• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK KEPERILAKUAN PADA PERSYARATAN PELAPORAN DAN ETIKA AKUNTAN.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASPEK KEPERILAKUAN PADA PERSYARATAN PELAPORAN DAN ETIKA AKUNTAN.docx"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK KEPERILAKUAN PADA PERSYARATAN PELAPORAN DAN ETIKA ASPEK KEPERILAKUAN PADA PERSYARATAN PELAPORAN DAN ETIKA

AKUNTAN AKUNTAN

Tugas Kelompok Tugas Kelompok

Untuk Memenuhi Tugas Akuntansi Perilaku Untuk Memenuhi Tugas Akuntansi Perilaku

Disusun oleh: Disusun oleh:

1.

1. Febiasty Febiasty Nur Nur Maharani Maharani (F0314073)(F0314073) 2.

2. Iis Iis Khairun Khairun Nisa Nisa (F0314044)(F0314044) 3.

3. Ivo Ivo Herlina Herlina P. P. (F0314050)(F0314050) 4.

4.  Niken Ayu Wulandari  Niken Ayu Wulandari (F0314073)(F0314073) 5.

5. Resi Resi Alam Alam Bestari Bestari (F0314083)(F0314083)

JURUSAN AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA SURAKARTA

2016 2016

(2)

ASPEK KEPERILAKUAN PADA PERSYARATAN PELAPORAN ASPEK KEPERILAKUAN PADA PERSYARATAN PELAPORAN

A.

A. Syarat-SyaSyarat-Syarat rat PelaporanPelaporan

Persyaratan pelaporan ialah persyaratan untuk melaporkan informasi kepada orang lain Persyaratan pelaporan ialah persyaratan untuk melaporkan informasi kepada orang lain tentang siapa atau apa kita, bagaimana kita menjalankan hidup, bagaimana kita mengerjakan tentang siapa atau apa kita, bagaimana kita menjalankan hidup, bagaimana kita mengerjakan  pekerjaan, bagaimana keadaan

 pekerjaan, bagaimana keadaan dari orang dari orang dan benda untuk mana dan benda untuk mana kita bertanggung jawab kita bertanggung jawab dandan seterusnya. Kebanyakan riset akuntansi keperilakuaan mengenai dampak informasi telah seterusnya. Kebanyakan riset akuntansi keperilakuaan mengenai dampak informasi telah memfokuskan pada bagaimana penerima menggunakan informasi yang dilaporkan guna memfokuskan pada bagaimana penerima menggunakan informasi yang dilaporkan guna membuat penilaan

membuat penilaan dan atau dan atau keputusan. Ikeputusan. Istilah “pelapor” danstilah “pelapor” dan”pengirim” ”pengirim” akan diguakan digunakannakan secara bergantian dan mengacu pada individu, organisasi, atau kelompok yang diharuskan secara bergantian dan mengacu pada individu, organisasi, atau kelompok yang diharuskan untuk melaporkan informasi.

untuk melaporkan informasi.

Intisari dari proses akuntansi adalah komunikasi atas informasi yang memiliki implikasi Intisari dari proses akuntansi adalah komunikasi atas informasi yang memiliki implikasi keuangan atau manajemen. Karena pengumpulan dan pelaporan informasi mengonsumsi keuangan atau manajemen. Karena pengumpulan dan pelaporan informasi mengonsumsi sumber daya, biasanya hal tersebut tidak dilakukan secara sukarela kecuali pelapor yakin sumber daya, biasanya hal tersebut tidak dilakukan secara sukarela kecuali pelapor yakin  bahwa

 bahwa hal hal ini ini akan akan mempengaruhi mempengaruhi si si penerima penerima untuk untuk berperilaku berperilaku sebagaimana sebagaimana yangyang diinginkan oleh pelapor.

diinginkan oleh pelapor.

Informasi yang dilaporkan adalah bagian yang penting dari proses pengelolaan dan Informasi yang dilaporkan adalah bagian yang penting dari proses pengelolaan dan  pengendalian

 pengendalian organisasi. organisasi. Tanpa Tanpa informasi, informasi, manajer, manajer, kreditor, kreditor, dan dan pemilik pemilik tidak tidak dapatdapat mengatakan apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana atau apakah tindakan mengatakan apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana atau apakah tindakan korektif diperlukan. Persyaratan pelaporan dikenakan dan dipaksakan oleh beraneka ragam korektif diperlukan. Persyaratan pelaporan dikenakan dan dipaksakan oleh beraneka ragam orang dan organisasi dengan cara yang beraneka rupa.

orang dan organisasi dengan cara yang beraneka rupa.

B.

B. Bagaimana Persyaratan Pelaporan Memengaruhi PerilakuBagaimana Persyaratan Pelaporan Memengaruhi Perilaku

Persyaratan pelaporan dapat mempengaruhi perilaku pelapor dalam beberapa cara. Persyaratan pelaporan dapat mempengaruhi perilaku pelapor dalam beberapa cara. Bentuk lain dari pengukuran yang digunakan dalam organisasi seperti audit dan pengamatan Bentuk lain dari pengukuran yang digunakan dalam organisasi seperti audit dan pengamatan langsung juga memilik banyak dampak yang sama terhadap persyaratan pelaporan, selain langsung juga memilik banyak dampak yang sama terhadap persyaratan pelaporan, selain dampak spesifiknya sendiri.

dampak spesifiknya sendiri. 1)

1) Antisipasi Penggunaan InformasiAntisipasi Penggunaan Informasi

Pengirim menggunakan persyaratan pelaporan itu sendiri bersama sama dengan Pengirim menggunakan persyaratan pelaporan itu sendiri bersama sama dengan informasi lainnya untuk mengantisipasi bagaimana penerima bereaksi terhadap informasi informasi lainnya untuk mengantisipasi bagaimana penerima bereaksi terhadap informasi yang dilaporkan. Karena orang pada umumnya bereaksi dengan cara-cara yang mereka yang dilaporkan. Karena orang pada umumnya bereaksi dengan cara-cara yang mereka yakin akan mengarah pada hasil yang mereka inginkan, pengirim informasi tersebut yakin akan mengarah pada hasil yang mereka inginkan, pengirim informasi tersebut mencoba untuk menyimpulkan bagaimana penerima informasi akan menggunakan dan mencoba untuk menyimpulkan bagaimana penerima informasi akan menggunakan dan

(3)

 bereaksi terhadap informasi yang disediakan. Jika pengirim mengantisipasi adanya suatu reaksi yang tidak menyenangkan terhadap informasi mengenai perilaku mereka sekarang, mereka mungkin akan memodifikasi perilaku mereka sedemikian rupa, sehingga informasi yang dilaporkan akan menimbulkan reaksi yang lebih diinginkan.

