• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Matematika

2.1.1.1 Hakikat Matematika

Depdiknas (Susanto 2015:184) matematika berasal dari bahasa Latin,

manthanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”, sedang dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Kurikulum 2006 mendefinisikan bahwa matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan diskrit. Untuk mengusai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.

Rusefendi (Wahyudi 2012:3) mengemukakan bahwa matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga matematika disebut ilmu deduktif. Ibrahim (2012:2) matematika disebut deduktif, sebab matematika tidak menerima generalisasi yang berdasarkan pada observasi, eksperimen, coba-coba (induktif) seperti halnya ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu pengetahuan umumnya. Kebenaran generalisasi matematika harus dapat dibuktikan secara deduktif.

Hamzah (2014: 58) mendefinisikan matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi, ilmu deduktif tentang keluasan atau pengukuran dan letak, tentna bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya, ide-ide, struktur-struktur , dan hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis, tentang struktur logika mengenai bentuk yang terorganisasi atas susunan besaran dan konsep-konsep mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat akhirnya ke dalil atau teorema, dan terbagi ke dalam tiga bidang yaitu

(2)

aljabar, analisi dan geometri. Hal ini sependapat dengan Ibrahim (2012:8) bahwa matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasikan, sebab berkembang mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke postulat/aksioma, ke teorema. Sebagai sebuah struktur ia terdiri dari beberapa komponen yang membentuk sistem yang saling berhubungan dan terorganisir dengan baik.

Wahyudi (2012:5) juga berpendapat bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol-simbol. Menurut Susanto (2015:185), Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu dan teknologi.

Berdasarkan dari teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu deduktif yang berupa penjelasan yang logis sebagai hasil dari proses pemikiran yang sistematis guna memajukan daya pikir manusia dalam meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi termasuk dalam penyelesaian masalah sehari-hari.

2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di SD

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberi konstribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan akan aplikasi matematika saat ini dan masa depan tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, tetapi terutama dalam dunia kerja, dan untuk mendukung pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu matematika sebagai ilmu dasar perlu dikuasai dengan baik oleh siswa, terutama sejak usia sekolah dasar (Ahmad Susanto, 2013:185).

Ahmad Susanto (2015:186) juga mengemukakan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk

(3)

mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi matematika.

Jean Piaget (Karunia Eka dan Mokhammad, 2015:32) bahwa tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun) dengan ciri pokok perkembangan adalah sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis serta ditandai adanya reversible dan kekekalan. Siswa SD berada pada usia 7 hingga 12 tahun dimana siswa SD masih terikat dengan objek yang ditangkap dengan panca indra, sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran matematika bersifat abstrak, siswa lebih banyak menggunakan alat peraga sebagai alat bantu karena dengan penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih mudah memahaminya.

Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika di SD harus disesuaikan dengan kemampuan siswa SD yaitu pada tahap operasional konkret. Jadi pembelajaran matematika di SD harus lebih mengutamakan apa yang ada dalam kehidupan nyata agar siswa mampu mengaplikasikan matematika kedalam permasalahannya sehari-hari karena siswa pada usia SD ini siswa sudah mampu bepikir secara logis. Oleh sebab itu guru harus lebih menekankan pada konsep matematika, karena pemahaman konsep merupakan prasyarat untuk menguasai konsep selanjutnya. Dengan kata lain, pemahaman konsep itulah yang akan selalu digunakan siswa sampai jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik dunia kerja atau kehidupan sehari-hari.

2.1.1.3 Tujuan Pembelajaran Matematika SD

Susanto (2015:186) pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika. Susanto (2015:189) juga mengemukakan bahwa secara umum tujuan pembelajaran

(4)

matematika di Sekolah Dasar (SD) adalah agar siswa mampu dan terampil menggunakan matematika. Selain itu juga dengan pembelajaran matematika dapat memberikan tekanan penataran nalar dalam penerapan matematika (Susanto, 2015:189).

Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar tentu memiliki tujuan, antara lain membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama (Ibrahim: 2012:36). Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, sebagaimana disajikan oleh Depdiknas 2006, sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam memperlajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran matematika di SD tidak hanya tentang hasil akhir berupa angka yang memuaskan atau di atas rata-rata tetapi lebih kepada bagaimana siswa dapat memahami konsep matematika karena konsep tersebut yang akan ia bawa sampai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, siswa mampu menggunakan penalarannya untuk menyusun rencana penyelesaian masalah atau mampu memecahkan masalah dalam matematika yang dialaminya dan menerapkannya dalam

(5)

kehidupan sehari-hari. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka harus dilakukan berbagai macam kegiatan, misalnya menggunakan berbagai model-model pembelajaran dalam proses belajar mengajar yang dapat menunjang pembelajaran matematika.

