• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, sejarah Jepang bukanlah sejarah yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, sejarah Jepang bukanlah sejarah yang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1Latar Belakang

Sejarah kesusastraan Jepang dalam bentuk tertulis sudah ada sejak abad ke-8. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, sejarah Jepang bukanlah sejarah yang singkat. Dalam rentang sejarah yang begitu panjang itu, genre atau bentuk kesusastraan Jepang hampir tidak mengalami perubahan sampai sekarang. Sifat seperti itu dapat dikatakan sebagai salah satu sifat khas dari kesusastraan Jepang. Tanka (puisi pendek), sebagai salah satu contohnya, tergolong genre yang yang sampai sekarang masih tetap hidup. Tanka (puisi pendek) tetap hidup walaupun bentuk kesusastraan lain yang sesuai dengan keadaan budaya masing-masing zamannya bermunculan, seperti renga pada zaman pertengahan, haikai pada zaman pramodern, dan haiku pada zaman modern yang lahir dan terus berkembang.

Tanka pertama kali diciptakan pada abad ke-7, tepatnya pada masa Kaisar Saimei. Tanka dapat dikatakan sebagai salah satu karya sastra yang pertama kali diciptakan dalam kesusastraan Jepang. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tulisan paling tua yang muncul pada abad ke-8 dalam literatur Jepang berjudul Kojiki. Kojiki yang disusun oleh Ono Yasumaro berisi sejarah dan mitologi Jepang. Di dalam Kojiki tersebut, sudah muncul banyak potongan tanka yang berasal dari masa Jepang sebelum mempunyai tulisan. Kemudian pada buku sejarah tertua dari Jepang juga

(2)

sudah terdapat potongan puisi tanka. Bahkan puisi tersebut dihubung-hubungkan dengan dewa sehingga menjadi sangat dihormati dan dipuji.

Dalam perkembangan sastra Jepang, tanka semakin konsisten muncul pada setiap karya. Hal tersebut ditunjukkan pada abad 8. Tepatnya pada tahun 760 diciptakan sebuah buku antologi puisi yang terdiri dari 4.516 puisi. Dari keseluruhan jumlah puisi tersebut, terdapat 4.173 puisi yang berbentuk tanka. Dengan demikian tanka menjadi sangat populer pada periode tersebut, terutama pada saat ibu kota Jepang pindah ke Nara.

Tanka juga menjadi dasar munculnya jenis puisi bersambung atau yang disebut juga dengan renga. Renga yang merupakan tanka kolaboratif atau puisi yang bersambung mulai berkembang pada masa pertengahan. Selama masa tersebut bentuk dan peraturan renga mulai dibentuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanka adalah akar dari puisi Jepang.

Bentuk tanka bahkan masih dapat dilihat pada karya sastra yang ada sekarang. Dulunya tanka hanya diminati oleh kalangan bangsawan. Sekarang ini, orang biasa pun menggemari bentuk tanka. Perbedaan yang mendasari perbedaan yang terdapat pada tanka yang berkembang pada masa dahulu dan sekarang yakni pada bahasa yang digunakan. Pada mulanya bahasa yang digunakan tidak sederhana. Akan tetapi, mengalami perbdaan ketika bisa memasuki kalangan rakyat biasa. Salah satu penyair Jepang yang terkenal menggunakan bentuk tanka adalah Ishikawa Takuboku. Ia dikenal sebagai penyair dengan aliran modern atau gaya bebas. Meski dikenal sebagai

(3)

penyair modern, ia tetap menggunakan bentuk tanka dalam menciptakan syair-syairnya. Ia menjadi tokoh yang penting dalam perkembangan puisi di Jepang sampai-sampai dibangunlah Ishikawa Takuboku Memorial Hall di Iwate, Jepang.

Ishikawa Takuboku (1886-1912) merupakan salah seorang penyair tanka Jepang modern terkemuka. Ia adalah seorang penyair rakyat yang meninggalkan jejak di dunia sastra dengan karya yang dicintai banyak orang Jepang hingga saat ini. Ia mahir sekali memindahkan pengalaman hidupnya sebagai seorang manusia serta jujur dan tajam menuangkannya ke atas kertas sehingga menjadi sajak. Puisi yang terkenal dari Ishikawa Takuboku terangkum dalam kumpulan puisi pertamanya, yakni Ichiaku no Suna (Segenggam Pasir). Kumpulan puisi ini terdiri dari 551 tanka yang terlahir dari pengalaman hidupnya sehari-hari yang penuh vitalitas dan keterusterangan. Jiwa baru dan daya imajinasi dengan bahasa yang segar memperkaya sajak ini. Beberapa karya Ishikawa Takuboku dalam bukunya Ichiaku no Suna, antara lain “Ware o Ai suru Uta”, “Kemuri Ichi”, “Kemuri Ni”, Akikaze no Kokoroyosa ni”, “Wasuregataki Hitobito Ichi”, “Wasuregataki Hitobito Ni”, dan “Tebukuro o Nugu Toki”.