Dalam konteks manajemen, pengirim seringkali dianggap bertanggungjawab untuk mengendalikan hal-hal yang juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor lain yang tidak dapat dikendalikan oleh si pengirim.

2) Prediksi si Pengirim mengenai Penggunaan si Pemakai

Terkadang, seseorang merasa pasti mengenai bagaimana penerima akan menggunakan informasi, sementara pada waktu-waktu lain seseorang tidak merasa mengenai bagaimana informasi tersebut digunakan. Jika setiap orang selalu jelas dan jujur mengenai bagaimana mereka akan menggunakan informasi yang dilaporkan, maka akan terdapat lebih sedikit masalah, tetapi masih tetap ada kemungkinan bahwa informasi tersebut akan kemudian digunakan dalam cara-cara yang tidak dimaksudkan ketika  pertama kali informasi tersebut diminta.

Dalam kasus ini pelapor memiliki pekerjaan yang sulit untuk menebak kapan dan  bagaimana informasi tersebut akan digunakan. Mereka kemungkinan besar akan  berdasarkan prediksi mereka pada bagaimana informasi yang dilaporkan digunakan dalam situasi yang serupa dalam pengalaman mereka, atau bagaimana mereka akan menggunakan jika mereka ada pada posisi si peminta informasi, bersama-sama dengan informasi apapun yang tersedia mengenai bagaimana laporan ini akan digunakan.

Bahkan ada pula ketika orang menyatakan dengan jelas mengenai rencana mereka dalam menggunakan informasi yang dilaporkan, namun kenyataannya mereka menggunakan informasi tersebut dengan cara yang mereka indikasikan atau janjikan tidak akan digunakan. Hal ini menyebabkan timbulnya potensi penyalahgunaan informasi tertentu yang berkaitan dengan privasi.

3) Insentif atau Sanksi

Kekuatan dan sifat dari kekuasaan terhadap pengirim adalah penentu yang penting mengenai seberapa besar kemungkinan bahwa si pengirim akan mengubah keperilakuannya. Semakin besar potensi yang ada bagi si penerima untuk memberikan  penghargaan atau sanksi kepada si pengirim semakin hati-hati pula si pengirim akan  bertindak dalam memastikan bahwa informasi yang dilaporkan dapat diterima oleh si  penerima.

(4)

Waktu adalah faktor yang penting apakah persyaratan pelaporan akan meyebabkan  perubahan dalam perilaku pengirim atau tidak. Supaya persyaratan pelaporan dapat menyebabkan si pengirim mengubah perilakunya, ia harus mengetahui persyaratan  pelaporan tersebut sebelum ia bertindak. Jika persyaratan pelaporan hanya terjadi setelah  pengirim telah bertindak maka tidak akan ada peluang untuk mengubah perilaku masa lalu. Tetapi kebanyakan persyaratan pelaporan repetitif dalam konteks manajemen sehingga bahkan jika persyaratan pelaporan yang pertama dikenakan setelah perilaku yang dilaporkan terjadi pelapor akan mengetahui didepan bahwa laporan berikutnya harus dibuat.

5) Strategi Respons Iterative

Ketika suatu persyaratan pelaporan baru dikenakan, strategi yang paling murah adalah untuk terus beperilaku seperti biasa, melaporkan sejujurnya perilaku tersebut, dan menunggu respon dari penerima. Jika tidak ada respon maka strategi tersebut dapat diteruskan. Umpan balik negatif dari penerima yang mengindikasikan bahwa perilaku apa yang diinginkan oleh penerima dan bagaimana ia akan merespon.

Kemungkinan pelapor mengubah perilakunya dalam menanggapi persyaratan  pelaporan saja bergantung paling tidak sebagian pada :

 Seberapa jelas apa yang diinginkan oleh penerima untuk terjadi

 Seberapa jelas untuk apa informasi yang dilaporkan tersebut akan digunakan oleh

 penerima

 Penghargaan atau sanksi apa yang dapat diberikan oleh penerima kepada pengirim  Penghargaan atau sanksi manakah yang mungkin digunakan oleh penerima

 Seberapa besar perubahan dalam perilaku pada suatu dimensi dapat memengaruhi

kinerja pada dimensi-dimensi penting lainnya 6) Pengarah Perhatian

Dampak mengarahkan perhatian dapat dianggap sebagai dampak dari pencatatan dan  bukannya dampak dari pelaporan informasi karena dampak tersebut timbul dari kepentingan pengirim itu sendiri dan tidak bergantung pada informasi yang dilaporkan kepada siapapun. Tetapi, dampak tersebut,dipertimbangkan dapat terjadi sebagai respon terhadap persyaratan pelaporan dari luar meskipun hal tersebut juga dapat terjadi tanpa adanya persyaratan tersebut.