2.1.2. Pemahaman Konsep Matematika

Menurut Husle, Egeth dan Deese (Nurmalasari, 2014) mendefinisikan bahwa konsep adalah sekumpulan atau seperangkat sifat yang dihubungkan oleh aturan-aturan tertentu atau dapat dikatakan bahwa konsep merupakan ide atau proses. Walgito (Nurmalasari, 2014) juga mengemukakan bahwa konsep adalah konstruksi simbolik yang menggambarkan ciri-ciri suatu objek atau kejadian.

Pemahaman (understanding) adalah kemampuan menjelaskan situasi dengan kata-kata yang berbeda dan dapat menginterpretasikan atau menarik kesimpulan dari tabel, data , grafik dan sebagainya. Pemahaman itu lebih penting dari sekedar menghafal (Ahmad Susanto, 2015:210).

Konsep-konsep dalam matematika merupakan suatu rangkaian sebab akibat. Suatu konsep disusun berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, dan akan menjadi dasar bagi konsep-konsep selanjutnya, sehingga pemahaman yang salah terhadap suatu konsep, akan berakibat pada kesalahan pemahaman terhadap konsep-konsep selanjutnya (Wahyudi, 2012:16). Salah satu tujuan pembelajaran matematika di SD adalah memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk menghadapi materi-materi matematika pada tingkat lanjutan. Selain penguatan terhadap konsep matematika, maka diperlukan pengenalan pada konsep-konsep lanjutan seperti pemecahan masalah (Wahyudi, 2012: 25).

Pemahaman konsep matematis menurut Karunia dan Mokhammad (2015. 81) adalah kemampuan menyerap dan memahami ide-ide matematika. Indikator kemampuan pemahaman konsep matematis, yaitu : (1) Mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh; (2) Menerjemah dan menafsirkan makna simbol, tabel, diagram, gambar, grafik, serta kalimat matematis; (3) memahami dan menerapkan ide matematis; dan (4) membuat suatu eksplorasi atau perkiraan.

(6)

Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep matematika adalah kemampuan dasar yang akan menuntun siswa untuk sampai kepada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa akan sampai pada kemampuan berpikir tingkat tinggi jika ia telah memahami konsep. Pemahaman matematika bukan hanya sekedar hafalan, namun dengan pemahaman tersebut siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri. Pemahaman dalam pembelajaran matematika sudah seharusnya diterapkan kepada setiap siswa oleh guru, karena tanpa pemahaman, siswa tidak dapat mengaplikasikan konsep-konsep materi yang dipelajari. Pemahaman matematika perlu diterapkan kepada siswa di Sekolah Dasar sebagai pemahaman yang mendasar yang perlu ditanamkan sejak dini. Hal ini juga terlihat dalam tujuan pertama pembelajaran matematika menurut depdiknas (Permendiknas no 22 tahun 2006) yaitu memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, sehingga setelah proses pembelajaran selesai siswa diharapkan mampu menggunakan konsep-konsep tersebut kedalam penyelesaian masalah matematika.

2.1.3 Model Pembelajaran Problem Based Learning

2.1.3.1 Hakikat Model Pembelajaran Problem Based Learning

Barrow mendefinisikan Problem Based Learning (Pembalajaran Berbasis Masalah) adalah pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah, masalah tersebut dipertemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran (Miftahul Huda 2013:271). Jadi fokus pembelajaran adalah siswa bukan pada pengajaran dari guru.

Stephien dkk (Prisky, 2012:6) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Prametasari (2012:10) berpendapat bahwa pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah sebagai model pembelajaran yang diawali dengan pemberian

(7)

masalah kepada siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari siswa selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru.

Berdasarkan pengertian di atas Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai unsur utama yang disajikan sebagai awal dari pembelajaran, biasanya masalah yang dimunculkan yang memiliki konteks dunia nyata atau menelaah sebuah kasus. Akan tetapi syarat dari masalah tersebut harus dapat memunculkan rasa ingin tahu siswa, merangsang siswa untuk mengamati serta mampu membuat keterlibatan siswa dalam memecahkan masalah.

2.1.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Problem Based Learning

Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang dirancang dengan mendatangkan masalah-masalah yang menuntut siswa agar pandai dalam memecahkan masalah dan memiliki strategi belajar yaitu bekerja secara kelompok atau tim.

Ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah menurut Soffan Amri dan Iif (2010:72), adalah sebagai berikut :

1. Guru harus menerapkan pengajaran yang menitik beratkan pada siswa, suatu kerangka dukungan untuk memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual siswa.

2. Peran guru dalam pembelajaran berbasiskan masalah adalah menyodorkan masalah-masalah otentik, memfasilitasi penyelidikan siswa dan mendukung pembelajaran siswa.

