• Tidak ada hasil yang ditemukan

Śruti: Jurnal Agama Hindu Volume 1, No

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Śruti: Jurnal Agama Hindu Volume 1, No"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Religiusitas

Sesolahan S

anghyang Grodog

pada Upacara

Pengaci

Sakral di Lembongan

Oleh

Ni Wayan Juli Artiningsih STAHN Mpu Kuturan Singaraja

wayanjuliartiningsih23@gmail.com ABSTRAK

Sanghyang Grodog merupakan salah satu tradisi yang masih kuat saat ini di Desa Pakraman Lembongan, Kecamatan Nusa Penida. Sanghyang Grodog adalah “ritual pengaci desa” yang dilakukan setiap pinanggl tilem sasih karo, dengan fungsi menjadi “pengawas desa”. Nyomia Desa merupakan upacara yang dilakukan untuk menetralisir unsur negatif sehingga menjadi positif. Sanghyang Grodog tidak biasa seperti tarian San-ghyang lainnya pada umumnya di Bali. Perbedaannya adalah bahwa tarian SanSan-ghyang Grodog tidak hanya sakral, tarian ini tidak berhenti hanya sebagai tarian, tetapi merupa-kan perpaduan sempurna dari gending ritmik (nyanyian audio, suara / suara), visual (ben-tuk, ben(ben-tuk, visual), dan agem (gerakan, kinetik). Jumlahnya juga tidak hanya satu atau dua tetapi pada saat yang sama ada 23 jenis Sanghyang yang kemudian ditawarkan se-bagai aci suci di Desa Pakraman Lembongan selama 11 hari berturut-turut. Masalah da-lam tulisan ini meliputi; 1) apa bentuk upacara Aci Sanghyang Grodog di Lembongan, 2) Aspek keagamaan upacara Aci Sanghyang Grodog di Lembongan, 3) apa implikasi nilai-nilai agama di sekolah grodog sanghyang di Lembongan. Tulisan ini bertujuan untuk me-nentukan religiositas pada upacara Aci Sanghyang Grodog di Lembongan. Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Kata kunci: Sanghyang Grodog, Religi, Tri Hita Karana PENDAHULUAN

Bali terkenal dengan keragaman seni budaya dan tradisinya yang sangat unik dan jarang bisa ditemukan di daerah lain. Contoh kesenian yang sangat mencolok dari bali adalah seni tari Tari bali terbagi atas tiga jenis yaitu Tari Wali, Tari Bebali, dan Tari Balih-bali-han (Bandem, 1996: 17). Tari Wali merupakan jenis tarian upacara atau tari sakral yang ditarikan pada setiap kegiatan upacara adat dan agama Hindu di Bali yang biasanya dipentaskan di area terdalam Pura. Contoh dari Tari Wali adalah Tari Sanghyang. Tari San-ghyang merupakan tari kerauhan (trance) karena kemasukan roh (bidadari kahyangan dan binatang lainnya yang memiliki kekuatan merusak seperti babi hutan, monyet, atau yang mempunyai kekuatan gaib lainnya). Tari ini adalah warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya, yaitu dengan membuka komunikasi spiritual dari warga masyarakat dengan alam gaib. Tarian ini dibawakan oleh penari putri maupun pu-tra dengan iringan paduan suara pria dan wanita yang menyanyikan tembang-tembang pemujaan. Di daerah Sukawati-Gianyar, tari ini juga diiringi dengan Gamelan Palegongan (Darmawan, 2020).

Dalam Tari Sanghyang Babad Bali, selalu ada tiga unsur penting yaitu asap/ api, Gending Sanghyang dan medium (orang atau boneka). Penyelenggaraannya melalui tiga tahap penting yaitu  pertama, Nusdus yang merupakan upacara penyucian medium

