• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel dalam buku Arsitektur dan Kota Tropis Dunia Ketiga: Suatu Bahasan tentang Indonesia, PT Raja Grafindo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Artikel dalam buku Arsitektur dan Kota Tropis Dunia Ketiga: Suatu Bahasan tentang Indonesia, PT Raja Grafindo"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KENYAMANAN TERMAL DALAM ARSITEKTUR TROPIS

Tri Harso Karyono

Artikel dalam buku Arsitektur dan Kota Tropis Dunia Ketiga: Suatu Bahasan tentang Indonesia, PT Raja Grafindo

P

engertian arsitektur tropis (lembab) pada umumnya mengarah pada dominasi bentuk atap yang lebar yang berfungsi sebagai penahan cucuran hujan dan radiasi langsung sinar matahari, di manan keduanya dianggap sebagai faktor-faktor dominan iklim tropis lembab. Pemikiran semacam ini tidaklah terlalu keliru meskipun belum cukup memberikan pengertian menyeluruh tentang arsitektur tropis.

Arsitektur tropis harus diartikan sebagai rancangan spesifik suatu karya arsitektur yang mengarah pada pemecahan problematik iklim tropis. Iklim tropis sendiri dicirikan oleh berbagai karakteristik, misalnya kelembaban udara yang tinggi, dapat mencapai angaka di atas 90%, suhu udara relatif tinggi, antara 15 hingga 35oC, radiasi matahari yang menyengat dan mengganggu, serta curah hujan tinggi yang dapat mencapai angka di atas 3000 mm/tahun. Faktor-faktor iklim tersebut berpengaruh sangat besar terhadap aspek kenyamanan fisik manusia terutama aspek kenyamanan termal (termis).

Gambar 13.1. Pasar Kranggan, Jogja: Kenyamanan termal dicapai dengan cara alamiah tanpa menggunakan peralatan mekanis, tanpa memerlukan energi

(2)

Produktifitas manusia cenderung menurun atau rendah pada kondisi udara yang tidak nyaman seperti halnya terlalu dingin atau terlalu panas. Penelitian Idealistina [2] memperlihatkan fenomena semacam itu, bahwa produktifitas manusia meningkat pada kondisi suhu (termal) yang nyaman.

Arsitektur tropis diharapkan mampu menjawab seluruh persoalan iklim tersebut dengan bentuk rancangan yang hampir tanpa batas. Bukan sebatas pada penyelesaian atap yang lebar saja. Aspek kenyamanan visual (pencahayaan) serta kenyamanan termal (termis) merupakan dua hal dominan yang perlu dipecahkan agar penghuni bangunan tropis dapat mencapai kebutuhan kenyamanan secara fisik. Atap lebar memang diperlukan pada bangunan tropis berlantai rendah. Namun rancangan ini tidak merupakan jaminan bahwa penghuni akan mampu mencapai kenyamanan fisik secara visual dan termal sebagaimana diharapkan seperti di atas.

Tidak tersedianya bukaan-bukaan sebagai sarana ventilasi dalam bangunan secara memadai, mengakibatkan ruang dalam bangunan tropis terasa panas. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya radiasi dinding atau langit-langit, atau disebabkan oleh meningkatnya kelembaban dalam ruang tersebut akibat minimnya aliran udara. Banyak faktor lain yang dapat menghambat pencapaian kenyamanan fisik bagi pengguna bangunan yang pada umumnya disebabkan oleh rancangan arsitektur yang tidak tepat di mana kondisi iklim setempat (tropis) tidak diperhitungkan dalam proses perancangan.

Suhu Nyaman Manusia Tropis

Disadari atau tidak, aspek ‘kenyamanan termal’ sesungguhnya telah mendominasi kehidupan manusia dalam rangka berinteraksi dengan lingkungan fisiknya. Hampir pada setiap kesempatan manusia selalu membicarakan masalah sensasi termisnya terhadap udara di sekitarnya, seperti misalnya ‘terlalu panas’ atau ‘terlalu dingin’, atau mungkin sekadar mengatakan bahwa pada saat tertentu mereka merasa ‘kepanasan’, ‘kedinginan’, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kenyamanan termal sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia sehari-hari.

Dalam teori kenyamanan termal dinyatakan bahwa rasa panas atau dingin yang dirasakan oleh tubuh manusia sesungguhnya merupakan wujud respon dari sensor perasa yang terdapat pada kulit terhadap stimuli suhu yang ada di sekitarnya. Sensor perasa berperan menyampaikan informasi rangsangan rasa kepada otak di manan otak akan memberikan perintah kepada bagian-bagian tubuh tertentu agar melakukan antisipasi guna mempertahankan suhu tubuh agar tetap berada pada sekitar 37oC, di mana hal ini diperlukan agar organ dalam tubuh dapat menjalankan fungsinya secara baik.