3. Guru harus menciptakan lingkungan kelas yang mendukung agar terjadi pertukaran dan pembagian ide secara terbuka, tulus dan jujur.

4. Meskipun sulit tetapi ketrampilan bepikir tingkat tinggi harus diterapkan.

5. Ciri khas pembelajaran berbasis masalah yaitu : a. Mengajukan pertanyaan atau masalah b. Berfokus pada interdisiplin

(8)

c. Penyelidikan otentik

d. Menghasilkan karya nyata dan memamerkan e. Kolaborasi

Arends (Mohamad Jauhar 2011:87) menjelaskan berbagai pengembang pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran disekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

2. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin. Meskipun pembelajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu, masalah yang akan diselidiki telah benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpul dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuan inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan, bergantung kepada masalah yang sudah dipelajari.

4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berbasis masalah ini menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa transkip debat pada pelajaran “Roots and wings”.

Produk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video maupun progam komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan

(9)

kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.

5. Kolaborasi. Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluanf untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan berpikir.

2.1.3.3.Peran Guru dalam Problem Based Learning

Pada pembelajaran berbasis masalah ini guru memiliki peran yang sangat penting, sebab guru harus menyediakan masalah yang menarik agar siswa memiliki ketertarikan untuk menyelesaikan masalah. Objek pelajaran tidak dipelajari dalam buku, tetapi dari masalah disekitarnya. Menurut Trianto (2014:69), guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator. Guru mengajukan masalah yang autentik/mengorientasikan siswa kepada permasalahan yang nyata (real world), memfasilitasi/membimbing (scaffolding) dalam proses penyidikan, memfasilitasi dialog antar siswa, menyediakan bahan ajar siswa serta memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual siswa.

Taufik Amir (2015:48) Proses Problem Based Learning menjelaskan bahwa fungsi pendidik (guru) bukan lagi penguasa diatas panggung kelas tapi memandu dari pinggir. Jelas, perannya seperti mentor yang sedang melakukan proses coaching. Menurut Ho (Taufik Amir 2015:48), Coaching adalah sebuah proses penentuan sasaran, pemodelan, pemanduan, pemfasilitasi, pemonitoran, dan memberikan umpan balik pada pemelajar dalam rangka mendukung pemelajar berpikir aktif dan mandiri. Karena itulah di berbagai literatur tentang coaching

dalam pendidikan ditemukan istilah “to be a successful teacher, you must be a successful coach”.

(10)

Taufik Amir (2015:103-104) juga berpendapat bahwa pendidik juga sebagai entreprenuer sebab selain hanya soal kecakapan memfasilitasi di kelas, pelaksanaan Problem Based Learning juga terkait dengan perubahan mindset, kerangka pikir, ini juga soal ketrampilan kerangka pikir sebagai entreprenuer. Dalam menyajikan solusi atas masalah yang diberikan, mereka juga harus bersikap mempertanyaan (challenging) pendapat dan alasan teman baik di satu kelompok atau kelompok lain. Atas dasar inilah sesungguhnya pendidik juga harus bersikap yang sama dalam melihat model Problem Based Learning. Meskipun dalam pelaksanaannya akan terdapat kendala-kendala, ia harus punya perspektif dalam melihat ini. Dengan pola pikir (mindset) entreprenuer pula, seorang pendidik harusnya memiliki keyakinan, bahwa ia dapat mengkontrol situasi yang akan dihadapinya, bukan ia yang dikontrol situasi.

Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa dalam model pembelajaran ini guru memiliki peranan yang sangat penting, yaitu sebagai mentor yang sedang melakukan proses coaching, mulai dari memberikan permasalahan yang nyata, memfasilitasi, serta membimbing selama proses pembelajaran berlangsung.

2.1.3.4 Langkah-langkah Problem Based Learning

Beberapa sintaks Problem Based Learning dapat dilakukan melalui 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

Tabel 1

Sintaks Problem Based Learning

Tahap Tingkah Laku Guru

Tahap 1

Orientasi Masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita yang memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih Tahap 2

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Tahap 3

Membimbing penyidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Tahap 4

Mengembangkan dan

Guru membanti siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model serta

(11)

Tahap Tingkah Laku Guru

menyajikan hasil karya membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya

Tahap 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

Tabel 2

Pemetaan Sintak Model Problem Based Learning dalam Standar Proses Dalam Permendiknas No 41 Tahun 2006

Model Sintak

Langkah Dalam Standar Proses Pendahu luan Kegiatan Inti Penutup Eksplora si Elaborasi Konfirm asi Problem Based Learning (PBL) 1. Memberikan orientasi permasalahan pada siswa √ 2. Mengorganisir siswa untuk meneliti √ 3. Melakukan penyelidikan √ 4. Mengembangkan dan

Menyajikan Hasil Karya √

5. Mengevaluasi proses

pemecahan masalah √ √

2.1.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning

Kelebihan dari pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) menurut Trianto (2014: 68) adalah sebagai berikut :

1. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan, sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.

2. Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut ketrampilan berpikir siswa yang lebih tinggi.

3. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga pelajaran lebih bermakna.

4. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari.

(12)

5. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa.

6. Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajar dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa sangat diharapkan.

Kekurangan Problem Based Learning menurut Mohamad Jauhar (2011: 86), adalah sebagai berikut :

1. Untuk siswa yang malas tujuan dari model ini tidak akan tercapai. 2. Membutuhkan banyak waktu dan dana.

3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan model ini.

2.1.4 Model pembelajaran Learning Cycle 7E

2.1.4.1 Hakikat Pembelajaran Learning Cycle 7E

Karplus & thier (Aziz, 2013:18) mendefinisikan Learning Cycle 7E adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar sehingga siswa secara aktif menemukan konsep sendiri. Model ini adalah penyempurnaan dari model Learning Cycle 5E yang sebelumnya juga penyempurnaan Learning Cycle 3E. Dengan demikian, proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa tetapi merupakan proses penerimaan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif, proses pembelajaran seperti ini yang akan mudah diingat siswa. Menurut Eisenkraft (Indrawati) menyatakan bahwa model pembelajaran Learning Cycle 7E bertujuan untuk menekankan pentingnya memunculkan pemahaman awal siswa dan memperluas (transfer) konsep.

Johnston (Pebriana, 2012) bahwa Learning Cycle (LC) merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pembelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Pada mudanya LC ini hanya terdapat 3 fase (3E), yaitu Exploration, Elaboration dan Evaluation. Selanjutnya LC berkembang menjadi lima fase (5E) dan tujuh fase (7E). Learning Cyle 7E ini

(13)

terdiri dari tujuh tahap yaitu (1) Elicit (Memunculkan Pemahaman Awal); (2)

Engage (pembangitan minat); (3) Explore (eksplorasi); (4) Explain (penjelasan); (5) Elabore (penerapan konsep); (6) Evalute (evaluasi) dan (7) Extend

(Memperluas).

Jadi, Learning Cycle 7E adalah rangkaian kegiatan pembelajaran berupa tahapan-tahapan tertentu yang memungkinkan agar siswa dapat berperan aktif untuk memahami konsep-konsep yang akan dipelajari dan mengetahui keterkaitan yang lebih luas yang berhubungan dengan konsep tersebut.

2.1.4.2 Karakteristik Model Pembelajaran Learning Cycle 7E

Learning Cycle atau siklus belajar telah dikembangkan dengan teori belajar yang telah dikembangkan tentang bagaimana siswa seharusnya belajar. Pada model pembelajaran Learning Cycle 7E ini lebih sempurna, sebab sebelumnya siklus belajar memiliki 5 fase dan sekarang telah ditambahkan 2 fase yaitu elicit dan extend. Elicit adalah fase untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar timbul respon dari pemikiran siswa yang menimbulkan rasa penasaran. Pertanyaan yang diajukan guru biasanya berhubungan dengan pelajaran yang mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari. Extend yaitu fase yang bertujuan untuk berpikir, mencari, menemukan dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari bahkan dalam fase ini dapat merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain.

Jadi, Learning Cycle 7E adalah bentuk dari penyempurnaan siklus belajar yang sebelumnya memiliki 5 fase. Tahapan Learning Cycle 7E tersebut adalah

Elicit, Engage,Explore, Explain, Elaborate, Evaluate dan Extend.

2.1.4.3 Peran Guru dalam Learning Cycle 7E

Pada model pembelajaran Learning Cycle 7E, guru mengakses pengetahuan siswa dan membangkitkan antusias siswa. Guru membangkitkan minat belajar siswa untuk tertarik dan siap untuk belajar. Implementasi Learning

(14)

Cycle 7E dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya tahapan-tahapan tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi.

2.1.4.4 Langkah-langkah Learning Cycle 7E

Beberapa sintaks pembelajaran Learning Cycle 7E dapat dilakukan melalui 7 tahapan menurut Eisenkraft (Aziz, 2013:21), yaitu sebagai berikut:

1. Fase Elicit (Mendatangkan pengetahuan awal siswa)

Pada fase ini guru berusaha menimbulkan atau mendatangkan pengetahuan awal siswa. Pada fase ini dapat dilakukan dengan cara guru memberikan pertanyaan pada siswa mengenai fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Namun pada fase ini, guru tidak memberitahukan jawaban yang benar dari pertanyaan yang diajukan dan guru hanya memancing siswa sehingga siswa akan lebih termotivasi untuk belajar agar dapat mengetahui jawaban sebenarnya dari pertanyaan tersebut.

