karena kemiskinan itu sendiri merupakan gejala multidimensional. Oleh karenanya dimensi-dimensi pembahasan mengenai fenomena kemiskinan juga harus sedapat mungkin dipandang ke dalam berbagai sudut pandang. Hal ini penting mengingat berbagai kebijakan, program maupun upaya-upaya pengentasan

(6)

kemiskinan terpaksa harus mengalami kegagalan hanya karena salah dalam memahami dan memetakan sebuah permasalahan kemiskinan. Pemberdayaan Berbasis Lokalitas Sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan

Pemberdayaan berbasis lokalitas sebagai strategi pengentasan kemiskinan secara teoretik mengulas tiga konsep dasar yang mencakup pemberdayaan, konteks lokalitas dan strategi pengentasan kemiskinan.

- Pemberdayaan

Istilah “Pemberdayaan’ diadaptasi dari kata empowerment, secara etimologi, berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, Sulistiyani (2004:77) mengatakan bahwa, pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/ kemampuan, dan atau proses pemberian daya kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.

Kekuatan merupakan bentuk awal dari suatu sikap mampu atau kemampuan untuk membangun. Terutama upaya menanamkan kekuatan kepada pihak yang dianggap lemah (Jamasy (2004:4). Proses pembangunan membutuhkan partisipasi dari semua komponen masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Hikmat (2001:2), menyatakan bahwa bentuk kekuatan dalam masyarakat terdapat pada anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut tujuan kolektif.

Konsep pemberdayaan dengan demikian tidak hanya secara individual akan tetapi juga secara kolektif. Pemberdayaan sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi manusia yang adil den beradab, yang terwujud dalam kehidupan; politik, ekonomi, hukum, pendidikan. Oleh Jamasy (2004), dinyatakan sebagai upaya terpadu untuk menanamkan kekuatan tambahan (kemampuan lebih) kepada

masyarakat miskin, baik pemberdayaan pada

aspek sosial-ekonomi, aspek material dan fisik,

aspek intelektual sumber daya manusia, dan sampai pada aspek pengelolaannya.

Pemberdayaan adalah upaya memberdayakan klien dan keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Pemberdayaan adalah bagaimanaindividu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka sendiri (Adi 2003:54).Dalam pemberdayaan manusia tidak bisa disulap dengan ukuran kecepatan waktu dan tempat, melainkan harus dengan proses yang berkesinambungan dalam bentuk peningkatan kualitas partisipasi aktif dan semua unsur stakeholder (Jamasy, 2004:4).Terdapat tiga macam modal dasar dalam pemberdayaan, yaitu

modal fisik sumber daya alam (SDA), modal

manusia (SDM) dan modal sosial.

- Konteks Lokalitas dalam Pemberdayaan Konsep lokalitas memiliki makna

signifikan dalam konteks pemberdayaan karena

substansinya merujuk pada suatu wilayah dengan potensi yang dimilikinya, Sunartiningsih (2004:91), menyatakan bahwa banyak kekayaan lokal yang terdapat di dalam masyarakat, karena setiap komunitas masyarakat pasti memiliki pengetahuan lokal (local knowledge), dan kearifan lokal (local wisdom) dalam menjamin kepastian hidup mereka. Pearse dan Stiefel dalam Pranarka (1996:63) menyatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan, dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif.

Jamasy (2004:38), menyatakan bahwa, pendekatan pemberdayaan lebih menekankan pada upaya menumbuhkembangkan kerjasama dan keterpaduan antara unsur stakeholder, menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat yang menjadi kelompok sasaran serta menumbuhkembangkan potensi lokal.

(7)

Pengembangan potensi lokal merupakan upaya dalam melepas ketergantungan kepada pihak luar. Sementara pihak luar memahami bahwa yang akan memanfaatkan dan melanjutkan program adalah masyarakat lokal, sehingga apabila sumber dan potensi lokal dapat termanfaatkan maka proses kemandirian akan lebih mudah dicapai. Dengan demikian potensi lokal akan menjadi perangsang menuju masyarakat yang berkembang dan mandiri. Jamasy (2004:136) menegaskan bahwa pengembangan potensi lokal bersifat internal dan dilakukan dengan menyesuaikan sifat dasarnya yang dilaksanakan secara gradual, konsisten dan terus menerus.

Pembangunan lokal sebagai sebuah konsep dan strategi meliputi tiga unsur pokok, yakni kekuatan sosial, (social power) yang dititikberatkan pada pembukaan akses informasi, pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skill), akses terhadap sumber keuangan. Kekuatan politik (political power), yang ditekankan pada kepemilikan akses individu terhadap proses pengambilan keputusan, khususnya yang berdampak langsung terhadap masa depan masyarakat. Kekuatan psikologis (psychological power), berupa potensi setiap individu komunitas, dimana hal ini sering diukur dari munculnya sikap percaya diri (self-confident behaviour).