Bahasa yang digunakan dalam tanka adalah bahasa kiasan, yang tidak bisa secara mentah atau begitu saja dapat diterima dan dimengerti. Oleh sebab itu, penulis mencoba menganalisis tanka guna memudahkan para pembaca lain untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tanka. Pada penelitian ini akan dibahas salah satu karya dari Ishikawa Takuboku yang berbentuk tanka dengan judul “Akikaze no

(4)

Kokoroyosa ni”. Puisi-puisi yang terdapat pada Ichiaku no Suna kebanyakan mengandung makna kesedihan. Akan tetapi, jika diamati lebih lanjut, tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” mengandung arti yang berbeda dengan tanka yang lainnya, yaitu angin musim gugur yang menenteramkan jiwa. Berdasarkan pembacaan sekilas tentang judul bisa disimpulkan bahwa tanka Akikaze no Kokoroyasa ni” memiliki arti sesuatu yang menenangkan, damai, dan tidak memiliki arti kesedihan. Hal ini berkebalikan dengan tema besar yang diangkat oleh Ishikawa dalam kumpulan tanka-nya yang bertemakan kesedihan. Selain itu, tanka ini juga merupakan satu-satunya tanka dalam kumpulan puisi Ichiaku no Suna yang menggunakan musim sebagai judulnya. Pada umumnya, musim lebih lazim diangkat menjadi tema dalam haiku. Haiku merupakan salah satu jenis puisi Jepang dan menggunakan musim sebagai tema, serta menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan musim (kigo). Hal inilah yang menjadi keunikan tanka Ishikawa Takuboku karena menggunakan tema yang umumnya digunakan dalam haiku.

Musim gugur di Jepang memiliki karakter dimulai dengan angin topan yang berembus kencang dan menimbulkan badai dan dirasa berat pada awalnya. Namun, setelah itu cuaca menjadi terang dan malam berjalan lebih lama dibandingkan siang hari. Di Jepang ada kebiasaan menikmati terangnya cahaya bulan purnama pada bulan September, untuk berterima kasih atas hasil panen musim gugur. Pada hari yang bulannya tampak paling indah di sepanjang tahun itu, orang-orang yang berterima kasih atas hasil panen musim gugur meletakkan alang-alang, ubi, kastanye,

(5)

dan kue bola sebagai sesajen. Ada juga perayaan yang disebut Keiro, acara penghormatan bagi orang yang tua di Jepang, yakni menghormati para orang tua yang telah banyak berjasa bagi masyarakat dengan merayakan panjangnya usia mereka (Johnny, 1990: 126).

Pada bulan Oktober, musim gugur ditandai dengan kegiatan memotong padi. Musim ini adalah musim yang menyenangkan—tidak panas dan tidak dingin. Setelah permulaan musim gugur berlalu, udaranya menjadi semakin dingin dan kedaunan yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi warna merah atau kuning. Orang-orang pergi ke gunung untuk mencari pemandangan indah dan menikmati daun-daun pohon yang memerah atau menguning. Hal ini merupakan kebiasaan orang Jepang, yaitu mementingkan perubahan musim. Musim gugur adalah musim tumbuhnya berbagai macam hal, bukan hanya padi dari sawah, kastanye, buah kesemek, sayur-sayuran, serta buah-buahan, namun juga membuahkan kegembiraan. Orang-orang Jepang bertambah nafsu makannya pada musim ini (Johnny, 1990: 127).

Pada bulan November, hawa dingin mulai terasa pada pagi dan sore. Daun-daun pohon menjadi semakin cerah. Di daerah utara, embun es mulai turun, dan di gunung yang tinggi, salju mulai turun. Musim potong padi yang sibuk telah selesai dan cuaca cerah terus berlangsung. Pada bulan ini, ada acara untuk merayakan anak yang telah berumur 3, 5, dan 7 tahun di Jepang. Seluruh anggota keluarga akan merasa gembira melihat pertumbuhan dan kesehatan anak setiap tahun. Anak-anak

(6)

memakai pakaian tradisional Jepang yang disebut kimono dan berziarah ke kuil Shinto (Johnny, 1990: 127-128).