(2)

den-gan asap atau api, kedua Mesolah yaitu penari yang sudah kemasukan roh mulai menari, ketiga Ngalinggihang adalah mengembalikan kesadaran medium dan melepas roh yang memasuki dirinya untuk kembali ke asalnya. Terdapat beragam jenis Tari Sanghyang yang hingga kini masih ada di Bali yaitu Tari Sanghyang Jaran, Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Sampat, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng, dan lain-lain. Di Kabu-paten Klungkung tepatnya di daerah Nusa Lembongan terdapat tari Sanghyang Grodog. Sanghyang Grodog merupakan tarian ritual yang unik, dan berbeda dibanding-kan dengan jenis-jenis sanghyang lainnya yang ada di Bali Daratan. Pada Bali Daratan, prosesi sanghyang lazimnya dilakukan oleh penari yang mengalami proses trans atau ke-hilangan kesadaran diri dan melakukan gerakan-gerakan tertentu sesuai dengan karakter sanghyang yang dipentaskan. Perbedaannya bukan hanya dari jumlah sanghyang yang tergolong banyak, yakni 23 sanghyang tetapi juga penggunaan roda kayu pada mas-ing-masing simbol sanghyang. Kedua puluh tiga sanghyang tersebut disimbolkan den-gan media yang dibuat menyerupai sanghyang yang akan ditampilkan, atau dalam se-butan lokal disebut dengan gegulak. Media gegulak dengan roda yang terbuat dari kayu yang selanjutnya akan digerakkan diiringi dengan nyanyian atau gending sanghyang. Istilah “Grodog” muncul dari suara yang ditimbulkan ketika roda kayu tersebut digera-kkan dan bersentuhan dengan tanah tempat berlangsungnya prosesi sanghyang. San-ghyang Grodog merupakan “ritual pengaci desa” yang dipentaskan setiap tahun dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupakan suatu upacara yang dilakukan untuk menetralisir unsur-unsur negatif sehingga menjadi positif. Unsur-unsur yang telah dinetralisir dengan ritual Sanghyang Grodog ini diyakini akan memberikan dampak yang baik secara sekala maupun niskala bagi lingkungan dan masyarakat Desa Lembongan. METODE

Metode yang digunakan menggunakan metode kualitatif. Dengan beberapa teknik, yakni: (1) observasi ,yakni melakukan pengamatan secara langsung dan mende-tail guna untuk menemukan informasi tentang upacara aci sanghyang grodog, (2) waw-ancara adalah wawwaw-ancara tidak tersutruktur atau wawwaw-ancara mendalam kepada para informan yang paham betul tentang upacara aci sanghyang grodog beberapa informan di dalamnya, (3) pengumpulan data melalui studi dokumen, baik dari jurnal, buku, koran dan sejenisnya.

PEMBAHASAN

Sanghyang Grodog di Lembongan

Sanghyang Grodog kali ini terhitung sangat istimewa karena pertama kalinya diselenggarakan kembali setelah 29 tahun tidak pernah diselenggarakan di Desa Lem-bongan. Menyelenggarakan kembali Sanghyang Grodog tentunya bukan perkara mu-dah, sebab menyelenggarakan kembali sanghyang sudah “tertidur” selama 29 tahun membutuhkan upaya penggalian, terutamanya gending sanghyang yang hanya mampu diingat oleh segelintir orang tua di Desa Lembongan. Tetapi tidak demikian yang terjadi pada Sanghyang Grodog di Lembongan.

Sanghyang Grodog merupakan “ritual pengaci desa” yang dipentaskan seti-ap tahun dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupakan suatu

(3)

up-memberikan dampak yang baik secara sekala maupun niskala bagi lingkungan dan mas-yarakat Desa Lembongan. Sanghyang Grodog ini dilakukan untuk mencegah munculn-ya musibah-musibah munculn-yang meresahkan warga desa, diantaranmunculn-ya kekeringan dan wabah penyakit terutamanya penyakit cacar yang dahulu dikategorikan sebagai penyakit yang mematikan. Kedua bencana ini, tergolong hal yang sulit diatasi oleh masyarakat Desa Lembongan yang saat itu masih tradisional dan amat bergantung pada kebaikan alam untuk mampu bertahan hidup.

