• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan BAB I. 1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendahuluan BAB I. 1. Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Keinginan orang Papua Barat1 untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali diangkat setelah angin reformasi terjadi dalam Republik ini. Keinginan ini menjadi masalah yang serius bagi Pemerintah Indonesia karena mengancam keutuhan dan integrasi bangsa.

Ketika itu Presiden terpilih dimasa reformasi, Gus Dur mengeluarkan kebijakan dengan mengembalikan nama Irian kembali ke nama Papua. Sebuah nama yang mencirikan suku bangsa itu sendiri serta diijinkan berkibarnya bendera “Bintang Kejora” di Tanah Papua dalam rangka penyambutan atas pemberian atau pengembalian nama itu sebagai lambang/identitas bagi orang Papua Barat. Apa yang bagi Gus Dur, dalam hal ini Pemerintah Indonesia saat itu sebagai upaya untuk mengembalikan citra buruk Orde Baru dalam pembangunan di Kawasaan Timur Indonesia khususnya di Papua Barat ternyata direspon sebagai pemberian kemerdekaan. Respon yang lain ini sebenarnya mempunyai akar sejarah yang dapat dilihat kembali, baik itu Sejarah Pra-Integrasi maupun Sejarah selama Integrasi dengan NKRI. Kedua hal ini yang perlu diperhatikan sebelum mengklaim bahwa tuntutan rakyat Papua Barat untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu tindakan Makar. Tuntutan ini semakin nyata lagi dengan diadakannya Musyawarah Akbar Rakyat Papua II, dibawah Presedium Dewan Papua (PDP) yang diketuai oleh Theys H Eluay. Adapun hasil dari kongres tersebut adalah bahwa semua delegasi konggres, yang terdiri dari 15 ribu peserta yang mewakili 14 kabupaten, sepakat untuk Merdeka, Terpisah dari Indonesia.

Keputusan ini seolah menjadi kulminasi dari perjuangan rakyat Papua Barat. Tentu saja hasil kongres tersebut bukanlah sebuah keputusan final, melainkan masih merupakan sebuah Aspirasi. Walaupun hasil konggres mencerminkan suara mayoritas, namun disatu sisi ada minoritas yang Aspirasinya bukan merdeka tetapi Keadilan dan pemerataan2

1 Dibedakan Rakyat Papua; dengan warga pendatang dan per-anakan.

(2)

dalam segala bidang. Memang harus diakui bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru bagi orang Papua Barat pembangunan hanya sebagai “Slogan” belaka. Lain halnya dengan kelompok mayoritas yang memilih merdeka atau lepas dari NKRI. Kelompok ini melihat bahwa sejarah integrasi Papua Barat kedalam NKRI dinilai mengandung Politik Kepentingan, baik Pemerintah Indonesia, Kerajaan Belanda sebagai Kolonial, serta pengaruh Blok Barat dan Blok Timur yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet yang saat itu sedang dalam perang mengenai Idiologi yaitu Komunis dan Sosialis3.

Apa yang menjadi keinginan orang Papua Barat ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan; artinya sebegitu mudah dalam waktu yang singkat dan cepat, semua dapat diraihnya. Sejarah internasional telah mencatat bahwa secara de facto dan de yure, diakui dunia internasional dan disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 19 November 1969 melalui resolusi PBB Nomor 25044 bahwa dalam hasil Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera 1969) sebagian besar rakyat Papua Barat menginginkan bergabung dengan Republik Indonesia. Semua itu terlepas dari penilaian, apakah hal tersebut obyektif atau tidak, dalam pelaksanaan Pepera 1969. Oleh karena itu sampai sekarang orang Papua Barat melihat bahwa pelaksanaan Pepera 1969, yang dulu dianggap mewakili aspirasi seluruh orang Papua Barat dianggap cacat hukum, dalam arti bahwa keterlibatan orang Papua Barat dalam pelaksanaan penentuan pendapat untuk bersatu dengan Republik Indonesia dilaksanakan dengan paksaan, intimidasi, bahkan pembunuhan. Selain itu juga sistem pemilihan yang diwakilkan dianggap tidak mewakili aspirasi orang Papua Barat.