Bulan November di Jepang juga dikenal sebagai musim perpindahan burung. Dari negeri-negeri utara yang jauh dan lebih dingin daripada Jepang, berbagai jenis burung seperti angsa, burung bangau, dan angsa liar bermigrasi ke Jepang.

Selain hal disebutkan di atas, ada juga sisi yang tidak menyenangkan saat musim gugur datang. Karena sering terjadi topan dan badai, masyarakat Jepang merasa tabu untuk melakukan upacara perkawinan. Mereka takut kalau pernikahan yang dilaksanakan pada musim gugur bisa berdampak buruk bagi kelangsungan kedua mempelai. Ditakutkan, mempelai akan banyak tertimpa cobaan seperti halnya terkena badai topan. Selain itu, dedaunan yang berguguran juga bermakna kemurungan, kesedihan, dan rasa sepi (Nakamura dalam Avianti, 2004: 1). Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti siginifikansi tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”.

Signifikansi pada tataran semitok yakni memaknai secara menyeluruh pada suatu teks sehingga pembaca dapat mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh penyair. Signifikansi diperlukan karena pada penciptaan suatu karya, penyair menggunakan bahasa yang tidak biasa digunakan pada umumnya. Sehingga menimbulkan multi tafsir dalam memaknai suatu teks. Perbedaaan bahasa yang digunakan yakni tercipta karena adanya penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting), dan penciptaan arti (creating of meaning). Oleh

(7)

karena itu, diperlukan pembahasan yang lebih mendalam guna mendapatkan makna atau signifikansi yang terdapat pada teks tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”.

1.2 Rumusan Masalah

Tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku mengandung signifikansi tertentu. Akan tetapi, signifikansi tersebut disampaikan secara tidak langsung melalui berbagai tanda atau ketidaklangsungan ekspresi puisi yang menghambat pemahaman pembaca. Dengan demikian, permasalahan yang kemudian muncul jika dirumuskan dalam bentuk pertanyaan adalah bagaimana signifikansi tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan pokok, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk mendapatkan signifikansi yang terkandung pada bait puisi dalam tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”. Tujuan tersebut diharapkan dapat tercapai dengan menganalisis tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni‖ dengan pendekatan Semiotik Riffaterre.

Tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya penelitian semiotik terhadap karya sastra Jepang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra Jepang.

(8)

1.4 Tinjauan Pustaka

Menurut pengetahuan penulis berdasarkan pencarian data, penelitian mengenai tanka masih sedikit. Penelitian yang pernah ada dilakukan oleh Risvita Indriani (2008) dalam skripsinya yang berjudul ―Makna Simbolis Binatang dalam Kumpulan Tanka Ichiaku no Suna (Segenggam Pasir) Karya Ishikawa Takuboku‖. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalan tanka karya Ishikawa Takuboku terdapat jenis binatang berkaki empat, yaitu anjing, kucing, kuda, kambing, dan sapi. Masing-masing binatang tersebut mempunyai makna simbolis yang mengandung pesan atau amanat kepada pembaca.

Skripsi lainnya ditulis oleh Wira Kawedar (2008) dengan judul ―Momijigari dan Otsukimi dalam Tanka Karya Ishikawa Takuboku‖. Pada skripsi ini, Wira meneliti mengenai pendeskripsian Momijigari dan Otsukimi. Penelitiannya memuat beberapa kesimpulan. Pertama, Momijigari dalam tanka karya Ishikawa Takuboku adalah ketika musim gugur menikmati pemandangan alam yang indah, perubahan cuaca (sejuk, dingin), suasana hati (senang, sedih), dan aktivitas manusia pada tiap-tiap waktu (pagi, siang, sore, malam). Kedua, Otsukimi dalam tanka karya Ishikawa Takuboku adalah ketika musim gugur menikmati pemandangan alam yang berhubungan dengan langit, awan, dan sinar bulan bersama aktivitas manusia beserta suasana hatinya.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Wiwik Subandiah (2006) dengan judul ―Bahasa Kiasan, Makna Feeling, dan Amanat Puisi ―Akikaze No Kokoroyosa Ni

(9)

(Bayu Musim Gugur yang Sejukkan Kalbu) Karya Takuboku Ishikawa‖ yang memfokuskan penelitiannya pada unsur intrinsik puisi, makna feeling, dan apa amanat yang terkandung dalam tanka tersebut. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Wiwik adalah ditemukannya bahasa kiasan yang terdapat dalam puisi Akikaze no Kokoroyosa ni, yaitu majas metafora, simile, personifikasi, dan sinekdoki. Majas metafora adalah majas yang paling banyak muncul. Makna feelingfeeling meaning)yang terdapat dalam puisi Akikaze no Kokoroyosa ni adalah kesepian, kerinduan, kesedihan, penyesalan, introspeksi, dan keputusasaan. Amanat yang disampaikan dalam puisi tersebut adalah perjalanan hidup yang penuh dengan kepahitan yang diwarnai dengan semangat pantang menyerah bisa menjadi pelajaran bagi kita.

