• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI INSTAN SUBTITUSI JAGUNG DENGAN METODE AKSELERASI-ARRHENIUS SKRIPSI. Yuananda Parama Oktarani F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI INSTAN SUBTITUSI JAGUNG DENGAN METODE AKSELERASI-ARRHENIUS SKRIPSI. Yuananda Parama Oktarani F"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI INSTAN SUBTITUSI

JAGUNG DENGAN METODE AKSELERASI-ARRHENIUS

SKRIPSI

Yuananda Parama Oktarani

F24062713

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Shelf Life Estimation of Instant Noodle Substituted with Corn

Using Arrhenius Accelerated Method

Yuananda Parama Oktarani1, Dahrul Syah1, and Feri Kusnandar1

1

Bogor Agricultural University

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture Technology, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 856 97171713, e-mail: yp_oktarani@yahoo.com

ABSTRACT

Nowadays, instant noodles corn-based product has been developed by many institutions. However, shelf life estimation of this product has not studied yet though information about the shelf life has become consumer rights as stated in PP. 69 1999 Chapter II Clause 2 and 3. Therefore, this study was aimed to determine the shelf life of instant noodle substituted with corn flour using accelerated method based on subjective and objective parameters.

Estimation of corn-instant noodle shelf life was started by storing the products at different storage temperatures (32°C, 37°C, 45°C, 50°C, and 52°C) for five weeks where analyzed in terms of subjective and objective parameters. The best parameter to determine the shelf life is TBA parameter. This parameter gives the highest determination coefficient value among the others (R2= 0.975) and gives low activation energy (62720.82 J/mol). Based on TBA parameter, corn-instant noodle had shelf life of 81 days at 30°C.

(3)

Yuananda Parama Oktarani. F24062713. Pendugaan Umur Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung

dengan Metode Akselerasi-Arrhenius. Dibawah bimbingan: Dahrul Syah dan Feri Kusnandar. 2011.

RINGKASAN

Pengembangan produk mi instan berbahan dasar jagung, masih banyak dilakukan untuk memperoleh formulasi optimal yang akan menghasilkan tekstur yang mendekati tekstur mi instan terigu pada umumnya. Akan tetapi, pendugaan umur simpan dari produk tersebut masih belum banyak diteliti. Padahal informasi mengenai umur simpan merupakan hak konsumen seperti yang tertera dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang label pangan pada Bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap orang atau pihak yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan, dimana keterangan dalam label ini mencangkup kewajiban untuk mencantunkan masa kadaluarsa produk. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dengan metode akselerasi Arrhenius berdasarkan parameter objektif dan subjektif.

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan utama, yaitu tahap produksi mi instan subtitusi jagung dan tahap pendugaan umur simpan menggunakan Metode Arrhenius. Pada tahap pertama, pembuatan mi instan subtitusi jagung diproduksi dengan menggunakan formulasi optimal hasil pengembangan dari saudara Stefanus. Bahan-bahan yang digunakan meliputi tepung terigu 70%, tepung jagung 30%, guar gum 1%, garam 1%, baking soda 0.3%, dan air 40% (Stefanus, 2010). Setelah diperoleh produk berupa mi instan subtitusi jagung, produk tersebut kemudian disimpan di dalam inkubator yang diatur pada suhu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C untuk selanjutnya dianalisis secara berkala selama lima minggu waktu penyimpanan.

Tahap yang kedua adalah tahap pendugaan umur simpan. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan menggunakan Metode Akselerasi Model Arrhenius. Pendugaan umur simpan tersebut dilakukan tehadap parameter mutu subjektif dan objektif. Karena pada penelitian ini dilakukan pendugaan umur simpan berdasarkan parameter subjektif, maka dilakukanlah serangkaian seleksi dan pelatihan panelis agar dapat diperoleh data penilaian sampel yang relevan dengan kondisi sebenarnya. Jenis uji yang digunakan dalam seleksi panelis terlatih adalah uji rasa dan aroma dasar serta uji segitiga. Sedangkan selama pelatihan, para panelis tersebut diperkenalkan menggunakan uji rating (scoring) untuk memberikan penilaian terhadap beberapa atribut sensori pada produk mi instan subtitusi jagung. Dari 21 panelis yang mempunyai kesedian waktu dan motivasi yang tinggi untuk mengikuti seleksi dan pelatihan panelis ini, diperoleh 10 orang kandidat panelis terlatih yang kemudian dilatih dengan memperkenalkan kepada berbagai sampel mi jagung instan dengan tingkat kerusakan mutu yang berbeda-beda. Pelatihan ini dilakukan sampai para panelis dapat memberikan penilaian yang konstan terhadap atribut sensori sampel tersebut. Penetapan parameter kritis yang dapat menyebabkan produk tidak diterima oleh konsumen juga dilakukan pada saat pelatihan panelis melalui diskusi focus grup (focus group discussing/FGD). Parameter-parameter kritis yang selanjutnya akan dianalisis meliputi bilangan TBA, bilangan peroksida, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), warna-Hunter, tekstur-TPA, dan parameter organoleptik seperti flavor, warna, dan tekstur sesudah direhidrasi.

Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa parameter mutu yang memiliki tren nilai konstanta penurunan mutu (nilai k) meningkat terhadap kenaikan suhu adalah parameter sensori (flavor, warna, dan tekstur), parameter bilangan TBA, dan parameter bilangan peroksida. Dengan

(4)

demikian, dapat ditentukan lama umur simpan produk mi jagung instan subtitusi pada suhu penyimpanan 30°C berdasarkan parameter sensori atribut flavor adalah selama kurang lebih 41 hari, parameter sensori atribut warna selama 23 hari, parameter sensori atribut tekstur selama 26 hari, parameter bilangan TBA selama 81 hari, dan berdasarkan parameter bilangan peroksida adalah selama 181 hari.

Penetapan umur simpan yang paling sesuai untuk produk mi instan subtitusi jagung ini, selanjutnya dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat sensitivitas reaksi penurunan muru terhadap perubahan suhu yang dapat dilihat dari nilai energi aktivasi yang paling rendah dan nilai koefisien k mutlak atau nilai koefisien korelasi yang paling besar (R2). Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dikatakan bahwa parameter yang dijadikan acuan dalam penentuan umur simpan adalah parameter atribut flavor secara organoleptik. Hal ini dapat dilihat dari nilai R2 yang cukup besar (0.972), nilai energi aktivasi yang kecil (85600.94 J/mol), dan memberikan dugaan umur simpan yang cukup pendek (41 hari). Namun jika dilihat berdasarkan pertimbangan segi ekonominya, umur simpan mi jagung instan subtitusi dapat ditentukan berdasarkan parameter lainnya karena umur simpan yang ditentukan dari parameter atribut flavor secara organoleptik dirasa terlalu pendek dan tidak menguntungkan produsen. Oleh karena itu, berdasarkan alasan di atas dengan tetap memperhatikan syarat kriteria pemilihan parameter mutu, parameter lain yang dapat digunakan dalam pendugaan umur simpan adalah parameter bilangan TBA. Parameter ini memberikan nilai koefisien korelasi yang paling tinggi (0.975) diantara kelimanya. Selain itu energi aktivasinya pun masih belum terlalu besar (62720.82 J/mol). Menurut parameter TBA, mi jagung instan subtitusi memiliki umur simpan selama 81 hari jika disimpan pada suhu ruang (30°C).