Disatu sisi kaum terpelajar Papua Barat dan Gerakan Papua Merdeka (OPM), melihat bahwa ada dua permasalahan yang sangat esensial mengenai kebijakkan PBB terhadap masalah Papua Barat. Pertama, bahwa resolusi PBB yang termuat dalam New York Agreement tentang pasal Act of free choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera 1969) yang semestinya dilaksanakan dengan sistem One Man One Vote yaitu Satu Orang Satu Suara, dan pelaksanaannya dalam pengawasan PBB sebagai pihak penengah tidak berjalan sesuai ketentuan perjanjian. Melainkan yang terjadi dalam pelaksanaan Pepera adalah dilakukan dalam bentuk Musyawarah Rakyat, dengan alasan bahwa keadaan

(3)

geografis Papua Barat tidak memungkinkan untuk melaksanakan sistem pemilihan ini5. Kedua, bahwa sejarah Perjanjian New York (1962) antara Belanda-Indonesia tidak mengikut sertakan rakyat Papua Barat6. Lalu Trikora pun hanya merupakan inisiatif Indonesia untuk merebut Papua Barat dari Belanda, dimana didalamnya Pemerintah Indonesia saat itu juga mempolitisir nama Irian dengan arti Ikut Republik Indonesia Anti Nederland untuk menanamkan Idiologi Nasionalis atau kebangsaan Indonesia, dan nama itu bukan dihargai sebagai identitas etnik Papua7.

Walaupun sudah diakui secara internasional sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia, namun tetap saja sejak integrasi sampai kini, ada perlawanan-perlawanan orang Papua Barat terhadap hasil ini. Perlawanan-perlawanan nampak misalnya dalam Gerakan Papua Merdeka yang dikenal dengan nama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Gerakan ini selalu mengadakan kekacauan-kekacauan di Papua Barat sebagai protes ketidakpuasan atas aneksasi Indonesia atas Papua Barat dalam Pepera 1969 serta melancarkan diplomasi keluar kepada negara-negara yang masih mendukung secara diam-diam dan juga orang-orang Papua Barat yang ada diluar negeri seperti Belanda, Swiss, Australia dan beberapa negara lainnya. Namun sejauh itu, berbagai simpati maupun dukungan terhadap OPM dari negara-negara tersebut tidak melahirkan dampak maupun implikasi politis yang merugikan Pemerintah NKRI. Dunia Internasional tetap berpegang teguh pada pasal-pasal perjanjian New York antara Indonesia-Belanda yang menjadi dasar hukum yang sah atas klaim negara dan bangsa Indonesia bahwa Papua Barat merupakan bagian integral dari wilayah dan kekuasaan NKRI.

Sisi lain Pemerintah Indonesia, Soekarno sebagai Presiden Indonesia dan kelompoknya saat itu melihat bahwa yang dimaksud dengan negara Indonesia adalah seluruh bekas jajahan Hindia Belanda, itu berarti pulau-pulau Sunda besar yaitu Jawa, Sumatera, Borneo, Celebes, pulau-pulau Sunda kecil yaitu Bali, Lombok, Pulau-pulau Nusa Tenggara (Barat dan Timur), serta Maluku dan Irian Barat (Red-Papua Barat). Selain itu ada ikatan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat yang didorong oleh suatu 4 Majalah TEMPO Interaktif 10 juni 2002, “Dari Trikora Hingga Pepera”

5 Tuhana Taufiq Andrianto, Mengapa Papua Bergolak? Hal. 171-172, Maret 2001. Gama Global

Media.Yogyakarta.

