• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai [DAS]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai [DAS]"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai [DAS]

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diartikan sebagai suatu kawasan yang dibatasi oleh topografi alami, dimana air yang jatuh pada DAS tersebut keluar melalui satu aliran tunggal yang akhirnya sampai pada satu titik tertentu atau sering disebut outlet. Menurut Pawitan (1999), DAS merupakan satu satuan wilayah berupa sistem lahan dengan tutupan vegetasi, dibatasi oleh batas-batas topografi alami (seperti punggung-punggung bukit) yang menerima curah hujan sebagai masukan, mengumpulkan dan menyimpan air, sedimen dan unsur hara lainnya, serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai untuk akhirnya keluar melalui satu sungai utama ke laut atau danau.

Karateristik suatu DAS sangat bergantung kepada kondisi alam dan iklim diantaranya jenis tanah, topografi, tata guna lahan dan besarnya curah hujan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi besar-kecilnya aliran permukaan yang terjadi, dimana laju aliran suatu DAS akan semakin cepat dengan semakin besarnya kemiringannya.

Bagian hulu dari suatu DAS memegang peranan penting terhadap keseluruhan DAS, karena keberlangsungan kondisi air dari hulu sampai hilir sangat dipengaruhi bagaimana kondisi DAS dibagian hulu tersebut. Alih fungsi lahan dibagian hulu tidak hanya mempengaruhi kondisi didaerah tersebut, akan tetapi juga mempengaruhi bagaimana kualitas air, debit, dan sedimen yang nantinya akan sampai dibagian hilir. Sebagaimana terdapat dalam peraturan Dirjen Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial No: P.04/V-SET/2009 juga disebutkan bahwa perubahan kondisi hidrologis suatu DAS yang berdampak negatif seperti erosi dan sedimen, penurunan produktifitas lahan dan degradasi lahan dipicu oleh faktor kegiatan manusia, selain faktor peristiwa alam. Sehingga diperlukan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung proses identifikasi kondisi DAS sehingga dapat direncanakan pengelolaan DAS yang sesuai.

Pengelolaan DAS merupakan usaha untuk memamfaatkan sumberdaya (tanah, vegetasi, air dan lainnya) pada DAS secara rasional untuk mendapatkan penggunaan lahan yang berkelanjutan demi tercapainya produksi maksimum dan optimum dalam jangka waktu yang tidak terbatas akan tetapi juga menekan kerusakan seminimal mungkin sehingga didapat kualitas dan distribusi air yang baik (Sinukaban, 2007a). Pengelolaan suatu DAS dikatakan berhasil apabila terpenuhi beberapa hal sebagai berikut: (1) tercapainya kondisi hidrologis yang optimal, (2) meningkatnya produktifitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat, (3) terbentuknya kelembagaan masyarakat yang muncul dari bawah sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat dan (4)

(2)

4 terwujutnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.

2.2. Siklus Hidrologi

Asdak (2002), mendifinisikan hidrologi sebagai suatu kajian ilmu yang mempelajari tentang air (pada fase gas, cair mupun padat) yang berada di dalam tanah dan di udara, distribusi, siklus dan perilakunya. Siklus hidrologi atau sering disebut sebagai keseimbangan hidrologi merupakan keseimbangan antara total masukan (input) dengan total luaran (output). Dalam sistem DAS siklus hidrologi digambarkan sebagai hubungan antara hujan sebagai input dengan debit sebagai output dan karateristik serta proses sebagai struktur sistemnya.

Menurut Chow dan kawan-kawan (1988), siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dan didalamnya terjadi berbagai proses secara terus-menerus. Air menguap dari lautan, danau, sungai, dan permukaan tanah menuju atmosfer (evaporation). Di atmosfer, uap air dipindahkan dan diangkat sampai terkondensasi dan jatuh sebagai hujan (preciptation), dan dalam perjalanan menuju bumi sebagian hujan kembali dievaporasikan ke atmosfer. Air yang jatuh sebagian diintersepsikan oleh vegetasi, masuk kedalam tanah melalui permukaan (infiltration), mengalir sebagai aliran bawah permukaan (subsurface flow), dan mengalir sebagai aliran permukaan (surface runoff). Sebagian besar air yang diintersepsi dan mengalir di permukaan kembali ke atmosfer melalui proses evaporasi. Air yang diinfiltrasi dapat masuk ke lapisan tanah yang lebih dalam dan mengisi air bawah tanah (percolation), kemudian muncul sebagai mata air di sungai, akhirnya kembali ke laut atau menguap ke atmosfer.