2. Fase Engage (Melibatkan)

Fase ini guru berusaha membangkitkan minat dan pengetahuan siswa tentang topik yang akan diajarkan, guru mengembangkan minat dan memotivasi siswa dengan menunjukan demonstrasi atau permasalahan sehari-hari.

3. Fase Exploration (Menyelidiki)

Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman langsung yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja secara mandiri dalam kelompok-kelompok kecil.

4. Fase Explain (Menjelaskan)

Guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, memberikan fakta dan klarifikasi terhadap penjelasannya, dan mendengarkan penjelasan siswa secara kritis.

(15)

Fase ini adalah fase dimana siswa menerapkan konsep atau ketrampilannya pada situasi baru dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki konsep-konsep tersebut lebih lanjut.

6. Fase Evaluation (Menilai)

Fase evaluasi ini terdari dari evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluai formstif tidak boleh dibatasi pada siklus-siklus tertentu saja, sebaiknya guru selalu menilai semua kegiatan siswa. Apabila dalam pembelajaran dilakukan praktikum maka pengujian harus termasuk pertanyaan yang berkaitan dengan praktikum.

7. Fase Extend (Memperluas)

Fase ini bertujuan untuk berpikir, mencari, menemukan dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari bahkan kegiatan ini dapat merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari.

Ketujuh tahapan diatas adalah langkah-langkah yang harus dilakukan guru dan siswa untuk menerapkan Learning Cycle 7E pada proses pembelajaran. Guru dan siswa mempunyai peran masing-masing dalam setiap tahapan dalam kegiatan pembelajaran menggunakan Learning Cycle 7E. Kegiatan pembelajaran lebih didominasi oleh peran siswa, sementara guru berperan sebagai fasilitator. Berikut arah pembelajaran Learning Cycle 7E yang dianjurkan oleh National Science Teacher Association (NSTA) (Aziz, 2013:21):

Tabel 3

Arah Pembelajaran Learning Cycle 7E

Fase Arah Pembelajaran Kegiatan guru Kegiatan Siswa

Elicit 1. Menarik Perhatian

siswa sebelum pemberian pengetahuan 2. Membantu dalam mentransfer pengetahuan 3. Membangun pengetahuan baru diatas pengetahuan yang telah ada

1. Memfokuskan siswa

terhadap materi yang akan dipelajari 2. Mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggali pengetahuan awal 3. Menampung semua jawaban siswa 1. Memfokuskan diri

terhadap apa yang

disampaikan oleh guru

2. Mengingat materi yang

telah dipelajari

3. Mengajukan pendapat

jawaban berdasarkan

(16)

Fase Arah Pembelajaran Kegiatan guru Kegiatan Siswa Engange 1. Memfokuskan pikiran dan perhatian siswa 2. Bertukar informasi dan pengalaman dengan siswa 1. Menyajikan demonstrasi atau fenomena alam yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari 2. Memberikan pertanyaan untuk merangsang motivasi dan keingintahuan siswa 1. Memperhatikan ketika

guru menjelaskan atau

mendemonstrasikan suatu fenomena

2. Mencari dan berbagi

informasi yang

mendukung konsep yang akan dipelajari 3. Memberikan pendapat jawaban Explore 1. Melakukan eksperimen 2. Mencatat data, membuat grafik, menginterpretasi hasil 3. Diskusi 4. Guru membimbing dan memeriksa pemahaman siswa 1. Menjelaskan maksud dari pembelajaran untuk melaksanakan eksperimen atau diskusi 2. Memandu dan membimbing siswa dalam melakukan eksperimen 3. Memberi waktu

yang cukup kepada

siswa untuk

menyelesaikan eksperimen

1. Melakukan eksperimen

untuk mendapatkan data

2. Mencatat data, membuat

grafik, dan

menginterpretasikan hasil

3. Diskusi dalam kelompok

untuk menjawab

permasalahan yang

disajikan dalam LKS

Explain 1. Siswa

mengkomunikasikan

apa yang telah

dieksplorasi secara tertulis dan lisan

2. Menyimpulkan hasil eksplorasi 3. Pembenaran 1. Membimbing siswa dalam menyiapkan laporan eksperimen 2. Menganjurkan siswa untuk menjelaskan laporan eksperimen dengan kata-kata mereka sendiri 3. Memfasilitasi siswa untuk melakukan presentasi laporan eksperimen 4. Mengarahkan siswa

pada data dan

petunjuk telah diperoleh dari pengalaman sebelumnya atau dari hasil eksperimen untuk mendapatkan kesimpulan 1. Melakukan persentasi

dengan cara menjelaskan data yang diperoleh dari hasil eksperimen 2. Mendengarkan penjelasan kelompok lain 3. Mengajukan pertanyaan terhadap penjelasan kelompok lain 4. Mendengarkan dan memahami klarifikasi

yang disampaikan guru

5. Menyimpulkan hasil

eksperimen berdasarkan

data yang telah didapat

Elaborate 1. Transfer pembelajaran 2. Aplikasi dari pengetahuan baru yang telah 1. Mengajak siswa menggunakan istilah umum 2. Memberikan soal atau permasalahan 1. Menggunakan istilah

umum dan pengetahuan baru

2. Menggunakan informasi

(17)