Ada pula penelitian oleh Nurhidayati yang berjudul ―Makna Musim dalam Tanka Tebukuro o Nugu Toki Karya Ishikawa Takuboku”. Penelitian tersebut menekankan pada simbol-simbol musim yang tergambar dalam tanka “Tebukuro o Nugu Toki” dan analisis musim yang terdapat dalam simbol musim tersebut. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati adalah musim disimbolkan oleh cuaca, hujan, embun, bulan, angin, salju, binatang (kucing dan burung), tumbuhan (bunga, apel, rumput, gandum, dan daun platan), kelambu, sarung tangan, dan arang. Sedangkan makna musim yang terdapat dalam tankaTebukuro o Nugu Toki” adalah kesedihan, kesusahan, kesepian, penyesalan, keputusasaan, dan semangat hidup penyair.

(10)

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Sri Wahana Nurdian Sari (2010) dengan judul ―Refleksi Kondisi Kejiwaan Takuboku Ishikawa dalam tanka Akikaze no Kokoroyosa ni (Tinjauan Psikologis Sastra)‖. Penelitian tersebut memfokuskan pada psikologis pengarang dalam tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”. Ia menjelaskan bahwa tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” merupakan refleksi kejiwaan Takuboku Ishikawa. Hal itu didukung oleh perjalanan hidup Takuboku Ishikawa serta kaitannya dengan latar belakang keluarga dan sosial pengarang. Kesedihan sebagai masalah utama yang terdapat dalam tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” pada umumnya disebabkan oleh kesepian pengarang dan faktor-faktor lainnya, seperti kemiskinan, cinta, dan penyakit TBC.

Penelitian yang juga mengangkat karya Ishikawa Takuboku adalah skripsi yang ditulis oleh Dwi R. Erna (2002) yang berjudul ―Sajak Kemuri II dalam Ontologi Puisi Ichiaku no Suna Karya Ishikawa Takuboku: Analisis Semiotik Riffaterre‖ (―The Poem of Kemuri II in Ishikawa Takuboku ―Ichiaku no Suna‖ Poem Collection; Semiotic Riffattere‖). Dalam skripsinya, dijelaskan bahwa sajak ―Kemuri II‘ menggambarkan kerinduan Ishikawa Takuboku terhadap kampung halamannya.

Penelitian lain yang berupa tesis dilakukan Sisri Dona (2012) yang berjudul ―Kesedihan dalam Tanka Jepang Kemuri Ichi Karya Takuboku Ishikawa: Kajian Semiotika Riffaterre‖. Penelitian tersebut memfokuskan pada bagaimana proses signifikansi tanka “Kemuri Ichi” dan bagaimana kesedihan sebagai hasil signifikansi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesedihan bisa menjadi energi positif, yakni

(11)

semangat untuk bangkit. Hal ini menjadi matriks yang tidak terdapat dalam teks, tetapi diaktualisasikan melalui model, yakni ―kemuri‖ yang mengalami proses ekspansi asap yang bergerak ke atas. Berdasarkan pemaknaan kesedihan menggunakan teori Semiotika Riffaterre, maka metafora alam yang digunakan sebagai representasi kesedihan, di antaranya yaitu, musim gugur, asap, angin dan lembah. Varian-varian yang tersebar menjadi bentuk-bentuk kesedihan bisa berupa kemiskinan, kenangan masa muda, kesepian, kerinduan akan kampung halaman, penyesalan karena menyia-nyiakan ilmu, putus cinta, dan kegagalan meraih impian. Pengaruh kesedihan menjadi matriks yang berupa sakit yang mendatangkan semangat dan semangat untuk bangkit. Tipe hipogram sistem deskripstif adalah karakteristik hipogram potensialnya. Disebutkan pula, teks haiku Masaoka Shiki adalah hipogram aktual secara intertekstualitas.