Soemarto (1995) juga menjelaskan siklus hidrologi sebagai pergerakan air permukaan yang mengalir ke sungai dan berikutnya akan mengalir ke laut yang akhirnya akan menguap kembali ke atmosfer. Kemudian dengan proses alam air yang dalam bentuk uap akan berubah dan jatuh dalam bentuk hujan dan sebagian dari air yang jatuh akan menyusup kedalam tanah (infiltrasi), sebagian yang lain akan menguap kembali (evaporasi) dan sebagian yang lain akan mengalir diatas permukaan (run off). Proses tersebut akan berlangsung dan berputar secara terus menerus.

(3)

5 Siklus hidrologi yang berlangsung pada suatu DAS dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi dan geologinya. Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi diantaranya curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban dan radiasi matahari yang sangat ditentukan oleh posisi dari garis bujur dan lintang. Topografi juga berperan penting dalam hidrologi karena mempengaruhi kondsi iklim yang terjadi, sedangkan geologi mempengaruhi karateristik pergerakan air yang meresap kedalam tanah dan bergerak menuju hilir.

Topografi atau kemiringan lereng sangat berhubungan dengan besarnya erosi. Semakin besar kemiringan lereng maka peresapan air hujan ke dalam tanah menjadi lebih kecil sehingga mengakibatkan limpasan permukaan dan erosi menjadi lebih besar. Arsyad (2006) mengkategorikan kecuraman suatu lereng menjadi:

1. 0 sampai < 3% (datar)

2. 3% sampai 8% (landai atau berombak)

3. 8% sampai 15% (agak miring atau bergelombang) 4. 15% sampai 30%

5. 30% sampai 45% (agak curam atau bergunung) 6. 45% sampai 65% (curam)

7. ≥ 65% (sangat curam)

2.3. Perubahan Penggunaan Lahan Di Kawasan DAS

Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi hidrologi termasuk vegetasi alami yang semuanya akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004b). Secara umum penggunaan lahan dapat dibedakan dalam 2 kategori, yaitu kategori penggunaan lahan pertanian dan kategori non pertanian. Penggunaan lahan pertanian adalah yang berkaitan dengan penyedian air dan komoditas pertanian yang diusahakan pada suatu lahan, misalnya ladang/ tegalan, perkebunan, kebun campuran, sawah, padang rumput, hutan primer dan hutan sekunder, sedangkan penggunaan lahan non pertanian adalah kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan air akan tetapi tidak berhubungan dengan tanaman, misalnya permukiman, industri, pertambangan, transportasi, kawasan komersial (Arsyad, 2009).

Lahan sebagai sumberdaya alam DAS merupakan subjek yang dapat berubah setiap saat, dimana perubahan tersebut dapat disebabkan oleh alam itu sendiri (natural changes) atau dapat pula disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic). Martin (1993) mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan merupakan pertambahan suatu penggunaan lahan yang diikuti oleh berkurangnya penggunaan lahan lain dari waktu ke waktu. Pola perubahan penggunaan lahan menurut Rustiadi (1999) mengikuti posisi geografi. Di daerah pedesaan (rural) perubahan penggunaan lahan terjadi dari lahan hutan menjadi

(4)

6 lahan pertanian dan pemukiman, sedangkan di daerah pinggir kota (suburban) dan perkotaan (urban) terjadi dari lahan pertanian menjadi pemukiman dan industri. Perubahan pengggunaan lahan tersebut menurut Agus et.,al (2003b) dapat berdampak kepada keseimbangan hidrologi DAS, yaitu terhadap peningkatan ancaman banjir dan kekeringan.