Pemberdayaan masyarakat lokal dapat dilakukan dengan pemanfaatan seluruh sumber daya lokal. Namun dalam pelaksanaannya dapat dilakukan pemilihan terhadap sumber yang paling potensial untuk dikembangkan sebagai usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Potensi sumber lokal menurut Soetomo dalam Sunartiningsih (2004:54), memiliki kelebihan sebagai berikut (1) potensi itu secara riil ada di daerah yang bersangkutan, baik merupakan potensi yang sudah diolah maupunyang masih mungkin dikembangkan; (2) mempunyai peluang untuk melibatkan jumlah yang cukup besar dari anggota masyarakat; (3) tidak hanya memberi manfaat saat ini tapi juga dalam jangka panjang; (4) diutamakan pada sektor yang memiliki mata rantai cukup luas; (5) lebih diprioritaskan pada potensi

yang pendayagunaannya tidak membutuhkan persyaratan di luar jangkauan masyarakat.

Pendekatan lokalitas dalam pemberdayaan tidak dapat dilakukan secara seragam, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat setempat. Pembangunan yang dilakukan didasarkan pada aspirasi masyarakat, menurut Korten (1987), sebaiknya diperhatikan perbedaan lingkungan alam dan lingkungan sosial (local variety), perbedaan keberadaan sumber-sumber pembangunan yang dapat dimanfaatkan (local resources) dan perlunya diberikan tanggung jawab kepada masyarakat setempat dalam memobilisasi, mengontrol dan mengelola pelaksanaannya (local

accountability). Pembangunan yang disesuaikan atau divariasikan dengan kebutuhan masyarakat lokal menurut Sunartiningsih (2004:57), merupakan strategi yang bersifat adaptif,

fleksibel dan melalui proses belajar.

Pada konteks pemberdayaan komunitas nelayan berbasis lokalitas, hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith, dalam Sunartiningsih (2004:69),menyarankan bahwa program yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan, yaitu: (1) perbaikan kapal dan alat penangkapannya; (2) subsidi masukan-masukan; (3) perbaikan pemasaran dan pasca panen; (4) pembentukan koperasi dan organisasi lainnya; (5) pengembangan sumber-sumber alternatif atau tambahan. Empat alternatif yang disebut pertama sebagai upaya

meningkatkan produktifitas, meningkatkan

harga yang diterima nelayan dan menekan harga yang harus ditanggung. Sementara altematif kelima merupakan upaya meningkatkan upah oportunitas bagi pekerjaan nelayan. Hikmat (2001), memberikan solusi bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas nelayan diperlukan program pemberdayaan yang mampu mendayagunakan sumber-sumber lokalitas. Substansi lokalitas dimaksud antara lain meliputi pengetahuan lokal, kearifan lokal dan teknologi lokal. Pengetahuan lokal dapat dipahami sebagai seperangkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang tinggal di suatu wilayah atau

(8)

teritorial tertentu, dengan dukungan teknologi tertentu sebagai sarana yang diciptakannya untuk digunakan sebagai penopang kehidupan sehari-hari. Pengetahuan lokal dapat dimaknai sama dengan kearifan lokal. Adimihardja (2000:4), memahaminya sebagai kekayaan intelektual masyarakat lokal yang terkandung di dalamnya tata nilai, etika, norma, aturan, dan ketrampilan. Sedangkan wujud penemuan dan kreativitas intelektual yang bersumber dari akal, perasaan dan pengalaman yang diperoleh baik oleh individu maupun masyarakat yang kemudian terakumulasi dan terpranatakan

menjadi sistem pengetahuan yang spesifik

sebagai bagian dari kebudayaan sering disebut sebagai teknologi lokal. Sejalan dengan itu, Purnamasari (2015:469) mengemukakan bahwa Kearifan lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa konteks lokalitas penting untuk diperhatikan dalam pemberdayaan komunitas nelayan. Terutama potensi lokalitas yang berkontribusi terhadap upaya peningkatan, pengolahan dan pengelolaan modal sosial, modal budaya dan kelembagaan, demi terwujudnya kualitas hidup komunitas nelayan.

METODE

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu Desa Pancana Kabupaten Barru. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas

pertimbangan bahwa secara geografis memiliki

jendela laut yang panjang dan luas serta memiliki penduduk yang bekerja di sektor kemaritiman dengan jumlah yang cukup besar dengan kondisi sosial ekonomi lemah.

Studi ini bersifat kualitatif yang mengandalkan pengamatan dan wawancara mendalam sebagai strategi memperoleh data, sasaran penelitian adalah sejumlah informan yang ditetapkan secara sengaja (purpossive) dengan kriteria; penduduk asli, menjadi

nelayan dalam kurung waktu yang cukup lama, memiliki wawasan tentang dunia kenelayan dan memahami secara baik hal-hal yang berkaitan dengan dimensi sosial budaya dalam kehidupan mereka. Untuk mengumpulkan data digunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview), pengamatan berpartisipasi / terlibat (fullobservation participation), dan diskusi kelompok terfokus focus group discussion, serta studi dokumen yang tersedia di berbagai lembaga terkait.

Penelitian ini menggunakan pendekatan emik (emic approach) yang merupakan derivasi dari paradigma penelitian fenomenologi, naturalisme yang berusaha mengungkap fenomena berdasarkan apa yang diketahui, dipercayai, dirasakan dan dilakoni oleh anggota masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Data digambarkan melalui teknik deskripsi, baik dengan deskripsi interpretasi maupun deskripsi reproduksi.Analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis kualitatif dalam bentuk interpretasi dan deskripsi sehingga substansi terungkap secara benar.

