• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI HUTAN ADAT LEKUK 50 TUMBI (LEMPUR), KABUPATEN KERINCI, PROVINSI JAMBI HARRY TRI ATMOJO AKSOMO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI HUTAN ADAT LEKUK 50 TUMBI (LEMPUR), KABUPATEN KERINCI, PROVINSI JAMBI HARRY TRI ATMOJO AKSOMO"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI

HUTAN ADAT LEKUK 50 TUMBI (LEMPUR), KABUPATEN

KERINCI, PROVINSI JAMBI

HARRY TRI ATMOJO AKSOMO

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

Cadangan Karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO.

Perubahan iklim merupakan dampak langsung dari pemanasan global. Pemanasan global merupakan peningkatan suhu rata-rata bumi yang erat kaitannya dengan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan kegiatan mitigasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. Meningkatkan cadangan karbon dan mengurangi emisi GRK merupakan cara yang efektif dalam melakukan upaya mitigasi tersebut. Hutan merupakan penyerap dan penyimpan karbon yang baik di bandingkan tipe penggunaan lahan lainnya. Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) merupakan kawasan dengan beberapa tipe penggunaan lahan yang telah mengalami perubahan akibat aktifitas manusia maupun proses alami. Perubahan ini berpengaruh juga terhadap cadangan karbonnya, padahal kawasan ini memiliki peranan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon guna mengatasi perubahan iklim akibat pemanasan global. Penelitian ini bertujuan untuk menduga cadangan karbon dan perubahannya di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) pada 1988-2008.

Pengukuran cadangan karbon di lapang dilakukan selama 3 bulan (Agustus-Oktober 2010). Bahan yang digunakan berupa citra landsat 5 TM dan landsat 7 ETM (Path 126 Row 62) serta peta rupa bumi dan tata batas kawasan. Cadangan karbon yang diukur merupakan cadangan karbon di atas permukaan tanah dengan menggunakan metode tidak merusak untuk pohon dan merusak untuk tumbuhan bawah dan semak belukar. Pengolahan data pendugaan biomassa menggunakan persamaan allometrik yang kemudian dikonversi untuk mengetahui nilai karbon.

Jumlah plot pengukuran karbon yang dibuat adalah 19 plot yang mewakili tipe penggunaan lahan yang ada, yaitu hutan sekunder, kebun kayu manis dan semak belukar. Tipe penggunaan lahan yang memiliki cadangan karbon terbesar adalah hutan sekunder (191,59 Mg.ha-1) dan yang memiliki cadangan karbon terkecil adalah semak belukar (18,12 Mg.ha-1). Cadangan karbon tahun 1988 adalah sebesar 91.300,08 Mg dan pada tahun 2008 sebesar 88.300,62 Mg. Cadangan karbon selama periode 1988-2008 mengalami penurunan sebesar 2999,46 Mg.

Kata kunci: Hutan Adat lekuk 50 Tumbi (Lempur), cadangan karbon, penggunaan lahan, biomassa, allometrik

(3)

SUMMARY

HARRY TRI ATMOJO AKSOMO (E34062832). Carbon stock Changes Assessment in Indigenous Forest Lekuk 50 Tumbi (Lempur) Regency Kerinci Provincy Jambi. Under Supervision of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO.

Climate change is driven by global warming. Global warming is the increase of earth average temperature that closely related to concentration of greenhouse gases in the atmosphere. One of solutions to overcome this problem is to conduct mitigation of greenhouse gas emission. Increase the carbon stock and decrease the greenhouse emission are the effective ways to conducting the mitigation. Forest is the best carbon absorbtion and storage than other types of land use. Indigenous forest Lekuk 50 Tumbi (Lempur) is the area with some type of land use that has changed due to human acivities or natural processes. These changes also affect carbon stock, even though this area has a role in carbon sequestration and storage with climate change due to global warming. This study was aimed to estimate carbon stock and their change in indigenous forest Lekuk 50 Tumbi (Lempur) on 1988-2008.

Measurements of carbon stocks was conducted for 3 months (August-September 2010). Materials used were the landsat 5 TM and Landsat 7 ETM image (Path 126 Row 62), topographic map and the boundary of the area. Above ground carbon stock were measured using undestructive method for tree and destructive for shrubs and herbs. Biomass was estimated by using allometric equation which was then converted to carbon value.

The number of carbon measurements plot were 19 plot that represents the type of existing land use, namely secondary forest, plantations of cinnamon and shrubs. Types of land use which had the largest carbon stock was secondary forest (191,59 Mg.ha-1) and the smallest carbon stock was shrubs (18,12 Mg.ha-1). Carbon stocks in 1988 were 91.300,08 Mg and in 2008 about 88.300,62 Mg . Carbon stocks over a period of 1988-2008 decreased by 2999,46 Mg.

Key words : Indigenous forest Lekuk 50 Tumbi (Lempur), carbon stocks, land use, biomass, allometric.

(4)

KERINCI, PROVINSI JAMBI

HARRY TRI ATMOJO AKSOMO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Harry Tri Atmojo Aksomo NRP E34062832

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Hutan adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.

Nama Mahasiswa : Harry Tri Atmojo Aksomo

NIM : E34062832

Menyetujui:

Pembimbing I,

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. NIP. 196209 18 198903 1 002

Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,M.Sc. NIP.196203 16 198803 1 002

Mengetahui

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 195809 15 198403 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas seluruh nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya. Segala upaya tidaklah berguna tanpa kehendak dari Allah SWT “Sang Penguasa Alam Semesta”. Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan dengan tulus atas terselesaikannya penyusunan skripsi ini yang berjudul “Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi”.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pembaca dan seluruh pihak yang membutuhkan khususnya bagi kemajauan ilmu pengetahuan kehutanan di Indonesia. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis untuk kemajuan di masa yang akan datang.