Selain dalam bentuk skripsi dan tesis, penulis menemukan buku yang berjudul Ishikawa Takuboku dan Segenggam Pasir. Buku tersebut merupakan karya Takuboku yang diterjemahkan oleh Edizal, tanpa menganalisis makna dari kumpulan puisi tersebut.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang penulis peroleh, perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain terletak pada objek penelitian dengan pendekatan teori yang digunakan. Objek penelitian yang penulis ambil, yakni “Akikaze no Kokoroyosa ni”, belum pernah diteliti secara mendalam, terutama mengenai bagaimana signifikansipuisi tersebut. Hal lain yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yakni

(12)

terletak pada pembahasan tanka yang selalu menitik beratkan pada tema kesedihan yang diangkat oleh Ishikawa Takuboku. Pada penelitian ini, penulis mencoba mencari sisi lain dari tanka Ishikawa yang tidak hanya mengangkat tema kesedihan seperti apa yang menjadi dasar penelitian-penelitian sebelumnya.

1.5 Landasan Teori

Pembahasan terhadap karya sastra dapat menggunakan beberapa pendekatan teoritis. Hal tersebut tergantung pada masalah yang diungkap. Untuk membahas dan memahami tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku ini, penulis menggunakan analisis semiotik. Teori semiotik yang digunakan mengacu pada teori semiotik Riffaterre.

Penekanan teori semiotika dalam kaitannya dengan karya sastra adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda dan bahasalah media sastra. Keseluruhan teks dari suatu karya sastra merupakan tanda-tanda yang perlu dimaknai untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap teks tersebut.

Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1). Semiotik mempelajari sistem-sistem,

(13)

aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Michael Riffaterre (1978: 1) dalam bukunya yang berjudul Semiotic of Poetry menguraikan bahwa puisi berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya dan mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Dengan kata lain, puisi mengatakan suatu hal dan memaksudkan hal lain (a poem says one thing and means another). Oleh karena itu, Riffaterre berpandangan bahwa perbedaan yang kita tangkap secara empiris antara puisi dan nonpuisi adalah dijelaskan sepenuhnya oleh cara suatu teks puitik membawa makna.

Riffaterre (1978: 166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.

Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya.

(14)

Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978: 2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Indirection is produced by displacing, distorting, or creating meaning. Displacing, when the sign shif from meaning to another, when the one word “stands for” another, as happens with metaphore and metonymy. Distorting, when there is ambiguity, contradiction, or nonsense. Creating, when the textual space serve as a principle of organization for making signs out of linguistics items that may not be meaningful otherwise (for instance, symmetry, rhyme, or semantic equivalence between positional homologues in a stanza).

Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).

Penggantian arti (displacing of meaning) menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori.

(15)

Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.

Penyimpangan arti (distorting of meaning) merupakan penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978: 2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.

Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat. Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam, sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.

Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib

(16)

atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisi yang bergaya mantra.

Penciptaan arti (creating of meaning) ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan typograf (Riffaterre, 1978: 2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakanorganisasi teks di luar linguistik.

Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978: 5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap makna yang terkandung dalam tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”. Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978: 5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.

Pada tahap pembacaan heuristik, pembaca masih mengalami berbagai hambatan dalam proses pemaknaan sehingga hambatan tersebut harus dilampaui dengan melanjutkan pembacaan pada tahap kedua. Pada tahap pembacaan hermeneutik atau retroaktif, pembaca melibatkan kompetensi kesusastraan, yakni kefamiliaran pembaca terhadap sistem deskriptif, tema-tema, mitologi-mitologi

(17)

masyarakat, dan terutama sekali dengan teks-teks lain. Di mana pun ada gap-gap yang kosong, seperti deskripsi-deskripsi tak komplit, atau alusi-alusi, atau kutipan-kutipan, kompetensi kesusastraan pembaca inilah akan merespons secara tepat dan melengkapi atau mengisinya secara model hipogram. Pada tahap ini, pembaca menyimak teks, kemudian mengingat apa yang telah dibacanya melalui tahap pertama dan memodifikasi pemahaman tersebut berdasarkan apa yang dipahami dalam tahap pembacaan kedua. Pembaca melakukan tahapan dari awal hingga akhir teks, melakukan peninjauan, merevisi, dan komparasi sampai menemukan invariant atau matriks yang juga mengarahkan kepada signifikansi puisi.

Hal ini sesuai dengan konsep Riffaterre sebagai berikut.

The second stage is that of retroactive reading. This is the time for a second interpretation, for the truly hermeneutic reading. In theis progresses trought the text, the reader remembers what he has just read and modifies his understanding of it in the light of what he is now decoding. As he works forward from start to finish, he is reviewing, revising, comparing backwards (1978: 5-6).