(5)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI INSTAN SUBTITUSI

JAGUNG DENGAN METODE AKSELERASI-ARRHENIUS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

YUANANDA PARAMA OKTARANI

F 24062713

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(6)

Judul Skripsi : Pendugaan Umur Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode Akselerasi-Arrhenius

Nama : Yuananda Parama Oktarani

NIP : F24062713

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Dahrul Syah) (Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP 19680505 199203.2.002 NIP 19680505 199203 002

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP 19680505 199203.2.002

(7)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pendugaan Umur

Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode Akselerasi-Arrhenius adalah hasil karya saya

sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011 Yang membuat pernyataan

Yuananda Parama Oktarani F 24062713

(8)

iv

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Yuananda Parama Oktarani, dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Oktober 1987.Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Kamto Bayu Sasongko dan Nurheni Sri Palupi. Jenjang pendidikan pertamanya di tempuh di TK Mexindo Bogor (1992-1994), lalu dilanjutkan ke jenjang pendidikan dasar di SDN Polisi 1 Bogor (1994-2000), pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Bogor (2000-2003), dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Bogor (2003-2006).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif sebagai pengurus HIMITEPA dan banyak terlibat dalam kepanitaan seperti dalam acara Indonesian Food Expo (IFOODEX) 2009, Training HACCP VI 2008, International Conference in Food Research, Penyuluhan Kemanan Pangan, dan masih banyak lagi. Selain itu, penulis juga beberapa kali menjadi peserta dalam pelatihan ataupun seminar seperti pelatihan Sistem Manajemen Halal, seminar ISO 22000: 2005, dan pelatihan produksi mi jagung yang diadakan oleh SEAFAST Center IPB.

Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB selama tiga tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2008 sampai tahun 2010. Selain itu, penulis juga mendapatkan hibah dari DIKTI melalui Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang berjudul “Pengembangan Teknologi Pembuatan Keju Rendah Lemak Berbasis Kedelai Kaya Probiotik (Soycheese)”. Pada pertengahan tahun 2010, penulis berkesempatan mengikuti program pertukaran pelajar ke Universiti Putra Malaysia selama satu semester oleh DIKTI.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan Judul “Pendugaan Umur Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode Akselerasi” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.

(9)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Umur Simpan Mi Jagung Instan

Subtitusi Menggunakan Metode Akselerasi Berasarkan Parameter Subjektif dan Objektif

dengan baik dan semaksimal mungkin. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Juni 2010. Tak lupa pula penulis mengucap Shalawat dan Salan kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW.

Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, dan membimbing penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai, terutama kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan dan sabar dalam mendidik penulis hingga menjadi manusia yang berguna. Terimakasih juga atas segala kasih sayang, doa, dan kehangatan yang selalu penulis rasakan ketika berada di tengah-tengah kalian. Keluarga besar dari Bapak dan Ibu yang tidak henti-hentinya mengirimkan doa dan dukungan bagi kesuksesan dan kelancaran penulis selama belajar di sini.

2. Dr. Ir. Dahrul Syah sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan nasihat, motivasi, segala pelajaran hidup dari awal penulis menjejakkan langkah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku dosen pembimbing kedua, karena atas kesabaran, nasihat, saran, dan kritikan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis serta laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Pak Jun, Pak Deni, Pak Rojak, Pak Gatot, Pak Wahid, Bu Antin, Bu Rub, dan Bu Sri) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

6. Sahabat-sahabat saya, Sadek, Henni, Laras, Dinda, Della dan seluruh teman-teman ITP 43, terimakasih banyak atas segala canda, tawa, suka, duka, susah, sedih atupun senang yang telah kita alami bersama karena tanpa dukungan dan keberadaan kalian masa-masa mahasiswa ini tidak akan menjadi lebih berwarna.

7. Pujiarta atas kasih saying, doa, dukungan, semangat, dan kesabaran yang diberikan kepada penulis.

8. Teman-teman produksi mi jagung, Bernand, Dela, Oni, Tiko, Adit, Stefanus, Abdi, Helen, dan semua tim produksi angkatan 43, 44, dan 45 yang tidak bisa saya sebutkan atas kebersamaan dan kerjasamanya.

9. Teman-teman sebimbingan, Yogi, Bojes, Viktor, dan Kak Dita atas kebersamaan dan dukungan kalian yang hebat.

10. Mba Alina Primasari dan Mas Nono Hartono yang telah setia member dukungan dan mendampingi penulis sampai saat ini.

11. Para panelis terlatihku, Dela, Mba Maya, Mas Issac, Hanna, Vita, Kanov, Andri, dan semuanya atas waktu dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung.

12. Teman-teman TPB, Tunjung, Ratri, Sela, Alin, Memey, Ipin, Ridho, Oyot, Bayu,, semuanya atas keceriaan dan kebersamaan yang telah kalian bawa ke dalam kehidupan penulis.

(10)

vi

13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terimakasih banyak,

semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang kalian berikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2011

(11)

vii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ……….. v DAFTAR TABEL ………. ix DAFTAR GAMBAR ………. x DAFTAR LAMPIRAN ………. xi I. PENDAHULUAN ……….. 1 A. LATAR BELAKANG ……… 1 B. TUJUAN PENELITIAN ……… 2 C. MANFAAT PENELITIAN ……… 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 3

A. JAGUNG ………. 3

1. Jenis Jagung ………. 3

2. Morfologi dan Anatomi Jagung ………. 4

3. Komposisi Kimia Biji Jagung ………. 5

B. TEPUNG JAGUNG ……… 6

C. MI INSTAN ………. 7

D. MI JAGUNG ……… 9

E. PENENTUAN UMUR SIMPAN ……… 10

1. Ordo Reaksi Nol ………... 11

2. Ordo Reaksi Satu ………. 12

F. SELEKSI DAN PELATIHAN PANELIS ………. 13

III. METODE PENELITIAN ……….. 14

A. BAHAN DAN ALAT ……….. 14

B. METODE PENELITIAN ……….. 14

1. Pembuatan Mi Instan Subtitusi Jagung ……… 14

2. Pendugaan Umur Simpan ……….. 16

3. Metode Analisis ……… 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 26

A. PEMBUATAN MI INSTAN SUBTITUSI JAGUNG ……… 26

B. KARAKTERISTIK MUTU AWAL ………... 27

C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN ……… 28

1. Penentuan Nilai Kritis ……… 28

2. Penentuan Ordo Reaksi ………. 29

3. Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Beberapa Parameter ……… 29

a. Bilangan TBA ………. 29

b. Bilangan Peroksida ………. 31

c. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ……….. 32

d. Warna ………. 32

e. Tekstur ……… 33

f. Analisis Organoleptik ………... 34

(i) Seleksi dan Pelatihan Panelis Terlatih ……… 34

(12)

viii

(iii) Warna ……….. 36

(iv) Flavor ………... 37

g. Penentuan Parameter Pembatas Pemolakan Produk dan Umur Simpan Produk ………. 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 41

A. KESIMPULAN ……… 41

B. SARAN ………. 41

DAFTAR PUSTAKA ………. 43

(13)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 dan tepung jagung kuning ………. 4

Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung ………... 4

Tabel 3. Komposisi kimia biji jagung ………. 6

Tabel 4. Konsentrasi larutan uji deskripsi rasa dasar ………. 23

Tabel 5. Konsentrasi larutan uji segitga rasa dasar ……… 24

Tabel 6. Nilai mutu awal mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter …….. 27

Tabel 7. Nilai kritis mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter …………... 28

Tabel 8. Nilai R2 dari grafik penurunan mutu menurut ordo reaksi 0 dan ordo reaksi 1 …... 30

Tabel 9. Nilai koefisien determinasi (R2) dan energi aktivasi (Ea) pada berbagai parameter ……… 38

(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur biji jagung ……… 5

Gambar 2. Kerangka berpikir kegiatan penelitian ……….. 15

Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung jagung ………... 16

Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan mi jagung instan metode sheeting ………. 17