Bogor, Agustus 2011

Penulis

(8)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 1 Oktober 1988 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Budi Aksomo dan Ibu Mintarsih. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri Bangka 4 Kota Bogor tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Kota Bogor tahun 2003 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Kota Bogor tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melalui Tahap Persiapan Bersama (TPB), penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.

Selama menjalankan studi di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Goa (KPG “HIRA”) dan anggota Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE “TAPAK”). Kegiatan lapang yang pernah diikuti oleh penulis antara lain, Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA 2008 di Cagar Alam Gunung Simpang Provinsi Jawa Barat, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) 2008 di Baturaden dan Cilacap, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) 2009 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA 2009 di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru, dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) 2010 di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi”. Shalawat serta salam tidak lupa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian hingga penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk moril maupun materiil. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Orang tua tercinta Budi Aksomo (Bapak), Mintarsih (Ibu), Rudiansyah Aksomo (Kakak) dan Alm. Setyaji Dwi Aksomo (Kakak) atas segala doa, kasih sayang, bimbingan, motivasi, nasihat dan dukungan lahir maupun batin, serta untuk seluruh anggota keluarga lainnya, terimakasih banyak.

2. Dosen pembimbing Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. atas segala arahan, bimbingan, nasihat, solusi serta saran dan masukannya selama penelitian hingga penulisan skripsi.

3. Dosen beserta staf KPAP atas bimbingan dan pelayanan selama penulis menuntut ilmu di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.

4. Seluruh staff DISHUTBUN Kabupaten Kerinci yang telah membantu penulis selama pengambilan data di lapangan.

5. Ibu Neneng Susanti dan keluarga, Bapak Sasli Rais dan keluarga, Bapak Evaraizal dan keluarga, Bapak Sarikan dan keluarga atas semua bantuan dan pendampingannya selama di Kerinci.

6. Teman seperjuangan selama di lapangan Febriyanto Kolanus dan Reni Lestari, terimakasih banyak bantuannya.

7. Teman-teman mahasiswa dan sarjana: Amrizal Yusri, Agung, Abdi, Akmal, Didit, Fajar, A Tajalli, Stefhen, Domi, Berry, Iman, Catur, Afroh, Hafiz, Iska, Arga, Fiona, Septa, Nano, Ayam, Muis, Aje, Age, Yunus dan teman-teman

(10)

8. Teman-teman laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial atas pertukaran ilmu dan diskusi seputar penelitan ini.

9. Keluargaku Cendrawasih 43, salut untuk kekerabatan kita. Terimakasih untuk kasih sayang, canda tawa, air mata dan tetesan darah yang tidak sengaja tercipta. Pengalaman adalah guru terbaik, dan kalian adalah pengalaman itu. Mustahil untuk dilupakan.

10. Seluruh keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

11. Terimakasih untuk semangat dan doanya MSJP 12. Keluarga besar HIMAKOVA

13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih banyak.

Bogor, Agustus 2011

(11)

i

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR . ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR LAMPIRAN . ... v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 3 1.3 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa dan Karbon Tersimpan ... 4

2.2 Cadangan karbon di Berbagai Tipe Penutupan Lahan ... 6

2.3 Perubahan Iklim ... 7

2.4 Perubahan Penggunaan Lahan ... 9

2.5 Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 10

2.6 Penginderaan Jauh untuk Perubahan Lahan dan Karbon ... 12

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Alat dan Bahan ... 14

3.3 Batasan Masalah Penelitian ... 15

3.4 Data yang Dikumpulkan ... 15

3.5 Metode Pengambilan Data ... 15

3.5.1 Bentuk dan ukuran petak pengukuran biomassa ... 15

3.5.2 Analisis data ... 17

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas ... 24

4.2 Sejarah Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) ... 24

4.3 Topografi ... 26

(12)

4.5 Potensi ... 26

4.6 Kondisi Masyarakat Sekitar Kawasan ... 27

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Distribusi Pengambilan Titik ... 29

5.2 Vegetasi di Lokasi Penelitian ... 32

5.3 Biomassa Tersimpan dan Cadangan Karbon di Berbagai Sistem Penggunaan Lahan ... 34

5.3.1 Cadangan karbon hutan ... 35

5.3.2 Cadangan karbon non-hutan ... 36

5.4 Penggunaan Lahan ... 37

5.4.1 Penggunaan lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) tahun 1988 ... 37

5.4.2 Penggunaan lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) tahun 2008 ... 39

5.5 Perubahan Penggunaan Lahan dan Cadangan Karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) ... 41

5.6 Cadangan Karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) dan Konsep REDD ... 44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan . ... 47

6.2 Saran . ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(13)

iii

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Paremeter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan

tanah dan metode pengukurannya ... 6

2 Cadangan karbon di beberapa tipe penutupan lahan ... 7

3 Saluran citra landsat TM ... 13

4 Informasi citra satelit landsat yang digunakan ... 14

5 Daftar peta pendukung ... 15

6 Ukuran dan jumlah plot contoh pengukuran cadangan karbon di beberapa tipe penggunaan lahan ... 17

7 Daftar persamaan allometrik yang akan digunakan untuk menduga nilai biomassa tersimpan ... 17

8 Kandungan biomassa dan cadangan karbon di tipe penutupan lahan ... 34

9 Luas dan persentase luas penutupan lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) tahun 1988 ... 37

10 Luas dan persentase luas penutupan lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) tahun 2008 ... 39

11 Perubahan penggunaan lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). 42 12 Perubahan penggunaan lahan dan cadangan karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) ... 43