Pada tahapan pembacaan ini, pembaca menerapkan dekoding struktural karena teks sebenarnya merupakan variasi dari sebuah struktur dan relasi varian-variannya, kemudian membentuk kesatuan makna (signifikansi). Efek maksimal pembacaan hermeneutik atau retroaktif adalah sebagai generator system pemaknaan hadir pada bagian akhir teks. Arti dari ungkapan tersebut adalah teks harus dilihat keutuhannya yang menyeluruh, bukan bagian perbagian. Dari ungkapan itu semakin jelas perbedaannya bahwa teks sebagai suatu kesatuan struktur ―unit signifikansi‖ (unit of significance), sedangkan satuan linguistik berupa kata-kata, frasa, serta

(18)

kalimat yang menyusun teks itu merupakan ―unit-unit arti‖ (unit of meaning) (Riffaterre, 1978: 5-6).

Pembacaan hermeneutik/retroaktif memerlukan konsep interpretan, yaitu sebuah tanda yang menerjemahkan tanda-tanda permukaan teks dan menjelaskan hal lain yang ditunjukkan oleh teks. Sebagaimana yang diungkapkan ole Riffaterre sebagai berikut.

Any equivalence established by the poem and perceived by retroactive reading may be regarded as interpretant (Riffaterre, 1978:81).

Berbagai ekuivalensi yang ditetapkan oleh puisi dan dipersepsi melalui pembacaan retroaktif dapat dipandang sebagai interpretan. Terhadap pernyataan itu, Riffaterre mengacu pada apa yang dicontohkan oleh Eco mengenai interpretan, yaitu sebuah paradigma sinonimi yang dapat berupa bentuk tanda yang sejajar dalam sistem semiotik yang lain; sebuah definisi dalam istilah semiotik yang sama; sebuah indeks; atau konotasi yang sudah mapan, misalnya anjing yang menandai ‗kesetiaan‘ (1978; 182).

Interpretan dapat berupa sebuah tanda tekstual yang disimbolkan oleh kata dan mengacu pada teks yang harus ditemukan oleh pembaca sebagai petunjuk hermeneutiknya. Interpretan juga merupakan sebuah fragmen pada teks yang secara aktual dikutip dalam puisi yang dimaksudkan untuk ditafsirkan. Mungkin saja tidak ada simbol tipografis yang membedakannya dari isinya; kutipan mungkin tidak lengkap dan meminta pembaca agar berupaya melengkapinya dengan ingatan dan

(19)

terkaan. Seperti lazimnya, wacana puisi secara samar merintangi pemahaman dan tidak mendorong pembacaan cepat. Kita dipaksa untuk mengenali bahwa dalam membaca puisi ada periode permulaan dan penundaan untuk menyadari tentang hal sebenarnya yang diberikan oleh teks.

Riffaterre mengemukakan bahwa interpretan tekstual membimbing pembaca dengan dua cara. Pertama, membantu pembaca untuk fokus pada intertekstualitas, terutama pada bagaimana puisi mencontohkan bentuk konflik intertekstual. Bahkan, hipogram yang menurunkan (derived) puisi itu juga dikutip dalam puisi, sebagai interpretan dalam fragmennya. Fragmen ini hadir secara fisik dan dapat dilihat pada permukaan (tetapi dirasakan sebagai bagian asing dengan sebuah pra-eksistensi tekstual yang bebas di tempat lain) dan berpasangan dalam oposisi biner dengan derivasi yang dipicunya. Kedua, interpretan berfungsi sebagai model bagi derivasi hipogramatik ( Riffaterre, 1978:109-110).

Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.

Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari

(20)

berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya.

Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre, 1978: 5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993 :126) adalah:

1) membaca untuk arti biasa,

2) menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa,

3) menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks, dan

4) menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.

Riffaterre menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (Riffaterre, 1978: 13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model.

Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi

(21)

pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”.

Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan. Puisi ““Akikaze no Kokoroyosa ni”” misalnya, tanka ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya.

Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh kalau memiliki hubungan atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertekstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah

(22)

dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya juga merupakan teks.

Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus. Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978: 11) disebut dengan hipogram.