PEMBAHASAN

Masyarakat Pancana Sebagai Sebuah Sistem “Pancana” adalah nama bagi sebuah masyarakat yang bermukim dikawasan pesisir, hingga saat ini tetap eksis dengan segala kondisi yang dimiliki, tumbuh dan berkembang mengikuti alur proses perubahan, baik dalam dimensi sosial budaya maupun teknologi dan infrastruktur. Kajian ini memahami masyarakat Pancana dengan menggunakan “Teori Fungsiona Struktural” atau yang sering dikenal dengan ‘Pendekatan Sistem’. Dengan demikian masyarakat Pancana dianalogikan sebagai sebuah organisme hidup, yang mengalami proses pertumbuhan yang melintas dalam perjalanan waktu yang sangat panjang. Lintasan perjalanan panjang tersebut menyebabkan struktur dan elemen berfungsi dalam masyarakat Pancana berkembang secara berkelanjutan untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat. Secara actual wujud perkembangan masyarakat

(9)

Pancana dapat dilihat dari pertambahan jumlah penduduk, adanya variasi lapangan kerja,

munculnya diversifikasi status dan peranan

yang menyebabkan bertambahnya elemen-elemen struktur yang berfungsi. Menjadi relevan memotret masyarakat Pancana dengan mengikuti Etzoni (1982) yang mengasosiasikan masyarakat dengan organismen hidup. Relevansinya dapat dilihat pada pernyataan yang mengatakan bahwa, komunitas/masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan. Oleh karena pertumbuhan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertumbuhan pula. Semakin besar struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. Tiap bagian yang tumbuh dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula. Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya juga perubahan di dalam sistem secara keseluruhan. Bagian-bagian tersebut walaupun saling berkaitan merupakan struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah.

Masyarakat Pancana sebagai sebuah sistem, terdiri atas elemen sistem sosial, sistem

budaya, elemen fisik biologis, dan lingkungan baik yang hayati maupun non hayati, membatasi serta menentukan sumberdaya lain dari sistem tersebut. Sinar matahari, suhu, air, lapisan tanah yang terdapat dalam ekosistem masyarakat

Pancana, merupakan determinan fisik yang

nyata dari jenis tumbuhan, binatang, energi yang secara bersama-sama menentukan dan membatasi bentuk dan karakter masyarakat

Pancana. Demikian pula tatanan fisik dan biotik

menentukan jenis kegiatan produksi penduduk

masyarakat. Oleh karena secara fisik masyarakat

Pancana berada pada lingkungan wilayah pesisir maka saat ini kurang lebih 80 % penduduknya bekerja di sektor kenelayanan.

Berkenaan dengan pelapisan sosial, masyarakat Pancana mengenal tiga strata dalam struktur masyarakat yakni kalangan bangsawan (arung) dalam hal ini dikenal dengan gelar “arung pancana” yang menduduki strata tertinggi dan mengendalikan sistem pemerintahan terutama pada waktu sistem kerajaan masih berlaku, selanjutnya kalangan orang biasa (tau sama) yang merupakan orang kebanyakan dengan jumlah terbesar dalam struktur penduduk masyarakat Pancana, selebihnya dikenal kalangan budak (ata) sebagai golongan terendah dalam pelapisan

masyarakat. Klasifikasi ini didasarkan pada

adanya penonjolan parameter model pelapisan sosial, sifat lapisan, kemampuan kohesi antar strata (Misra dalam Sulistiyani, 2004)

Masyarakat Pancana Sebagai Nelayan

Dilihat dari pekerjaan utama yang digeluti oleh sebagian besar (kurang lebih (80 %) penduduk Desa Pancana berkaitan dengan pengelolaan dan pemaanfaatan lingkungan laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka predikat masyarakat Pancana sebagai nelayan sangat tepat. Nelayan merupakan orang atau kelompok masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dengan mayoritas mata pencaharian menangkap ikan.

Lembaga Statistik Perikanan Indonesia

mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. Dalam pengertian ini lebih ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan nelayan adalah mereka yang secara aktif menangkap ikan. Namun dalam prakteknya pada sebuah kapal nelayan yang cukup besar terdapat pembagian kelompok kerja. Mereka antara lain terbagi sebagai nahkoda kapal, juru masak, ahli mesin, serta awak kapal yang memancing dan menjaring ikan.

Komunitas/masyarakat nelayan mem-punyai ciri-ciri sendiri dan bertempat tinggal di tepi pantai, yang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian yang terpenting. Dengan Penekanan pada kata perikanan sebagai mata pencaharian, menjelaskan bahwa semua yang

(10)

terkait dengan penangkapan ikan baik pemilik kapal maupun awaknya dapat disebut sebagai nelayan.

Kondisi geografis wilayah perairan

Pancana yang cukup luas berakibat pada

keragaman sosial demografis masyarakatnya.