Standar Internasional (ISO 7730:1994) menyatakan bahwa sensasi termis yang dialami manusia merupakan fungsi dari empat faktor iklim yakni, suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara, kecepatan angin, serta dua faktor individu yakni, tingkat aktifitas yang berkaitan dengan

(3)

laju metabolisme tubuh, serta jenis pakaian yang dikenakan. Standar ISO 7730 menyatakan bahwa kenyamanan termal tidak dipengaruhi secara nyata oleh hal-hal lain misalnya, perbedaan jenis kelamin, tingkat kegemukan, faktor usia, suku bangsa, adaptasi, tempat tinggal geografis, faktor kepadatan, warna, dan sebagainya.

Salah satu hal yang menonjol dari teori Fanger adalah dihasilkannya suatu rumusan bahwa ‘kenyamanan termal’ merupakan fungsi dari 4 (empat) faktor iklim (climatic factors) yakni: suhu udara (oC), suhu radiasi (oC), kelembaban udara (%) dan kecepatan angin (m/s), serta fungsi dari 2 (dua) faktor individu yakni: jenis aktifitas (yang dinyatakan dengan laju metabolisme tubuh, met) serta jenis pakaian (yang dinyatakan dalam unit clo) yang dikenakan oleh seseorang.

Sebagai indikator atau alat untuk memperkirakan apakah suatu kondisi dari sekelompok manusia yang melakukan aktifitas tertentu serta mengenakan pakaian tertentu dapat nyaman pada suatu ruang tertentu, Fanger memperkenalkan suatu formula, dalam bentuk persamaan matematik yang mengkaitkan antara Perkiraan Sensasi Termis Rata-Rata terhadap sekelompok manusia yang berada di suatu ruang yang sama, yang disebut dengan PMV (Predicted Mean Vote) dengan mengkaitkan keenam faktor kenyamanan termal tersebut.

Dari berbagai penelitian kenyamanan termal yang dilakukan di daerah iklim tropis lembab, seperti halnya Mom dan Wiesebron di Bandung, Webb, Ellis, de Dear di Singapore, Busch di Bangkok, Ballantyne di Port Moresby , kemudian Karyono di Jakarta, memperlihatkan rentang suhu antara 24 hingga 30oC yang dianggap nyaman bagi manusia yang berdiam pada daerah iklim tersebut.

Sumber: Tri H. Karyono Gambar 13.2. Siswa sekolah menengah di Kupang: Dengan suhu udara yang relatif tinggi, jenis pakaian akan menentukan tingkat kenyamanan termal manusia

(4)

Sementara itu di dalam buku Standar Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung yang diterbitkan oleh Yayasan LPMB – PU dinyatakan bahwa suhu nyaman untuk orang Indonesia adalah sebagai berikut:

- Sejuk nyaman antara 20,5 - 22,8 oC ET (suhu efektif) - Suhu nyaman optimal antara 22,8 -25,8 oC ET - Hangat nyaman antara 25,8 - 27,1 oC ET

Sedangkan hasil penelitian Karyono di Jakarta memperlihatkan angka suhu nyaman optimal atau suhu netral pada 25,3 oCTeq (suhu ekuivalen), di mana sekitar 95% responden

diperkirakan nyaman. Sedangkan rentang suhu nyaman, yakni antara ‘sejuk nyaman’ hingga ‘hangat nyaman’ adalah antara 23,6 hingga 27,0 oCT

eq. Seandainya digunakan parameter lain,

yakni suhu udara (Ta) sebagai unit skala, suhu nyaman optimal (netral) tersebut menjadi 26,7 oC T

a, sedangkan rentang antara ‘sejuk nyaman’ hingga ‘hangat nyaman’ adalah antara 25,1

hingga 28,3oC.

Angka suhu nyaman manusia tropis tersebut di atas ternyata memiliki perbedaan dengan penelitian dari wilayah iklim sub tropis. Suhu nyaman manusia tropis sesuai dengan teori Adaptasi (Humphreys) berada di atas rata-rata suhu nyaman mereka yang tinggal di daerah dingin.