Asdak (2002) mengemukakan bahwa terdapat beberapa komponen hidrologi yang terpengaruh diakibatkan adanya penggunaan lahan dan kegiatan pembangunan di bagian hulu DAS, namun beberapa yang menjadi fokus utama dan perlu menjadi perhatian, yaitu:

1. Koefisien runoff (C), yang menunjukkan persentase besarnya air hujan yang menjadi runoff.

2. Koefisien rejim sungai (KRS), adalah koefisien yang menyatakan perbandungan debit harian rata-rata maksimum dengan rata-rata minimum. 3. Nisbah/ perbandingan anatara debit maksimum (Qmax) dan debit minimum

(Qmin) dari tahun ke tahun, dan diamati kecendrungan perubahannya. Evaluasi

ini untuk melihat keadaan DAS secara makro.

4. Kadar muatan sedimen dalam aliran sungai, yang dinyatakan dalam satuan mg/liter air. Evaluasi sedimen aliran sungai dikaitkan dengan debit air yang mengalir, dan digambarkan pada Sedimen-Discharge Rating Curve yaitu kurva hubungan antara muatan sedimen (Cs) dan debit sungai (Q). Kurva ini

berbentuk logaritmik dan dapat digunakan sebagai alat evaluasi. 5. Karateristik air tanah

6. Frekuensi dan periode ulang banjir

Evaluasi keenam komponen hidrologi ini membutuhkan data iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan radiasi surya), data runoff, debit aliran sungai, potensi air tanah dan sedimen air sungai. Hasil dari evaluasi enam komponen hidrologi digunakan sebagai alat identifikasi untuk melihat kondisi suatu DAS berada pada kondisi normal atau mulai terganggu. Kondisi DAS dalam keadaan normal apabila fluktuasi C, nisbah Qmax/Qmin dan koefisies arah kurva Cs

terhadap Q cenderung normal dan sama besarnya. Akan tetapi, jika nilai komponen-komponen tersebut terus naik dari tahun ke tahun maka DAS dianggap mulai terganggu. Kriteria dan indikator penggelolaan Daerah Aliran Sungai diberikan pada tabel 1.

(5)

7 Tabel 1. Indikator pengelolaan DAS

Kriteria Indikator Parameter Standar Keterangan

Penggunaan Lahan Penutupan Oleh Vegetasi IPL=(LVP/Luas DAS)×100% IPL>75%,baik IPL=Indeks Penutupan Lahan; LVP=Luas lahan Vegetasi Permanen (Informasi Peta Landuse) 30%≤IPL≤75%, Sedang IPL<30%, buruk

Indeks Erosi (IE)

IE=(Erosi Aktual/Erosi Ditolerir)x100%

IE≤1, baik Perhitungan erosi merujuk pedoman RTL-RLKT 1998.

IE>1, buruk

Pengelolaan Lahan

Pola tanam (C) dan Tindakan konservasi (P) C×P≤0.1, baik Perhitungan nilai C&P merujuk pedoman RLT-RLKT 1998 0.1≤C×P≤0.5, sedang C×P>0.5, buruk Tata Air

Debit air Sungai

KRS=Qmax/Qmin KRS<50, baik KRS=Koefisien Rejim Sungai 50≤KRS≤120, sedang KRS>120, buruk CV=(Sd/Qrata-rata)×100% CV<10%, baik Data SPAS CV>10%, buruk IPA=Kebutuhan/Pe rsedian

Nilai IPA semakin kecil semakin baik.

Kandungan Sedimen Kadar sedimen dalam air Semakin kecil semakin baik mutu peruntukkan Data SPAS Kandungan Pencemaran Kadar biofisika kimia Menurut standar yang berlaku Menurut standar baku PP 82/2001 Nisbah hantar sedimen SDR=Total sedimen/Total erosi SDR<50%, normal SDR=Sediment Delivery Ratio (dari data SPAS dan data pengukuran erosi 50%≤SDR≤75%, tidak normal SDR>75%, rusak Ekonomi Ketergantungan penduduk terhadap lahan Kontribusi pertanian terhadap total pendapatan