Hal tersebut tercermin dalam tata cara atau sistem sosial budaya lokal yang terbentuk dalam setiap kelompok pemukiman atau perkampungan nelayan di sepanjang pantai. Di Desa Pancana masih ditemukan sejumlah besar nelayan dengan sistem alat tangkap tradisional yang wilayah operasinya sekitar wilayah pesisir dengan hasil tangkap hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara itu di Pancana juga ditemukan beberapa keluarga nelayan menggunaakan kapal dengan teknologi penangkapan modern, dengan wilayah jelajah sampai pada daerah laut lepas. Hasil tangkapannya tergolong besar sehingga tidak mengherankan jika kondisi sosial ekonominya jauh lebih sejahtra dibanding dengan nelayan lainnya.

Berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan laut yang telah berlangsung dalam kurung waktu yang lama, dari satu generasi ke generasi berikutnya membentuk sistem pengetahuan masyarakat Pancana tentang berbagai seluk-beluk dunia kelautan dan bagaimana memanfaatkan lingkungan laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mendorong komunitas nelayan Pancana untuk beradaptasi dengan lingkungan dan akhirnya mampu menciptakan alat tangkap perikanan yang sesuai dengan karakteristik lokal.

Dari data yang diperoleh, masyarakat

nelayan Pancana dapat diklasifikasi berdasakan

berdasarkan teknologi yang digunakan, nelayan digolongkan menjadi nelayan tradisional dan nelayan modern. Penggolongan tersebut tidak saja terbatas pada penggunaan mesin

pada perahu1 namun juga dikaitkan dengan besar kecilnya kapal dan alat tangkap yang digunakan. Dengan peralatan tangkap yang modern akan meningkatkan kemampuan nelayan baik dari jangkauannya yang lebih luas dan kemampuan menangkap ikan yang lebih banyak serta kemampuan memperlakukan hasil tangkapannya dengan lebih baik pula. Sedangkan nelayan tradisional diindikasikan oleh adanya keterbatasan teknologi dan hanya menggunakan peralatan sederhana. Wilayah operasinya pun hanya terbatas di sekitar perairan pantai. Perahu dengan peralatan yang sederhana akan sangat tergantung pada musim, sehingga nelayan tradisional tidak dapat mencari ikan pada waktu-waktu tertentu seperti pada musim ombak besar. Disamping itu karena terbatasnya ukuran kapal serta peralatan yang sederhana, hasil tangkapannya juga tidak banyak, terkadang hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri. Kemampuan mengolah hasil tangkapan juga terbatas sehingga ikan hasil tangkapan harus cepat dijual atau dikonsumsi, karena tanpa perlakuan lebih lanjut (seperti pemberian es atau diletakkan di ruangan pendingin) ikan akan mudah rusak. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan harga ikan tangkapan menjadi rendah karena kemampuan tawarnya yang lemah.

Dari sudut ekonomi nelayan dapat digolongkan menjadi nelayan pemilik modal besar dan nelayan modal kecil. Para nelayan dengan modal besar lebih mudah dalam mengakses pinjaman di bank. Dengan kemampuan mengakses modal tersebut mereka mampu untuk membeli alat tangkap ikan yang 1 Perahu sebagai salah satu Teknologi yang digunakan nelayan, menurut Ditjen Perikanan di dalam Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2003 dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) perahu tanpa motor, dan (2) perahu motor. Perahu tanpa motor dibedakan menjadi dua, yaitu (a) jukung, dan (b) perahu papan, yang dibedakan lagi menjadi: kecil, sedang, dan besar. Perahu motor juga dibedakan menjadi dua,yaitu: (1) motor tempel, dan (2) kapal motor, yang dibedakan lagi dari ukurannya dengan sebutan Gross Tonage (GT) yakni: < 5 GT, 5-10 GT, 10-20 GT, 20-30 GT, 30-50 GT, 50-100 GT, 100-200

(11)

jauh lebih modern. Sedangkan nelayan bermodal kecil pada umumnya tidak mempunyai akses sumber pembiayaan untuk membeli alat tangkap ikan yang jauh lebih modern. Sehingga mereka tidak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan yang memiliki modal besar dan mengoperasikan alat tangkap ikan modern dengan sistem kerja yang modern pula.

Identifikasi dan Deskripsi Kelembagaan Ponggawa Sawi Nelayan Pancana

Sejumlah ahli dan praktisi pembangunan, memahami terminologi ‘kelembagaan’ secara bervariasi. Sebagian memberi makna sama dengan organisasi (organization) (Saenong, 2004; Wiresepta, 2004). Sementara sebagian lainnya menjelaskan konsep kelembagaan dengan mengkaitkan dengan potensi dan kondisi yang inheren dalam suatu komunitas yang harus dikelola dalam kerangka pembangunan (Kadir 2004).

Antara kelembagaan (intitutions) dan organisasi (organizations) adalah dua istilah yang tidak dibedakan secara eksplisit di dalam kajian ini, bahkan kedua istilah itu digunakan secara bergantian. Namun dalam konteks tertentu, istilah kelembagaan dipahami sebagai kompleks dari norma-norma dan perilaku yang muncul di setiap saat dengan maksud untuk menjaga nilai kebersamaan, sedangkan organisasi selalu dikaitkan dengan struktur yang dipahami dan peranan-peranan yang diterima.