(5)

C. Dampak dari Persyaratan Pelaporan

Persyaratan pelaporan dapat mempengaruhi perilaku disemua bidang seperti :

1. Akuntansi Keuangan

Badan-badan yang berwenang dalam akuntansi keuangan di Amerika Serikat, termasuk Securities Exchange Commission (SEC), Financial Accounting Standards Board (FASB), dan Financial Executive Research Foundation (FERF), telah mengakui dampak potensial yang dimiliki oleh persyaratan pelaporan terhadap perilaku korporat. FASB dan FERF baru-baru ini mulai mendorong dan mendukung investigasi mengenai dampak semacam itu dan mempertimbangkannya secara eksplisit dalam proses penetapan standar. Awal tahun 1969 diusulkan bahwa prinsip  –   prinsip akuntansi yang diterima secara umum (GAAP) dapat mempengaruhi perilaku. Hawkins membahas dampak-dampak yang mungkin terhadap kebijakan operasi manajer mengenai prinsip-prinsip akuntansi. Sehingga timbullah pernyataan bahwa GAAP yang bagus secara keperilakuan akan menghambat manajer untuk mengambil tindakan operasi yang tidak dii nginkan guna membenarkan adopsi atas suatu alternatif akuntansi dan menghambat adopsi praktik akuntansi oleh korporasi yang menciptakan ilusi kerja. Beberapa prinsip akuntansi kemudian diterapkan setelah diperdebatkan terlebih dahulu mengenai dampak yang akan ditimbulkan. Beberapa hal yang kontroversial dari pernyataan standar akuntansi tersebut merupakan contoh mengenai bagaimana prinsip akuntansi mempengaruhi perilaku.

2. Akuntansi Perpajakan

Akuntansi perpajakan keperilakuan merupakan bidang yang relative masih belum di eksplorasi. Tetapi, bidang tersebut tentu saja merupakan bidang yang sensitive dalam kaitannya dengan persyaratan pelaporan. Beberapa orang bahkan percaya bahwa  persyaratan pelaporan pajak yang sekarang melanggar hak konstitusional. Umumnya  persyaratan pelaporan dianggap rumit dan sulit bagi pembayar pajak. Kerumitan tersebut tidak hanya dirasakan pembayar pajak, tetapi orang lain seperti karyawan dengan maksud agar hukum pajak lebih dipatuhi. Pengetahuan akan informasi trsebut akan dilaporkan ke kantor pajak oleh orang lain diharapkan oleh pembayar pajak untuk mencoba menghindari pajak

3. Akuntansi Sosial

Hanya sedikit saja yang diketahui mengenai dampak dari akuntansi sosial terhadap  pengirim informasi. Masih terdapat relative sedikit akuntansi sosial bagi public, dan kebanyak riset mengenai hal itu berkaitan dengan dampak terhadap penerima dari

(6)

informasi yang dilaporkan. Karena akuntansi sosial eksternal masih bersifat sukarela, maka tidak terdapat dampak apapun terhadap persyaratan pelaporan, meskipun masih terdapat dampak terhadap pelaporan secara sukarela. Karena akuntansi sosial merupakan  bidang perhatian yang relative baru dan sering kali mengalami konflik dengan kriteria kinerja yang sudah lebih mapan, maka terutama sangat penting untuk menggabungkan  persyaratan pelaporan dengan pedoman keperilakuan dan sanksi untuk ketidakpatuhan

yang sangat eksplisit. 4. Akuntansi Manajemen

Manajemen dapat memberlakukan persyaratan pelaporan internal apapun yang diinginkannya kepada bawahan. Pos-pos yang dilaporkan secara internal dapat bersifat keuangan, operasional, sosial, atau suatu kombinasi. Akan tetapi, hanya terdapat sedikit data akuntansi manajemen yang tersedia bagi publik karena data tersebut jarang dilaporkan diluar organisasi. Sangat sulit juga untuk digeneralisasi karena setiap organisasi memiliki sistem akuntansi manajemen, sekelompok persyaratan pelaporan, dan hubungan organisasional yang unik.

D. Penilaian Dampak Terhadap Pengirim Informasi

Terdapat banyak cara untuk menilai dampak dari persyaratan pelaporan terhadap  pengirim informasi. Yang paling tersedia adalah pengambilan keputusan deduktif, yang melibatkan pemikiran secara hati-hati mengenai bagaimana persyaratan pelaporan akan  berinterasksi dengan kekuatan-kekuatan motivasional lainnya guna membentuk perilaku manajer. Teknik ini sebaiknya selalu digunakan sebelum memberlakukan suatu persyaratan  pelaporan.

Metode lain adalah dengan menanyakan kepada para pelapor mengenai perilaku mereka. Suatu cara formal untuk melakukan hal ini adalah dengan survey, yang dapat terdiri atas pertanyaan-pertanyaan sempit dengan kemungkinan tanggapan yang ditentukan atau atas  pertanyaan-pertanyaan sempit dengan kemungkinan tanggapan yang ditentukan atau atas  pertanyaan-pertanyaan sempit dengan kemungkinan jawaban yang terbuka atau atas

gabungan dari keduanya.

Cara untuk memastikan mengenai apakah persyaratan pelaporan mengubah perilaku  pelaporan adalah dengan mngamati peilaku dengan mengamati perilaku dengan dan tanpa  persyaratan pelaporan. Hal ini sebaiknya dilakuakn dalam eksperimen terkendali yang mana

(7)

kondisi eksperimen harus cukup serupa dnegan kondisi alamiah. Masalah dalam kondisi alamiah aadalah bahwa banyak hal lain yang kemungkinan akan berubah pada saat yang  bersamaan dengan persyaratan pelaporan. Hal ini tentu menyulitkan untuk menentukan apakah penyebab dari perilaku yang diamati adalah karena persyaratan pelaporan atau karena faktor lain.

(8)

ASPEK KEPERILAKUAN PADA ETIKA AKUNTAN

A. Dilema Etika

Akuntan didalam aktivitas auditnya memiliki banyak hal yang harus dipertimbangkan karena auditor mewakili banyak konflik kepentingan yang melekat dalam proses audit. Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi dan integritasnya dalam imbalan ekonomis yang mungkin dijanjikan. Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis.