>75%, tinggi Dihitung per KK pertahun (KK/thn) 50%-75%, sedang <50%, rendah Tingkat pendapatan pendapatan

keluarga pe tahun Garis kemiskinan

Data dari instansi terkair atau responden Produktivitas lahan Produksi ha per tahun BPS Data BPS atau responden Jasa lingkungan

(air, wisata, iklim makro, umur waduk internalisasi, eksternalisasi, pembiayaan pengelolaan bersama (cost sharing) Menurun, tetap, meningkat Dalam bentuk pajak retribusi untuk dana lingkungan

(6)

8 Tabel 2. Indikator pengelolaan DAS (lanjutan)

Kriteria Indikator Parameter Standar Keterangan

Kelembagaan Keberdayaan lembaga Peranan lembaga lokal dalam pengelolaan DAS

Berperan Data hasil pengamatan Tidak berperan Ketergantungan masyarakat kepada pemerintah Intervensi pemerintah (Peraturan dan kebiajakan) Tinggi Data hasil pengamatan Sedang Rendah KISS Konflik Tinggi Data hasil pengamatan Sedang Rendah Kegiatan usaha

bersama Jumlah Unit

Bertambah

Data hasil pengamatan Berkurang

Tetap

Sumber: Supriyono, 2001 dan Asdak, 2007 dalam Sucipto, 2008

2.4. Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi seperti suhu dan distribusi curah hujan, dimana perubahan tersebut dapat membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001). Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat, akan tetapi terjadi dalam kurun waktu yang panjang.

IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih).

LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan. Lapan juga mencoba membuat kriteria untuk kondisi perubahan iklim seperti:

1. Suhu permukaan rata-rata dunia telah meningkat sekitar 1.0°F sejak akhir abad ke 19.

2. 10 tahun terpanas pada abad ini terjadi pada 15 tahun terakhir. Dalam hal ini, 1998 merupakan tahun paling panas.

3. Tutupan salju di Kutub Utara dan apungan es di Lautan Arktik telah menurun. 4. Secara menyeluruh, level laut telah meningkat 4-10 inch dibanding abad lalu,

sebagian besar disebabkan oleh ekspansi termal pada lautan. 5. Frekuensi kejadian curah hujan ekstrim telah meningkat

(7)

9 Perubahan iklim tidak hanya memberikan dampak negatif, akan tetapi juga dampak positif bagi semua sektor kehidupan manusia. Namun demikian, sebahagian besar dampak yang ditimbulkan adalah dampak negatif. Untuk menilai dampak perubahan iklim diperlukan perkiraan bagaimana iklim itu berubah pada tingkat lokal dan regional, serta bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi ekosistem dan kehidupan manusia. Umumnya para ilmuwan menggunakan Global Circulation Models/ Model sirkulasi umum (GCMs). GCMs telah digunakan untuk menilai dampak perubahan iklim pada semua sektor kehidupan di Indonesia (KNLH, 1998; Kurniawan dkk, 2009)

Salah satu permasalahan dari kebutuhan manusia yang terpengaruhi oleh dampak perubahan iklim adalah ketersedian air. Waggoner dalam Swandayani (2010) menyatakan bahwa peningkatan suhu akan diikuti oleh peningkatan evapotranspirasi, dan berpengaruh pada run off (aliran permukaan/limpasan) sehingga keseimbangan hidrologi akan terganggu. Apabila evapotranspirasi di suatu wilayah meningkat sebagai respon terhadap kenaikan suhu atmosfer, sedangkan curah hujan tetap atau bahkan berkurang maka wilayah tersebut akan kekurangan persediaan air, bahkan kemungkinan besar terjadi bencana kekeringan. Sedangkan di beberapa wilayah akan memperoleh intensitas hujan yang lebih besar sehingga akan meningkat intensitas bencana banjir.

Beberapa ahli menemukan dan memprediksi arah perubahan pola hujan di Bagian Barat Indonesia, terutama di Bagian Utara Sumatera dan Kalimantan, dimana intensitas curah hujan cenderung lebih rendah, tetapi dengan periode yang lebih panjang. Sedangkan di wilayah selatan Jawa dan Bali intensitas curah hujan cenderung meningkat tetapi dengan periode yang lebih singkat (Naylor, 2007). Secara nasional, Boer et al. (2009) mengungkapkan tren perubahan secara spasial, di mana curah hujan pada musim hujan lebih bervariasi dibandingkan dengan musim kemarau.