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Uraian subsistem SIG ... 12

2 Plot contoh untuk pengukuran biomassa ... ... 16

3 Tahap pendugaan cadangan karbon di berbagai tipe penggunaan lahan ... 19

4 Alur pembuatan peta pendugaan cadangan karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) ... ... 22

5 Lokasi penelitian Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) ... 24

6 (a) Hutan Adat Bukit Setangis; (b) Hutan Adat Hulu Air Tanjung (Kemulau); (c) Hutan Adat Gunung Batuah ... 25

7 Struktur kelembagaan adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ... 28

8 Gamber peta distribusi ground control point (GCP) ... 30

9 Gambar distribusi titik plot contoh pengukuran karbon ... 31

10 Hutan sekunder di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur)... 33

11 Kebun kayu manis di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). ... 33

12 Semak belukar di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). ... 34

13 Peta Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) tahun 1988 ... 38

(15)

v

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Daftar spesies dan kerapatan jenis ... 52

2 Data pengukuran biomassa di Hutan Adat Bukit Setangis ... 54

3 Data pengukuran biomassa di Hutan Adat Hulu Air Tanjung ... 61

4 Data pengukuran biomassa di Hutan Adat Gunung Batuah ... 69

5 Nilai Akurasi Peta Penggunaan Lahan Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur Tahun 1988 ... 78

6 Nilai Akurasi Peta Penggunaan Lahan Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur Tahun 2008 ... 79

7 Daftar distribusi ground control point (GCP) ... 80

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim akibat pemanasan global semakin menjadi perhatian yang serius bagi kelangsungan kehidupan manusia di bumi saat ini. Pemanasan global adalah kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi dan laut dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Pemanasan global adalah salah satu aspek kunci perubahan iklim (Erni & Tugendhat 2010). Beberapa gejala yang telah timbul semakin menegaskan akan pentingnya mengatasi permasalahan ini. Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida

(N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Lusiana et al. (2005)

menegaskan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer sebagian besar

disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama perubahan penggunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga dan aktivitas industri.

Berbagai upaya dapat dilakukan dalam mengantisipasi permasalahan tersebut, salah satunya adalah dengan upaya mitigasi terhadap karbon yang berada di bumi. Mitigasi adalah tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim (Cifor 2009). Sebagaimana ditegaskan oleh Lasco et al. (2004) bahwa pemanasan global dapat dikurangi dengan cara menaikkan penyerapan karbon dan atau menurunkan emisi karbon. Upaya mitigasi terhadap perubahan iklim diwujudkan dengan kesepakatan global bertajuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang melibatkan negara-negara di dunia. Perkembangan isu tentang perubahan iklim dibahas setiap tahunnya dalam pertemuan yang dinamakan Conference of the Parties (COP). Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang bertujuan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan merupakan suatu mekanisme yang

(17)

2

paling hangat diperbincangkan dalam pertemuan internasional mengenai perubahan iklim sebagai salah satu upaya mitigasi terhadap perubahan iklim global. Konsep REDD menjanjikan insentif berupa aliran dana bagi negara pemilik hutan yang mampu menjaga kelestarian hutan dalam kaitannya sebagai penyerap dan penyimpan karbon.

Berdasarkan tingkat penyerapan dan mempertahankan karbonnya, hutan merupakan bagian penting karena areal hutan merupakan penyerap dan penyimpan karbon yang baik, terutama pada hutan alam yang merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya seperti pertanian, perkebunan dan lain-lain. Hal ini dikarenakan hutan alam memiliki tingkat keragaman spesies pohon yang tinggi, selain itu di dalamnya terdapat berbagai spesies tumbuhan bawah serta serasah dengan jumlah yang banyak sehingga menjadikannya sangat efektif dalam menyerap serta menyimpan karbon. Untuk itu, jika terjadi perusakan dan perambahan pada suatu hutan, maka karbon yang tersimpan dan dipertahankan oleh hutan tersebut akan berkurang atau bahkan hilang dan terlepas ke udara. Hal ini akan semakin meningkatkan kandungan karbon (zat arang) di atmosfer.

Teknologi penginderaan jarak jauh merupakan salah satu cara yang efektif dalam mendukung penyajian hasil pengukuran jumlah biomassa dan cadangan karbon pada suatu kawasan dengan tipe penggunaan lahan yang berbeda-beda serta pemantauan perubahan lahannya dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh (remote sensing), satelit yang ada cukup memadai untuk memantau kondisi terkini tentang sumber daya alam (Dahlan et al. 2005). Data hasil perubahan penggunaan lahan yang telah diintegrasikan dengan data hasil pengukuran karbon yang diwakili oleh beberapa skala plot dan telah melalui pengolahan serta analisis dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dapat memberikan gambaran pendugaan perubahan cadangan karbon dari waktu ke waktu yang dapat dijadikan sebagai baseline

cadangan karbon.

Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas, baik yang merupakan kawasan hutan konservasi maupun areal hutan lain di luar kawasan konservasi seperti Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) ini. Namun, kegiatan penelitian

(18)

yang terkait dengan pendugaan terhadap jumlah biomassa dan cadangan karbon masih tergolong jarang. Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) adalah bagian dari hutan yang ada di Indonesia yang dikelola dan dilestarikan menurut fungsinya oleh masyarakat secara adat dan turun temurun dalam bentuk pemanfaatan yang disesuaikan dengan aturan adat yang berlaku. Selain aturan adat yang berlaku, pelestarian kawasan ini pun didukung oleh pengukuhannya sebagai hutan adat melalui SK Bupati TK II Kerinci No. 96/1994 tanggal 10 Mei 1994 tentang penetapan Hutan Hak Adat Hulu Air Lempur dengan luas 858,3 Ha. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu areal hutan alam dengan keadaan yang relatif masih baik dan menjadi salah satu kawasan tangkapan air untuk daerah di bawahnya.

Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) pun tidak terlepas dari berbagai gangguan baik yang terjadi secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Berbagai gangguan yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan kondisi hutan yang dapat mempengaruhi cadangan karbonnya. Keadaan ini mendorong untuk dilakukannya kajian tentang pendugaan jumlah biomassa dan cadangan karbon serta perubahannya di kawasan ini, mengingat pentingnya kajian ini bagi kelanjutan pemanfaatan hutan yang lebih lestari khususnya pemanfaatan hutan non-kayu dalam bentuk pemanfaatan jasa hutan berupa cadangan karbon.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menduga jumlah cadangan karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). 2. Menduga perubahan jumlah cadangan karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi

(Lempur).

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari kajian ini diharapkan dapat menjadi data dasar serta bahan masukan bagi pengelolaan Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) terkait fungsinya sebagai suatu kawasan penyimpan serta penyerap karbon.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biomassa dan Karbon Tersimpan

2.1.1 Definisi biomassa dan karbon tersimpan

Hairiah dan Rahayu (2007) mendefinisikan biomassa sebagai masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. Sedangkan Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan hidup di atas permukaan tanah pada pohon yang dinyatakan dalam berat kering tanur ton per unit area. Setiap tumbuhan memiliki komponen biomassa yang terdapat di atas dan di dalam permukaan tanah. Namun, dari jumlah biomassa yang terkandung tersebut sebagian besar terdapat di atas permukaan tanah. Penyimpanan karbon tumbuhan pada bagian atas pemukaan tanah lebih besar dibandingkan bagian bawah permukaan tanah, tetapi jumlah karbon di atas pemukaan tanah tetap ditentukan oleh besarnya jumlah karbon di bawah permukaan tanah (Hairiah & Rahayu 2007). Hal ini terkait dengan kondisi kesuburan tanah. Dahlan et al. (2005) menegaskan bahwa total kandungan karbon di atas permukaan tanah dipengaruhi oleh jenis vegetasi, kesuburan tanah dan gangguan (termasuk pencurian dan hama penyakit).

Karbon atau zat arang adalah salah satu unsur yang terdapat dalam bentuk padat maupun cairan di dalam perut bumi, di dalam batang pohon, atau dalam bentuk gas di udara (atmosfer). Hairiah dan Rahayu (2007) menjelaskan bahwa karbon yang terdapat di atas permukaan tanah terdiri atas biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma), nekromassa (batang pohon mati) dan serasah (bagian tanaman yang telah gugur dan ranting yang terletak di permukaan tanah). Sedangkan karbon di dalam tanah meliputi biomassa akar serta bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang telah menyatu dengan tanah akibat pelapukan). Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu (2007) menjelaskan bahwa hutan alami yang keanekaragaman spesiesnya tinggi dengan serasah melimpah merupakan gudang penyimpanan karbon yang baik.

(20)

Karbon di udara mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses fotosintesis. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman (Hairiah & Rahayu, 2007). Pohon (dan organisme foto-ototrof lainnya) melalui proses fotosintesis menyerap CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan menyimpannya dalam biomassa tubuhnya seperti dalam batang, daun, akar, umbi buah dan lain-lain (Sutaryo 2009).

2.1.2 Pengukuran biomassa dan karbon tersimpan

Menurut Brown (1997) besarnya karbon tersimpan mencapai 50% dari nilai biomassanya. Ditegaskan juga oleh Sutaryo (2009) yang menyatakan bahwa dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan. Hal ini menunjukkan pentingnya mengetahui nilai biomassa dalam menentukan besaran pendugaan cadangan karbon pada suatu kawasan hutan. Untuk mengukur besarnya biomassa tersimpan di atas permukaan tanah dapat menggunakan persamaan allometrik ataupun dengan cara destruktif. Persamaan allometrik didefinisikan sebagai suatu studi dari suatu hubungan antara pertumbuhan dan ukuran salah satu bagian organisme dengan pertumbuhan atau ukuran dari keseluruhan organisme. Dalam studi biomassa hutan/pohon persamaan allometrik digunakan untuk mengetahui hubungan antara ukuran pohon (diameter atau tinggi) dengan berat (kering) pohon secara keseluruhan (Sutaryo 2009). Keunggulan menggunakan persamaan allometrik diantaranya dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan, tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM), mengurangi biaya dan mengurangi kerusakan pohon (Tresnawan & Rosalina 2002). Parameter dan metode

(21)

6

pengukuran biomassa dan nekromassa yang biasa digunakan, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Parameter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan tanah dan metode pengukurannya

Parameter Metode

Tumbuhan bawah Destruktif

Serasah kasar dan halus Destruktif

Arang dan abu Destruktif

Tumbuhan berkayu Destruktif

Pohon-pohon hidup Non-destruktif, persamaan allometrik Pohon mati, masih berdiri Non-destruktif, persamaan allometrik Pohon mati, sudah roboh Non-destruktif, rumus silinder Tunggak pohon Non-destruktif, rumus silinder Sumber : Hairiah et al. 2001

2.2 Cadangan karbon di Berbagai Tipe Penggunaan Lahan

Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 miliar ton karbon (FWI 2003). Studi dan penelitian yang menjadikan pendugaan karbon sebagai objeknya telah banyak dilakukan di berbagai daerah. Namun hasil akhir pada setiap kawasan studi tidak selalu sama. Hal ini dikarenakan kondisi di setiap kawasan yang berbeda-beda. Ditegaskan pula oleh Purwanti (2008) bahwa keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti struktur vegetasi, pengelolaan yang berbeda dan rezim iklim. Sebagai perbandingan, Lasco et al. (2004) menjelaskan bahwa kadar kandungan karbon tersimpan di dalam biomassa pada hutan tropis berkisar antara 41,5% sampai 50%.