Sementara, dalam studi-studi yang dilakukan oleh para ahli antropologi kelembagaan dimaknai sama dengan konsep pranata sosial (social intitution) yang berarti sistem nilai dan sistem norma yang menjadi acuan dan pengendali setiap individu dalam semua aktivitas untuk mencapai suatu tujuan khusus (Koentjaraningrat,1981; Naping, 2002). Pranata sosial dijelaskan dalam karya-karya antropologi merupakan bagian integral dari penjelasan kebudayaan secara umum (Kaplan, 1999; Keesing, 1981) yakni kebudayaan terdiri atas sistem kognisi yang merupakan pola bagi terbentuknya prilaku. Dalam konteks

ini bagaimana sistem pengetahuan (kognisi) masyarakat tentang kerjasama, saling percaya,

tolong menolong, menilai tinggi kolektifitas dan

kebersamaan, menjadi pola bagi penganutnya untuk mencapai tujuan tertentu, dan hasil studi yang telah dilakukan menemukan bahwa pengetahuan berkenaan dengan hal seperti tersebut di atas ada dalam kelembagaan masyarakat Pancana, hingga kelembagaan yang mereka miliki menjadi pengendali sekaligus arah yang ditempuh dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan laut.

Dalam menjalankan aktivitas kenelayanan, masyarakat Pancana mengembangkan seperangkat kelembagaan lokal yang dikenal dengan nama “punggawa sawi”. Struktur kelembagaan punggawa sawi terdiri atas punggawa darat, punggawa laut dan sawi yang masing-masing memiliki fungsi serta proses menjadi yang berbeda satu dengan lainnya.

Keanggotaan dalam organisasi Ponggawa-Sawi,pada umumnya berasal dari ikatan pemukiman yang sama atau dari unit tetangga yang berdekatan.Namun demikian,keanggotaan yang ideal adalah berasal dari lingkungan keluarga sendiri, sesuai dengan norma sosial,dari garis keturunan belinieal dan hubungan perkawinan,juga termasuk generasi sepupu dan kemanakan.Selain pertimbangan asal, rekruitmen keanggotaan juga memperhatikan

masalah moral dan kemampuan fisik, yakni kejujuran dan kesehatan fisik jasmani.

Pemimpin organisasi atau kelembagaan ponggawa sawi adalah seorang ponggawa darat,yang telah menyediakan modal kerja dan seperangkat teknologi (perahu layar /motor dan peralatan tangkap).Seorang Ponggawa darat,bukanlah orang luar biasa,melainkan dia adalah orang yang berhasil dan berpengalaman mengenai seluk beluk perikanan,sosok yang berhasil mengakumulasikan modal dan memiliki posisi sosial tertentu dalam lingkungan masyarakatnya.Ponggawa darat adalah seorang wiraswastawan yang biasanya berkembang mulai dari bawah,memulai usaha dari skala kecil sebagai pedagang perantara ataupun sebagai

(12)

ponggawa laut.Namun saat ini tampak terjadi perubahan dalam hal proses menjadi ponggawa darat yakni dari kalangan pegawai negeri yang tiba-tiba mempunyai modal atau pinjaman kredit dari Bank, sehingga ia dapat menyediakan modal kerja dan teknologi serta menghimpun Sawi untuk bekerja padanya.Para sawi tertarik padanya,bukanlah karena sifat-sifat baik yang melekat padanya melainkan ia menggunakan wibawa jabatannya dalam birokrasi. Demikian pula ada orang menjadi ponggawa darat karena mempunyai hubungan dengan pengusaha non pribumi (pedagang Cina) sebagai pemberi modal dan fasilitas lainnya.

Orang kedua dalam organisasi produksi adalah Ponggawa laut. Pengangkatan untuk jadi ponggawa laut, karena 2 (dua) sebab,yaitu; sawi yang dipercaya oleh ponggawa darat karena kejujurannya, keterampilannya dan pengalamannya tentang seluk beluk kemaritiman dan masalah perikanan. Sawi yang diangkat bisa saja berasal dari kalangan sawi yang sudah lama bekerja dibawah asuhan ponggawa darat atau berasal dari ponggawa darat lainnya. Faktor kejujuran dan kemahiran dilaut menjadi pertimbangan utama bagi pengangkatan tersebut. Dapat pula dari orang yang berpengalaman dari kalangan nelayan mandiri yang sudah mempunyai perahu,sedang ia ingin menambah,merubah atau membeli peralatan baru guna mengganti yang sudah rusak/hilang, biasanya datang pada ponggawa darat meminta modal kerja dan membuat perjanjian untuk menyerahkan produksinya. Selain itu, ponggawa laut yang pindah atau telah memutuskan hubungan dengan ponggawanya karena sesuatu sebab. Tugas ponggawa laut adalah; memimpin operasi produksi pada lokasi penangkapan, menyerahkan hasil tangkapan kepada ponggawa darat, memimpin aktivitas perbaikan dan pemeliharaan alat tangkap, bertanggung jawab terhadap keselamatan armada beserta hasil-hasil yang diperoleh, menjadi pelindung bagi sawi-sawinya,baik didarat,terutama dilaut.