Gambar 2. Perubahan panjang musim kemarau di seluruh Indonesia (Sumber: Boer et al., 2009)

(8)

10 2.5. Dampak Perubahan Iklim

Resiko perubahan iklim merupakan besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan akibat perubahan iklim pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, pengungsian, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Pada sektor petanian konsep resiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian yang diwakili oleh penurunan produksi tanaman pangan sebagai bahaya, dimana pada daerah tropis produktivitas pertanian akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2oC sehingga meningkatkan resiko bencana kelaparan. Ancaman banjir yang semakin sering terjadi pada lahan sawah juga merupakan salah satu dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. Hal ini menyebabkan berkurangnya luas areal panen dan produksi. Peningkatan intensitas banjir secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi karena meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman, dimana terdapat indikasi bahwa lahan sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpeluang lebih besar mengalami ledakan serangan hama wereng coklat.

Dampak perubahan iklim terhadap sektor yang berkaitan dengan sumber daya air antara lain meningkatnya kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang berpotensi menimbulkan banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kondisi tersebut semakin meningkat dengan semakin menurunnya daya dukung lahan akibat menigkatnya tekanan terhadap lahan. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan kejadian bencana di Indonesia dalam periode 1815-2011 didominasi oleh faktor hidrometeorologi dan interaksinya (Gambar 3). Data inventarisasi kejadian banjir menunjukkan kejadian antar-musim mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan eksponensial (Gambar 4).

Gambar 3. Data dan informasi bencana di Indonesia

(9)

11 Gambar 4. Kejadian Banjir selama periode 1815-2011

2.6. Soil Water Assesment Tool (SWAT)

Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT yang pertama kali dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsch et al (2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa 6 model yaitu Simulator for Water Resources in Rular Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosian Productivity Impact Calculator (EPIC). Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang kemudian meluas ke Eropa, Afrika dan Asia. Software SWAT dikembangkan untuk mengetahui pengaruh dari manejemen lahan terhadap siklus hidrologi, sedimen yang ditimbulkan dan daur dari bahan kimia pertanian yang diperoleh berdasarkan data pada waktu tertentu. Software SWAT dapat diaplikasikan sebagai tool tambahan pada menu bar Software Arc GIS.

SWAT memungkinkan beberapa proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada DAS. Neraca air dalam SWAT adalah fenomena paling utama yang dijadikan sebagai dasar dari setiap kejadian suatu DAS. Siklus hidrologi yang dijalankan oleh software SWAT dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida untuk mengisi saluran utama pada masing-masing sub basin. Kedua adalah fase air yang berupa pergerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan-jaringan sungai pada DAS menuju outlet.

Persamaan neraca air yang digunakan dalam SWAT: SWt = SWo + Ʃ (Rday – Qsurf – Ea -Wseep – Qgw) Dimana:

SWt = kandungan akhir air tanah (mm H2O)

SWo = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm H2O) Rday = jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm H2O)

(10)

12 Ea = jumlah avapotranspirasi pada hari ke-i (mm H2O)

Wseep = jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada hari ke-i (mm H2O)

Qgw = jumlah air bawah tanah pada hari ke-i (mm H2O)

Iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan simulasi SWAT untuk perhitungkan water balance yang akurat (Neitsch et al, 2005). Parameter iklim yang digunakan dalam SWAT berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, serta kelembapan nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan menggunakan input file water generator. Selain iklim, masukkan data lainnya berupa sifat-sifat tanah, jenis penutupan lahan (landcover), jenis pengelolaan tanah, dan jenis pemukiman. 2.7. Regional General Circulation Model 3 (RegCM3)

Analisis perubahan iklim sering dikaitkan dengan kondisi iklim mendatang, sebagaimana diketahui telah banyak analisis yang menggambarkan kondisi mendatang menggunakan hasil olahan data General Circulation Model (GCM). GCM merupakan efek dengan skala besar dari perubahan konsentrasi gas rumah kaca, letusan gunung berapi dll pada iklim global. Iklim (suhu, angin dll) dihitung dengan GCM yang digunakan sebagai masukan pada tepi RegCM tersebut. RegCMs dapat mengatasi dampak lokal diberikan informasi skala kecil tentang orography (ketinggian tanah), dll penggunaan lahan, cuaca dan memberikan informasi iklim pada resolusi sehalus 50 atau 25km.