(4)

penderitaan yang sama yaitu pernah dialami pada masa lampau akibat kekejaman kolonial. Juga dalam seluruh pergerakan di Indonesia, Papua Barat (Digul) mencatat sejarah dan memberikan bunyi internasional sebagai tempat pembuangan para pejuang-pejuang Indonesia adalah puncak pengorbanan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, sehingga melepaskan Papua Barat berarti menyangkali perasaan senasib dan melanggar perasaan keadilan. Jauh sebelumnya juga rakyat Papua Barat dan Indonesia telah menjalin hubungan perdagangan melalui Kesultanan Tidore, bahkan dalam Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca telah disebutkan beberapa daerah Papua Barat termasuk dalam Kerajaan Majapahit8. Terlepas dari masalah perbedaan Etnografi dan Geografi, yang terpenting adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menuntut wilayah dari Sabang sampai Merauke. Jadi dengan sendirinya dimaksudkan bahwa Papua Barat termasuk kedalam Republik Indonesia.

Bertolak dari dua sudut pandang yang berbeda, telah melahirkan dua pemahaman yang berbeda pula. Disatu pihak Pemerintah Indonesia tetap melihat bahwa integrasi Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan perjuangan melalui proses yang sah, juga dibenarkan dalam Hukum Internasional dan disahkan dalam sebuah Resolusi Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta mendapat dukungan Internasional secara penuh. Sedangkan pada pihak lain yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kaum terpelajar yang menyuarakan merdeka atau terpisah dari NKRI melihat bahwa proses memperjuangkan Papua Barat untuk ber-integrasi dengan Indonesia dinilai tidak sah, karena cacat secara Hukum Internasional, dengan alasan karena pelaksanaan Act Free Of Choice yang menjadi salah satu isi dari The New York Agreement tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan perjanjian. Selain itu juga aneksasi Indonesia atas Papua Barat seperti yang telah disebut diatas mengandung unsur politik kepentingan, baik itu Indonesia9, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya dengan semangat idiologi sosialisnya dan incarannya terhadap negara-negara yang baru lepas dari kolonial10, serta kekecewaan terhadap PBB, yang seharusnya menjadi penengah, dengan mudah merubah kesepakatan perjanjian dari sistem pemilihan One Man One Vote (Satu Orang Satu Suara) 7 Ibid, hal. 156.

8 D.N. Pigay, hal 144, Cet. I. Jkt, 2000, Pustaka Sinar Harapan. 9 Ibid, hal. 146.

(5)

menjadi sistem pemilihan Musyawarah Rakyat dengan alasan bahwa kondisi geografis Papua Barat sulit untuk menerapkan sistem pemilihan tersebut.

Ketika runtuhnya pemerintahan Soeharto, dimana kebebasan mengeluarkan pendapat mendapat tempat secara benar dalam negara ini. Maka kembali lagi orang Papua Barat yaitu orang terpelajar dan mahasiswa secara terang-terangan menuntut kemerdekaan dengan dalil meminta sebuah Dialog Nasional. Sebuah dialog terbuka dengan Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan aspirasi orang Papua Barat, itu terjadi dalam pemerintahan transisi, Presiden B.J Habibie. Permintaan ini sempat ditanggapi namun tidak mempunyai kelanjutan. Ketika masa pemerintahan Gus Dur, kembali permintaan itu ditanggapi dengan diselenggarakan Konggres Rakyat Papua II (KRP II). Dari aspirasi tersebut, tanggapan yang diberikan adalah memberikan Otonomi yang seluas-luasnya. Tentu saja jawaban itu tidak menjawab permasalahan yang menjadi aspirasi orang Papua Barat. Memang pemberian Otonomi yang seluas-luasnya telah membuka jalan dan menjawab permasalahan pembangunan yang selama ini menjadi kenyataan ketertinggalan jika dibanding dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Orang Papua Barat melihat bahwa permasalahan yang ada di Papua Barat bukan sekedar hanya masalah pembangunan tetapi lebih kepada permasalahan kemanusian yaitu hak-hak sipil dan politik, pelanggaran HAM dan eksploitasi sumber daya alam yang terjadi selama ini bagi kepentingan tertentu. Oleh karena itu Otonomi Khusus dilihat belum menjawab aspirasi sebenarnya yang terimplementasi dalam hasil Konggres Rakyat Papua Barat.