Gambar 5. Diagram alir pendugaan umur simpan produk mi jagung instan ……….... 18

Gambar 6. Ilustrasi model penurunan mutu pada ordo reaksi nol dan satu ……… 19

Gambar 7. Skema rangkaian seleksi dan pelatihan panelis terlatih ………. 22

Gambar 8. Inkubator yang digunakan selama penyimpanan ……….. 27

Gambar 9. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan parameter bilangan TBA ……….. 31

Gambar 10. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan parameter bilangan peroksida ….………. 32

Gambar 11. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut tekstur organoleptik ……. 36

Gambar 12. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut warna organoleptik …….. 37

(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Format kuisioner seleksi panelis ……… 47

Lampiran 2. Format kuesioner uji rating ……… 49

Lampiran 3. Hasil seleksi panelis pada serangkaian uji ………. 51

Lampiran 4. Rekapitulasi konsep pelatihan panelis mi instan subtitusi jagung ………. 52

Lampiran 5. Rekapitulasi data dan nilai k berdasarkan beberapa parameter organoleptik …... 53

Lampiran 6. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut tekstur ……… 53

Lampiran 7. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut tekstur ……….. 54

Lampiran 8. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut tekstur ……….. 54

Lampiran 9. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut warna ……… 55

Lampiran 10. Pendugaan umur simpan parameter organleptik atribut warna ……….. 55

Lampiran 11. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut warna ……… 56

Lampiran 12. Grafik ordo nol dan satu parameter organoleptik atribut flavor ……… 56

Lampiran 13. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor ……… 57

Lampiran 14. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor ……… 57

Lampiran 15. Data pengukuran bilangan TBA (thio barbituric acid) ……….. 58

Lampiran 16. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan TBA ……… 58

Lampiran 17. Pendugaan umur simpan parameter bilangan TBA ……… 59

Lampiran 18. Grafik pendugaan umur simpan bilangan TBA ………. 59

Lampiran 19. Data pengukuran bilangan peroksida ………. 60

Lampiran 20. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan peroksida ……… 60

Lampiran 21. Pendugaan umur simpan parameter bilangan peroksida ……… 61

Lampiran 22. Grafik pendugaan umur simpan bilangan peroksida ……….. 61

Lampiran 23. Data pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) ………… 62

Lampiran 24. Grafik ordo nol dan satu parameter KPAP ……… 62

Lampiran 25. Data pengukuran warna (nilai L) ……… 63

Lampiran 26. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai L)………. 63

Lampiran 27. Data pengukuran warna (nilai a) ………. 64

Lampiran 28. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai a) ……… 64

Lampiran 29. Data pengukuran warna (nilai b) ……… 65

Lampiran 30. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai b) ……… 65

Lampiran 31. Data pengukuran TPA (nilai kekerasan) ……… 66

Lampiran 32. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekerasan) ……… 66

Lampiran 33. Data pengukuran TPA (nilai kekenyalan) ………... 67

Lampiran 34. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekenyalan) ………. 67

Lampiran 35. Data pengukuran TPA (nilai elastisitas) ………. 68

(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jagung merupakan bahan pangan kaya akan sumber karbohidrat yang dapat menjadi bahan baku aneka produk pangan. Tingkat produktivitas jagung di Indonesia sudah cukup tinggi yaitu mencapai 17 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Satistik, 2009). Jagung banyak diproduksi di daerah Jawa Timur dan Madura serta merupakan komoditas serealia utama setelah beras. Jagung juga berperan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, dan pakan. Sebagai bahan pangan alternatif, jagung dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, subtitusi bagi industri pengguna terigu, dan konsumen berpangan pokok beras. Selain itu, jagung dapat diolah menjadi tepung jagung dan dapat digunakan pada pembuatan berbagai produk pangan yang berbahan dasar tepung terigu seperti pada pembuatan produk mi.

Mi telah menjadi salah satu makanan pokok bagi kebanyakan negara-negara di Asia termasuk Indonesia dan karakteristik mi terigu sangat melekat kuat pada cita rasa masyarakat Indonesia. Mi merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan sarapan ataupun makanan selingan (Juniawati, 2003). Berdasarkan kajian preferensi konsumen, sebagian besar responden menyukai produk-produk berbahan dasar jagung. Dengan alasan tersebut, maka pengembangan produk mi berbahan baku jagung diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mempercepat program diversifikasi pangan.

Mi jagung mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya adalah (1) tidak menggunakan pewarna sintetis karena warna kuning pada mi berasal dari kandungan karoten jagung dan (2) dapat mengurangi ketergantungan terhadap terigu. Selama ini, teknologi pembuatan mi jagung subtitusi sudah banyak dikembangkan baik dalam bentuk mi jagung basah, mi jagung kering, ataupun mi jagung instan (Budiyah, 2004). Tetapi, mi instan cenderung lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan mi kering atau jenis mi lainnya karena proses pengolahannya yang relatif mudah dan tidak membutuhkan banyak waktu (instant). Selain itu, mi instan saat ini dapat disajikan dengan rasa yang berbeda-beda yang mewakili citarasa Indonesia yang dimulai dari Sabang sampai Merauke tergantung dari bumbu mi itu sendiri.

Fadhillah (2005) telah melakukan riset mengenai verifikasi formulasi mi jagung instan pada skala industri. Verifikasi dilakukan dengan menyesuaikan desain proses mi jagung instan dengan peralatan yang dimiliki oleh pabrik dan ternyata proses produksi mi jagung instan tersebut masih dimungkinkan untuk diterapkan pada skala industri. Pengembangan produk mi jagung instan juga merupakan salah satu program dari RUSNAS (Riset Unggulan Strategi Nasional). Untuk dapat diindustrialisasikan masih perlu dilakukan berbagai macam tahapan seperti proses penggandaan skala (scale up), analisis biaya, penentuan umur simpan, verifikasi produk, dan analisis bisnis. Penentuan umur simpan merupakan salah satu hal yang cukup kritis dalam pemasaran suatu produk. Hal ini disebabkan oleh umur simpan menggambarkan batasan waktu suatu produk masih layak untuk dikonsumsi.

Umur simpan produk mi instan subtitusi jagung perlu ditetapkan agar masyarakat atau konsumen dapat mengetahui masa simpan produk tersebut selama penyimpanan. Informasi tentang umur simpan ini merupakan hak konsumen seperti yang tertera dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang label pangan pada Bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap orang atau pihak yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan, dimana keterangan dalam

(17)

2

label ini mencangkup kewajiban untuk mencantumkan masa kadaluarsa produk. Oleh karena itu, masa kadaluarsa sebagai indikator keamanan produk, menjadi salah satu persyaratan paling utama dalam industri atau usaha kecil menengah untuk ditetapkan (Wahyuningrum, 2010).

Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan mengevaluasi perubahan mutunya selama penyimpanan. Perubahan mutu tersebut dapat dilihat dengan adanya perubahan parameter mutu suatu produk. Arpah (2001) menyatakan bahwa ada dua macam metode yang dapat digunakan untuk pendugaan umur simpan, yaitu Metode Konvensional dan Metode Akselerasi. Metode konvensional dapat dilakukan dengan menyimpan produk tersebut sampai mengalami kerusakan dan proses tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. Metode ini biasa diterapkan pada produk yang mempunyai umur simpan relatif pendek, seperti daging segar, mi basah, dan sebagainya. Metode akselerasi atau yang biasa disebut dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat digunakan untuk memperpendek waktu penentuan umur simpan suatu produk, yaitu dengan cara mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk pada suatu kondisi penyimpanan yang ekstrim. Salah satu metode ASLT adalah model Arrhenius. Menurut Kusnandar (2006), model Arrehnius pada umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang kerusakannya banyak dipengaruhi oleh perubahan suhu, yaitu dengan memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia yang berkontribusi pada kerusakan produk pangan. Pendugaan umur simpan model Arrhenius dapat dilakukan dengan menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim dimana kerusakan produk pangan tersebut dapat lebih cepat terjadi.