Selain fungsinya sebagai penyomia desa, penyelenggaraan Sanghyang Grodog pada masa-masa terdahulu merupakan suatu ritual yang dinanti-nantikan oleh mas-yarakat Desa Lembongan. Ritual ini menjadi suatu hiburan tersendiri bagi masmas-yarakat Desa Lembongan baik kaum muda maupun tua, sangat antuasias menyambut digelarnya prosesi Sanghyang Grodog. Selama belasan hingga puluhan tahun, Sanghyang Grodog sempat hanya menjadi kenangan manis dalam ingatan masyarakat Desa Lembongan. Semenjak dimulainya budidaya rumput laut pada tahun 1984 dan munculnya pariwisata di Desa Lembongan, masyarakat Desa Lembongan mulai sibuk dengan aktivitas rumput laut dan pariwisata, maka Sanghyang Grodogan pun perlahan-lahan mulai dilupakan. Tidak digelarnya sanghyang pada tiap tahun di sasih karo, tidak lagi dianggap sebagai suatu kealpaan, melainkan sebagai suatu kewajaran yang bisa dimaklumi (Gunawijaya, 2020). “Menyiapkan prosesi sanghyang itu membutuhkan waktu dan perhatian khusus serta dengan kesungguhan hati. Kesulitan mencari bahan untuk prosesi sanghyang teru-tama dalam membuat gegulak membuat kami terpaksa menghentikan tradisi ini. Selain itu mayoritas masyarakat Desa Lembongan yang menjadi petani rumput laut disibukkan dengan aktivitas budidaya rumput laut yang cukup menyita waktu dan perhatian.

Maka untuk pertama kalinya, setelah tertidur selama kurang lebih 29 tahun la-manya, tradisi ini dibangkitkan kembali. Masyarakat sadar sudah menjadi kewajiban mereka untuk menjaga dan melestarikan tradisi leluhurnya sangat disayangkan apabila tradisi Sanghyang Grodog yang sarat akan makna ini punah. Masyarakat akan merasa sangat bersalah pada anak cucu mereka, apabila nantinya mereka benar-benar tidak per-nah menyaksikan tradisi leluhur ini. Selain itu masyarakat percaya akan spirit pemurnian yang akan muncul dengan diselenggarakannya Sanghyang Grodog.

Kesadaran inilah yang kemudian memotivasi kelompok pemangku desa yang tergabung dalam Saba Pinandita Desa Lembongan untuk membangkitkan kembali San-ghyang Grodog. Proses ini diawali dengan penggalian gending SanSan-ghyang dan melaku-kan upacara Guru Piduka, kemudian dimulailah proses persiapan hingga pelaksanaan Sanghyang Grodog.

Aspek-Aspek Religius Sanghyang Grodog

Sanghyang Grodog merupakan “ritual pengaci desa” yang dipentaskan setiap ta-hun dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupakan suatu upacara yang dilakukan untuk menetralisir unsur-unsur negatif sehingga menjadi positif. Unsur-unsur yang telah dinetralisir dengan ritual Sanghyang Grodog ini diyakini akan memberikan dampak yang baik secara sekala maupun niskala bagi lingkungan dan masyarakat Desa Lembongan. Adapun aspek-aspek religius sesolahan sanghyang grodog yaitu sebagai berikut :

(4)

Aspek Penyucian

Sanghyang Grodog dilaksanakan selama 11 hari mulai Pada malam pertama di-awali dengan sesolahan Sanghyang Sampat yang menyimbolkan pembersihan dan ke-sucian untuk melaksanakan rentetan sanghyang hingga berakhir di malam kesebelas. Pemilihan waktu pelaksanaan sanghyang yang dilakukan pada Sasih Karo, diyakini pula dipilih dengan perhitungan yang cermat. Purnama Karo dianggap sebagai purnama yang paling terang dibandingkan dengan purnama-purnama pada sasih lainnya.

Gambar 1 Sanghyang Sampat

Secara sekala, sanghyang sampat merupakan alat pembersihan.  Makna jauh kedalam dari ini, bagaimana kita membersihkan diri sendiri mulai dari pikiran, perkataan, dan perbuatan. Adapun secara niskala, Mengingat yang dipuja adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang maha suci, maka hendaknya sarana pemujaan yang digunakan dalam keadaan suci atau bersih. Segala sesuatu mesti dibersihkan dengan tujuan meningkat-kan atau menjaga nilai kegunaannya. Sebab secara fungsional sesolahan sanghyang gro-dog ini adalah untuk menyucikan Bhuana Alit dan Bhuwana Agung (Gunawijaya, 2020). Berdasarkan atas hal tersebut, dalam sanghyang grodog ini selalui diawali melalui pros-es penyucian. Dengan adanya prospros-esi penyucian ini, maka diyakini sanghyang grodog memiliki nilai-nilai kesucian dan mampu menyucikan alam semesta beserta isinya.