Penalaran Moral

Penalaran moral dan pengembangan memainkan peran kunci dalam seluruh area profesi akuntansi. Akuntan yang secara kontinu dihadapkan pada dilema berada pada konflik nilai. Akuntan pajak misalnya, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode akuntansi yang akan dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode yang mencerminkan sifat ekonomi sesungguhnya dari transaksi atau metode yang paling sesuai menggambarkan  perusahaan. Ketika keputusan profesional didasarkan pada keyakiann dan nilai individual,

maka penalaran moral memainkan peranan penting dalam keputusan akhir seseorang.

Arnold dan Ponemon menekankan pentingnya paradigma riset ini karena alasan :

1. Riset tingkat penalaran moral akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan mengenai resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan

2. Riset dalam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimulkan oleh  pebedaan kepuusan etika akuntan.

B. Model Pengambilan Keputusan Etis 1. Teori Penalaran Moral dari Kohlberg

Landasan dari mayoritas studi akuntansi yang dicurahkan pada perilaku etis akuntan adalah psikologi moral reasoning.  Etika atau moral reasoning   berbeda dengan proses mental lainya dalam tiga aspek yaitu:

a. Kognisi yang didasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang nampak

 b. Keputusan yang didasarkan pada beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang lain

(9)

c. Keputusan yang dibangun di seputar isu “keharusan” dan bukan pada peringkat  preferensi atau kesukaan sederhana

Dalam pengembangan psikologi moral oleh Piaget, ia menemukan bahwa individu secara berurutan mengalami kemajuan ke tingkat atau tahap moral reasoning  yang lebih tinggi sebagai proses dari pertambahan usia.

Dalam teori oleh Kohlberg, ia menyamakan tiga tingkatan dengan tiga jenis hubungan yang berbeda antara diri, aturan dan harapan masyarakat. Pada tingkat prakonvensional, individu lebih memperhatikan efek aksi yang dipilih terhadap dirinya. Di tingkat ini, individu umumnya mengikuti hukum masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat karena hal tersebut menguntungkan. Sedangkan pada tingkat pascakonvensional, individu mendefinisikan nilai pribadi dalam pengertian individual yang dipilih dari  prinsip-prinsip dan membedakan dirinya dari aturan dan harapan orang lain. Individu

tidak harus berada diatas hukum, melainkan bertindak dengan cara pada umumnya konsisten dengan hukum masyarakat dan sesuai dengan perhatian masyarakat.

Teori yang dikembangkan Rest, ia mengakui bahwa rangkaian tahap dari Kohlberg adalah bagian integral dari model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Rest mendefinisikan komponen penentu perilaku moral, yaitu:

a. Sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi)

 b. Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral) c. Motovasi moral (menempatkan nilai moral diatas nilai lainnya)

d. Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasian aksi moral) Kohlberg menyatakan bahwa individu pada tingkat moral reasoning  yang lebih tinggi maka dapat melakukan tindakan moral yang benar. Kohlberg menyatakan bahwa wawancaranya semata-mata hanya dilakukan dengan perempuan, sehingga mengabaikan  perbandingan gender atau prespektif feminis.

2. Ukuran Moral Reasoning

Kohlberg dan koleganya mengembangkan sebuah metofe penilaian yaitu wawancara  penilaian moral (moral judgement interview-MJI). Metode tersebut merupakan metode  penilaian elaboratif yang digunakan untuk menganalisis masing-masing protokol erbal individual terhadap resolusi dari berbagai dilema, sehingga menghasilkan sebuah skor tunggal.

Alternatif yang dikembangkan oleh Rest, yaitu pengujian definisi masalah ( definition of issue test-DIT) yang berupa kuisioner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan ukuran objektif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis (bukan

(10)

skor tunggal). Jadi dalam merespon konfilk, subjek diminta untuk memilih masalah yang  paling relevan terhadap penyelesaian dilema yang ditampilkan. Sehingga DIT lebih

sederhana untuk dilaksanakan dan dihitung daripada MJI karena poin yang ditentukan masing-masing respon. Skor DIT P (prinsip) adalah jumlah respon yang berhubungan dengan tingkat moral reasoning  tertinggi dan mengukur presentase respon. DIT P telah terbukti menjadi ukuran objektif dengan skor validitas dan reabilitas statistik yang sangat tinggi.

Hanya saja, metode DIT ini masih memiliki kekurangan yakni DIT dinilai kurang memiliki aspek kualitatif dari protokol yang sudah didasarkan pada MJI dan ukuran sosio metrik lainnya dan ukuran objektif refleksi sosio moral (SROM). Itu disebabkan karena  pada DIT subjek hanyak perlu untuk memilih diantara justifikasi yang sudah disediakan.

Dalam konsteks domain positif, pengendalian DIT sebagai ukuran kapasitas etis semakin diperdebatkan, DIT dikritik sebagai ukutan tingkat moral reasoning   akuntan yang buruk. Terdapat asumsi implisit bahwa semakin tinggi DIT semakin baik.

3. Pendekatan Kognitif Lingkungan terhadap Pengambilan Keputusan Etis

Terdapat banyak riset yang menggunakan DIT sebagai perilaku etis individual yang telah berkembang. Misalnya Skala Etis Multidemensional (SEM) sebagai ukuran kesadaran moral, untuk focus pada dinamika pengambilan keputusan yang melibatkan  perilaku etis yang belum diselidiki. Delapan Skala Likert bipolar dibagi menjadi 3

dimensi, yaitu keadilan moral, relativisme, dan kontraktualisme. Tujuannya adalah memvalidasi penggunaan SEM dalam konteks akuntansi. SEM dikritik gagal memasukan kerangka kerja psikolog.

4. Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis

Terdapat model pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan secara spesifik untuk profesi akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi dimana auditor dianggap melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat model dari proses keputusan etis auditor sebagai proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elemen, yaitu:

a. Pemahaman keuntungan  b. Pengendalian dampak

c. Keputusan lain d. Penilaian lain

(11)

Untuk dibandingkan dengan model yang berbasis kode etik dan perilaku profesional AICPA.