Mi instan subtitusi jagung memiliki kemungkinan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan suhu ekstrim. Perubahan suhu tersebut dapat memicu terjadinya reaksi oksidasi lemak. Oksidasi lemak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan lemak pada produk mi instan berbasis tepung jagung ataupun karena adanya proses penggorengan dalam tahapan pembuatan mi instan yang dapat meningkatkan kandungan lemak total.

Merujuk pada berbagai hal yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dan untuk mengetahui kapan produk pangan tersebut sudah dinyatakan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dengan metode accelerated shelf-life testing (ASLT) dengan pendekatan Model Arrhenius.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perkiraan umur simpan produk mi instan yang disubtitusi dengan tepung jagung, baik secara subjektif maupun dengan menggunakan parameter objektif. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat diadopsi oleh investor sehingga dapat mendukung program diversifikasi pangan pokok dan pengurangan ketergantungan nasional terhadap impor tepung terigu.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

1. Jenis Jagung

Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminae) yang awalnya berasal dari Amerika dan merupakan tanaman serealia yang paling penting di benua tersebut (Anonim, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), jagung dibedakan menjadi 6 tipe utama, yaitu dent, flint, flour, pop, sweet, dan pod corns (Darrah et al, 2003). Perbedaan terbesar antara jagung tersebut terletak pada kualitas, kuantitas, dan komposisi endospermanya. Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya selaput corneus, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, sedangkan pada bagian tengahnya, inti jagung lunak dan bertepung (Johnson, 2000). Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung flour merupakan jagung yang banyak ditanam pada zaman Aztec dan Inca. Karena endosperma jagung flour terdiri dari pati halus dan selaput corneus, jagung ini sangat mudah sekali untuk digiling karena strukturnya yang lunak. Jagung jenis pop merupakan salah satu jenis jagung yang paling tua dengan selaput endosperma yang sangat keras dan memiliki kernel kecil seperti flint. Jagung jenis sweet biasa dikonsumsi sebagai capuran sayuran dan diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dan endosperma berwarna bening. Jagung ini merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikenal di United States dan Canada, dan kepopulerannya semakin mendunia (Lucier, 2000). Jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991).

Jagung yang banyak ditanam di Indonesia diantaranya adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint) seperti Jagung Pioneer-2 (setengah mutiara), Jagung Hibrida C-1 (setengah mutiara), Jagung Arjuna (mutiara), dan lain sebagainya (Suprapto dan Marzuki, 2005). Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, jagung tipe brondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn) juga terdapat di Indonesia.

Jagung hibrida Pioneer 21 termasuk jenis jagung setengah mutiara/semiflint (Suprapto dan Marzuki, 2005). Jagung setengah mutiara lebih mudah dibuat tepung dibandingkan dengan jagung mutiara karena jagung setengah mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih banyak dibandingkan dengan endosperma kerasnya. Jagung Pioneer 21 memiliki beberapa keunggulan antara lain memiliki ketahanan terhadap kondisi kering, tongkol terisi penuh, dan memiliki potensi hasil yang tinggi, yaitu mencapai 13.3 ton jagung pipil kering/Ha. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 berdasarkan hasil penelitian Etikawati (2007) dan jagung kuning (FAO, 2005) dapat dilihat pada Tabel 1.

. Saat ini, tanaman jagung sudah mulai berkembang sangat luas di Indonesia. Daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung diantaranya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Madura, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Tanaman jagung ini sangat intensif dibudidayakan di daerah Jawa Timur dan Madura karena selain tanah dan iklimnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya Madura, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998).

(19)

4

Tabel 1. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 dan tepung jagung kuning Komposisi Kimia Jagung Pioneer 21 Jagung Kuning

Kadar air (%) 5,46 14 Kadar protein (%) 6,32 6,6 Kadar abu (%) 0,31 0,5 Kadar lemak (%) 1,73 2,8 Kadar karbohidrat (%) 86,18 76,1 Kadar amilopektin (%) 43,52 - Kadar amilosa (%) 23,04 - Kadar karoten (ppm) - 1,3 Retinol equivalen (ppm) - 0,21

Keterangan : (-) Tidak tercantum

2. Morfologi dan Anatomi Jagung

Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Adapun komposisi tiap bagiannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian Anatomi Jumlah (%)

Pericarp 5,3

Endosperma 82,9

Lembaga 11,1

Tip cap 0,8

Sumber: Watson (2003)

Pericarp adalah lapisan yang berfungsi membungkus biji dan melindungi bagian dalam biji jagung. Lapisan ini tersusun oleh 6 lapis sel, yaitu epicarp (lapisan paling luar), mesocarp, dan tegmen yang terdiri dari lapisan spermoderm dan periperm. Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan tebal (62-160μm).

Endosperma merupakan bagian terbesar biji jagung yang biasanya memiliki berat 80-85% dari berat total dan mengandung pati yang berfungsi sebagai cadangan energi. Sel endosperma ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein yang sebagian besar adalah zein (Johnson, 1991). Lapisan yang membungkus endosperma adalah lapisan aleuron. Lapisan ini juga menyelubungi lembaga dan menjadi pembatas antara endosperma dengan kulit (pericarp). Endosperma jagung terdiri dari dua bagian, yaitu endosperma keras (horny endosperm) yang tersusun dari sel-sel yang lebih kecil serta tersusun rapat dan endosperma lunak (floury endosperm) yang tersusun dari pati yang lebih banyak dan tidak serapat pada bagian keras (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

(20)

5

Lembaga sebagian besar tersusun dari pati yang digunakan sebagai sumber energi utama perkecambahan biji jagung (Johnson, 2000). Lembaga terletak pada bagian dasar dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu bagian embrio yang mengandung 30,8% protein dan bagian skutelum yang merupakan tempat cadangan makanan selama perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung dan merupakan bagian terkecil pada biji jagung.

3. Komposisi Kimia Biji Jagung

Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati yang tersusun atas dua polimer glucan, yaitu amilosa (25-30%) dan amilopektin (70-75%). Adapun struktur dari biji jagung dapat dilihat pada Gambar 1.

Selain itu, jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan variteas jagung tersebut. Kandungan lemak dan protein pada jagung muda lebih rendah jika dibandingkan dengan jagung tua. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada bagian lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh berupa palmitat dan stearat seta asam lemak tidak jenuh berupa oleat dan linoleat. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) yang larut dalam 70% alkohol dan glutelin.

Gambar 1. Struktur biji jagung (Shukla dan Cheryan, 2000)

Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567 mg/kg), niasin (28 mg/kg), asam pantotenat (6.6 mg/kg), piridoksin (5.3 mg/kg), tiamin (3.8 mg/kg), riboflavin (1.4 mg/kg), asam folat (0.3 mg/kg), biotin (0.08 mg/kg), serta vitamin A (β-karoten) dan vitamin E (α-tokoferol) masing-masing sebesar 2.5 mg/kg dan 30 IU/kg (Watson, 2003). Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3.