Ini berarti bahwa orang Papua Barat menyadari keberadaan sejarah masa lalunya dan realitas yang dialami sekarang. Karena itu orang Papua Barat menolak hasil Pepera dan menginginkan Sejarah Integrasi, yaitu proses menuju Pepera itu ditinjau kembali, dan Sejarahnya selama Integrasi. Supaya dapat memberikan kesempatan kepada orang Papua Barat menentukan nasibnya sendiri.

2. Permasalahan

Dari uraian latar belakang sebagaimana yang telah penyusun coba paparkan pada bagian awal, sekarang yang coba penyusun angkat disini adalah apakah wajar! (secara Historis dan Teologis), jika dalam sebuah Negara Kesatuan, timbul keinginan

(6)

(sebagian/sekelompok masyarakat) orang Papua Barat untuk memisahkan diri dari negara ini. Tentu saja apa yang bagi penulis nantinya apakah itu wajar, baik secara historis maupun teologis, akan ternilai dengan permasalahan-permasalahan yang timbul dan menjadi realitas bagi orang Papua Barat selama ini.

Ada dua permasalahan pokok yang berkaitan tuntutan Kemerdekaan yang disuarakan oleh masyarakat yang mendiami daerah paling Timur Indonesia ini ditengah-tengah keutuhan Negara Republik Indonesia. Kedua pokok permasalahan ini adalah:

Pertama, berkaitan dengan Sejarah Integrasi kedalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dalam Sejarah Integrasi bangsa Papua Barat, sejak awal telah timbul pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam diri orang Papua Barat tentang aneksasi Indonesia atas mereka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:

• Mengapa kami harus menjadi Indonesia? Bukankah kami mempunyai keinginan tersendiri yaitu merdeka? Ataukah ada yang lebih bernilai pada kami melebihi kami sendiri sehingga daerah kami harus direbut?

• Mengapa kami dipaksa untuk memilih Integrsi, dengan diintimidasi bahkan dibunuh?

• Mengapa suara kami tidak didengar? Bahkan ditiadakan?

Kedua, berkaitan dengan Sejarah selama Integrasi kedalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dalam sejarah selama Integrasipun orang Papua Barat berhadapan dengan realitas kehidupan yang pahit. Realitas tersebut bukan diciptakan oleh mereka sendiri dalam struktur kehidupannya, melainkan diciptakan oleh penguasa dalam negeri yang merdeka ini. Maka timbullah pertanyaan bagi orang Papua Barat:

• Mengapa kami merasa terasing di atas tanah kami sendiri?

• Mengapa kami tidak berhak atas tanah kami sendiri, laut, hutan dan gunung? • Mengapa kami tidak menikmati kekayaan alam yang kami punyai untuk

kesejahteraan kami?

• Mengapa budaya dan tradisi kami dihilangkan?

(7)

• Mengapa kami tidak mendapat kedudukan politik yang sama?

Semuanya ini merupakan akar-akar permasalahan yang menjadi dasar suara kemerdekaan Papua Barat. Terlepas dari penilaian bahwa apakah itu hanya sebuah subyektifitas ataupun merupakan sebuah obyektifitas, penulis hendak mengangkat dan menilainya secara menyeluruh untuk memberikan sebuah penilaian obyektif dan akhirnya dapat diterima dan digumuli bersama.

3. Pembahasan

Karena itu pembahasan dalam penulisan ini, penulis akan mengambil pokok-pokok permasalahan yang menjadi dasar-dasar perjuangan orang Papua Barat sekarang. Dasar dasar tersebut adalah Proses dan Sejarah Integrasi Papua Barat kedalam NKRI, serta permasalahan-permasalahan yang timbul selama Integrasi. Kedua pokok ini disadari penulis sebagai sebuah permasalahan yang luas, namun merupakan hal yang sah-sah saja, jika permasalahan-permasalahan tersebut diangkat dan diberi wadah bagi sebuah usaha untuk menilai secara obyektif serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