Fase Arah Pembelajaran Kegiatan guru Kegiatan Siswa

didapatkan dan mengarahkan

siswa untuk

menyelesaikan

3. Menganjurkan

siswa untuk

menggunakan konsep yang telah mereka dapatkan

untuk bertanya,

mengemukakan pendapat dan membuat keputusan

3. Menerapkan pengetahuan

yang baru untuk

menyelesaikan soal Evaluate 1. Melakukan penilaian: a. Formatif b. Summatif c. Informal d. Formal 1. Memberikan penguatan terhadap

konsep yang telah dipelajari 2. Melakukan penilaian kinerja melalui observasi selama proses pembelajaran 3. Memberikan kuis 1. Mengerjakan kui 2. Menjawab pertanyaan

lisan yang diajukan oleh

guru (baik berupa

pendapat maupun fakta)

Extend 1. Menghubungkan satu konsep ke konsep lain 2. Menghubungkan subjek satu ke subjek lain 1. Memperlihatkan hubungan antara konsep yang dipelajari dengan konsep lain 2. Memberikan pertanyaan untuk membantu siswa melihat hubungan

antar konsep yang

dipelajari dengan

konsep lain

3. Mengajukan

pertanyaan tambahan

yang sesuai dan

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari

sebagai aplikasi

konsep dari materi yang dipelajari

1. Membuat hubungan antar

konsep yang telah

dipelajari dengan

kehidupan sehari-hari

sebagai gambaran aplikasi konsep yang nyata

2. Menggunakan pengetahuan

dari hasil eksperimen

untuk bertanya dan

menjawab pertanyaan dari guru terkait konsep yang telah dipelajari

3. Berpikir, mencari,

menemukan dan

menjelaskan contoh

konsep yang telah

dipelajari

Tabel 4

Pemetaan Sintak Model Learning Cycle 7E dalam Standar Proses Dalam Permendiknas No 41 Tahun 2006

Model Sintak

Langkah Dalam Standar Proses

Pendahuluan Kegiatan Inti Penutup

Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi

Learning Cycle 7E (LC 7E) 1. Elicit √ 2. Engange √ 3. Explore √ 4. Explain √ 5. Elaborate √ 6. Evaluate √ √ 7. Extend √

(18)

Berdasarkan penjelasan tentang Learning Cycle (LC) diatas, dapat disimpulkan bahwa LC 7E adalah tahapan-tahapan kegiatan pembelajaran dimana dalam penerapan pembelajaran tersebut melewati rangkaian proses yang dengan 7 fase/tahap yaitu (1) Elicit (Memunculkan Pemahaman Awal); (2) Engage

(pembangitan minat); (3) Explore (eksplorasi); (4) Explain (penjelasan); (5)

Elaborate (penerapan konsep); (6) Evaluate (evaluasi) dan (7) Extend

(Memperluas).

2.1.4.5 Kelebihan dan Kekurangan Learning Cycle 7E

Kelebihan dari model Learning Cycle 7E menurut Lorsbach (Aziz, 2013:25) adalah sebagai berikut:

1. Merangsang siswa untuk mengingat materi pelajaran yang telah mereka dapatkan sebelumnya.

2. Memberikan motivasi kepada siswa untuk menjadi lebih aktif dan menambah rasa keingintahuan siswa.

3. Melatih siswa belajar melakukan konsep melalui kegiatan eksperimen. 4. Melatih siswa untuk menyampaikan secara lisan konsep yang telah

mereka pelajari.

5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, mencari, menemukan, dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari.

6. Guru dan siswa menjalankan tahapan-tahapan pembelajaran yang saling mengisi satu sama lainnya.

7. Guru dapat menerapkan model ini dengan metode yang berbeda-beda. Kelemahan dari model pembelajaran Learning Cycle 7E menurut fajaroh (Aziz, 2013:25) adalah sebagai berikut:

1. Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran.

2. Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran.

(19)

3. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.