Regional Climate Model (RegCM) merupakan model yang dikembangkan dengan perhitungan matematika dan fisika untuk memodelkan iklim. RegCM yang pertama, dikembangkan oleh Dickinson et-al (1989), Grogi dan Bates (1989) dan Grogi (1990) pada National Center for Atmospheric Research(NCAR), dan di maintain di ICTP. Saat ini RegCM adalah versi generasi ke-tiga (RegCM3). RegCM3 merupakan perbaikan dari RegCM2.5 yang dideskripsikan oleh Grogi dan Mearns (1999). Perbaikan meliputi kondisi fisik curah hujan, kondisi fisik permukaan, kimia atmosfer dan aerosol, tampilan saat memasukkan data, serta tampilan pengguna.

Pada kondisi permukaan yang datar dan jauh dari garis pantai, GCM dengan resolusi yang kasar tidak cukup akurat dalam menggambarkan perubahan cuaca. Namun, lahan yang paling memiliki gunung, garis pantai, karakteristik vegetasi berubah dll pada skala yang lebih kecil, dan RegCMs dapat mewakili dampak dari pada cuaca jauh lebih baik dari pada GCMS. Ilustrasi pemetaan grid data RegCM3 pada titik observasi di Bumi seperti yang disajikan pada gambar 5.

(11)

13

Gambar 5. Ilustrasi pemertaan grid matriks ReCM3 pada koordinat observasi di Bumi (http://climateprediction.net/content/regional-climate-models)

2.8. Sequencial Uncertaint Fitting Version 2 (SUFI-2. SWAT-CUP)

SWAT-CUP (Soil and Water Assesment Tool-Calibration and Uncertainty Program) merupakan progam komputer yang digunakan untuk kalibrasi model hidrolologi SWAT. SWAT-CUP memiliki empat program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan SUFI-2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT.

Pada SUFI2, ketidakpastian parameter – parameter masukkan digambarkan memiliki distribusi yang seragam. Kemudian ketidakpastian nilai output, dikalibrasi menggunakan metode 95% Prediction Uncertainty (95PPU). 95PPU dihitung pada level 2.5% sampai 97.5% dari distribusi kumulatif variabel output menggunakan Latin Hypercube Sampling. Konsep algoritma analisis ketidakpastian dari SUFI 2 seperti dijelaskan pada grafik (Gambar 6). Gambar tersebut mengilustrasikan bahwa nilai parameter tunggal (diwakili oleh titik) memberi pengaruh tunggal pada model (Gambar 1a), kemudian peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter masukan (diwakili oleh garis) mempengaruhi nilai 95PPU yang diilustrasikan oleh luasan wilayah pada Gambar 1b. Ketika, ketidakpastian pada parameter masukkan meningkat (gambar 1c) maka meningkat pula ketidakpastian pada output yang dihasilkan.

Perpotongan data hasil observasi di sepanjang luasan 95PPU menunjukan bahwa range nilai parameter masukan kalibrasi sudah tepat/valid. Sebagai contoh, jika situasi pada gambar 1d terjadi, dimana data hasil observasi tidak berpotongan dengan luasan 95 PPU, maka range nilai parameter masukan harus diubah. Dan jika range nilai parameter masukan sudah sesuai dengan batas nilai fisik yang diinginkan tetapi keadaan tersebut tetap terjadi, maka masalahnya bukan pada parameter masukan kalibrasi tetapi konsep dari model yang harus dievaluasi.