Basuki et al. (2004) meneliti kandungan karbon tersimpan tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) dan damar (Agathis loranthifolia Salisb) di RPH Somagede BKPH Karanganyar KPH Kedu Selatan, masing-masing sebesar 126,8 ton/ha dan 21,6 ton/ha. Bakri (2009) dalam penelitiannya menemukan cadangan karbon di Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Toba Samosir sebanyak 95,82 ton/ha. Sedangkan Hilmi (2003) meneliti kadar karbon tersimpan pada tegakan hutan mangrove di Indragiri Hilir, Riau, untuk jenis bakau minyak (R. apiculata) memiliki kandungan karbon tegakan berkisar antara 47.007,97

(22)

kg/ha sampai 119.372,88 kg/ha. Jenis bakau hitam (R. mucronata) memiliki kandungan karbon tegakan berkisar antara 3.258,34 kg/ha sampai 3.957,44 kg/ha. Jenis Bruguiera sp. memiliki kandungan karbon tegakan berkisar antara 1.476.67 kg/ha sampai 8.746,11 kg/ha.Gambaran jumlah cadangan karbon di berbagai tipe penutupan lahan di beberapa lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Cadangan karbon di beberapa tipe penutupan lahan

Sistem Lokasi Cadangan karbon

(Mg.ha-1) Hutan primer Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 230,1 Hutan primer Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

178,44 Hutan primer Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah3

250,90 Hutan sekunder Taman Nasional Manupeu Tanadaru, NTT4 135,40 Hutan sekunder Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

81,65 Hutan sekunder Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 212,9 Hutan sekuder Taman Nasional Gunung Merapi8 172,08 Hutan sekunder Taman Nasional Meru Betiri9 106,61 Agroforestri muda Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 37,7 Agroforestri sederhana Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat5 21.31-80,79 Agroforestri kopi muda Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

27,92 Agroforestri kopi tua Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

63,69 Agroforestri coklat

muda

Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

14,04 Padang ilalang Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 4,2 Padang ilalang Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

3,57 Padang rumput Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

1,47 Sawah (padi) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 4,8 Semak belukar Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2

10,51 Semak belukar Taman Nasional Gunung Merapi8 3,62 Semak belukar Taman Nasional Meru Betiri9 32,28 Tegakan Schima

wallichii di areal setelah kebakaran umur 1-4 tahun

Hutan Sekunder Jasinga, Bogor, Jawa Barat7 0,4-2,7

Sumber: 1Lusiana et al. (2005); 2Prasetyo (2010); 3HIMAKOVA (2008); 4HIMAKOVA (2009); 5Yuly (2008); 6Hairiah et al. (2001); 7Nurhayati (2005); 8Pandiwijaya (2011); 9

Sularso (2011).

*1 Mg = 106 g = 1 Ton = 106 Tg.

2.3 Perubahan Iklim

Perubahan iklim didefinisikan sebagai berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain temperatur dan distribusi curah hujan dan berdampak luas terhadap kehidupan manusia (Kementrian Lingkungan Hidup 2001 diacu dalam

(23)

8

Sularso 2011). Perubahan iklim global akibat pemanasan global telah menjadi isu yang serius ditanggapi oleh negara-negara di dunia. Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) yang didominasi oleh CO2, CH4 dan N2O menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global. Lusiana et al. (2005) menegaskan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer sebagian besar disebabkan oleh aktivitas

manusia, terutama perubahan penggunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga dan aktivitas industri.

Rata-rata temperatur bumi meningkat 0,60C dan masih sangat memungkinkan untuk terus meningkat. Konsentrasi gas CO2 di atmosfer pada tahun 1998 sebesar 360 ppmv, dengan kenaikan per tahun sebesar 1,5 ppmv, sehingga dapat diprediksi 100 tahun mendatang rata-rata temperatur global akan meningkat 1,7-4,50C (Houghton et al. 2001 diacu dalam Lusiana et al. 2005).

Ekosistem hutan mengandung sekitar 60% karbon yang ada di daratan (Bakhtiar et al. 2008). Namun ironisnya, selain sektor peternakan, sektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan melalui kegiatan manusia dan pengaruh alam, diantaranya penebangan, perambahan hutan, konversi lahan, kebakaran hutan, dan aktivitas lainnya. Rahayu et al. (2007) diacu dalam Bakri (2009) menerangkan bahwa usaha untuk menurunan emisi karbon yang merupakan salah satu unsur gas rumah kaca tersebut sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomassa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi.

Melalui berbagai pertemuan internasional, negara-negara di dunia mulai menyusun upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan terkait perubahan iklim. Melalui kesepakatan bertajuk United Nations framework Convention on Clamite Change (UNFCCC ), negara-negara di dunia setiap tahunnya melakukan pertemuan yang membahas tentang isu terkini

(24)

tentang perubahan iklim dalam bentuk pertemuan yang dinamakan Conference of the Parties (COP). Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi UNFCCC, pernah menjadi tuan rumah pertemuan COP-13 di Nusa Dua Bali tahun 2007 dimana di dalamnya membahas dengan serius salah satu upaya mitigasi yang dapat dilakukan yaitu konsep Reducting Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Konsep REDD ini pertama kali dibahas dalam pertemuan COP-11 di Montreal tahun 2005. REDD merupakan suatu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Masripatin 2007). Saat ini, REDD berkembang menjadi mekanisme penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan, yang umum disebut REDD+ (Kementerian Kehutanan 2010). REDD+ merupakan pengembangan dari konsep sebelumnya. Tidak hanya sekedar mengurangi deforestrasi dan degradasi hutan, REDD+ juga mempertimbangkan peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon hutan serta pengelolaan hutan secara lestari (sustainable forest management) yang mencakup kelestarian produksi, ekologi, dan sosial budaya setempat dalam penilaiannya.