2.2 Hubungan Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika

Pemahaman berasal dari kata dasar paham, menurut KBBI paham berarti mengerti benar jadi seseorang dikatakan paham jika ia telah mengerti benar dan mampu menjelaskan suatu hal yang telah ia pahami. Menurut Mastie dan Jhonson, pemahaman terjadi ketika seseorang mampu mengenali, menjelaskan dan menginterprestasikan masalah. Kemampuan pemahaman konsep menjadi landasan untuk menyelesaikan suatu masalah atau persoalan.

Pembelajaran Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E memiliki persamaan yaitu terletak pada diawalinya pemberian masalah yang menarik yang dapat menarik siswa untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam memecahkan masalah siswa harus memahami benar masalah tersebut dan kemudian menyusun langkah-langkah pemecahan masalah. Model pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran berkelompok, dengan didasari kerja sama tersebut siswa dapat menyumbangkan pendapat-pendapat mereka. Artinya salah satu siswa menyempurnakan kekurangan anggota kelompoknya, sehingga mereka akan memusatkan pada satu pemikiran yang menghasilkan tumbuhnya pengetahuan baru untuk menyelesaikan masalah.

2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam sebuah penelitian harus memiliki acuan sebagai dasar penelitian. Dalam penelitian ini memiliki dasar dari penelitian sebelumnya. Adapun penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Weny Indrawati, Impelemtasi Model Learning Cycle 7E Pada Pembelajaran Kimia dengan Materi Pokok Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Ketrampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Hasil penelitian menunjukan bahwa : (1) Keterlaksanaan RPP dengan nilai rata-rata 4,59 dengan kategori sangat

(20)

baik; (2) Frekuensi aktivitas siswa yang menonjol adalah bekerja sama dengan tim sekelompok sebesar 33%; (3) Respon positif siswa terhadap model pembelajaran dengan nilai rata-rata 3,2; (4) Ketuntasan klasikal penguasaan konsep 92% dan ketuntasan indikator 77%; (5) Ketuntasan klasikal ketrampilan berpikir kritis 100% ketuntasan indikator 80% dan didukung skor peningkatan yang tinggi terhadap penguasaan konsep dan kertrampilan berpikir kritis siswa. Jadi dapat disimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran Learning Cycle 7E pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep dan ketrampilan berpikir kritis siswa.

2. Lucki Winandasari P., Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk meningkatkan motivasi belajar fisika dan hasil belajar siswa kelas X-2 MAN 2 Malang Kota Batu. Pada siklus I belum terlaksana secara maksimal, yaitu dengan persentase sebesar 59,36%. Pada silkus II penerapan pembelajaran tersebut telah terlaksana dengan persentase sebesar 81,00%. Penerapan pembelajaran LC 7E dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dari siklus I kr siklus II dengan persentase sebesar 14,39%. Penerapan pembelajaran LC 7E yang dilakukan pada siklus I dan siklus II terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan hasil belajar kognitid sebesar 1,97%, peningkatan hasil belajar afektif sebesar 3,24%, dan hasil belajar Psikomotorik mengalami peningkatan 3,17%.

3. Ade Febriyanto Wigar (2012), Efektivitas Penggunaan Model Problem Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran Matematika pada Siswa kelas V SD Semester II Desa Depok Tahun Ajaran 2011/2012. Hasil uji T menunjukan bahwa nilai t hitung > t tabel (3.173 > 2.023) dengan signifikansi 0,03 < 0,05. Jika Nilai t hitung positif, ini berarti rata-rata kelompok 1 atau kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada kelompok 2 atau kelompok kontrol. Rata-rata untuk kelompok eksperimen adalah 78.60 dan kelompok kontrol adalah 64.14. dari hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa pembelajaran menggunakan Problem

(21)

Based Learning lebih efektif dibandingkan dengan konvensional dalam pembelajaran Matematikan pada siswa kelas V SD.

4. Ruswinarno (2014). Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas 6 semester I SD N Batiombo 02 kecamatan Bandar tahun pelajaran 2013/2014. Hasil belajar siswa meningkat dari kondisi pra siklus ketuntasan belajar hanya 60,87% dengan nilai rata-rata 63,26, pada siklus 1 ketuntasan belajar meningkat menjadi 73,91% dengan nilai rata-rata 66,30%, lalu ketuntasan pada siklus 2 menjadi 100% dengan nilai rata-rata 71,08. Dengan demikian penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) mampu meningkatkan hasil perolehan nilai siswa.