(12)

14 SUFI-2 memulai proses kalibrasi dengan mengasusmsikan besarnya ketidakpastian pada parameter masukan, kemudian nilai ketidakpastian berkurang seiring dengan proses kalibrasi sampai dua syarat terpenuhi: (1) sebagian besar data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU dan (2) selisih rata – rata antara batas atas (pada level 97.5%) dan batas bawah (pada level 2.5%) 95PPU kecil. Model dianggap valid jika 80 – 100% data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95 PPU serta selisih antara batas atas dan batas bawah 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi.

Gambar 6. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan ketidakpastian hasil prediksi

Tabel 3. Penjelasan hubungan antara ketidakpastian parameter dengan ketidakpastian hasil prediksi

Gambar 1a. Menujukkan satu nilai parameter dalam masukkan parameter kalibrasi sehingga model yang dihasilkan tunggal atau 1 titik atau berbentuk garis bukan luasan.

Gambar 1b. Menunjukkan bahwa nilai parameter dalam bentuk ketidakpastian (nilai dalam bentuk range) dan jumlah parameter meningkat sehingga model yang dihasilkan berupa luasan ketidakpastian yang nantinya akan dipotongkan dengan data observasi untuk dilihat sampai mana luasan ketidakpastian yang berpotongan dengan data observasi dan data keluaran (debit) dari hasil simulasi.

Gambar 1c. Menunjukkan bahwa nilai pramater dalam bentuk ketidakpastian (nilai dalam bentuk range) bertambah atau meningkat sehingga model luasan prediksi ketidakpastian meningkat dan menyebabkan output simulasi meningkat sehingga luasan prediksi ketidakpastian menjadi lebih besar. Gambar 1d. Menunjukkan pada garis merah merupakan data observasi yang berada

di luar luasan prediksi ketidakpastian dari simulasi nilai parameter-parameter ketidakpastian. Nilai parameter-parameter harus diatur ulang kembali.

(13)

15 Kalibrasi dan validasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa IPB, Adrionita pada tahun 2011 terhadap sungai Ctarum Hulu, dengan menggunakan peta landuse 2001 dan data tahun 2001 mengenai total hasil air, aliran permukaan dan aliran lateral. Kalibrasi yang telah dilakukan menggunakan perbandingan debit observasi dilapangan dengan hasil simulasi SWAT menggunakan data debit bulanan, dimana hasil koefisien determitas (R2) yang diperoleh adalah 0,715 dengan nilai Nash Sutclife Index (NSI) sebesar 0,714.

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidrologi (http://www.sylvansource.com/hydrologic.html)
Gambar 2. Perubahan panjang musim kemarau di seluruh Indonesia           (Sumber: Boer et al., 2009)
Gambar 3. Data dan informasi bencana di Indonesia
Gambar 5. Ilustrasi pemertaan grid matriks ReCM3 pada koordinat observasi di Bumi  (http://climateprediction.net/content/regional-climate-models)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada Gambar 2 terjadi penurunan drastis nilai elongasi film PVA-kitosan, elongasi film PVAmurni (PVA : kitosan = 1 : 0) dari 62 menjadi sekitar 5% dengan penambahan kitosan 25 mL

Tingkat penetrasi perangkat bergerak yang sangat tinggi, tingkat penggunaan yang relatif mudah, dan harga perangkat yang semakin terjangkau, dibanding perangkat

Untuk dapat dilaksanakan pengaturan penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk bidang tanah yang teratur, maka para peserta Konsolidasi Tanah melepaskan hak atas tanahnya untuk

Perusahaan dapat meningkatkan porsi sumber pendanaan melalui hutang jika perusahaan dapat mengelola sumber dana yang berasal dari hutang dengan baik dan digunakan

Penyelenggaraan peringatan HUT SMA Negeri 1 Patuk ke-19 tahun 2011 yang telah terlaksana Penyelenggaraan peringatan HUT SMA Negeri 1 Patuk ke-19 tahun 2011 yang telah terlaksana

Penelitian ini menggunakan unit ana- lisis yaitu aspek-aspek interaksi simbolik yang diusung oleh George Herbert Mead, mengungkapkan bahwa aspek-aspek int- eraksi simbolik

Daerah yang termasuk wilayah Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) adalah ….. Provinsi yang memiliki wilayah pegunungan paling luas