1.6 Metode Penelitian

Berdasarkan dengan metode penelitian, Faruk (2012: 24-25) menyebutkan terdapat dua metode dalam penelitian, yakni metode pengumpulan data yang berarti seperangkat cara atau teknik untuk mendapatkan fakta-fakta empiris terkait masalah penelitian serta metode analisis data yang berarti seperangkat cara atau teknik untuk menarik relasi antara satu data dengan data lain yang bermuara pada suatu pengetahuan ilmiah.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Sebelum data dikumpulkan dan dianalisis untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang sudah dibuat, harus ditentukan terlebih dahulu kodrat keberadaan objek yang diteliti. Dalam hal ini yang pertama-tama harus dilakukan

(23)

adalah menentukan objek material dan objek formal (Poedjawijatna, dalam Faruk, 2012: 23).

Objek material dalam penelitian ini ialah puisi Jepang tankaAkikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku dalam kumpulan puisi Ichiaku no Suna dengan kerangka teori Michael Riffaterre adalah signifikansipuisi.

Setelah menentukan objek material dan objek formal serta data dan sumber data penelitian, tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data-data penelitian. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan. Dalam studi kepustakaan tersebut, terdapat beberapa langkah kerja yang dilakukan. Pertama, menentukan objek penelitian, baik objek material maupun objek formal. Kedua, membaca secara cermat data primer, yakni frasa, kata, klausa, dan kalimat yang tersebar dalam seluruh baris tanka. Ketiga, mencari data-data sekunder melalui buku, artikel, internet, dan laporan ilmiah lainnya yang ada kaitannya dengan masalah dalam penelitian ini. Keempat, membaca secara cermat data-data sekunder yang terdapat dalam buku, artikel, internet, dan laporan ilmiah lainnya. Kelima, pemberian nomor pada data primer yang tersebar dalam tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”. Penomoran data bertujuan untuk mempermudah proses analisis data.

1.6.2 Metode Analisis Data

Data dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka (Muhadjir, 1996: 29). Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer

(24)

dalam penelitian ini dalah tanda-tanda yang berupa kata, frasa, klausa dan kalimat dalam tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”. Data ini diperoleh melalui data primer, yakni tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”. Data inilah yang mengarahkan kepada penemuan signifikansi puisi. Namun, data ini belum cukup untuk menemukan siginifikansi sehingga diperlukan pula data sekunder.

Data sekunder merupakan data pendukung yang berasal dari luar teks tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” yang diperoleh dari sumber data sekunder, yakni buku, artikel, internet, dan laporan-laporan penelitian disertasi, tesis, skripsi, dan laporan ilmiah lainnya yang ada kaitannya dengan masalah dalam penelitian ini. Data sekunder digunakan untuk memudahkan interpretasi peneliti dalam menemukan signifikansi tanka“Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku.

Setelah pengumpulan data baik data primer maupun sekunder, langkah selanjutnya adalah analisis data. Data yang sudah diperoleh akan dihubungkan satu sama lain dalam sebuah proses yakni analisis data. Data-data yang diperoleh berupa data deskripsi verbal sehingga dilakukan analisis melalui metode pembacaan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan metode analisis Semiotika Riffatterre (1978: 5) yang meliputi pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (retroaktif).

Pembacaan heuristik melibatkan kompetensi linguistik pembaca dalam menganalisis data primer, yakni setiap kata, frasa, klausa, dan kalimat yang tersebar dalam seluruh baris tanka agar sesuai dengan Kamus Bahasa Jepang. Selain itu,

(25)

kompetensi linguistik juga teramat penting, terutama untuk menyoroti unsur-unsur yang bersifat ungramatikalitas, terpecah-pecah, heterogenitas makna, serta ambiguitas. Ungramatikalitas tersebut yang dapat menghambat pemahaman peneliti sehingga untuk mengatasi hambatan tersebut, maka peneliti melanjutkan pembacaan pada level kedua, yakni hermeneutik (retroaktif).

Pembacaan hermeneutik melibatkan kompetensi kesusastraan pembaca dalam menganalisis data dengan melakukan dekoding dan modifikasi ulang atas apa yang terserap pada pembacaan pertama. Pembaca melakukan pembacaan teks secara bolak-balik, dari awal hingga akhir dengan memodifikasi pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang telah dibacanya (Riffaterre, 1978: 4-6). Tahap pembacaan ini merupakan interpretasi tahap kedua yang bersifat hermeneutik yang melibatkan banyak kode di luar bahasa sehingga pembaca dapat mengungkapkan makna (significance) teks sebagai sistem tanda (Riffaterre, 1978: 2). Pada pembacaan ini dikembalikan kepada pikiran pembaca dan proses komunikasi antara pembaca dan teks. Pikiran pembaca tetap diarahkan oleh data-data primer berupa meaning atau makna kebahasaaan serta data sekunder dalam memahami signifikansi yang tidak tampak secara tekstual. Pada pembacaan ini, ada beberapa langkah yang dilalui yakni: (1) menganalisis hipogram, baik potensial maupun aktual dengan menemukan implikasi dari makna kebahasaan yang meliputi prasuposisi, seme, klise, sistem deskripstif; menguraikan tradisi, tema-tema yang berhubungan dengan kebudayaan bangsa Jepang, serta teks-teks lain berupa tanka terdahulu yang terimplikasi dari