5. Prisky Chitika (2012). Pengaruh penggunaan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) terhadap hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN 3 Jepon kecamatan Jepon kabupaten Blora semester II tahun ajaran 2011/2012. Hasil uji t menunjukan bahwa t hitung > t tabel (5,345>4,660). Signifikansi (0,000<0,005). Berdasarkah hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan Ha diterima. Dengan demikian terdapat perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran berbasis masalah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Weny Indrawati dkk diatas, dapat disimpulkan bahwa kelima subjek penelitian tersebut memiliki keefektifan untuk diteliti dan dianggap relevan, terutama model pembelajaran Learning Cycle 7E dan Problem Based Learning. Berikut analisis hasil penelitian yang relevan dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 5

Analisis Hasil Penelitian yang Relevan

No Peneliti

Variabel X

Variabel Y Kelas Hasil Model Pebelajaran Pendekatan Pembelajaran 1 Weny Indrawati Learning Cycle 7E - Penguasaan Konsep dan Ketrampilan Berpikir Kritis Siswa SMA Model Learning Cycle 7E Efektif

(22)

No Peneliti

Variabel X

Variabel Y Kelas Hasil Model Pebelajaran Pendekatan Pembelajaran Winandasari P.

Cycle 7E Belajar dan

Hasil Belajar

MAN hasil belajar

meningkat 3 Ade Febriyanto Wigar Problem Based Learning - Hasil belajar matematika V SD Penggunaan model PBL efektif 4 Ruswinarno Problem Based Learning - Hasil belajar matematika VI SD Hasil belajar meningkat 5 Pristy Chitika Problem Based Learning - Hasil belajar IPA IV SD Model pembelajaran berbasis masalah berpengaruh

Berdasarkan penelitian yang relevan tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Learning Cycle 7E dan Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar. Namun dalam penelitian ini akan meneliti tentang perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematika yang diajar dengan

Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E.

2.4 Kerangka Berpikir

Tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target sangat berpengaruh dalam pembelajaran matematika, dimana semua bahan ajar atau materi harus diselesaikan dalam waktu tertentu dan mengabaikan pemahaman konsep metamatika. siswa cenderung menerima apa yang disampaikan guru dan guru identik memberikan rumus mentah tanpa menanamkan konsep matematika sehingga dalam memecahkan masalah matematika siswa tidak dapat memberikan alasan yang masuk akal. Pembelajaran menghafal yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan rendahnya pemahaman konsep matematika dan berdampak pada hasil belajar yang tidak memuaskan.

Tujuan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kemampuan pemahaman konsep yang diajar dengan model pembelajaran Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E dilihat dari kemampuan pemahaman konsep matematika. Dalam penelitian ini akan digunakan 2 kelas yaitu kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Kelas eksperimen 1 menerapkan model pembelajaran

(23)

Problem Based Learning dan kelas eksperimen 2 menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 7E. Penelitian ini dimulai dengan memberikan soal

pretest jenis uraian yang sama kepada kedua kelas eksperimen tersebut untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematika sebelum diberi perlakuan. Kemudian jika tidak terjadi perbedaan diantara kedua kelas tersebut maka kedua kelas tersebut diberikan perlakuan yaitu penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E. Setelah dilakukan perlakuan terhadap kedua kelas eksperimen tersebut maka dilakukan adanya posttest untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematika setelah diberikan perlakuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:

Gambar 1

Bagan Kerangka berpikir

Model Pembelajaran

Problem Based Learning (PBL)

Model Pembelajaran

Learning Cycle 7E

Perbedaan Kemampuan Pemahaman Konsep antara Model Pembelajaran Problem Based

Learning dan Learning Cycle 7E

Elicit Engange Elaborate Explain Explore Extend Evaluate

Orientasi Masalah

Mengorganisasi Siswa untuk Belajar

Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah Mengembangkan Hasil Karya Membimbing Penyidikan Kerja sama Tanggung Jawab Teliti Disiplin Percaya Diri Tekun

(24)

2.5 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir yang telah diuraikan diatas maka dirumuskan hipotesis awal sebagai berikut: terdapat perbedaan pemahaman konsep matematika yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dengan Learning Cycle 7E pada kelas V SD Negeri Tlahab dan SD Negeri Bejen.

Referensi

Dokumen terkait

Kalau pasien keburu kontrol lagi (biasanya jeda waktu seminggu setelah pulang ranap) biasanya yang belum sempat terkode yang belum sempat kebagian koding sudah kontrol lagi, lalu

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Sebagian besar jalur yang tidak beroperasi berada pada daerah operasional IV. Penelitian ini bertujuan untuk membuat skala

Proses pengadaan dilakukan pada lembaga rantai pasokan, pengadaan sayuran komersial banyak dilakukan oleh para pedagang seperti tengkulak yang harus selalu

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 262 , Tambahan Lembaran Negara Republik.. Indonesia

Bahan-bahan yang digunakan dalam kajian ini meliputi benih sayuran sebagai tanaman uji, pupuk organik cair asal limbah pasar (Hasil uji Balitbangda Kabupaten

Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 5) Direksi dalam penyelenggaraan tugas yang bersifat strategis

Keempat risk level tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti jenis kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi sebuah link berbeda-beda, menggunakan mesin atau alat yang