(21)

6

Tabel 3. Komposisi kimia biji jagung

Komponen Pati (%) Protein (%) Lipid (%) Gula (%) Abu (%) Serat (%)

Biji utuh 73,4 9,1 4,4 1,9 1,4 9,5 Endosperma 87,6 8,0 0,8 0,62 0,3 1,5 Lembaga 8,3 18,4 33,2 10,8 10,5 14 Pericarp 7,3 3,7 1,0 0,34 0,8 90,7 Tip cap 6,3 9,1 3,8 1,6 1,6 95 Sumber: Watson (2003)

B. TEPUNG JAGUNG

Tepung jagung adalah tepung yang diproduksi dari jagung pipil kering dengan cara menggiling halus bagian endosperma jagung yang mengandung pati sekitar 86-89%. Tepung jagung berwarna kuning dengan tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Penggilingan biji jagung kedalam bentuk tepung merupakan suatu proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperma merupakan bagian dari biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat membuat tepung bertekstur kasar. Selain itu, lembaga yang merupakan bagian biji jagung dengan kandungan lemak tertinggi juga harus dipisahkan agar tepung tidak menjadi tengik. Begitu pula dengan tip cap yang harus dipisahkan sebelum penepungan agar tidak terdapat butir-butir hitam pada tepung olahan (Johnson dan May, 2003).

Berdasarkan penelitian Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung lebih baik dilakukan dengan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan kering umumnya banyak dilakukan dalam skala besar (Suprapto dan Marzuki, 2005). Penggilingan tepung jagung metode kering dibedakan menjadi dua tahapan. Penggilingan pertama dilakukan dengan menggunakan hammer mill yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan kuit, lembaga, dan tip cap. Hasil dari penggilingan kasar tersebut kemudian direndam dan dicuci dalam air untuk memisahkan grits jagung yang banyak mengandung pati dari kulit, lembaga, dan tip cap yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Penggilingan kedua merupakan penggilingan grits jagung yang telah dikeringkan menggunakan disc mill (penggiling halus) sehingga dihasilkan tepung jagung. Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan saringan berukuran 100 mesh atau kurang sesuai dengan ukuran partikel tepung akhir yang diinginkan.

Proses penepungan jagung dapat menghasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian Rianto (2006), proses penepungan jagung dengan menggunakan ayakan sebesar 80 mesh akan menghasilkan rendemen sebesar 40%. Tetapi, tekstur mi yang dihasilkan dari tepung tersebut tidak sehalus mi yang dibuat dari tepung jagung berukuran 100 mesh. Proses penepungan jagung yang menggunakan ayakan 100 mesh mempunyai rendeman sebesar 24% (Merdiyanti, 2008). Penurunan rendeman ini disebabkan oleh penggunaan ayakan tepung yang semakin kecil. Selain itu, kehilangan rendemen selama proses dapat terjadi pada saat proses perendaman dan penyucian yaitu sebesar 48%. Menurut Merdiyanti (2008), lama waktu perendaman jagung dapat meningkatkan rendemen penepungan, semakin lama jagung tersebut direndam maka akan membuat semakin lunak endosperma biji jagungnya dan semakin banyak pula tepung jagung yang dihasilkan.

Tepung jagung dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk mi baik sebagai pengganti sebagian atau seluruh penggunaan tepung terigu. Adapun keunggulan dari penggunaan tepung jagung diantaranya adalah dapat mengurangi biaya bahan baku dan produksi, tidak

(22)

7

menggunakan pewarna sintetis untuk memberikan warna kuning yang diinginkan karena adanya kandungan beta karoten, dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan baku tepung terigu.

Penggunaan tepung jagung dalam pembuatan mi dibatasi oleh karakteristik fungsional tepung jagung itu sendiri yaitu kandungan protein gluten yang rendah dan karakteristik protein gluten yang berbeda dengan protein gluten yang ada di tepung terigu (Juniawati, 2003). Hal ini menyebabkan tepung jagung tidak dapat membentuk lembaran adonan yang elastis dan kompak sebagaimana yang terjadi pada adonan tepung terigu. Pembentukan lembaran adonan tepung jagung dapat terbentuk apabila dilakukan proses pemanasan (pengukusan) terlebih dahulu untuk menggelatinisasi sebagian pati yang akan berfungsi sebagai binding agent dalam pembentukan lembaran adonan (Budiyah, 2004).

Warna kuning tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat di dalam biji jagung. Pigmen ini termasuk ke dalam golongan pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin yang mencapai 90% dari total pigmen karotenoid yang terdapat di dalam jagung. Warna kuning tepung jagung sangat berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan adanya penambahan bahan pewarna untuk memperoleh mi yang berwarna kuning (Fadhillah, 2005).

C. MI INSTAN

Mi instan menurut Standar Industri Indonesia (SII) 1716-90 adalah produk makanan kering dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan yang berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih maksimal selama 4 menit. Selain itu, definisi mi instan menurut SNI 01-3551-1996 adalah mi yang dibuat dari adonan terigu atau tepung lainnya dan dapat diberi perlakuan alkali dimana proses pregelatinisasi pati dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya.

Mi instan dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan proses pengeringannya. Pertama adalah mi instan goreng (instant fried noodle) dimana pengeringannya dilakukan dengan cara menggoreng dan kedua adalah mi instan kering (instant dried noodle) dimana mi dikeringkan dengan udara panas sehingga dihasilkan mi instan. Mi instan goreng mampu menyerap minyak hingga 20% selama penggorengan (Astawan, 1999). Mi instan kering memiliki kadar air yang rendah dan tahan lama (tidak mudah tengik) karena tidak adanya proses penggorengan. Namun, mi instan kering juga memiliki kekurangan jika dibandingkan dengan mi instan goreng, yaitu rasa gurih yang rendah akibat kandungan rendah lemaknya.

Menurut Sunaryo (1985), bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan adalah tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya dan air, sedangkan bahan tambahan yang digunakan antara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna, dan bumbu-bumbu. Tepung terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur dan merupakan sumber karbohidrat dan juga protein. Air berfungsi sebagai media reaksi anatara karbohidrat dengan gluten, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Garam berperan untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas, dan fleksibilitas mi. Air abu berfungsi untuk mempercepat pembentukan gluten dan meningkatkan sifat kenyal. Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mi. Zat warna yang ditambahkan bertujuan memberikan warna khas pada mi, sedangkan bumbu-bumbu biasa

(23)

8

ditambahkan untuk memberikan flavor tertentu pasa produk mi instan tersebut. Selain itu, pada pembuatan mi juga sering ditambahkan CMC (Carboxyl Metil Cellulose) yang berfungsi sebagai pengembang dan dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, serta mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan.

Proses pembuatan mi instan terdiri atas beberapa tahap, yaitu pencampuran (mixing), pembentukan lembaran adonan dan pencetakan (pressing dan slitting), pemotongan (cutting), pengukusan (steaming), penggorengan (frying), pendinginan dan pengemasan (cooling and packing) (Dashanjiang Machine Ltd, 2003).

1. Pencampuran

Pencampuran (mixing) adalah proses mencampurkan bahan utama (raw material) yang terdiri atas tepung terigu dan tapioka dengan larutan garam di dalam suatu alat mixer pada waktu tertentu hingga diperoleh adonan yang homogen. Proses ini bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air, menghasilkan adonan yang homogen, dan membentuk adonan yang mempunyai struktur gluten yang baik. Adonan terbentuk karena gluten mengembang ketika menyerap air dan pengadukan menyebabkan serat gluten tersusun baik (saling bersilang dan terbungkus pati) sehingga adonan menjadi halus dan elastis.

2. Pembentukan Lembaran dan Pencetakan

Pembentukan lembaran dan pencetakan adonan (pressing) adalah proses mencetak adonan yang telah dicampur homogen sehingga membentuk lembaran adonan dengan ketebalan tertentu. Slitting merupakan proses dimana lembaran adonan dipotong atau disisir menjadi untaian mi. Tahapan ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dengan arah yang sama secara merata sehingga lembaran adonan menjadi lembut dan elastik serta dapat dipotong atau disisir menjadi untaian mi dan dibentuk menjadi bergelombang.