(26)

tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”; menentukan hubungan oposisi yang muncul dari interpretasi peneliti; (2) pencarian matriks tanka melalui aktualisasi model dan varian-varian.

Langkah terakhir untuk menghubungkan data-data dalam penelitian ini adalah dengan analisis data dilakukan secara struktural, yaitu arti yang bersifat tekstual dan ugramatikalitas dihubungkan satu sama lain dalam pembacaan hermeneutik (retroaktif). Dari pembacaan hermeneutik inilah, signifikansi tanka dapat diungkapkan secara eksplisit. Sebagaimana menurut Riffaterre bahwa fungsi pembacaan hermeneutik ialah sebagai pencetus signifikansi (Riffaterre, 1978: 5-6, 13).

Langkah kerja analisis yang akan dilakukan dapat disederhana melalui bagan berikut.

(27)

Tanka“Akikaze no Kokoroyosa ni” Karya Ishikawa Takuboku

Pembacaan Heuristik Makna Kebahasaan Ungramatikalitas Pembacaan Hermeneutik (Retroaktif)

Hipogram Potensial dan

Hipogram Aktual Matriks. Model, dan Varian

Signifikansi tanka “Akikaze Kokoroyosa ni”

Karya Ishikawa Takuboku

1.6.3 Tahap-tahap Penelitian

Penelitian secara keseluruhan mempunyai beberapa tahapan sampai pada kesimpulan. Tahapan-tahapan tersebut adalah:

1. menentukan objek material berupa tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku,

2. membaca tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku secara cermat,

(28)

3. menentukan masalah atau objek formal penelitian, yakni signifikansi tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku,

4. menentukan teori dalam menganalisis objek formal yang telah ditentukan, yakni teori semiotika Riffaterre,

5. melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder,

6. melakukan penerjemahan terhadap tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” karya Ishikawa Takuboku,

7. melakukan analisis data melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif),

8. membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, dan

9. menyajikan ke dalam laporan penelitian berdasarkan sistematika penyajian laporan penelitian yang telah ditentukan.

Pemaparan di atas merupakan tahap-tahap yang dilakukan secara keseluruhan yang dilakukan oleh peneliti dari awal hingga akhir dalam penulisan penelitian ini.

1.7 Sistematika Penyajian

Laporan penelitian ini terdiri dari tiga bab dengan pembagian sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode analisis data, dan

(29)

sistematika penyajian. Bab II memaparkan tentang signifikasi tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni” menggunakan teori semiotika Riffaterre. Bab III merupakan penutup dari penelitian yang berisi simpulan dari hasil analisis semiotika Riffaterre terhadap bait puisi tanka “Akikaze no Kokoroyosa ni”.

Referensi

Dokumen terkait

 Pemain yang ketahuan pertama adalah calon sebagai penjaga pada permainan selanjutnya, kalau dalam permainan tersebut tidak kebentengan (benteng atau pos jaga

Selain dapat membuka wacana diskusi dalam rangka meningkatkan kreatifitas dan prestasi mahasiswa, Untuk jangka panjangnya saat institusi melakukan suatu kesalahan mereka

Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal

Orang tuaku yang tercinta, yang telah banyak memberikan dukungan masukan saran, moral dan spiritual serta kesabaran yang tinggi kepada penulis, sehingga penulis

(1) Berdasarkan laporan Kepala kas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) pada setiap akhir tahun Kepala Baitul Mal Kabupaten mengajukan Surat

Sebagai perbandingan bangunan fasilitas cottage, ada beberapa kawasan wisata dengan fasilitas akomodasinya yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sehingga fasilitas wisata

• Jika diambil titik tengah Biblical Blood Moon Tetrad yang jatuh pada tanggal 31 Desember 860, maka jarak waktu antara gerhana matahari parsial yang keempat dengan titik

Data belanja daerah, pendapatan asli daerah, dana bagi hasil dan dana alokasi umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi anggaran dari Laporan Keuangan