Aspek Budaya

Sanghyang grodog sebagai pelestarian unsur seni dan budaya. Hal ini dikare-nakan tari tersebut merupakan produk budaya dari masyarakat Lembongan yang di-sakralisasikan dalam pementasannya. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa kesenian ini merupakan warisan dari leluhur yang memiliki unsur religi dalam pelaksanaan ritual pen-gaci desa yang dipentaskan setiap tahun dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupakan suatu upacara yang dilakukan untuk menetralisir unsur-unsur negatif sehingga menjadi positif, di mana dalam konsep pelaksanaannya selalu berlandaskan pada konsep desa dresta dan kuna dresta yang tetap berlandaskan pada nilai-nilai ajaran

(5)

wa segala konsep pelaksanaan agama Hindu di Bali selalu bertalian dengan dresta yang ada, dengan demikian apa pun jenis dresta yang dilaksanakan patut dipertahankan demi mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada, oleh karena itu maka dapat dicermati bah-wa sesolahan sanghyang grodog merupakan suatu bah-wahana dalam pelestarian nilai seni dan budaya yang ada di Bali.

Aspek Ungkapan Terima Kasih

Dalam kehidupan beragama manusia selalu memuja dan mendekatkan diri den-gan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud atau ungkapan kasih kepada-Nya. De-mikian pula sesolahan sanghyang grodog pada masyarakat di Lembongan merupakan salah satu bentuk ungkapan terima kasih warga kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala waranugrah-Nya. Selain bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan juga sebagai bentuk syukur kepada leluhur, dan raja terdahulu yang telah memberikan keturunannya sehingga masyarakatnya selamat, tanah yang subur dan makmur (Untara, 2020). Pun de-mikian raja dan leluhur diyakini telah memberikan perlindungan dari sejak zaman dahu-lu, hingga kini masyarakat atau keturunannya dapat menikmati. Dengan demikian mas-yarakat wajib memberikan persembahan kepada Tuhan, para dewa dan leluhur melalui persembahan yang suci agar selalu dalam lindunganya.

Aspek Estetis Relegius

Sesolahan sanghyang grodog mengandung unsur keindahan, hal ini dapat diper-hatikan dari 23 jenis sanghyang yang dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan mas-ing-masing simbol dari sanghyang tersebut sehingga ketika dilakukan pementasan mem-buat umat yang melihatnya merasa terpesona. Unsur seni lain yang terkandung dapat dilihat dari paduan sempurna antara irama gending (nyanyian, audio, suara/bunyi), rupa (wujud, bentuk, visual) (Untara, 2019). Aspek Estetik Religius sanghyang grodog men-gandung beraneka ragam kaidah dan unsur-unsur lain yang memiliki nilai-nilai keinda-han sehingga dapat dipersembahkan sebagai aci sakral di desa Pakraman Lembongan Aspek Pendidikan

Betapa pentingnya pementasan tari sakral dalam setiap pelaksanaan upacara yajña. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh umat Hindu di Desa Lembongan yang setiap tahunnya mementaskan sanghyang grodog saat pinanggal tilem sasih karo yang dipentaskan di perempatan catus pata sebagai ritual pengaci desa. Aspek pendidikan sangatlah jelas dalam pementasan ini, yaitu mengajarkan kepada masyarakat bahwa dengan persatuan dapat mengalahkan segala permasalahan, dengan persatuan dapat membangun suatu masyarakat yang kuat dan makmur. Selain itu terdapat aspek menc-erdaskan masyarakat dalam menghadapi segala permasalahan harus selalu memohon petunjuk restu atau berkah dari Tuhan, para dewa dan leluhur terlebih dahulu baik peker-jaan apaun yang dilakukan agar selalu dalam keadaan selamat dan sesuai dengan tujuan. Aspek Sosiologis