4. Judul

Dari permasalahan yang ada, maka penyusun memberi judul pada tulisan ini sebagai berikut:

“TUNTUTAN KEMERDEKAAN RAKYAT PAPUA”

(Sebuah tinjauan Historis-Teologis terhadap sejarah pra-Integrasi dan Integrasi Papua Barat kedalam NKRI)

5. Alasan pemilihan judul

Alasan pemilihan tulisan dan penamaan Judul dari tulisan ini karena penyusun melihat bahwa Gerakan kemerdekan yang dilakukan orang-orang terpelajar sejak Integrasi kedalam NKRI dan saat runtuhnya pemerintahan Soeharto, masih dilihat sebagai gerakan sebagian orang Papua Barat dan dicap sebagai gerakan Makar. Padahal

(8)

sejauh ini, gerakan ini mendapat tempat dalam masyarakat Papua Barat sebagai yang membawa aspirasi orang Papua Barat. Hanya saja sejauh ini tanggapan Pemerintah adalah tetap melihat gerakan ini sebagai sebuah “Gerakan pengacau”. Sehingga pendekatan yang dilakukan adalah merangkul sebagian kecil masyarakat dalam kelompok masyarakat yang besar ini, supaya tetap melihat gerakan ini sebagai sebuah “gerakan pengacau”, atau “separatis” yang mana gerakan ini seolah-olah sebagai sebuah gerakan aspirasi sekelompok kecil masyarakat saja. Pemerintah juga tetap mengadakan tindakan Persuasif kepada masyarakat dengan melihat masalah Pemerataan dan Keadilan yang segera harus dibenahi. Padahal tuntutan itu sendiri murni sebagai Tuntutan pelurusan sejarah, dan memang harus diakui juga bahwa masalah keadilan atau pemerataan pembangunan di Papua Barat dibanding dengan nilai eksploitasi hasil alam di Papua Barat memang sangat tidak berimbang.

6. Batasan Permasalahan

Dalam pembahasan lanjut dari tulisan ini, penyusun membatasi lingkup batasan permasalahan dan pembahasan dengan melihat permasalaha-permasalahan yang timbul selama integrasi hingga sekarang tanpa mengabaikan sejarah masa lalu. Kemudian permasalahan-permasalahan ini penulis kaitkan pada Persoalan Historis yang berangkat dari sisi keadilan, politik, HAM, dan yang terpenting adalah Eksistensi manusia.

Penyusun juga berupaya untuk menemukan faktor-faktor apa yang mendorong “Tuntutan” ini tetap disuarakan oleh orang Papua Barat, akhirnya penyusun akan memberikan suatu kesimpulan dan pendapat penyusun yang berangkat dari penilaian-penilaian kritis penulis akan sejarah orang Papua Barat bersama bangsa Indonesia dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama Integrasi, serta sebuah pergumulan teologis. Semuanya itu, menjadi tolak ukur penyusun dalam penulisan. Pembatasan ini dimaksud untuk memudahkan penyusun dalam pengumpulan data, dan informasi (baik itu dilapangan maupun lewat literatur-literatur yang penyusun gunakan), serta memudahkan proses analisa dan penilaian.

(9)

7. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan sebagaimana yang penyusun angkat, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Memberikan sumbangan pemikiran dari perspektif Historis dan Teologis, dengan melihat konteks sejarah yang menjadi pokok permasalahan.

2. Memberikan sumbangan Moral, lepas dari penilaian subyektif atau obyektif terhadap “Tuntutan” itu, menjadi sumbangan pemikiran tersendri bagi orang Papua Barat yang berjuang demi kebenaran.