3. Pemotongan

Pemotongan (cutting) adalah proses memotong untaian mi dengan ukuran tertentu dan melipat menjadi dua bagian sama panjang sesuai dengan varian yang dikehendaki. Proses ini bertujuan untuk memotong untaian mi sesuai ukuran.

4. Pengukusan

Pengukusan (steaming) adalah proses pengukusan untaian mi dengan menggunakan uap air panas bersuhu 100-110°C. Proses ini bertujuan untuk memasak mi menjadi sifat mi yang solid. Pemanasan ini menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dan koagulasi gluten. Gelatinisasi menyebabkan pati meleleh ke permukaan mi membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi.

5. Penggorengan

Penggorengan (frying) adalah proses pengeringan dengan menggunakan minyak sebagai medianya. Tahapan ini merupakan proses untuk meletakkan mi basah (setelah pengukusan) di dalam mangkok penggorengan kemudian merendamnya dengan menggunakan minyak dengan suhu dan waktu tertentu (deep frying). Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar air di dalam mi dan pemantapan pati tergelatinisasi.

6. Pendinginan dan Pengemasan

Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan mi setelah keluar dari oven. Pendinginan dilakukan dengan hembusan udara atau kipas dalam lorong pendingin. Setelah pendinginan, mi dikemas dan dikelim (sealing).

(24)

9

D. MI JAGUNG

Akhir belakangan ini, banyak pihak yang telah melakukan penelitian ke arah proses pembuatan mi berbahan dasar jagung baik dalam bentuk mi jagung basah, mi jagung kering, ataupun mi jagung instan. Mi jagung dapat dibuat dengan menggunakan pati jagung ataupun tepung jagung dengan berbagai macam persentase penambahan. Selain itu, mi jagung juga dapat diproduksi dengan menggunakan teknologi kalendering ataupun teknologi ekstrusi. Teknologi kalendering merupakan teknologi pembuatan mi dengan membentuk lembaran adonan terlebih dahulu sebelum pembentukan untaian mi, sedangkan teknologi ekstrusi merupakan teknologi pembentukan untaian mi dengan menggunakan mesin ekstruder pasta (Sigit, 2008). Proses pembuatan mi jagung instan 100% terdiri dari tahap pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan (Juniawati, 2003), sedangkan pada pembuatan mi jagung instan subtitusi hanya terdiri dari tahap pencampuran, pengistirahatan, pembentukan lembaran adonan, pencetakan, pemotongan, pengukusan, dan penggorengan.

Persentase tepung jagung yang dapat digunakan untuk mensubtitusi tepung terigu pada teknik pembuatan mi yang biasa masih terbatas karena karakteristik protein gluten yang terdapat dalam tepung jagung berbeda dengan yang terdapat dalam tepung terigu sehingga tepung jagung sulit membentuk lembaran adonan yang elastis dan kompak tanpa bantuan pemanasan (Kusnandar et al., 2009). Oleh karena itu, beberapa penelitian mulai memanfaatkan penambahan pati, protein jagung, dan bahkan dengan melakukan modifikasi pada pati tepung jagung untuk memperbaiki elastisitas adonan. Budiyah (2005) telah memanfaatkan penggunaan pati dan protein jagung (corn gluten meal) dalam pembuatan mi jagung instan untuk meningkatkan elastisitas produk. Sedangkan, Indrawuri (2010) menggunakan pati termodifikasi dengan teknik HMT (high moisture treatment) dalam pembuatan mi jagung instan.

Jenis protein yang membentuk massa lengket dengan larutan garam yang sangat encer disebut dengan gliadin. Sedangkan sebagian protein lain yang tidal larut, yaitu glutenin akan melemas dan membentuk struktur serat yang kokoh dengan protein yang larut tersebut sehingga dapat membentuk adonan yang sangat fleksibel dan tahan banting. Hal ini disebabkan oleh kandungan asam amino prolin yang cukup tinggi pada glutenin dimana asam amino prolin mempunyai struktur yang sedikit berlipat. Lipatan tersebut akan terbuka selama proses mixing dan kneading sehingga struktur menjadi renggang dan menyebabkan adonan menjadi elastis (Fennema, 1996).

Pada riset skala industri yang dilakukan oleh Fadlillah (2005) memperlihatkan bahwa pada pembuatan mi jagung instan, industri dapat menambahkan protein gluten terigu untuk menghasilkan adonan yang viskoelastis. Tetapi, penambahan gluten ini dapat meningkatkan biaya produksi sehingga penggunaan protein gluten terigu ini tergantung pada kebijakan dan strategi bisnis masing-masing industri.

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat mi pada awalnya dicampurkan terlebih dahulu hingga homogen. Sebelum adonan dibentuk menjadi lembaran, diperlukan waktu untuk memberi kesempatan adonan untuk beristirahat sejenak. Pengistirahatan adonan ini bertujuan untuk menyeragamkan penyebaran air dan pengembangan gluten (Kusnandar et al., 2010).

Kusnandar et al. (2010) menyatakan bahwa pada tahap pembentukan lembaran (sheeting), adonan dimasukkan ke dalam roll press dengan tujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten. Pada saat dipress, serat-serta gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah oleh tekanan antara dua roller sampai ketebalan 1.6 mm. Setelah itu dilakukan pembentukan untaian mi dan pemotongan.

(25)

10

Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah tahapan pemotongan menjadi untaian mi dilakukan tahap pengukusan. Proses pengukusan ini bertujuan menggelatinisasi sebagian besar pati, yaitu sekitar 70%, sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Protein endosperma jagung banyak mengandung zein (sekitar 60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni. Oleh karena itu, tanpa pengukusan, adonan tidak akan bersifat elastik dan kompak. Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003)

E. PENENTUAN UMUR SIMPAN

Institut of Food Technologist (IFT) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National Food Prosessor Association mendefinisikan umur simpan sebagai kualitas produk secara umum yang dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001).

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimum dan pada umumnya mutu gizi pangan tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus.

Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Speigel, 1992). Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemas antara lain:

1. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan belum digunakan.

2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan seperti kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.

3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang terlipat.

Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya, seperti untuk produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya berupa derajat ketengikan, produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba, dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluwarsa dengan metode konvensional atau biasa disebut sebagai metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri sampel produk pada kondisi

(26)

11

normal sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai mutu yang telah kadaluwarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Selain itu, penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang berasngkutan (Ellis, 1994).

Metode ASLT ini pada awalnya dilakukan dengan membuat plot data hubungan antara nilai mutu (Qt) untuk masing-masing suhu terhadap waktu pengamatan (t, hari) menurut reaksi ordo O dan 1. Selanjutnya berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh nilai konstanta laju reaksi/penurunan mutu (kt) dan dengan membandingkan nilai R2

k

-nya, maka dapat ditentukan pula ordo reaksi yang paling cocok. Kemudian, penetapan umur simpannya dapat diperoleh melalui ekstrapolasi suhu penyimpanan pada persamaan Arrhenius (1.1).

t = ko.exp (-Ea/RT) dimana:

(1.1)

kt k

= konstanta laju penurunan mutu o

Ea = energi aktivasi

= konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu)

T = suhu mutlak (K)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol K) Untuk menentukan umur simpan (ts

Untuk laju reaksi ordo nol : t

) pada suhu penyimpanan tertentu sebagaimana yang diinginkan dapat pula digunakan persamaan berikut :

s = (Q0-Qt)/kT Untuk laju reaksi ordo 1 : ts = [ln(Q

(1.2)

0-Qt)]/kT dimana:

(1.3)

t = umur simpan (hari) Q0

Q

= nilai mutu awal t

k

= nilai batas kritis / batas mutu akhir T

Dalam model Arrhenius ini, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula laju reaksi berbagai senyawa kimia dan semakin mempercepat terjadinya penurunan mutu produk (Hariyadi et al., 2006). Menurut Kusnandar (2006), produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan). Menurut Labuza (1982), reaksi penurunan mutu pada kebanyakan produk pangan mengikuti ordo reaksi nol dan satu serta hanya sedikit yang mengikuti ordo reaksi lain.