Aspek yang sangat penting dalam sesolahan sanghyang grodog ini adalah mem-bangun jiwa masyarakat tentang kehidupan bersama-sama memmem-bangun masyarakat dan keluarga yang rukun, damai dan sejahtera. Tari yang dipentaskan saat upacara suci mengakibatkan masyarakat lebih menyakini dan memahami isi pementasan yaitu men-genai kewajiban mempertahankan kerukunan antara sesama sebagai bentuk bhakti

(6)

kepada leluhur terdahulu yang sudah memberikan tempat, wilayah dan tempat tinggal agar terus dijaga dengan baik. Kehidupan sosial orang bali yang terkenal dengan ramah, baik saling membantu (Gunawijaya, 2020). Selain itu mempunyai peran alam bagi ke-hidupan semesta memberikan sumbangsih tanpa pamrih. Apalagi daerah pesisir yang menjadi daya tarik Wisatawan untuk menikmati Daerah kepulauan Nusa Lembongan. Gempuran pariwisata saat ini, budaya dan tradisi tetap berdiri sebagai pendukung dan peran serta masyarakat Desa lembongan.

Aspek Untuk Memohon Kesuburan

Ritual Aci Sang Hyang Grodog yang telah dilakukan ini agar mampu mengambil makna dan bisa diimplementasi dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari. Sesung-guhnya ke 23 jenis Sang Hyang adalah seiring dengan Konsep Tri Hita Karana. Kesuburan dan kesejahtraan dalam kehidupan manusia di dunia akan dapat tercapai apabila diawa-li dengan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan tuhannya. Jika Manusia mampu menjaga hubungan manusia dengan tuhan yang diwujudkan dengan mengap-likasikan ajaran ajaran agama yang dianutnya sehingga manusia memiliki kesadaran mental dan jasmani sehingga manusia mampu menyadari hakikat dirinya adalah sama dimata Tuhan.

Gambar 2 Sanghyang Penyalin

Sanghyang penyalin ini akan mampu menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya serta mampu menjaga hubungan yang harmonis an-tara manusia dengan alam sekitarnya. Jadi, kesejahtraan dan kesuburan hidup manusia adalah merupakan wujud nyata dari keharmonisan konsep Tri Hita Karana. Sanghyang grodog merupakan salah satu simbol kemakmuran, karena di dalam masyarakat yang makmur maka semua mahluk hidup akan dapat hidup secara berdampingan.Dalam mengembangkan Tri Hita Karana, fasilitas umat harus lebih difungsikan untuk melakukan pemujaan yang lebih intensif kepada Tuhan. keselamatan dan ketenangan bhatin. Ting-kat pemahaman dan keyakinan terhadap ajaran agama bisa dicapai apabila terjadi kes-elarasan pemahaman antara unsur tattwa, etika dan ritual. Adapun dalam pelaksanaan

(7)

merupakan tarian sakral sudah tentu memiliki nilai religiusitas yang sangat kuat. Implikasi Nilai Religius Dalam Sesolahan Sanghyang Grodog

Sesolahan sanghyang grodog pada masyarakat di Lembongan merupakan wu-jud dan rasa bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Sesolahan sanghyang grodog diya-kini sebagai Penolak bala, Wabah penyakit terjangkit, Wabah penyakit ternak (grubug) hewan peliharaan seperti sapi, babi dan ayam. Sarana memohon hujan jika terlambat atau terlalu lama terjadi musim paceklik.Selain itu,  fungsi ritual magis didalamnya ter-kandung nilai budaya yang adi luhung di dalam ke 23 (dua puluh tiga) jenis Sang Hyang yang tergabung dalam Aci Sang Hyang Grodog seperti nilai simbolis kesuburan, religius, kekrabatan, gotong royong, legenda desa, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam laut, keperkasaan/kekuatan dan keanekaragaman satwa. Sang hyang Grodog juga merupakan suatu dorongan sekaligus puncak pemahaman spiritualitas model pengling-sir (tetua) hidup dalam tradisi dengan tetap mencintai , menghargai dan kesantunan pada Tanah Air/Bumi Pertiwi dengan segenap isinya yang disimboliskan dengan 23 jenis Sang Hyang Grodog tersebut. Berikut ini implikasi nilai religiusitas yang terkandung da-lam sesolahan sanghyang grodog sebagai berikut :