2.4 Perubahan Penggunaan Lahan

Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda-benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Arsyad 2000 diacu dalam Purwanti 2008). Penggunaan lahan adalah kegiatan penggunaan lahan, baik secara alami atau kegiatan manusia pada sebidang tanah (Vink 1975 diacu dalam Purwanti 2008). Dilihat dari keadaan fisiknya, penutupan lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang memiliki vegetasi dan non-vegetasi. Hairiah et al. (2001) menjelaskan perubahan penggunaan lahan dari vegetasi menjadi non-vegetasi dapat merubah albedo dan jumlah sinar matahari yang dapat diserap oleh permukaan tanaman, selain itu juga menjadi salah satu penyebab perubahan iklim secara global.

Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2

(25)

10

dalam Lusiana et al. 2005). Terlebih lagi jika perubahan penggunaan lahan yang

dilakukan tersebut dilakukan dengan cara membakar lahan karena hal tersebut dapat melepaskan karbon tersimpan jauh lebih besar dibandingkan dengan tanpa melakukan pembakaran. Hairiah et al. (2001) menyebutkan bahwa perubahan penggunaan lahan (pemotongan pohon) dengan membakar biomassa di atas permukaan tanah dapat mengurangi total C sekitar 66% bila dibandingkan dengan pemotongan pohon tanpa membakarnya, kehilangannya relatif kecil yaitu sebesar 22%. Ditambahkan juga bahwa dalam plot yang tidak terbakar beberapa karbon tersimpan dari vegetasi asli masih tersisa, misalnya cabang atau ranting yang besar, batang pohon dan beberapa pepohonan yang dibiarkan. Pelepasan karbon

ke atmosfer akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C yang terjadi

selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon

menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg C ha-1 year-1 (Lusiana

et al. 2005).

2.5 Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu teknologi baru yang saat ini menjadi alat bantu (tools) yang esensial dalam menyimpan, mamanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial (Prahasta 2001). Pengertian dari sistem informasi geografis adalah sistem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk, secara umum (Prahasta 2005). Pemanfaatan (SIG) secara terpadu dalam sistem pengolahan citra digital adalah untuk memperbaiki hasil klasifikasi (Budiyanto 2005). SIG dinilai sebagai hasil penggabungan dua sistem, yaitu sistem komputer untuk bidang Kartografi (CAC) dan sistem komputer untuk bidang perancangan (CAD) dengan teknologi basis data (database). Dengan demikian SIG mempunyai keunggulan karena penyimpanan dan presentasi data dipisahkan sehingga data dapat dipresentasikan dalam berbagai cara dan bentuk.

Prahasta (2005) menjelaskan bahwa kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Terdapat dua jenis fungsi analisis, yaitu fungsi analisis atribut dan fungsi analisis spasial (basis data atribut). Fungsi

(26)

analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya. Operasi basis data mencakup pembuatan basis data baru (create database), penghapusan basis data (drop database), pembuatan tabel basis data (create table), penghapusan tabel basis data (drop table), mengisi dan menyisipkan data (record) ke dalam tabel (insert), membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel basis data (seek, find, search dan retrieve), mengubah dan meng-edit data yang terdapat di dalam tabel basis data (update dan edit), penghapusan data dari tabel basis data (delete, zap, pack), pembuatan indeks untuk setiap tabel basis data. Operasi perluasan data yaitu membaca dan menulis basis data dalam sistem basis data yang lain (export and import), komunikasi sistem basis data yang lain (misalkan dengan menggunakan driver ODBC), menggunakan bahasa basis data standart SQL (structured query language) dan mengoperasikan fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basis data. Sedangkan fungsi analisis spasial terdiri dari klasifikasi (reclassify),

overlay, buffering, analisis tiga dimensi (3D), proses digitalisasi gambar.

Sistem Informasi geografis (SIG) juga dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem, yaitu input data, output data, manajemen data, manipulasi data serta analisis data. Subsistem dapat melakukan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Jika subsistem di atas diperjelas berdasarkan uraian jenis masukan, proses, dan jenis keluaran yang ada di dalamnya, skema subsistem SIG tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 (Prahasta 2005).

(27)

12

Gambar 1 Uraian subsistem SIG.

Teknologi GPS (Global Positioning System) menyampaikan informasi penting yang dibutuhkan dan merupakan salah satu bentuk data spasial dalam pengolahan data SIG. Data atau informasi yang dihasilkan dari GPS biasanya berbentuk data vektor. Puntodewo et al. (2003) diacu dalam Budiyanto (2005) menyebutkan bahwa teknologi GPS memberikan terobosan yang sangat penting dalam menyediakan data untuk SIG karena keakuratan data yang diberikan oleh data GPS sangat tinggi.

2.6 Penginderaan Jauh untuk Perubahan Lahan dan Karbon

Remote Sensing atau penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan

INPUT DATA MANIPULASI DAN MANAJEMEN DATA DATA OUTPUT Output Input Tabel Laporan Pengukuran lapang

Data digital lain

Peta (tematik, topografi, dll) Citra satelit Foto udara Data lainnya Storage (data base) Retrieval Processing Peta Tabel Laporan Informasi digital (softcopy)

(28)

obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1997). Beberapa kegunaan dari aplikasi penginderaan jarak jauh yaitu dapat mengetahui besarnya perubahan lahan, identifikasi vegetasi, pendugaan biomassa karbon, pendugaan

Leaf Area Index (LAI), memprediksi hasil pencitraan dan lain sebagainya. Metode penginderaan jauh dapat digunakan untuk menggambarkan stok karbon atau biomassa dengan leluasa pada permukaan tanah. Mickler et al. (2002) diacu dalam Muukkonen dan Heiskanen (2005) menjelaskan bahwa perubahan cadangan karbon pada suatu lokasi akan lebih mudah diidentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh ini.

Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah mengumpulkan data dan informasi tentang sumberdaya alam dan lingkungan (Lo 1995). Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan atau non-citra. Dalam penginderaan jauh terdapat beberapa saluran (band) yang sesuai dengan jenis citranya. Berikut adalah fungsi band dari citra landsat TM yang tertera dalam Tabel 3.

Tabel 3 Saluran citra landsat TM

Saluran Kisaran gelombang Kegunaan

1 0,45-0,52 Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas pengunaan lahan, tanah, dan vegetasi.

2 0,52-0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran spectral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan.

3 0,63-0,69 Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan non-vegetasi

4 0,76-0,90 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air.

5 1,55-1,75 Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah.

6 10,40-12,50 Pemisahan formasi batuan

7 2,08-2,35 Saluran infra merah termal, bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi kajian penelitian dilaksanakan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Pengambilan data lapang dilakukan selama tiga bulan (Agustus-Oktober 2010), sedangkan untuk kegiatan pengolahan data lapang dan analisis citra dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB selama empat bulan (Januari-April 2011).

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam kajian ini secara umum dibagi menjadi dua, yaitu :

 Alat dan bahan yang digunakan pada pengukuran dan pengambilan data di lapang, yaitu alat tulis, kalkulator, global positioning system (GPS), golok, kamera digital, kompas, meteran, peta kawasan, pita ukur, tali rafia, oven, alkohol 70%, trash bag, blangko pengukuran (tally sheet) dan timbangan.  Alat dan bahan yang digunakan pada pengolahan dan analisis data yaitu

seperangkat komputer, software ArcGis 9.3, software ERDAS imagine 9.1,

software microsoft word, software microsoft excel, peta tata batas kawasan Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) , peta rupa bumi Indonesia dan Citra Landsat.

Informasi keseluruhan citra landsat dan peta pendukung yang digunakan dalam penelitian ini tersaji di dalam Tabel 4 dan 5.

Tabel 4 Informasi citra satelit landsat yang digunakan Path/row Seri

Landsat

Tanggal perekaman citra

satelit Sumber

126/62

TM/ Landsat 5

13 Juni 1988 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB

ETM/ Landsat 7

19 Mei 2008 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB

(30)

Tabel 5 Daftar peta pendukung

No Judul Skala Sumber

1 Peta rupa bumi 1:250.000 Badan Planologi 2 Peta tata batas kawasan 1:25.000 ICDP-TNKS

3.3 Batasan Masalah Penelitian

Penelitian ini membatasi kajian pada jumlah cadangan karbon yang hilang dari dalam Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) dengan orientasi konversi karbon menjadi CO2 sebagai salah satu penyumbang gas rumah kaca. Cadangan karbon yang diukur merupakan cadangan karbon di atas permukaan tanah (above ground carbon) dengan menggunakan metode tidak merusak (non-destructive) serta persamaan allometrik untuk tegakan pohon dan metode merusak (destructive) untuk tumbuhan bawah, serasah dan semak belukar.

3.4 Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam kajian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer terdiri atas spesies pohon dan diameter pohon serta berat basah dan berat kering tumbuhan bawah yang dicari nilai biomassa tersimpan dan cadangan karbonnya serta tipe pengunaan lahan. Sedangkan data sekunder berupa data spasial Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) serta studi literatur yang dapat mendukung data primer yang dikumpulkan dalam kegiatan pengambilan data lapang.

3.5 Metode Pengambilan Data

3.5.1 Bentuk dan ukuran petak pengukuran biomassa tumbuhan.

Terdapat beberapa jenis dan ukuran petak yang digunakan dalam pengukuran nilai biomassa vegetasi di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). Pengukuran biomassa pohon dilakukan dengan cara non-destructive (tidak merusak bagian tumbuhan) dan untuk tumbuhan bawah dengan cara destructive

(merusak).

Plot contoh pengukuran dibuat pada setiap hektar lahan yang dipilih dengan langkah sebagai berikut (Hairiah & Rahayu 2007) :

a. Untuk lahan hutan: dibuat plot pengukuran 5 m x 40 m = 200 m2 (disebut subplot). Subplot ini digunakan untuk mengukur vegetasi dengan diameter 5

(31)

16

cm sampai 30 cm pada vegetasi yang kondisinya seragam, artinya menghindari tempat-tempat yang terlalu rapat atau terlalu jarang vegetasinya. b. Ukuran subplot diperbesar bila di dalam lahan yang diamati terdapat pohon

yang berdiameter > 30 cm. Ukuran plot berubah menjadi 20 m x 100 m (2.000 m2).

c. Untuk sistem agroforestri atau perkebunan yang memiliki jarak tanam antar pohon yang cukup lebar, ukuran subplot dibuat lebih besar dengan ukuran 20 m x 100 m = 2.000 m2.

d. Bila pada subplot terdapat tanaman tidak berkeping dua (dikotil) seperti bambu dan pisang, maka dilakukan pengukuran diameter dan tinggi masing-masing individu dalam setiap rumpun. Demikian pula bila terdapat pohon tidak bercabang, seperti kelapa atau tanaman jenis palem lainnya.

Keterangan :

a. subplot pengukuran tumbuhan bawah, berukuran 2 x 0,5 m x 0,5 m.

b. subplot pengukuran vegetasi berdiameter 5 cm – 30 cm, berukuran 5 m x 40 m. c. subplot pengukuran vegetasi berdiameter > 30 cm, berukuran 20 m x 100 m.

Gambar 2 Plot contoh untuk pengukuran biomassa.