Orang ketiga dalam organisasi produksi, adalah sawi yang diterima menjadi anggota

suatu armada produktif,ditentukan oleh ponggawa laut dan biasa pula oleh ponggawa darat. Para sawi ini diharapkan dari padanya,

keterampilan dan kemampuan fisiknya dalam

melaksanakan aktivitas penangkapan.Mereka tunduk atas perintah ponggawa laut dengan segala pesan-pesannya. Diperlukan dari mereka keuletan dan kerja sama,baik di darat maupun di laut.Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pada umumnya,pemilihan dan rekruitmen sawi diambil dari sanak saudara Ponggawa laut atau orang yang dipercaya dari lingkungan tetangga, dengan pertimbangan dapat membantu anggota keluarganya yang belum memperoleh kerja dan dapat mengurangi kemungkinan larinya sawi jika suatu saat mempunya utang yang relatif banyak pada tempat dimana bekerja.

Hubungan kerja antara ponggawa dengan

sawinya didalam suatu aktifitas penangkapan

pada hakekatnya bersifat temporer,karena sebenarnya sawi adalah orang bebas yang dapat menentukan dengan ponggawa siapa dia mau bergabung dalam suatu siklus penangkapan. Namun karena prinsip hutang budi dan kebaikan hati ponggawa menyebabkan seorang sawi cenderung menetap dalam satu ponggawa sehingga kelihatan lebih bersifat permanen.

Hubungan antara ponggawa dengan sawi diikat oleh suatu perjanjian tanpa tertulis yang disebut dengan perjanjian moral atau hutang budi, dimana seorang sawi siap mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk membantu dan membela ponggawa, sementara itu seorang ponggawa wajib membantu sawi dan keluarganya untuk memenuhi seluruh kebutuhannya dalam kondisi apapun.

Fungsi Kelembagaan Lokal Bagi Pengembangan Modal Sosial dan Etos Kerja

Sejumlah ahli melihat keterkaitan yang sangat erat antara kelembagaan lokal dengan modal sosial. Dikatakan bahwa salah satu inti dari kelembagaan lokal adalah kandungannya yang berupa modal sosial. Untuk memahami kelembagaan lokal sebaiknya dibarengi dengan pemahaman yang baik tentang modal sosial.

(13)

Sejumlah literatur dalam studi-studi ilmu sosial, dan ilmu ekonomi menjelaskan secara rinciinti dari modal sosial yang terdiri atas; saling percaya, dan jaringan kerjasama. Demikian halnya dengan kelembagaan, pada umumnya ditanggapi sebagai organisasi pelaku, atau komunitas yang menjadi wadah berlangsungnya aktivitas pembangunan (lihat Kadir, 2004). Di sisi lain, baik kelembagaan maupun modal sosial sesungguhnya dapat dipahami dengan baik jika menggunakan perspektif emik (kedalam) yang memungkinkan peneliti memahami substansinya seperti apa yang pelaku lakukan, rasakan dan pikirkan. Hanya dengan cara menihilkan prasangka dan manipulasi kondisi obyektif dari substansi kelembagaan dan modal sosial dapat diungkap.

Modal sosial dan etos kerja yang dimiliki oleh masyarakat Pancana antara lain dapat dilihat pada semangat dalam bekerja ditunjukkan oleh nelayan tangkap melalui peralihan alat produksi yang berarti pula peralihan bidang usaha. Bagi nelayan Pancana, kehilangan sumber daya utama, yakni ikan awu-awu tentu saja dapat membuat turunnya minat kerja – terlebih kondisi tersebut diakibatkan perubahan kondisi lingkungan alam yang berarti tidak mudah untuk ditanggulangi. Dengan etos kerja yang tinggi tanpa kenal menyerah, masyarakat Pancana mengembangkan suatu usaha baru yakni usaha penangkapan kepiting. Didukung oleh kelembagaan dengan sistem kerja yang baru, mereka mampu beradaptasi dengan pekerjaan baru setelah sebelumnya hanya bekerja sebagai nelayan tangkap dengan memasang jaring, kini mereka harus memilih lokasi yang tepat untuk menenggelam rakkang.

Modal sosial dalam bentuk kemampuan menjalin hubungan kerja dan membina saling percaya ditandai kemampuan nelayan Pancana menjalin kerjsama dengan mitra yang baru pengusaha kepiting, yang menerima hasil tangkapan dalam dua bentuk; mentah dan olahan. Yang dimaksud dengan penjualan mentah kepada punggawa yaitu hasil tangkapan yang diserahkan langsung kepada pengumpul, sedangkan haril

tangkapan olahan yaitu telah mengalami proses pemasakan terlebih dahulu. Proses pemasakan tersebut dilakukan oleh wanita – meski tidak

terdapat spesifikasi tentang hal tersebut – yang

tidak lain adalah anggota kelaurga dari nelayan tangkap yang bersangkutan. Anak (pria dan wanita), istri, atau keluarga ipar turut membantu untuk mengolah kepiting guna penjualan yang lebih.