Implikasi Tri Hita Karana

Agama Hindu tersusun atas Tri Kerangka Dasar Agama, yaitu Tattwa, susila atau etika dan ritual atau upacara (Jaman, 2006: 25). Untuk mengetahui ajaran agama Hindu, dapat dipelajari Tiga Kerangka tersebut secara benar, agar tidak terjadi salah pandang terhadap ajaran Hindu. Ketiga ajaran Hindu ialah Tattwa, Susila, dan Acara merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, karena bila salah satu tidak terkait, maka belum dapat dikaitkan ajaran Hindu itu lengkap. Selain itu, usaha nyata yang dilakukan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama melalui konsep Tri Hita Karana juga di-buktikan dengan kegiatan gotong royong bersama warga, salah satunya dengan saling membantu apabila salah satu warga ada yang memiliki kegiatan upacara ataupun kegia-tan diluar kegiakegia-tan keagamaan lainnya. Kerukunan umat beragama dari aspek Prahyan-gan atau hubunPrahyan-gan manusia denPrahyan-gan Tuhan dapat dilihat dari hubunPrahyan-gan harmonis pada masyarakat melaksanakan persembhayangan di Pura dan pura-pura lainnya pada hari besar keagamaan maupun hari tertentu seperti purnama dan tilem, masyarakat sangat antusias untuk mempersiapkan dan melaksanakan rangkaian upacara dan upakara.

Hal lain dapat juga dilihat dari semangat masyarakat dalam melaksanakan Dana Punia untuk pembangunan Pura. Kerukunan umat beragama dari aspek Pawongan atau hubungan manusia dengan manusia dapat dilihat dari hubungan harmonis pada saat upacara terlaksana, seperti contoh pada saat upacara tiga bulanan banyak masyarakat menghadiri pelaksanaan upacara tersebut dengan menghargai dan menghormati serta menjaga kelancaran pelaksanaan upacara. Kerukunan umat beragama dari aspek Pale-mahan atau hubungan manusia dengan lingkungan dapat dilihat dari hubungan har-monis pada saat pelaksanaan kebersihan dan gotong royong untuk menjaga kesehatan lingkungan.

(8)

Implikasi Estetika

Sesolahan sanghyang grodog mengandung makna keindahan, makna keindahan sangat jelas yaitu perpaduan sempurna antara irama gending (nyanyian, audio, suara/ bunyi), rupa (wujud, bentuk, visual) dan agem (gerak, kinetic). Estetika ini bermakna membangkitkan kejiwaan manusia agar semakin halus dan bernilai serta berdaya guna yang lebih baik dalam berkarya, bersosial serta berbudaya, memiliki karakter yang mulia. Keindahan pada dasarnya dapat membentuk suatu karakter manusia cenderung menjadi lebih halus, humoris dan damai, (Djelantik, 1992: 26). Maka dari itu tentunya implikasi sesolahan sanghyang grodog ini memberikan dampak pembentukkan karakter manu-sia menjadi manumanu-sia yang beradab, halus dan sopan. Manumanu-sia dalam mewujudkan rasa bhaktinya itu tidak akan merasa puas hanya dengan mengucapkan tanpa dinyatakan bhaktinya itu. Semua perasaan dan ucapan itu dilahirkan dalam bentuk nyata yaitu da-lam bentuk tari, sehingga pikiran dan perasaan yang abstrak itu terlukis dada-lam bentuk nyata ke dalam Bentuk atau gerak tari yaitu sanghyang grodog. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa seni itu terpusat pada hati nurani manusia yang paling dalam.

Implikasi Tattwa

Sesolahan sanghyang grodog menyatakan bahwa sanghyang grodog biasanya dipentaskan setiap pinanggal Tilem Sasih Karo dalam rangkaian ritual pengaci desa pada masyarakat Lembongan, dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupa-kan suatu upacara yang dilakumerupa-kan untuk menetralisir unsur-unsur negatif sehingga men-jadi positif. Dilihat dari segi tattwanya, sesolahan sanghyang grodog yang merupakan tarian sakral dalam ritual keagamaan sangat penting untuk dilaksanakan, karena di dalam sanghyang grodog yang tergabung dalam Aci Sang Hyang Grodog seperti nilai simbolis kesuburan, religius, kekrabatan, gotong royong, legenda desa, pemanfaatan dan pele-starian sumber daya alam laut, keperkasaan/kekuatan dan keanekaragaman satwa.Sang hyang Grodog juga merupakan suatu dorongan sekaligus puncak pemahaman spiritual-itas model penglingsir (tetua) hidup dalam tradisi dengan tetap mencintai , menghargai dan kesantunan pada Tanah Air/Bumi Pertiwi dengan segenap isinya yang disimboliskan dengan 23 jenis Sang Hyang Grodog tersebut.

Implikasi Etika

Nilai etika yang terdapat dalam sesolahan sanghyang grodog ini adalah nilai ket-ulusan, sesolahan sanghyang grodog yang dilakukan oleh umat Hindu pada masyarakat di Lembongan ini dibawakan dengan didasari oleh rasa tulus ikhlas ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ketulusan hati para masyarakatnya akan memberikan pahala yang sangat besar kepada masyarakat desa pada umumya. Adapun nilai etika yang bisa dipetik dari sesolahan sanghyang grodog yaitu dari tempat pementasannya yang dilaksanakan di perempatan catus pata karena secara etika tarian ini bersifat sakral dan fungsinya se-bagai penolak bala.

Implikasi Psikologis

Sesolahan sanghyang grodog sebagai bagian dari kesenian sakral selalu dikaitkan dengan aspek teologis sehingga bisa dimaknai sebagai suatu persembahan yang dapat menghantarkan bhakti umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Hyang Widhi Wasa.

(9)

Disamp-untuk selalu percaya tentang kesakralan tari sanghyang grodog agar mementaskannya setiap tahunnya sebagai ritual pengaci Desa.

Implikasi Religiusitas

Keberadaan sanghyang grodog sebagai hasil budaya spiritual Hindu mengand-ung unsur kesakralan, terlihat dari simbol 23 jenis sanghyang yang masih bersifat alami dan berbeda dengan tari sanghyang pada umumnya. Keeksisan tari sanghyang grodog ini masih ajeg dan dilestarikan oleh masyarakat di Lembongan. Dipentaskan setiap ta-hunnya sebagai ritual pengaci desa dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupakan suatu upacara yang dilakukan untuk menetralisir unsur-unsur negatif sehingga menjadi positif. Ritual pengaci ini didasari oleh konsepsi supra natural power yaitu kekuatan dari luar batas kemampuan manusia, fenomena tersebut mencerminkan bahwa sanghyang grodog sebagai hasil budaya spiritual Hindu yang di wariskan secara turun-temurun tidak boleh di rubah keberadaanya namun tetap dilestarikan dengan ti-dak menghilangkan atau merubah unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, baik dari segi bentuk arsitektur dan keberadaanya, yang perlu di tingkatkan adalah spiritual di da-lam diri masyarakat desa.

SIMPULAN

Sesolahan sanghyang grodog merupakan “ritual pengaci desa” yang dipentaskan setiap tahun dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupakan suatu up-acara yang dilakukan untuk menetralisir unsur-unsur negatif sehingga menjadi positif. Unsur-unsur yang telah dinetralisir dengan ritual ini diyakini akan memberikan dampak yang baik secara sekala maupun niskala bagi lingkungan dan masyarakat Desa Lembon-gan. Sesolahan sanghyang grodog memiliki aspek-aspek religious, yaitu sebagai berikut : (1) aspek penyucian, maksudnya memohon kesucian dalam pelaksanaan ritual pengaci desa agar tidak terjadi gangguan. (2) aspek budaya yaitu sesolahan sanghyang grodog adalah warisan yang patut dijaga dan dilestarikan sebagai budaya dan tradisi local desa Bali Pegunungan. (3) aspek ungkapan terima kasih yaitu dengan ritual pengaci ini buk-ti rasa syukur terhadap Tuhan telah diberikan kedamaian dan kesejahteraan. (4) aspek estetis religius yaitu tari ini membangkitkan keyakinan dari pementasan seni. (5) aspek pendidikan tentunya tari ini memberikan pendidikan budaya dan agama kepada umat Hindu dan pendidikan lainnya. (6) aspek sosiologis yaitu tari ini memberikan keberun-tungan unutk meningkatkan rasa sosial sesama umat Hindu untuk bergotong royong. (7) aspek memohon kesuburan yaitu dengan sesolahan sanghyang grodog ini sekaligus umat memohon kesuburan baik kesuburan pertanian, perkebunan dan kelautan. Pemen-tasan ini juga memiliki beberapa implikasi. Ritual Aci Sang Hyang Grodog ini juga memi-liki beberapa implikasi yang mampu mengambil makna dan bisa diimplementasi dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari dengan Konsep Tri Hita Karana. Yaitu bagaima-na hubungan dengan Ida Hyang Widhi Wasa, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Aryasa, I Wayan Madra. (1996). Seni Sakral. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Mas-yarakat Hindu dan Budha.