= konstanta penurunan mutu pada suhu T

1. Ordo Reaksi Nol

Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya (1) degradasi enzimatis, misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku; (2) browning

(27)

12

non enzimatis, misalnya pada biji-bijian kering, produk susu kering; dan (3) oksidasi lemak, misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku.

Pada reaksi ordo nol, laju perubahan A menjadi B dinyatakan seperti pada persamaan (1.4). −𝑑𝑑𝑑𝑑

𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑘𝑘 (1.4)

dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diatas, diperoleh persamaan (1.5). A = A0

dimana:

– kt (1.5)

A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t A0

t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun) = nilai mutu awal

2. Ordo Reaksi Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam reaksi ordo satu diantaranya (1) ketengikan, misalnya pada minyak salad dan sayuran kering; (2) pertumbuhan mikroorganisme pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas; (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982).

Jika pada reaksi ordo nol persentase kehilangan masa simpan per hari bersifat konstan pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial. Pada reaksi ordo satu, laju perubahan A menjadi B dinyatakan dalam persamaan (1.6).

−𝑑𝑑𝑑𝑑

𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑘𝑘𝑑𝑑 (1.6)

dengan integrasi, diperoleh persamaan sebagai berikut: ln A = ln A0 dimana:

– kt (1.7)

A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t A0

K = konstanta laju reaksi ordo satu = nilai mutu awal

t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun)

Menurut Arpah (2001), dalam penggunaannya untuk menetapkan umur simpan, persamaan Arrhenius menggunakan beberapa asumsi, yaitu:

1. Hanya ada satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu produk. Asumsi ini penting dalam hal melihat pengaruh suhu karena jika suhu meningkat, maka reaksi-reaksi yang memiliki energi aktivasi yang lebih tinggi dari reaksi yang diamati, dapat mulai berlangsung dan mempengaruhi mutu produk.

2. Tidak terjadi perubahan fase selama reaksi berlangsung dan mempengaruhi konsentrasi reaktan. 3. Pengaruh fase lain, misalnya jika terjadi proses partisi dari komponen reaktan ke dalam fase

minyak atau lemak tidak dipengaruhi temperatur.

4. Tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi. Dalam hal ini, bagaimanapun proses pengolahan apabila produk disimpan pada suhu yang memungkinkan untuk tejadinya reaksi maka reaksi akan berlangsung.

5. Analisis penurunan konsentrasi komponen dan penentuan nilai k tidak didasarkan pada analisis hedonik.

(28)

13

F. SELEKSI DAN PELATIHAN PANELIS TERLATIH

Penggunaan panelis terlatih diperlukan dalam memberikan penilaian terhadap atribut sensori produk mi instan subtitusi jagung karena penilaian tersebut akan digunakan dalam penentuan umur simpan sehingga diharapkan hasil penilaian dari para panelis dapat menggambarkan kondisi produk sebenarnya. Selain itu, evaluasi sensori ini juga diperlukan terutama untuk mendukung keseluruhan riset sehingga diperoleh data berdasarkan parameter subjektif yang dapat digunakan untuk mendukung pengukuran berdasarkan parameter objektif.

Pemilihan panelis terlatih merupakan suatu hal yang kritis dalam uji sensori. Di dalam indutri pangan, panelis sensori merupakan salah satu hal yang paling penting di dalam perkembangan dan quality control mereka. Kesuksesan ataupun kegagalan panelis tersebut tergantung pada tahapan seleksinya (Meilgaard et al., 1999). Sebelum melakukan serangkaian tahapan seleksi, panelis tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti memiliki motivasi, sehat secara fisik (tidak mempunyai alergi atau intolerance terhadap suatu produk), mempunyai ketersediaan waktu, dan lain sebagainya.

Seleksi panelis dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu identifikasi rasa dan aroma dasar, uji segitiga (triangle test), dan uji rangking (ranking test). Metode seleksi ini bertujuan untuk melihat kemampuan para panelis dalam membedakan karakter diantara banyak produk dan membedakan intesitas dari karakter tersebut (Meilgaard et al., 1999). Uji identifikasi rasa dan aroma dasar bertujuan untuk menentukan kemampuan panelis dalam membedakan berbagai atribut rasa dan aroma dasar. Uji ini juga digunakan untuk menguji kemampuan dasar indra pencicipan dan penciuman. Uji segitiga dilakukan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam menemukan suatu perbedaan diantara atribut sampel yang sama. Uji rangking dilakukan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam membedakan intensitas atribut sampel yang diujikan. Panelis yang lolos tahapan seleksi (screening test) adalah panelis yang benar menjawab lebih dari 75% uji identifikasi rasa dan aroma dasar, lebih dari 60% uji segitiga, dan panelis yang dapat mengurutkan dengan benar pada uji rangking.

Pelatihan panelis diawali dengan mengajarkan prosedur yang benar kepada para panelis dalam memperlakukan contoh pada saat pengujian dilakukan. Panelis tersebut harus ditekankan untuk membaca prosedur terlebih dahulu secara teliti sebelum melakukan pengujian. Panelis juga dituntut untuk mengabaikan kesukaan mereka terhadap suatu karakter atau atribut dan harus berkonsentrasi agar dapat membedakan atribut antara sampel yang sedang diujikan. Panelis kemudian diperkenalkan kepada berbagai macam atribut sampel yang nanti akan diujikan. Setelah dilakukan beberapa kali perkenalan, panelis diminta untuk melakukan simulasi pengujian yang sebenarnya. Pelatihan ini terus dilakukan sampai panelis dapat memberikan hasil yang signifikan dan konsisten.

(29)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung jagung Pioneer 21, tepung terigu Cakra Kembar, air, minyak goreng, baking powder, guar gum, garam, dan bahan-bahan yang digunakan dalam analisis TBA dan peroksida.

Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung dan pembuatan mi instan subtitusi jagung adalah disc mill, hammer mill, vibrator screen, timbangan, oven pengering (dryer), dough mixer, roll press, steaming box, dan deep-fat frying yang semuanya tersedia di Pilot Plant Seafast Center-IPB, sedangkan alat-alat lain yang digunakan dalam analisis adalah neraca analitik, spektrofotometer, inkubator, gelas piala, erlenmeyer, buret, pipet, labu takar, dan kompor penangas. Peralatan untuk uji organoleptik yang diperlukan yaitu perangkat pengujian seperti gelas-gelas saji, sendok plastik, wadah saji, dan kompor.

B. METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian akan dilakukan melalui dua tahapan utama, yaitu pembuatan mi instan subtitusi jagung dan pendugaan umur simpan (shelf-life) produk mi instan subtitusi jagung dengan metode Accelerated shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahapan kegiatan penelitian ini secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 2. Pembuatan mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan metode sheeting, kemudian mi tersebut disimpan selama 5 minggu pada kondisi diatas normal, yaitu pada suhu 32, 37, 45, 50, dan 52°C. Penentuan umur simpan dilakukan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius berdasarkan parameter bilangan TBA, peroksida, kehilangan padatan akibat pemasakan atau cooking loss, tekstur, dan warna. Selain itu, penentuan umur simpan ini juga ditentukan berdasarkan parameter-parameter organoleptik (flavor, tekstur setelah direhidrasi, dan warna). Adapun penjelasan mengenai setiap tahapannya dapat dijabarkan sebagai berikut ini:

1. Pembuatan Mi Instan Subtitusi Jagung

Tahap pembuatan mi instan subtitusi jagung diawali dengan melakukan penepungan jagung terlebih dahulu. Tahapan proses penepungan jagung ini dapat dilihat pada Gambar 3. Proses penepungan ini dimulai dengan penggilingan kasar menggunakan mesin hammer mill. Setelah itu, jagung direndam dalam air untuk memisahkan endosperma dari bagian lembaga, kulit dan tip cap. Grits jagung yang dihasilkan ditiriskan dan dikeringkan untuk kemudian digiling secara halus menggunakan disc mill. Tepung jagung kasar yang dihasilkan kemudian diayak menggunakan ayakan berukuran 100 mesh hingga dihasilkan tepung jagung halus berukuran 100 mesh.

Setelah diperoleh tepung jagung halus, pembuatan mi instan subtitusi jagung dapat dilanjutkan dengan menggunakan formulasi hasil optimalisasi pada penelitian mi jagung instan yang dilakukan sebelumnya oleh Stefanus (2010) dengan tahapan yang dapat dilihat pada Gambar 4. Mi

(30)

15

instan subtitusi jagung tersebut kemudian dibandingkan teksturnya baik dari segi kekenyalan maupun elastisitasnya dengan mi instan biasa yang dibuat dari tepung terigu sebagai kontrol.

Gambar 2. Kerangka berpikir kegiatan penelitian

T A H A P I T A H A P II Analisis Fisik - Kadar Air - Cooking loss/KPAP - Warna sebelum direhidrasi - Tekstur sesudah direhidrasi (TPA)

Analisis Organoleptik

- Uji Skoring/Rating

Analisis Kimia

- Bilangan TBA - Bilangan Peroksida Penentuan Umur Simpan

(shelf life)

TUJUAN

1. Menentukan umur simpan (shelf life) mi jagung instan dengan metode ASLT Model Arrhenius dan parameter organoleptik

2. Menentukan parameter terbaik untuk pendugaan umur simpan

Tepung Jagung 100 mesh Mi Jagung

Penepungan Penyimpanan

(32, 37, 45, 50 dan 52°C; 5 minggu)

Pembuatan Mi Jagung Instan Metode Sheeting

(31)

16

Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung jagung (Putra, 2008)

2. Pendugaan Umur Simpan (shelf-life)

Umur simpan produk pangan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu produk pangan untuk mengalami kerusakan hingga tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi penyimpanan, proses, dan pengemasan yang spesifik. Umur simpan produk pangan juga diartikan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Arpah, 2001).

Tahap pendugaan umur simpan produk mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahap ini dilakukan dengan menyimpan mi instan tersebut pada kondisi suhu ekstrim, menghitung kinetika penurunan mutu, dan menentukan umur simpan pada suhu yang diinginkan.

Jagung pipil

Penggilingan kasar (hammer mill)

Pemisahan endosperma dari lembaga, kulit, dan tip cap

Grits jagung

Penirisan dan pengeringan

Lembaga, kulit, dan tip cap

Penggilingan halus (disc mill)

Tepung jagung kasar

Pengayakan 100 mesh

Tepung jagung halus 100 mesh

(32)

17

Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan mi jagung instan metode sheeting

a. Penyimpanan Mi pada Kondisi Suhu Ekstrim

Pada penelitian ini, produk mi instan subtitusi jagung sebanyak 50 g akan disimpan pada lima kondisi suhu ekstrim, yaitu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C sehingga diharapkan mampu mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk. Semakin banyak suhu yang digunakan akan memberikan persamaan Arrhenius yang lebih baik dan lebih dipercaya dalam memprediksi umur simpan produk pada berbagai suhu penyimpanan, karena persamaan tersebut diperoleh dari lima suhu penyimpanan. Penyimpanan mi instan ini hanya menggunakan satu jenis kemasan yang memang biasa digunakan untuk produk mi instan, yaitu kemasan PP. Produk mi instan subtitusi jagung kemudian diamati dan dianalisis parameter mutunya selama 5 minggu (pada minggu ke-1,2,3,4,dan 5). Parameter mutu yang diamati diantaranya adalah bilangan TBA, bilangan

Mi instan subtitusi jagung Minyak goreng

Tepung jagung 30%, tepung terigu 70 %, garam 1%, guar gum 1%, baking powder 0.3%, air 40% (berdasarkan hasil penelitian terpisah)

Pencampuran dengan dough mixer selama 10 menit

Pembulatan dan pengistirahatan adonan

Pembentukan lembaran mi (sheeting) hingga ketebalan 1.6 mm

Pengukusan (steaming) 100 0C, 15 menit Pencetakan untaian mi (slitting) dan pemotongan

Penggorengan

(33)

18

peroksida, cooking loss/Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP), warna dengan menggunakan Chromameter, tekstur dengan menggunakan TPA (Texture Profile Analyzer), dan beberapa faktor mutu berdasarkan parameter organoleptik seperti rasa dan bau tengik, warna, dan tekstur sesudah direhidrasi.

b. Penghitungan Kinetika Penurunan Mutu

Penentuan umur simpan metode Arrhenius didasarkan atas kemudahan terjadinya penurunan mutu produk akibat penyimpanan produk pada suhu ekstrim. Kenaikan suhu ini dapat mempercepat berlangsungnya reaksi-reaksi kerusakan (deteriorasi) yang dapat memperpendek umur simpan suatu produk. Secara keseluruhan, tahapan pendugaan umur simpan melalui penghitungan kinetika penurunan mutu produk pada penelitian utama ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram alir pendugaan umur simpan produk mi jagung instan

Pengamatan subjektif dan objektif (organoleptik) pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya hingga sampel benar-benar tidak dapat

diterima oleh panelis

Penyimpanan pada suhu 32 0C,370C, 45 0C, 500C dan 52 0C Mi jagung instan

Pemplotan nilai (skor) mutu dan waktu pengamatan pada masing-masing suhu dan atribut

Penetapan nilai mutu awal dan batas kritis produk

Penetapan ordo reaksi (ordo nol atau ordo satu) melalui kurva dengan nilai R2 tertinggi

Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dari kurva

Gambar

Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung  Bagian Anatomi  Jumlah (%)
Gambar 1. Struktur biji jagung (Shukla dan Cheryan, 2000)
Gambar 2. Kerangka berpikir kegiatan penelitian
Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung jagung (Putra, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seperti, kasus dua lembaga negara Presiden dan DPR/DPD-RI cenderung berlawanan untuk membatasi dominasi maupun pengawasan parlemen, sebagai badan perwakilan dalam arti

23.. g) Kegiatan praktek pada bagian pengelolaan arsip digital h) Kegiatan praktek dalam menyiapkan pusat arsip organisasi. Dari jenis laporan yang harus dibuat mahasiswa, terlihat

Alih aksara merupakan penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari aksara kuno (daerah) ke aksara Latin.Dalam melakukan alih aksara, harus menjaga kemurnian

Dalam wawancara dengan Muhamad Mukhtar Zaedin sebagai sejarawan Cirebon (26 Agustus 2018) dapat disampaikan bahwa pada saat ini pengetahuan masyarakat tentang Kapten

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Implementasi Kebijakan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) Dalam Mengatasi Gagal Panen Di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone: Hasil

Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan, “ada pengaruh pelatihan, serta kompensasi terhadap kinerja

Teknologi digital maupun upaya untuk membuat ekosistem digital, bisa mem-boosting ekonomi Indonesia dengan dampak yang cukup besar, juga dari sisi ketahanan pangan.. Survei

Piagam penghargaan “ Anggota evaluasi presentasi dan program KKN “ Universitas Lampung ORGANISASI PROFESI/ILMIAH Tahun Organisasi Jabatan 2003. Himpunan Ahli Teknik Hidrolik