Nelayan Pancana menyakini bahwa, hubungan antara nelayan dengan para pengusaha (pemilik usaha) atau punggawa, memerlukan kejujuran dan keluwesan yang tinggi. Bagi para punggawa, kesepakatan harga jual dan dalam bagi hasil perlu dijaga agar tidak tercipta saling iri yang dapat berakibat hilangnya saling percaya antara nelayan dengan punggawa yang mungkin berakibat pindahnya nelayan ke punggawa lain. Demikian pula para nelayan, diharuskan bersikap jujur agar dapat diterima oleh siapa pun. Sekali mereka berbuat kesalahan yang fatal dapat berakibat pengucilan dari dalam usaha perikanan.

Modal Budaya Nelayan Pancana

Modal budaya dalam kajian ini adalah potensi dalam bentuk sistem pengetahuan, kepercayaaan, keyakinan, sistem nilai dan norma, serta watak dan karakter yang dimikiliki oleh seseorang atau telah menjadi milik bersama sebagai satu kesatuan sosial dalam masyarakat Pancana. Wujud nyata modal budaya tersebut dapat dijumpai dalam diri individu dan anggota kelompok sosial dalam melakoni kehidupan mereka sehari-hari. Secara melembaga eksistensi modal budaya masyarakat Pancana dapat dilihat aktualisasinya dalam organisasi punggawa sawi.

Ponggawa pada umumnya memiliki budi pekerti luhur,jujur dan ulet serta ramah terhadap semua orang. Demikian pula tabiat punggawa tidak pernah diketahui melakukan perbuatan dusta,curang,pemabuk dan penjudi. Ia seorang yang berani mengambil keputusan dan menanggung resiko atas keputusannya. Punggawa mempunyai sifat-sifat pemimpin dengan tutur kata yang menarik dan berani

(14)

berkorban untuk orang lain,satunya kata dengan perbuatan,sehingga ia dapat memelihara kepercayaan orang padanya.Sifat yang terakhir ini adalah yang terpenting dari segala sifat yang harus dimilikinya,oleh karena sekali kepercayaan orang lain memudar,maka usaha dan organisasi bakal bubar,berarti Ponggawa darat akan kehilangan pekerjaan,semua orang akan mengucilkannya.Ia akan menjadi buah bibir dilingkungan masyarakatnya.Bukan saja dia,melainkan termasuk anggota keluarganya. Jika hilang kepercayaan orang padanya,maka ia harus memilih diantara dua alternatif,yakni memilih pindah ke tempat lain atau memulai kembali dari permulaan dengan merubah semua sifat-sifat yang lalu.

Mengenai keyakinan nelayan Pancana terhadap takdir atau nasib, dapat dihubungkan dengan adanya pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran usaha kepiting sebagai hasil dari rasa syukur kepada Tuhan, karena dengan berkurangnya tangkapan ikan awu-awu menyebabkan aktivitas kenelayanan di daerah menjadi lesuh dan tak bergairah, namun dengan munculnya penangkapan kepiting membuat masyarakat kembali bergairah, wujud dari rasa syukur ini diaktualisasikan melalui ritual syukur kande tasi’, suatu upacara melarung sejumlah jenis makanan yang dipersembahkan kepada penguasa laut. Melalui pelaksanaan ritual tersebut dapat disimpulkan bahwa nelayan di desa Pancana memiliki pandangan dan keyakinan terhadap rahmat Tuhan, dan pandangan seperti rezeki dari Tuhan, nasib dan takdir ditentukan oleh Tuhan. Pandangan-pandangan tersebut terpatri dalam giat mereka menggeluti usaha perikanan tangkap yang baru (usaha kepiting), dan berkaitan dengan hubungan kerja sama antara punggawa dan sawi yang selalu terjaga. Semangat kerja tersebut tidak hanya didorong pemenuhan kebutuhan keseharian tetapi juga untuk menepati kerja sama dengan punggawa.

PENUTUP

Potensi lokalitas masyarakat nelayan Pancana dalam kajian ini secara khusus terkait

dengan tiga dimensi utama yakni; modal budaya, modal sosial dan kelembagaan, ketiganya merupakan substansi yang terintegrasi membentuk dan menandai wajah kehidupan masyarakat nelayan Pancana hingga saat ini. Ketiga potensi tersebut dapat menjadi pilar kuat bagi usaha pemberdayaan masyarakat.

Simpul ruang untuk menjelajahi eksistensi ketiga potensi tersebut melalui kelembagaan ponggawa sawi, yang merupakan sebuah organisasi kerja yang melibatkan tiga unsure pokok yakni ponggawa darat, ponggawa laut dan sawi. Melalui mekanisme bekerja dan beropersinya organisasi kerja ini terdeteksi secara jelas wujud nyata modal budaya, modal sosial dan kelembagaan.

Modal budaya yang dimiliki oleh nelayan Pancana antara lain dapat dilihat pada karakter dan ciri ideal yang direfresentasikan oleh ponggawa, baik punggawa darat maupun ponggawa laut, terutama yang berkaitan dengan sistem penegtahuan yang luas berkenan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan laut, rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memperlakukan sawi-sawi mereka. Sedangkan modal sosial antara lain dapat dilihat pada kemampuan nelayan menjalin hubungan kerja dengan semua pihak yang terlibat dalam jaringan kerja kenelayanan. Sementara kapasitas kelembagaan nelayan Pancana dapat dapat ditelusuri melalui jalinan hubungan yang harmonis antara ponggawa dengan sawi, mereka bertindak atas dasar norma dan nilai yang telah disepakati bersama untuk menjamin keberhasilan

mencapai tujuan yang bersifat spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. & Hikmat H. 2000. Perticipatory Research Appraisal Dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung: INRIK-UNPAD.

Adi, R. Isbandi. 2003. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.

(15)

Chamber, Robert. 1983. Rural Development:

Putting the Last First. New York.

Craig G. Mayo. 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation

and Development. London: Zed Books. Darwis, 2015. Pengaruh Aset Penghidupan

Terhadap Kesuksesan Rumah Tangga Nelayan Keluar Dari Perangkap Kemiskinan. Disertasi. Universitas Andalas.

Etzoni, Amitai, 1982. Organisasi-Organisasi Modern. Universitas Indonesia (UI-Press). Haryani, Dedeh. (2012) Peran Pemerintah

Daerah (Pemda) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor. http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/ buku_ lintas_tim/buku-lintas-tim-7.pdf. Hasugian, Fordolin. 2000. Proses Pemberdayaan

Masyarakat oleh P3M Widuri (Suatu Tinjauan Deskriptif Terhadap Program pemberdayaan Masyarakat di Desa Karanggan, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Unpublished Thesis. Jakarta: FISIP-UI.

Hikmat, Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Bandung.

Jamasy, Owin. 2004. Keadilan Pemberdayaan & Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Belantika.

Kadir, Misriaty. 2004. P e n i n g k a t a n Kemampuan dan Penguatan Kelembagaan dalam Pembangunan Berbasis Masyarakat. Tesis. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Kaplan, David & Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Terjemahan; The Theory of Culture. Yokyakarta: Pustakan Press. Keesing, Roger M. 1981. Antropologi

Budaya Suatu Perspektif Kontemporer.

(terjemahan: Samuel Gunawan). Surabaya: Erlangga.

Koentjaraningrat.1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Korten, David. 1987. Community Management.

Kumaian Press Hartford. Connecticut.

Moeljarto, 1994. Kemiskinan, Hakekat, Ciri, Dimensi dan Kebijakan, Analisis CSIS. Mussadun, dkk. 2016. “Kajian Penyebab

Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kampung Tambak Lorok”. dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, vol 27 no 1 pp 49-67.

Naping, Hamka. 2002. Fungsi Kelembagaan Lokal Dalam Menunjang Pembangunan di

Daerah. Makassar: JICA –PSKMP Unhas.

____________. 2009 Model Pengembagan Kelembagaan Masyarakat Nelayan Di Propinsi Sulawesi Barat. Dilaksanakan atas kerjasama dengan Pemda Provinsi Sulawesi Barat.

____________. 2009 Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Lngkungan Laut Masyarakat Nelayan di Galesong Kab. Takalar. Kerjasama Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Wilayah Sulsel-Bar dan Tenggara.

____________. 2011. Perempuan Pesisir dan Rumput Laut (Studi Tentang Perubahan Peranan Perempuan Dalam Ekonomi Rumah Tangga Pada Masyarakat Biangkeke Kabupaten Bantaeng). Penelitian Mandiri.

Pranarka dan Moeljarto. 2001. Pemberdayaan, konsep, kebijakan dan implementasinya. Jakarta.

Pujayanti, Adirini, 2012. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. http://berkas.dpr.go.id/ pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-7.pdf.

Purnamasari, Wulan A. 2015. Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya Antar Negara. dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 45 No 4 pp: 468-487.

Rizal, A. 2004. Ragam Pemikiran: Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiositem. Bogor: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Luat.

(16)

Saenong, Zainuddin. 2004. Aspek Kelembagaan Dalam Pengembangan Masyarakat Pesisir, Studi Kasus di Gili Trawangan. dalam Majalah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kendari: Universitas Haluoleo, ISSN 0853-2257.

Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan

Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gaya Media.

Sunartiningsih, Agmnes. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.

Wirutomo, Paulus. 2001. Format Pemberdayaan Komunitas di DKI Jakarta. Bahan Kuliah MPS-IV/UI. Unpublished report.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Salah satu model pembelajaran yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang terencana yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah untuk membantu siswa

Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak. Stroke adalah suatu kondisi yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern dan prinsip pengelolaan keuangan daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kualitas laporan keuangan

Dalam sistem perekonomian Islam hal yang penting untuk dilakukan adalah mengurangi kesenjangan pendapatan dengan menjamin keadilan bagi setiap anggota masyarakat untuk berusaha,

saja mendorong orang tua menyekolahkan anak di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum dan kendala-kendala apa saja yang di hadapi orang tua dalam.. menyekolahkan anak di Pondok

Sebagaimana yang dinyatakan oleh (Hidayat, 2008) bahwa subprime mortgage ini terjadi karena dalam beberapa tahun terkahir cukup banyak kredit perumahan di Amerika

Secara teoritis penelitian ini adalah sebagai salah satu bentuk sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pendidikan khususnya dan diharapkan