Gambar 13.3. Penjual bunga Sirih dan buah Pinang di Kabupaten Kupang, NTT: Manusia mengenakan pakaian disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, dan ini merupakan salah satu bentuk adaptasi manusia terhadap kondisi lingkungan termal di mana mereka berada

(5)

Strategi Pencapaian Suhu Nyaman pada Arsitektur Tropis

Masalah yang harus dipecahkan di wilayah iklim tropis seperti Indonesia adalah bagaimana menciptakan suhu ruang agar berada di bawah 28,3oC, yakni batas atas untuk sensasi hangat nyaman, ketika suhu udara luar siang hari berkisar 32oC. Secara sederhan ada dua strategi pencapaian suhu nyaman di dalam bangunan, pertama, dengan pengkondisian udara mekanis, kedua, dengan perancangan pasif memanfatkan secara optimal ventilasi alamiah.

Penggunaan mesin pengkondisian udara mekanis, AC, memudahkan pencapaian suhu ruang di bawah 28,3oC, di mana kanyamanan akan dicapai. Penggunaan AC mengecilkan peran arsitek dalam perancangan, karena dengan rancangan apapun, ruang dapat dibuat nyaman dengan penempatan mesin AC. Modifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi nyaman dengan cara mekanis lebih merupakan tugas para engineer dibanding arsitek.

Pencapaian kenyamanan dengan mengoptimalkan pengkondisian udara secara alamiah merupakan tantangan bagi arsitek. Bagaimana arsitek melalui karya arsitektur mampu memodifikasi udara luar yang tidak nyaman, dengan suhu sekitar 32oC, menjadi nyaman dengan suhu di bawah 28,3oC.

Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan modifikasi iklim secara alamiah adalah sebagai berikut:

1. Penanaman pohon

Penanaman pohon lindung di sekitar bangunan sebagai upaya menghalangi radiasi matahari langsung pada material keras sperti halnya atap, dinding, halaman parkir atau halaman yang ditutup dengan material keras, seperti beton dan aspal, akan sangat membantu untuk menurunkan suhu lingkungan. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, di antaranya oleh Akbari dan Parker memperlihatkan bahwa penurunan suhu hingga 3oC bukan merupakan suatu hal mustahil dapat dicapai dengan cara penanaman pohon lindung di sekitar bangunan.

2. Pendinginan malam hari

Simulasi komputer terhadap efek pendinginan malam hari (night passive cooling) yang dilakukan oleh Cambridge Architectural research Limited memperlihatkan bahwa penurunan suhu hingga 3oC (pada siang hari) dapat dicapai pada bangunan yang menggunakan material dengan massa berat (beton, bata) apabila perbedaan suhu antara siang dan malam tidak kurang dari 8oC (perbedaan suhu siang dan malam di kota-kota di Indonesia umumnya berkisar sekitar 10 oC.

3. Meminimalkan perolehan panas (heat gain) dari radiasi matahari pada bangunan

Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, menghalangi radiasi matahari langsung pada dinding-dinding transparan yang dapat mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca, yang berarti akan menaikkan suhu dalam bangunan. Kedua, mengurangi transmisi panas dari dinding-dinding masif yang terkena radiasi matahari langsung, dengan melakukan penyelesaian rancangan tertentu, di antaranya:

(6)

a. membuat dinding lapis (berongga) yang diberi ventilasi pada rongganya.

b. menempatkan ruang - ruang service (tangga, toilet, pantry, gudang, dsb.) pada sisi-sisi jatuhnya radiasi matahari langsung (sisi timur dan barat)

c. memberi ventilasi pada ruang antara atap dan langit -langit (pada bangunan rendah) agar tidak terjadi akumulasi panas pada ruang tersebut. Seandainya tidak, panas yang terkumpul pada ruang ini akan ditransmisikan kebawah, ke dalam ruang di bawahnya. Ventilasi atap ini sangat berarti untuk pencapaian suhu ruang yang rendah.

4. Memaksimalkan pelepasan panas dalam bangunan.

Hal ini dapat dilakukan dengan pemecahan rancangan arsitektur yang memungkinkan terjadinya aliran udara silang secara maksimum di dalam bangunan. Alirang udara sangat berpengaruh dalam menciptakan ‘efek dingin’ pada tubuh manusia, sehingga sangat membantu pencapaian kenyamanan termal.

5. Rancangan Kota Tropis

Dengan karakter iklim yang berbeda, setiap tempat di dunia seharusnya memiliki rancangan kota yang berbeda disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kebutuhan manusia terhadap kenyamanan fisik, terutama kenyamanan termal. Suhu udara, radiasi matahari, serta kelembaban yang tinggi perlu di atasi karena tidak diharapkan bagi pencapaian kenyamanan termal manusia tropis.

Kota tropis memerlukan banyak ruang terbuka yang hijau untuk menurunkan suhu kota dan sekaligus meningkatkan aliran udara, di mana kecepatan angin di wilayah kota tropis lembab umumnya rendah. Bangunan perlu diletakkan sedemikian rupa antara yang satu dengan lainnya agar udara dapat bergerak di antara bangunan. Penempatan massa-massa bangunan secara rapat tidak mencirikan pemecahan problematik iklim tropis, karena pada akhirnya akan memperkecil terjadinya aliran udara secara silang di dalam bangunan.

Ruas-ruas jalan yang didominasi oleh perkerasan bahan aspal dan beton perlu dilindungi dari radiasi matahari langsung dengan penanaman pohon sepanjang tepi jalan yang dimungkinkan. Langkah ini dimaksudkan untuk mengurangi pemanasan udara di kawasan tersebut, yang akhirnya akan menaikkan suhu kota. Demikian pula halaman-halaman parkir perlu diberi perlindungan serupa. Jika peneduhan terhadap permukaan tanah yang diperkeras dapat diwujudkan, suhu kota tidak akan naik. Hal ini akan membantu pada penurunan suhu udara di sekitar bangunan yang secara langsung atau tidak langsung akan mempermudah pencapaian suhu nyaman di dalam bangunan.

Sumber Bacaan

Akbari, H. et al (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHRAE Transactions, pp. 1381 - 1388.

ANSI/ASHRAE 55-1992, ASHRAE Standard Thermal Environmenttal Conditions for Human Occupancy, American Society of Heating Refrigeration and Air Conditioning Engineer (ASHRAE), Atlanta, USA.

(7)

Baker, N.V. (1994), Energy and Environment in No-Domestic Buildings A Technical Design Guide, Cambridge Architectural Research Limited and The Martin Centre for Architectural and Urban Studies, University of Cambridge, United Kingdom.

Ballantyne, E.R., et al (1967), Environment Assessment of Acclimatized Caucasian Subjects at Port Moresby, Papua New Guinea, 3rd Australian Building Research Congress, no. 400, Sydney, Australia.

Ballantyne, E.R., et al (1979), A Survey of Thermal Sensation in Port Moresby, Papua New Guinea, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, no. 32, pp. 1-28, Melbourne, Australia.

Busch, J.F. (1990), Thermal Responses to the Thai Office Environment, ASHRAE Transactions, pp. 859-872, USA.

de Dear, R.J. and Auliciems, A. (1985), validation of the Predicted Mean Vote Model of Thermal Comfort in Six Australian Field Studies, ASHRAE Transactions, vol. 81, part 2B, pp.452-468, USA.

de Dear, R.J., et al (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics - Part I: Climate Chamber Experiments on Temperatures Preferences in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97, part 1, pp. 875-879, USA.

de Dear, R.J., et al (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics - Part II: Climate Chamber Experiments on Thermal Acceptability in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97, part 1, pp. 880-886, USA.

de Dear, R.J., et al (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics: Field Experiments in Air Conditioned and Naturally Ventilated Buildings in, International Journal of Biometeorology, vol. 34, pp. 259-265, UK.

Departemen Pekerjaan Umum (1993), Standar Tata Cara Perencanan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung, Yayasan LPMB, Bandung.

Ellis, F.P. (1952), Thermal Comfort in Warm Humid Atmosphere- Observation in A Warship in the Tropics, Journal of Hygiene, vol. 50, pp. 415-432, Cambridge, UK.

Ellis, F.P. (1953), Thermal Comfort in Warm Humid Atmosphere- Observation on Groups and Individuals in Singapore Warship in the Tropics, Journal of Hygiene, vol. 51, pp. 386-404, Cmbridge, UK.

Fanger, P.O. (1970), Thermal Comfort Analysis and Applications in Environmental Engineering, Danish Technical Press, Copenhagen, Denmark.

Humphreys, M . A . (1992), Thermal Comfort Requirements, Climate and Energy, The Second World Renewable Energy Congress, Reading, UK.

Humphreys, M.A. (1976), Field Studies of Thermal Comfort Compared and Applied, Building Service Engineering, vol. 44, pp. 6-23, UK.

Idealistina, F. (1991), Model Termoregulasi Tubuh untuk Penentuan Besaran Kesan Termal Terbaik dalam kaitannya dengan Kinerja Manusia, disertasi doktor, Institut Teknologi Bandung.

ISO 7730:1994 (E), Moderate Thermal Environments-Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort, 2nd edition, 1994, International Organization for Standardization, Geneva, Switzerland.

Karyono, T.H. (1996), Discrepancy between actual and predicted thermal votes of the Indonesian workers in Jakarta, Indonesia, International Journal of Ambient Energy, vol. 17, no.2, UK.

Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort and Energy Studies in Multi-Storey Office Buildings in Jakarta, Indonesia, thesis doktor, School of Architectural Studies, University of Sheffield, UK.

Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort in the Tropical South East Asia Region, Architectural Science Review, vol. 39, no. 3, pp. 135- 139, Sydney, Australia.

Karyono, T.H. (1997), Arsitektur Tropis dan Bangunan Hemat Energi, majalah KALANG, no1, vol.1, 1997.

Karyono, T.H. (1997), The Applicability of ISO 7730 and the Adaptive Model of Thermal Comfort in Jakarta, Indonesia, paper for the CLIMA 2000 Conference, Brussel, 30 August to 2 Sept., Belgium.

(8)

Karyono, T.H. (2001), Teori dan Acuan Kenyamanan Termis dalam Arsitektur, Penerbit Catur Libra Optima, Percetakan Olta Printings, Maret 2001, Jakarta

Nicol, F.J. (1993), Thermal Comfort A Handbook for Field Studies toward an Adaptive Model, University of East London, UK.

Oseland, N. A. (1990), A Comparison of the predicted and reported thermal sensation vote in homes during winter and summer, Energy and Buildings, vol. 21, pp. 45 - 54, USA.

Parker, J. (1981), Uses of Landscaping for Energy Conservation, Florida International University and the Governnor’s Energy Office of Florida.

Soegiyanto, R . M . (1981), Pengendalian Kondisi Lingkungan Thermis dan Penerangan Alami Siang Hari di Dalam Rumah Sederhana Type Perumnas di Daerah Jakarta dan Bandung, disertasi program doktor, ITB, Bandung.

Webb, C.G. (1952), On Some Observation of Indoor Climate in Malaya, Journal of the Institution of Heating and Ventilating Engineers, August, pp. 189-195, UK.

Wieseborn, J.A. (1940), Psychrometrischonderzoekaan gaande het behaaglijkbeids gebied in Nederlandsch-Indie, N.V. Drukkerij V/H, A.C. Nix & Co.

Gambar

Gambar  13.1. Pasar Kranggan, Jogja: Kenyamanan termal dicapai  dengan cara alamiah tanpa menggunakan peralatan mekanis, tanpa  memerlukan energi
Gambar  13.2. Siswa sekolah menengah di Kupang: Dengan suhu  udara yang relatif tinggi, jenis pakaian akan menentukan tingkat  kenyamanan termal manusia
Gambar  13.3. Penjual bunga Sirih dan buah Pinang di Kabupaten Kupang,  NTT: Manusia mengenakan pakaian disesuaikan dengan kondisi iklim  setempat, dan ini merupakan salah satu bentuk adaptasi manusia terhadap  kondisi lingkungan termal di mana mereka bera

Referensi

Dokumen terkait

Suatu sistem merupakan suatu cara tertentu untuk melaksanakan suatu atau sekelompok aktivitas. Sistem merupakan suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan

Roscoe Davis adalah “Sistem Informasi merupakan suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi,

Organisasi merupakan suatu bentuk kerja sama sekelompok manusia atau orang di bidang tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Etzioni.1969). Lebih lanjut Etzioni,

Metodologi yang digunakan dalam penulisan tesis adalah studi litratur, Model SDOF non-linier dari persamaan getaran akan digantikan dengan Model getaran SDOF linier

Dengan aturan yang ada di UEFA Champion League dan Liga Inggris serta asumsi di atas, pada penelitian ini akan dicari peluang suatu tim agar dapat memperoleh peringkat 1

Alat pendengaran (organ spirale) tersusun oleh reseptor-reseptor yang berhubungan dengan n.cochlearis, suatu bagian dari n.cranialis VIII; organ ini terdapat di dalam

Chelpira Intan Permatasari FHUI 2010/1006661512 Bila istri yang salah dan belum memiliki anak, maka istri kembali ke tempat asal dengan membawa hara halong ate (harta bawaan

Hasil analisis literatur terhadap kepuasan kerja cukup banyak dibahas dalam ruang lingkup human development, namun untuk yang berkaitan tentang kepuasan kerja pada petugas