3. Menjadi sebuah studi yang dapat dilihat, memberi sumbangan pemikiran yang obyektif.

8. Metode Penulisan

Untuk memperoleh data atau bahan refrensi dalam penulisan ini, penulis memakai dua cara atau metode: Pertama, adalah cara/metode wawancara dan kuesioner. Cara/metode ini adalah untuk memperoleh data atau bahan sebagai refrensi langsung dari lapangan, terkait dengan issue atau masalah. Yang Kedua, adalah cara/metode studi refrensi atau kepustakaan. Cara/metode ini adalah untuk mencari bahan atau data yang terkait dengan issue atau masalah Papua Barat dan gerakan kemerdekaan yang selama ini telah diangkat dalam tulisan-tulisan berupa buku-buku, majalah, dan makalah/diktat. Selain itu juga refrensi lain (buku-buku) yang terkait dengan masalah Sejarah bangsa Papua Barat, Etika/Etis, Politik, dan Sosial Budaya. Kedua metode ini menurut hemat penulis akan dan sangat membantu dalam menyusun tulisan ini.

9. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam pembahasan tulisan ini adalah sebagai berikut:

(10)

Bab I. Pendahuluan

Dalam bab ini penulis memaparkan Latar Belakang, Permasalahan (Judul, Alasan Pemilihan Judul dan Penjelasannya), Batasan Permasalahan dan Pembahasan, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II. Sejarah Pra-Integrasi Dan Permasalahan-Permasalahan Yang Timbul Selama Integrasi

Dalam Bab ini, penulis memaparkan dua latar belakang sejarah mengenai sejarah konflik di Papua Barat. Pertama yaitu sejarah penjajahan di Papua Barat (Belanda-Jepang-Belanda) sampai pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan keinginan Indonesia atas Papua Barat, termasuk konflik politik (Perang dingin Amerika-Soviet), yang disebut Konflik Blok Barat dan Blok Timur mengenai Idiologi Sosialis dan Idiologi Komunis, yang mana pengaruh ini sangat mempengaruhi kancah politik saat itu terutama negara-negara yang baru terlepas dari kolonialisasi (merdeka). Kedua adalah proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dalam sejarah selama Plebisit atau penentuan pendapat sendiri/Pepera 1969 dan reaksi-reaksi penduduk pribumi.

Bab III. Pemerintahan Indonesia Di Papua Barat Sejak 1969 Dan Tuntutan Kemerdekaan Rakyat Papua Barat

Dalam bab ini, penulis akan menilai bagaimana keberadaan orang Papua Barat dalam wadah NKRI, dan permasalahan-permasalahan yang ada dan timbul selama itu. Selain itu juga penilaian terhadap masalah-masalah yang timbul, seperti masalah hak, kebebasan, keadilan, HAM, serta nilai budaya, yang ada dalam masyarakat setempat. Hal ini merupakan bagian terpenting dalam penilaian/pergumulan teologis penulis. Berdasarkan itu penyusun akan melihat, bahwa apakah dengan adanya masalah-masalah tersebut akan terbukakah mata hati penguasa dalam negeri ini untuk mendengar jeritan hati orang Papua Barat, atau sebaliknya menutup mata dan memperkuat kembali tangan kekuasaanya?

Bab IV. Tinjauan Historis - Teologis

Dalam bab ini penyusun akan memberikan tanggapan dari sudut pandang Etika, Fisafat, dan Iman Kristen berdasarkan Alkitab.

(11)

Bab V. Penutup (Kesimpulan dan Saran)

Bab ini adalah bagian yang terakhir, dimana penyusun akan memberi Kesimpulan dan Saran-Saran.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Setelah itu teller akan memanggil dan nasabah akan memberikan sejumlah uang dan buku tabungan untuk meminta pencetakan transaksi setor tunai ke bank..

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

Dalam penelitian kali ini, peneliti menemukan bahwa dalam peluncuran event All New Honda Jazz kali ini, hanya komponen ketepatan waktu yang terbukti tidak efektif,

Adapun yang menjadi manfaat dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat mempermudah pengolahan data perhitungan pasut menggunakan aplikasi berbasis web metode

Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang pemenuhannya setelah kebutuhan primer terpenuhi, namun tetap harus dipenuhi, agar kehidupan manusia berjalan dengan baik. Contoh: pariwisata

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI