• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Susu Bubuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Susu Bubuk"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Susu Bubuk

Salah satu metode untuk memperpanjang masa simpan susu adalah dengan mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun yang lalu dan berkembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting dalam pengawetan susu (Town 2005).

Susu bubuk merupakan sumber protein yang sangat baik dan penting, mudah disusun kembali/rekonstruksi menjadi susu cair serta dapat menjadi bahan-bahan unsur produk lainnya. Secara luas susu bubuk dapat digunakan untuk produksi roti, biskuit, kue-kue, kopi krimer, sop, keju, susu coklat, es krim, susu formula, nutrisi tambahan, rekombinan produk susu seperti susu pasteurisasi, susu evaporasi, susu kental manis, keju lunak dan keju keras, krem, whipping cream, yoghurt, dan produk fermentasi lainnya (Pearce 2006; Juergens et al. 2002).

Susu bubuk merupakan bentuk olahan dari susu segar yang dibuat dengan cara memanaskan susu pada suhu 80 °C selama 30 detik, kemudian dilakukan proses pengolahan dengan beberapa tahapan yaitu evaporasi, homogenisasi, dan pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan spray dryer atau roller dryer. Produk ini mengandung 2-4% air (Nasution 2009).

Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air melalui beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan air terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia, dan penampakan (appearance) susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997).

Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik dibandingkan dengan bentuk pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga menghemat transportasi dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town 2005).

(2)

Proses pengolahan susu menjadi bubuk mampu memperpanjang masa simpan susu hingga dua tahun dalam kemasan alumunium dan kotak karton. Namun tahapan proses yang cukup panjang dalam menghasilkan susu bubuk menjadikan kandungan nutrisi yang ada di dalam susu berkurang, bahkan protein mengalami kerusakan hingga 30%. Karena itulah pada proses pembuatan susu bubuk ditambahkan berbagai vitamin yang diharapkan dapat menggantikan kandungan yang hilang selama proses pengolahan agar kembali seperti semula, namun kondisinya tidak akan sama dengan susu segar. Proses ini bahkan dapat menimbulkan reaksi Maillard, yaitu terjadinya pigmen cokelat antara gula dan protein susu karena pemanasan yang lama menyebabkan protein semakin sulit untuk dicerna (Nasution 2009).

Susu bubuk dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu susu bubuk berlemak, susu bubuk rendah lemak dan susu bubuk tanpa lemak. Susu bubuk berlemak (full cream milk powder) adalah susu yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder) adalah susu yang telah diambil sebagian lemaknya dan diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk tanpa lemak (skim milk powder) adalah susu yang telah diambil lemaknya dan diubah menjadi bubuk (BSN 2000).

Gizi yang tersedia dalam susu bubuk berupa protein, glukosida, lipida, garam-garam mineral dan vitamin sangat cocok untuk pertumbuhan dan pertambahan jumlah sel tubuh anak-anak dan mamalia muda lainnya (Buckle et al. 1987). Komposisi kandungan gizi dari berbagai jenis susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk Jenis Susu Bubuk Air

(%) Protein (%) Lemak (%) Laktosa (%) Mineral (%) Susu Bubuk Full Cream 3.5 25.2 26.2 38.1 7.0

Susu Bubuk Skim 4.3 35.0 0.97 51.9 7.8

Susu Bubuk Krim 4.0 21.5 40.0 29.5 5

Susu Bubuk Whey 7.1 12.0 1.2 71.5 8.2

Susu bubuk Buttermilk 3.1 33.4 2.28 54.7 6.5 Sumber : Sudarwanto dan Lukman 1993.

(3)

Metode pengeringan yang dilakukan pada proses pembuatan susu bubuk dapat menggunakan spray dryer maupun drum dryer. Spray drying merupakan salah satu bentuk pengeringan yang sudah banyak diaplikasikan di industri pengolahan susu. Metode ini akan berpengaruh terhadap total bahan padat yang dihasilkan dari susu bubuk. Suhu pengeringan yang tinggi akan menghasilkan susu bubuk dengan kadar air rendah dan total bahan padat yang tinggi (Widodo 2003). Keuntungan dari susu bubuk dengan metode spray drying adalah lebih mudah dicerna dan lebih aman karena tidak menyebabkan alergi (Maree 2003).

Menurut Oliviera et al. (2000) proses pembuatan susu bubuk dengan menggunakan spray dryer melalui beberapa tahap yaitu :

a. Perlakuan pasteurisasi dengan suhu 90 ºC selama 8 detik atau 108 ºC selama 2 detik.

b. Penguapan air dengan perlakuan pemanasan akan menghasilkan 48% padatan.

c. Proses penyemprotan kering (spray drying), susu disemprot dengan udara kering melalui lubang pada suhu 270 ºC.

Susu bubuk yang dikeringkan dengan drum dryer butirannya berbentuk pipih dengan ketebalan 8-10 µ. Sifat kelarutan dalam air kurang sempurna, karena butiran-butiran lemak akan mengapung di atas. Susu bubuk yang dikeringkan dengan spray dryer terdiri atas partikel 10-15 µ. Sifat kelarutan dalam air sempurna, hampir sama dengan susu segar. Adanya udara diantara butiran-butiran tersebut dapat menyebabkan timbulnya oksidasi selama penyimpanan (Syarief dan Halid 1997).

Di Indonesia proses pembuatan susu bubuk oleh produsen pada umumnya mencampur susu bubuk yang diimpor dengan perasa atau pun tambahan bahan lainnya (Herdiana 2007).

Antibiotika dan Penggunaannya

Antbiotika merupakan suatu bahan atau zat yang diproduksi oleh bakteri atau cendawan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi terutama yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa ini mampu menghentikan proses pertumbuhan bakteri bahkan dapat membunuh bakteri yang secara umum dikenal sebagai efek bakteriostatik dan bakterisidal (Bezoen et al. 2000).

(4)

Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel (Bezoen et al. 2000). Secara umum antibiotika diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu broad spectrum dan narrow spectrum. Antibiotika yang bersifat broad spectrum secara umum mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies (cakupan yang luas) sedangkan antibiotika yang bersifat narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme spesifik (CDUFA 1999).

Secara umum penggunaan antibiotika di peternakan bertujuan untuk :

1. Pengobatan sehingga mengurangi risiko kematian dan mengembalikan kondisi hewan yang dapat berproduksi kembali (normal), juga mencegah tersebarnya mikroorganisme patogen ke hewan lainnya.

2. Memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat mempercepat pertumbuhan atau meningkatkan produk hewan serta mengurangi biaya pakan.

Diperkirakan 50% dari seluruh antimikrobial digunakan untuk keperluan pada bidang kedokteran hewan (Teuber 2001). Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara 80% dalam perunggasan, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan 75% antibiotika digunakan dalam peternakan sapi perah (Crawford dan Franco 1996).

Antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan biasanya ditambahkan untuk imbuhan pakan (feed additive) yang secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam amino (Yuningsih 2005).

Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan melalui berbagai cara yang berbeda, yaitu melalui mulut (peroral), intravena, intramuscular, subkutan, intrauterin, dan intra mamari. Semua cara tersebut dapat memacu terjadinya residu antibiotika dalam susu (Mitchell et al. 1995).

Menurut Nisha (2008) efek patologik yang disebabkan oleh antibiotika dalam makanan adalah transfer resistensi bakteri terhadap suatu antibiotika ke manusia, efek immunopatologi, autoimun, karsinogenik (sulfametazin,

(5)

oksitetrasiklin, furazolidon), mutagenik, nefropathy (gentamisin), hepatotoksisiti, kerusakan sistem reproduksi, toksisitas tulang belakang (kloramfenikol) dan alergi (penisillin).

Tetrasiklin

Antibiotika tetrasiklin yang pertama kali ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Oksitetrasiklin berasal dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin dapat dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, demikian pula dari spesies Streptomyces lainnya. Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom. Antibiotika ini masuk ke dalam ribosom bakteri Gram negatif melalui dua proses yaitu difusi pasif melalui kanal hidrofilik dan sistim transport aktif. Antibiotika akan berikatan dengan sub unit ribosom 30s, dan menghalangi masuknya tRNA asam amino pada lokasi asam amino (Kunardi dan Setiabudy 1995). Antibiotika berspektrum luas ini dapat menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri, protozoa, dan organisme intraseluler Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia (Spoo dan Riviera 1995).

Antibiotika golongan tetrasiklin yang berguna secara klinik adalah klortetrasiklin (aureomisin), demeklosiklin (deklomisin), doksisiklin (vibramisin), metasiklin (rondomisin), minosiklin (minosin), oksitetrasiklin (terramisin), dan tetrasiklin (akhromisin) (Schullman 1994).

Menurut Kunardi dan Setiabudy (1995) berdasarkan sifat farmakokinetik antibiotika golongan tetrasiklin dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Tetrasiklin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin, mempunyai absorbsi tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam,

b. Dimetilklortetrasiklin, mempunyai absorbsi lebih baik dan masa paruh kira-kira 16 jam,

c. Doksisiklin dan minosiklin mempunyai absorbsi yang sangat baik dan masa paruh 17-20 jam.

Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air tetapi bentuk garam natrium dan HCl-nya mudah larut. Tetrasiklin HCl pada keadaan kering dalam bentuk basa dan garam bersifat stabil, sedangkan dalam bentuk larutan, tetrasiklin

(6)

cepat berkurang potensinya (Kunardi dan Setiabudy 1995). Struktur kimia antibiotika golongan tetrasiklin ditampilkan dalam Gambar 1.

N H 2 O H O O O OH OH OH OH H C H 3 Cl N C H 3 CH3 H N H 2 O H O O OH O OH OH OH H N C H 3 CH3 OH H C H 3 N C H 3 CH3 N H 2 O H O O OH O OH OH H OH H C H 3 Tetrasiklin Klortetrasiklin Oksitetrasiklin

Gambar 1. Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya.

Tetrasiklin di saluran pencernaan diabsorbsi sekitar 30-80%, terikat kuat pada gigi dan struktur tulang (Kunardi dan Setiabudy 1995). Ikatan antara tetrasiklin dengan kalsium tersebut menyebabkan hambatan perkembangan gigi, hipoplasia desiduata, dan gigi permanen. Penggunaan 5-20 parts per million (ppm) tetrasiklin dalam pakan hewan dapat memacu resistensi Enterobacteriaceae (Booth 1988). Tetrasiklin didistribusikan ke seluruh tubuh, kecuali pada jaringan lemak. Afinitas yang besar terjadi pada jaringan dengan kecepatan metabolisme dan pertumbuhan yang cepat, misalnya hati, tulang, gigi, dan jaringan neoplasma (Wattimena et al. 1991).

Golongan tetrasiklin diabsorbsi dari dalam darah oleh hati sehingga konsentrasi tertinggi dijumpai dalam parenkim hati dan empedu. Konsentrasi yang tinggi ditemukan dalam empedu, yang dapat mencapai 30 kali konsentrasi dalam darah (Wattimena et al. 1991). Golongan tetrasiklin cepat diserap oleh lambung dan usus halus bagian atas bila dilakukan pemberian secara oral. Sebagian obat yang masuk diabsorbsi oleh usus, diekskresikan ke dalam empedu, dan diabsorbsi

(7)

kembali oleh usus halus. Waktu paruh oksitetrasiklin adalah 8-12 jam (Jones et al. 1977).

Semua golongan tetrasiklin mengalami sirkulasi enterohepatik yang memungkinkan tetrasiklin masih berada di dalam sirkulasi darah untuk waktu yang lama setelah terapi dihentikan (Sande dan Mandell 1985). Hal ini disebabkan sirkulasi enterohepatik membatasi sekresi obat oleh empedu dan mempertahankan konsentrasi terapeutik untuk jangka waktu tertentu. Golongan tetrasiklin terdistribusi secara luas dalam tubuh. Konsentrasi tertinggi dijumpai dalam ginjal, hati, limpa, dan paru-paru (Jones et al. 1977).

Berdasarkan laporan hasil survei dari bulan April 1995 sampai Maret 2000 di Jepang bahwa antibiotika golongan tetrasiklin merupakan antibiotika yang paling banyak pemakaiannya, sebanyak 292 sampel organ ginjal sapi dan babi yang berasal dari rumah potong hewan, menunjukkan bahwa 106 sampel mengandung antibiotika tetrasiklin dan 41 sampel mengandung sulfa, termasuk klortetrasiklin 59 sampel, oksitetrasiklin 7 sampel, sulfamonometoksin 35 sampel, sulfadimetoksin 2 sampel, sulfametoksazol 2 sampel, dan mengandung golongan sulfa lainnya dalam jumlah kecil (Oka et al. 1995).

Batas Residu Tertasiklin

Codex Alimentarius Commission (CAC 2011) menetapkan acceptable daily intake (ADI) tetrasiklin pada pangan segar asal sapi adalah 0-30 µg/kg berat badan, serta maximum residue limit (MRL) atau batas maksimal residu (BMR). Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga menetapkan BMR tetrasiklin sebagaimana yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000. Batas maksimum residu antibiotika tetrasiklin pada beberapa pangan asal hewan menurut CAC dan BSN disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan

Pangan asal hewan CAC (µg/kg) BSN (µg/kg)

Susu 100 50 Daging 200 100 Hati 600 - Ginjal 1200 - Telur - 50 Sumber : BSN 2000; CAC 2011

Gambar

Tabel 1  Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk
Gambar 1. Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya.
Tabel 2  Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan

Referensi

Dokumen terkait

Sasaran penelitian ini adalah mengetahui rendemen n kebutuhan energi guna mengolah susu cair menjadi susu bubuk, mengetahui aliran energi pada pengolahan tersebut,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan whey bubuk sebagai pengganti susu skim bubuk dalam pengolahan soft frozen es krim memberikan perbedaan pengaruh yang

Jumlah koliform dalam susu segar yang diperbolehkan menurut BSN (2000) tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan

Susu cair segar UHT dibuat dari susu cair segar yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat untuk membunuh

Kegiatan mengembangkan usaha pengolahan susu segar menjadi produk olahan susu yang memiliki nilai ekonomis tinggi di desa Badransari kelurahan Kembangsari kecamatan

Susu steril adalah produk susu cair yang diperoleh dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi yang dipanaskan pada suhu tidak kurang dari 100 0 C selama

mengkonsumsi susu dalam bentuk segar maupun olahan. Pemerintah telah menetapkan suatu standar mutu dalam bentuk SNI untuk susu dan produk olahannya. Hal ini dalam rangka

Susu skim bubuk sebagai bahan dasar pembuatan susu olahan baik susu olahan bentuk tepung maupun susu kental manis berasal dari tepung susu impor yang telah diambil zat gizinya