C. Riset Perilaku Etis Akuntan 1. Studi Pendidikan Etika

Studi pendidikan etika berusaha menentukan efek pendidikan terhadap keahlian moral reasoning  dari para praktisi dan mahasiswwa akuntansi. Berikut merupakan bebera studi representatis yang membahas masalah ini:

a. M. Armstrong (1987)

Ia membandingkan tingat moral reasoning dari CPA dibandingkan dengan mahasiswa yang sudah dan belum lulus. Hasilnya, skor DIT rata-rata CPA secara signifikan lebih rendah daripada mahasiswa yang sudah dan belum lulus tersebut. Disimpulkan bahwa responden CPA mencapai tingkat kematangan moral orang dewasa pada umumnya, kebalikan dari tingkat kematangan lulusan kampus. Dengan kata lain pendidikan kampus mungkin tidak mendorong kelanjutan dari  pertumbuhan moral.

 b. Ponemon dan Glazer (1990) serta Jeffrey (1993)

Ponemon dan Glazer memperluas penyelidikan kedalam tingka moral reasoning  akuntan dengan membandingkan mahasiswa dan alumni untuk dua lembaga  pendidikan yang terletak di daerah timur Amerika Serikat. Sampel dipilih

menggunakan perencanaan kelompok sampel ( sampling cluster ) yaitu kampus seni liberal swasta jurusan akuntansi dengan  American Assembly of Collegiate School  Business ( AACSB). Hasilnya menunjukan 3 temuan utama:

1) Skor DIT senior dan alumni rata-rata lebih tinggi dari mahasiswa baru

2) Variasi skor DIT strata alumni secara signifikan lebih rendah daripada variasi dalam peringkat mahasiswa

3) Siswa dan alumni dari kurikulum seni liberal sedikit lebih maju dalam  pemahaman ukuran DIT

Dapat disimpulkan, etika mahasiswa akuntansi lebih tinggi daripada  perkembangan etika mahasiswa dalam divisi yang lebih rendah dengan mahasiswa

akuntansi senior menampilkan tingkat tertinggi. c. St Pierre, Nelson, dan Gabbin (1990)

Ia membandingkan mahasiswa senior dari seluruh disiplin ilmu yang berbeda antara jurusan bisnis dan nonbisnis pada universitas menengah di Amerika Serikat

(12)

 berkaitan dengan jurusan, gender, dan paparan awal terhadap etika dalam kurikulum formal. Hasilnya, mahasiswa dalam tiga jurusan non bisnis mempunyai skor DIT yang tinggi dibandingkan dengan jurusan bisnis. Selain itu, mahasiswi akuntansi memiliki skor yang lebih tingi dari pada mahasiswa akuntansi. Mahasiswi akuntansi  juga memiliki skor yang lebih tinggi daripada mahasiswa senior dari jurusan lainnya. Sehingga, paparan terhadap pendidikan etika tidak menunjukkan dampak yang signifikan.

d. Ponemon (1993a)

Mengkaji pengaruh intervensi etika terhadap perkembangan perilaku etis mahasiwa akuntansi. Hasilnya menunjukkan, intervensi etika tidak menyebabkan tingkat ethical reasoning dan tidak membatasi perilaku free riding  mahasiswa pada eksperimen pilihan ekonomi, tetapi mahasiswa dengan tingkat pra dan pasca konvensional dalam ethnical reasoning  paling mungkin untuk melakukan  free riding.

e. M. Armstrong (1993)

Menguji pengembangan moral untuk siswa yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme di universitas yang didukung oleh negara bagian Amerika Serikat. Mata kuliah profesionalisme dan etis membahas mengenai landasan toristis,pedoman profesional,investigasi kongres, respon prefesional,Komisi  perdagangan fedreal dan studi kasus.Hasil pengujian ini menunjukkan mahasiswa yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme mengalami kenaikan skor DIT lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa kelompok kontrol.

f. Lampe (1994)

Menyampaikan hasil dari studi akuntansi longitudinal tingkat mahasiswa sehubungan dengan moral reasoning   di Universitas Southwestern,Amerika. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran keputusan moral mahasiswa, penalar an dalam situasi dilema etika, keputusan dan sikap terhadap perilaku tidak berubah.

2. Studi Pengembangan Etika

Studi pengembangan etika mengkaji dampak pendidikan terhadap praktisi mahasiswa akuntansi, studi ini berfokus pada pengembangan moral reasoning dalam profesi akuntansi. Berikut beberapa hasil studi pengembangan etika :

(13)

Menyelidiki ethical reasoning   dan penilaian praktisi aluntansi dalam perusahaan  publik. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat posisi dalam perusahaan dan tingkat

moral reasoning  berbanding terbalik.  b. Ponemon (1992a)

Menguji pengaruh sosialisasi kantor akuntan publik terhadap tingkat ethical reasoning   masing  –   masing CPA. Hasil dari pengujian ini menunjukkan budaya organisasional berhubungan dengan pengembangan moral reasoning auditor dan kepercayaan pribadi dan tidak ada perbedaan dalam pengambilan keputusan.

c. Shaub (1994)

Shaub menyelidiki perbedaan antara sampel yang terdiri atas atas 207 auditor dan sampel yang terdiri atas 91 mahasiswa akuntan senior dengan enam variabel demografis. Hasilnya menunjukkan bahwa usia dan pendidikan idak secara signifikan  berhubungan dengan tingkat moral reasoning kedua sampel.

d. Sweeney (1995)

Menyelidiki asosiasi antara faktor demografis dan organisasioanl dengan tingkat moral reasoning dari auditor. Hasil membuktikan skor DIT menurun seiring  peningkatan tingkat posisi pada perusahaan sampel. Investigasi selanjutnya menunjukkan bahwa keahlian moral sangat berhubungan dengan orientasi politik auditor dan gender.

e. Jeffrey dan Weatherhol (1996)

Menyelidiki perbedaan pengembangan etika, komitmen profesional, dan sikap terhadap aturan antara akuntan KAP Big 6 dengan KAP Fortune 500. Hasilnya tidak terdapat perbedaan dalam pengembangan etika. Namun terdpat perbedaan lain yaitu komitmen profesional partner lebih kuat daripada komitmen profesional senior. Sementara sikap terhadap aturan tidak berbeda.

f. Kite, Louwer, dn Randtke (1996)

Mereka mengkaji perbedaan dalam tingkat moral reasoning antara auditor lingkungan dengan auditor internal lain dan akuntan publik dengan asumsi bahwa auditor dengan tingkat moral reasoning yang llebih tinggi kemungkinan akan memilih sendiri lingkungan penugasan audi mereka. Tetapi setelah pengujian ditemukan hasil bahwa hipotesis tidak terbukti dan muncul analisi tambahan bahwa auditor yang meminta  posisi di bidang audit lingkungan secara signifikan mempunyai skor DIT lebih tinggi

daripada yang ditentukan oleh perusahaan mereka untuk posisi tersebut. 3. Studi Keputusan Etis

(14)

Studi keputusan etis berfokus pada hubungan antara bermacam  –   macam ukuran dan  perilaku spesifik terhadap bidang akuntansi. Bagian berikut menelaah studi representatif

yang mengkaji : 1) Isu Independensi

a. Ponemon dn Gabhart (1990)

Ponemon dan Gabhart melakukan pengkajian dengan melakukan penilitian yang mana subjek yang harus menyelesaikan DIT dan studi kasus yang melibtkan dilema hal independensi. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor dengan skor DIT rendah lebih mungkin untuk melanggar aturan independensi dan lebih sensitif terhadap faktor pinalti eksplisit jika auditor ditangkap. Sedangkan partner dan manajer dengan skor rendah , penilaian independensi audit bersifat sensitif terhadap faktor penalti.

 b. Windsor dan Ashkanasy (1995)

Mereka mengkaji bagaimana hubungan antara budaya organisasional,  pengembangan moral reasoning, dan kepercayaan dalam dunia mempengaruhi independensi auditor serta gaya pengambilan keputusan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa budaya organisasional berhubungan dengan pengambilan moral reasoning audior dan kepercayaan pribadi, tetapi tidak ada perbedaan di antara ketiga gaya pengambilan keputusan.

c. Schatzberg, Sevcik, dan Shapio (1996)

Menguji validitas dari tiga kondisi umum yang dianggap penting terhadap kerusakan independensi. Kondisi tersebut adalah (1) perhatian klien terhadap isu  pelaporan, dimana variasi pelaporan lintas bagian harus ada pada auditor ( 2)

quasi rent harus sesuai dengan auditor periode selanjutnya (3) jika dua kondisi  pertama ada, biaya manfaat ekonomi gabungan dalam situasi multiperiode seharusnya menghasilkan manfaat ekonomi bersih bagi auditor dari kerusakan indepnedensi.

d. Shaub dan Lawrance (1996)

Menyelidiki tentang latihan skeptisme profesional auditor sebagai alat untuk menekan perilaku klien yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka mendefinisikan skptisme sebagai fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor- faktor situsional. Situasi yang menimgkatkan skeptisme meliputi (1) transaksi yang berhubungan dengan pihak lain (2) keputusan bisnis buruk

(15)

sebelumnya yang dilakukan oleh klien (3) ketidakakuratan yang dilakukan oleh klien sebelumnya (4) komunikasi buruk antara klien dengen auditor.

2) Pelanggaran Lain Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA a. Lampe dan Finn (1992)

Membuat model atas proses keputusan etis auditor dengan mengembangkan model lima elemen ( mendapatkan pemahaman, mempertimbangkan keputusan alternatif, menilai menggunakan nilai lain, mengambil keputusan final) untuk dibandingkan dengan model berbasis kode etik dan perilaku profesional AICPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) model lima elemen mencerminkan keputusan yang dibuat dibanding dengan model implementasi kode (2) model lima elemen memberikan pengukuran atas sejauh mana faktor  –  faktor non-kode lainnya (3) terbukti bahwa proses sosialisasi terjadi setelah seseorang masuk ke dalam profesi auditing.

 b. Shaub, Finn, dan Munter (1993)

Mengkaji tentang orientasi etika, komitmen, dan sensitivitas etika auditor. Hasilnya menunjukkan bahwa sensitivitas etika auditor dan komitmen profesional dipengaruhi oleh orientasi etis.

c. Dreike dan Moeckel (1995)

Menganalisis keputusan auditor senior berkaitan dengan situasi dengan kemungkinan dimensi etika. Hasil analisisnya menunjukkan auditor cenderung mendefinisikan isu etis secara sempit dalam pengertian kode etik dan peilaku  profesional AICPA.

3) Mendeteksi dan Mengkomunikasikan Kecurangan a. Arnold dan Ponemon (1991)

Mengkaji persepsi auditor internal terhadap whistle-blowing dalam tingkat moral reasoning. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor eksternal paling mungkin mengambil tindakan, baru kemudian diikutu oleh auditor internal dan analisis  pasar.

 b. Finn dan Lampe (1992)

Membuat model dari keputusan whistle  –   blowing auditor dengan menambahkan variabel intensitas moral, variabel situasi kontijensi dan individual. Hasilnya menunjukkan keputusan etis auditor dan keputusan whistle- blowing   berhubungan secara signifikan.

(16)

Menganalisis tentang pentingnya ethical reasoning sebagai determinn auditor terhadap karakteristik etis dari manajemen klien. Hasil analisis ini menunjukkan  bahwa ethical reasoning auditor dipengaruhi oleh penilaian resiko audit dan

diprediksi berkaitan dengan pendeteksian kesalahan akuntansi yang material. d. Hooks, Kaplan , dan Schultz (1994)

Menyelidiki tentang satu kemungkinan kesempatan untuk mengurangi  penipuan dalam pengambilan keputusan.

e. Bernardi (1994)

Meneliti tentang hubungan antara ethical reasoning dengan kemampuan auditor untuk mendeteksi penipuan dalam laporan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan pengalaman ethical reasoning dan konfigurasi pengalaman mempengaruhi kemampuan auditor untuk mendeteksi dan membuat kerangka akuntansi yang dipertanyakan.

4) Ketidakpatuhan Pembayar Pajak a. Ghosh dan Crain (1996)

Mengidentifikasi faktor individual dan situasional yang mempengaruhi ketidakpatuhan terhadap pajak.Hasilnya menunjukkan bahwa faktor individual dan situasional secara psikologis merupakan aspek yang menonjol dari keputusan dalam ketidakpatuhan pajak.

 b. Hanno dan Violette (1996)

Menyelidiki pengaruh social dan moral yang mendasari pembayar pajak dalam usaha mengembangkan model integratif perilaku kepatuhan pajak. Kepatuhan diukur melalui respons terhadap pertanyaan-pertanyaan langsung dan hipotesis, serta empat scenario yang melibatkan pihak ketiga. Hasilnya menunjukkan bahwa niat untuk patuh berhubungan dengan laporan diri dan perilaku kepatuhan hipotesis.

5) Perilaku Disfungsional Lain a. Ponemon (1992b)

Menyelidiki interaksi antara tingkat moral reasoning dengan pelaporan dalam waktu singkat yang digunakan dalam penugasan audit. Hasilnya menunjukkan  bahwa waktu pelaporan paling rendah di kelompok control dan paling tinggi di

kelompok rekan dan sekutu. Auditor dengan skor DIT yang lebih rendah secara rata-rata membutuhkan waktu pelaporan yang lebih singkat daripada mereka dengan skor DIT yang lebih tinggi dari ketiga kelompok.

(17)

 b. Ponemon (1995)

Mengkaji objektivitas akuntan ketika berfungsi sebagai spesialis litigasi dan saksi ahli dalam kasus hukum. Hasilnya menunjukkan bahwa estimasi atas nilai kerusakan yang lebih tinggi diperoleh dari individu yang mewakili penggugat daripada yang mewakili tergugat dalam perkara hukum.

4. Studi Etis Lintas Budaya

a. Ponemon dan Gobhart (1993), Etherington dan Schulting (1995)

Meneliti profesi auditing dari dua kantor akuntan besar dengan praktik di Amerika Serikat dan Kanada menggunakan DIT dan instrument eksperimental lainnya. Sasaran utama studi ini menilai dampak dari perbedaan lintas Negara terhadap keputusan etika dari individu praktisi auditing. Hasilnya membuktikan dengan jelas bermacam -macam  perbedaan antara profesi akuntansi Kanada dengan Amerika Serikat dalam hal skor

rata-rata DIT.

 b. Schultz, Johnson, Morris, dan Dynes (1993)

Meneliti kecenderungan manajer perusahaan dan professional untuk melaporkan tindakan yang dapat dipertanyakan dalam konteks internasional dan domestic. Hasillnya menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional dengan divisi yang terletak di Negara-negara berbeda mungkin perlu mengimplementasikan system  pengendalian yang berbeda untuk mencapai tingkat realibilitas yang serupa.

c. Cohen, Pant, dan Sharp (1995a)

Pengujian empiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor akuntan public multinasional seharusnya secara hati-hati memperhatikan dampak keragaman budaya internasional terhadap sensitivitas karyawan dan pengambilan keputusan. Studi ini memasukkan subjek dari Amerika Serikat, Jepang, dan Amerika Latin. Hasilnya menunjukkan bahwa subjek Amerika Serikat pada umumnya melihat tindakan yang dijelaskan dalam vignette sebagai tindakan yang lebih etis dibandingkan dengan subjek Jepang dan Amerika Latin. Namun preiktibilitas dari konstruksi moral untuk menjelaskan keputusan-keputusan etika tidak berbeda banyak diantara ketiga kelompok.

d. Cohen, Pant, dan Sharp (1995b)

Menyelidiki perbedaan pengambilan keputusan etika auditor dari negara-negara yang berbeda. Negara yang berpartisipasi yaitu Amerika Latin Jepang, atau Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antarnegara untuk kemungkinan pertama dan kedua, yaitu mereka atau koleganya

(18)

akan melakuka tindakan-tindakan dalam studi, dengan perbedaan yang paling signifikan antara Amerika Latin dan Amerika Serikat. Ditemukan juga bias keinginan social (efek halo) pada ketiga kelompok subjek.

D. Implikasi bagi Riset Mendatang

Selanjutnya dalam profesi akuntansi studi pengembangan etis yang mengkaji korelasi dan tingkat posisi auditor dengan skor DIT telah menemukan bahwa tingkat moral reasoning  tampaknya berhubungan secara terbalik. Konsep sosialisasi etis dalam profesi akuntansi secara khusus menjadi relevan. Berdasarkan studi keputusan etis, ditemukan bahwa akuntan dan auditor dengan tingkat moral reasoning  lebih rendah lebih mungkin melakukan perilaku disfungsional. Budaya mungkin berperan mengurangi perilaku pengambilan keputusan etis akuntan.

(19)

MENGEMBANGKAN ETIKA DI KANTOR AKUNTAN PUBLIK: SEBUAH PERSPEKTIF UNTUK MENDORONG PERWUJUDAN GOOD

GOVERNANCE

Praktik etika dan bisnis semakin berkembang, bisnis merupakan bidang kehidupan yang rentan pelanggaran moral. Secara khusus pelanggaran atas kode etik terjadi karena ketiadaan komunikasi antar akuntan pengganti dengan akuntan pendahulu. Permasalahan klasik lainnya  para akuntan ini bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan klien. Contoh kasus yang terjadi di Indonesia yaitu kasus audit PT. Telkom oleh KAP “Eddy Pianto dan Rekan” (Media Akuntansi, 2003). Dalam kasus ini laporan keuangan auditan PT. Telkom tidak diakui oleh SEC (Pemegang otoritas pasar modal di Amerika Serikat) dan atas peristiwa ini audit ulang diminta untuk dilakukan oleh KAP lainnya. Wujud pelanggara etika profesi lainnya adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, kealpaan dalam penerapan Sistem Pengendalian Mutu, serta ketidakpatuhan terhadap SPAP.

Masih banyaknya kasus pelanggaran etika di kalangan akuntan menjadi bukti nyata masih rapuhnya integritas akuntan yang berakibat terjadinya krisis berkepanjangan pada diri  profesi akuntan. Dampak pelanggaran etika mempengaruhi banyak aspek, antara lain munculnya keraguan publik akan informasi keuangan. Untuk mengembalikan kepercayaan  publik, maka kita harus melakukan reformasi profesi akuntan. Reformasi dilakukan dengan

menerapkan dan memantapkan regulasi diri, menghentikan jasa konsultasi untuk klien audit, melakukan rotasi tugas auditor pada klien, membatasi infiltrasi auditor ke perusahaan, serta membersihkan standar akuntansi keuangan dan aturan yang memungkinkan creative accounting.  Aspek kedua, badan pengatur akan semakin ketat mengurusi laporan keuangan dan KAP. Aspek ketiga, perhatian yang serius atas adanya keharusan untuk pemisahan jasa konsultasi dan jasa audit.

Akuntan merupakan profesi yang keberadaannya tergantung pada kepercayaan masyarakat. Kinerja akuntan diukur dari profesionalisme, ketrampilan, pengetahuan dan karakter. Karakter diri merupakan hal penting yang harus dimiliki seorang akuntan. Pekerjaan akuntan mengacu pada acuan normatif dan muatan moral, dapat dilihat pada kode etik profesi akuntan, standar profesional akuntan publik, dan SAK yang dikeluarkan IAI. Keuntungan dari kode etik ini, yaitu (1) sadar tentang aspek moral (2) acuan yang dapat diakses lebih mudah (3) dapat diaplikasikan di segala situasi (4) bertindak secara standar ( 5 ) menilai  perilaku anggota dan kebijakan profesi (6) menilai kinerja dirinya sendiri (7) sadar atas kebijakan-kebijakan etisnya (8) menjustifikasi perilaku jika dikritik. Dalam kode etik terdapat

(20)

empat kebutuhan dasar, yaitu kredibilitas, profesionalisme, kualitas jasa, dan kepercayaan. Sementara dalam kepatuhan terhadap kode etik, tergantung pemahaman dan tindakan sukarela. Untuk menerapkan prinsip etika profesi dibutuhkan komitmen dan pengorbanan  pribadi. Prinsip etika akuntan meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku  profesional, dan standar teknis.

Untuk menciptakan sistem organisasi yang etis tidak cukup hanya dengan kode etik, tetapi dikombinasikan dengan manajemen yang efektif dan pendidikan kepada karyawan. Kode etik disusun dengan memperhatikan kepentingan intern dan ektern, kepentingan ini harus merefleksikan standar moral universal, trustworthiness, respect, responsibility,  fairness, caring, citizenship (menurut Schwartz 2001). Namun pada kenyataannya penciptaan

kode etik tidak mengurangi adanya dilema etis. Bahkan perusahaan yang memiliki kode etik tertulis lebih banyak melakukan tindakan yang menyimpang. Hal ini disebabkan ketidakadaan pemahaman bagaimana dilema etis terjadi dan mengapa karyawan terdorong  berperilaku tidak etis, juga tidak optimalnya distribusi informasi tentang kode etik itu sendiri. Kode etik juga belum bisa menjadi penuntun karyawan untuk berperilaku etis.  Means, motivation, dan opportunity merupakan faktor-faktor yang mendorong perilaku tidak etis dalam organisasi.

Pengembangan etika di KAP dapat dilangsungkan dengan memperhatikan aspek individual dan organisasional, maka KAP tidak boleh mengesampingkan perhatian dan  pemenuhan sesuatu yang bersifat materi, penguatan personalitas dengan memperhatikan dan mengembangkan potensi emosional (EQ) dan spiritualitas (SQ). EQ adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh manusiawi. Sedangkan SQ adalah kecerdasan jiwa yang berkaitan dengan hal-hal tersenden, serta hal yang mengatasi waktu, dimana dia dapat membantu manusia untuk menyembuhkan dan membangun dirinya secara utuh.

Dengan memperhatikan pola etika ini anggota KAP akan memiliki karakter yang kuat dalam memahami dan bisa hidup secara profesional. Pola pengembangan etika yang komprehensif, termasuk anggota KAP yang memiliki personalitas yang kuat dapat membuat  profesi akuntan menjadi lebih baik dalam penciptaan good governance di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Industri pemindangan ikan di Bajomulyo Juwana menyebabkan penurunan kualitas lingkungan akibat limbah yang dihasilkannya. Penyebab penurunan kualitas lingkungan salah

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN MENGHAFAL AL- QUR’AN PADA ANAK KELOMPOK B DI PAUD PALMA, BANJARSARI,

Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Semarang merupakan salah satu Perangkat Daerah berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 83 Tahun 2013 tentang Perubahan

Berdasarkan Tabel 5 total biaya variabel yang dikeluarkan oleh Promindo Utama selama satu bulan dengan 15 kali proses produksi adalah sebesar Rp 160.365.951.. Biaya

Pengujian ekstrak daun mint dan buah lada hitam pada 72 jsa konsentrasi 40.000 ppm memiliki indeks antifidan paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya yang lebih

Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan SUHARNO ). Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran matematika di SD tidak hanya tentang hasil akhir berupa angka yang memuaskan atau di

Hasil penelitian menunjukkan pemberian sorgum dan kulit pisang terhidrolisis 43% dalam ransum ayam broiler tidak memberikan pengaruh (P>0,05) terhadap lemak dan kolesterol