Bandem, I Made. (1996). Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.

(10)

Kual-itatif. Surabaya: Airlangga University Press.

Darmawan, I. P. A., & Krishna, I. B. W. (2020). Konsep Ketuhanan dalam Suara Gamelan Menurut Lontar Aji Ghurnnita. Genta Hredaya, 3(1).

Dewi, Ni Made Santika. (2013). Tari Sanghyang Dedari di Desa Pakraman Cemenggaon, Dibia, I Wayan. (1999). Seni Diantara Tradisi dan Moderenisasi. Denpasar: Institut Seni

In-donesia.

Djelantik, A.A.M. (1992). Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid II Falsafah Keindahan dan Kesenian. Denpasar: STSI Denpasar.

Gunawijaya, I. W. T., & Putra, A. A. (2020). Makna Filosofis Upacara Metatah dalam Lontar Eka Prathama. Vidya Darśan: Jurnal Mahasiswa Filsafat Hindu, 1(1).

Gunawijaya, I. W. T., & Srilaksmi, N. K. T. (2020). Hambatan Pembelajaran Agama Hindu Terhadap Siswa Tuna Netra di Panti Mahatmia. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(3), 510-520.

Gunawijaya, I. W. T. (2019). Kelepasan dalam Pandangan Siwa Tattwa Purana. Jñānasid-dhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Jaman, I Gede, (2006). Tri Hita Karana: Dalam Konsep Hindu, Denpasar: PustakaBali Post. Sukawati, Gianyar (Kajian Pendidikan Agama Hindu). Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan

Pendidikan Agama Hindu, UNHI.

Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Ajaran Agama Hindu Dalam Geguritan Kunjarakarna. Genta Hredaya, 3(1).

Untara, I. M. G. S. (2019). Kosmologi Hindu dalam Bhagavadgītā. Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Untara, I. M. G. S., & Gunawijaya, I. W. T. (2020). Estetika dan Religi Penggunaan Rerajahan pada Masyarakat Bali. Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1), 41-50.

Yudabakti, I Made dan Watra I Wayan.(2007). Filsafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali. Surabaya Paramita.

Gambar

Gambar 1 Sanghyang Sampat
Gambar 2 Sanghyang Penyalin

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk model KTI, berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja

• Rule 9 : Jika ponsel dapat dinyalakan Dan LCD menyala Dan tampil provider Dan aplikasi ponsel berjalan dengan baik Dan keypad pada ponsel tidak berfungsi Maka Keyboard

Berdasarkan hasil klasifikasi akhir pada observasi awal tentang kemampuan gerak dasar lompat jauh dengan berdasar pada empat indikator pengamatan dari 20 siswa

Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) aktivitas anggota kelompok tani cabai rawit di Desa Kepanjen tergolong tinggi, (2) terdapat hubungan yang nyata antara aktivitas

Pada bagian ini akan dikaji variabel yang dianggap mempengaruhi dalam penentuan pemenang lelang jasa konstruksi pada proyek pemerintah di Kota Depok serta

Melihat dari fenomena tersebut, dapat dilihat adanaya gap atau kesenjangan antara teori dengan fenomena yang ada, yaitu dalam teori Hurlock (2002), menyebutkan

Hal tersebut berbeda apabila karyawan notaris memberikan kesaksian di persidangan dalam kedudukannya sebagai saksi instrumentair, maka karyawan notaris bertanggung

KKN pun dimulai pada tanggal 25 Juli di mana kekompakan kelompok kami mulai di Jasinga, Desa Kalongsawah, selama sebulan saya bersama kelompok KKN MAGER dan