Pengambilan data primer berupa pengukuran diameter pohon dilakukan karena memiliki hubungan atau korelasi yang positif dengan penghitungan biomassa pohon. Semakin besar diameter, maka semakin besar pula karbon yang tersimpan di dalam tubuh pohon tersebut. Setelah biomassa pohon diketahui, selanjutnya dapat dilakukan pendugaan jumlah cadangan karbon yang terdapat di dalam vegetasi di lokasi kajian. Untuk mengetahui nilai biomassa tumbuhan bawah dan semak belukar, dilakukan pemotongan tumbuhan bawah dan semak belukar di dalam plot pengukuran secara menyeluruh (destructive) untuk kemudian diukur berat basah dan berat keringnya. Jumlah plot pengukuran karbon di lapang tersaji dalam Tabel 6.

20 m x 100 m 5 m x 40 m

(32)

Tabel 6 Ukuran dan jumlah plot contoh pengukuran cadangan karbon di beberapa tipe penggunaan lahan

Penggunaan lahan Pengukuran plot (m2) Jumlah plot

Hutan sekunder 2000 11

Kebun kayu manis 2000 5

Semak belukar 0,25 3

3.5.2 Analisis data

3.5.2.1 Biomassa tersimpan

Penilaian pendugaan biomassa dihitung dengan menggunakan persamaan allometrik yang telah dibuat dan diuji oleh peneliti–peneliti sebelumnya. Persamaan tersebut disajikan di dalam Tabel 7.

Tabel 7 Daftar persamaan allometrik yang digunakan untuk menduga nilai biomassa tersimpan

Kategori biomassa Persamaan allometrik Sumber

Pohon bercabang B = 0,11ρ(D2,62)* Ketterings (2001) diacu dalam Hairiah dan Rahayu (2007) Nekromassa (pohon mati) B = π ρ H(D2)/40* Hairiah dan Rahayu (2007) Keterangan :

B = Biomassa (kg.pohon-1) D = Diameter setinggi dada (cm) H = Tinggi pohon (cm)

ρ = Kerapatan kayu (g.cm-3)

* = Sumber kerapatan kayu diperoleh berdasarkan Prosea, Soewarsono PH (1990), Anonim (1981), Martawijaya A (1992) diacu dalam ICRAF (http://www.worldagroforestry.org) dan Brown (1997).

Persamaan lain yang akan digunakan untuk menduga nilai biomassa tumbuhan bawah adalah sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu 2007) :

Total BK g =𝐵𝐾 subcontoh g

𝐵𝐵 subcontoh g x Total BB (g) Keterangan :

BK = Berat kering total BKc = Berat kering contoh BBc = Berat basah contoh BB = Berat basah total

3.5.3.2 Cadangan Karbon

Pada penelitian ini, nilai cadangan karbon yang terdapat di tiap tipe penggunaan lahan dihitung dengan menggunakan persamaan yang digunakan oleh Lasco et al. (2004) sebagai berikut :

Cadangan karbon di hutan sekunder = biomassa x 44,6%

Cadangan karbon di hutan agroforestri dan perkebunan = biomassa x 44% Cadangan karbon di padang rumput/belukar = biomassa x 42,9%

(33)

18

Hasil pengukuran pendugaan cadangan karbon dapat menunjukkan pula seberapa besar pendugaan pelepasannya, pelepasan tersebut adalah dalam bentuk senyawa CO2. Untuk mengetahui CO2 yang hilang, nilai C dikonversi ke dalam bentuk CO2 dengan mengalikan nilai C dengan faktor konversi sebesar 3,667 (von Mirbach 2000). Hasil konversi nilai C menjadi CO2 tersebut akan menunjukkan pendugaan pelepasan karbon dari lokasi penelitian dengan asumsi kehilangan karbon tersebut seluruhnya dalam bentuk gas. Nilai 3,667 sendiri diperoleh dari perbandingan antara berat molekul senyawa CO2 sebesar 44 terhadap berat atom unsur C yang sebesar 12.

CO2 = C x 3,667

Keterangan :

CO2 = kandungan karbondioksida (ton/ha) C = kandungan karbon (ton/ha)

3.5.2.3 Pendugaan cadangan karbon

Pendugaan cadangan karbon berdasarkan data spasial dilakukan dengan menggunakan informasi luas penggunaan lahan hasil klasifikasi yang kemudian dikalikan dengan data hasil perhitungan cadangan karbon di atas tanah (above ground carbon stock) dari kelas penggunaan lahan yang bersangkutan. Langkah awalnya adalah dengan melakukan klasifikasi kelas penggunaan lahan berdasarkan hasil interpretasi lapang yang telah dilakukan, hasil klasifikasi tersebut selanjutnya dikonversi menjadi kelas cadangan karbon berdasarkan atribut cadangan karbon.

(34)

Gambar 3 Tahap pendugaan cadangan karbon di berbagai tipe penggunaan lahan.

3.5.2.4 Peta penggunaan lahan terklasifikasi

Peta penggunaan lahan yang digunakan pada penelitian ini dihasilkan dari citra landsat 5 TM dan landsat 7 ETM dari tahun yang telah ditentukan yaitu tahun 1988 dan 2008 yang telah melalui tahap klasifikasi sesuai dengan bentuk penggunaannya. Data penggunaan lahan yang dihasilkan dari dua citra tahun yang berbeda ini digunakan untuk melakukan analisis perubahan penggunaan lahannya. Proses analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi perbandingan pengunaan lahan multi waktu (time series) dari kedua peta yang telah dibuat.

Pembuatan peta penggunaan lahan terklasifikasi ini diawali dengan melakukan koreksi geometrik pada citra satelit yang akan digunakan. Koreksi geometrik dilakukan untuk memperbaiki kesalahan non-sistematis yang terjadi

Pengolahan citra Pohon

(35)

20

pada citra satelit. Kesalahan yang mungkin terjadi seperti variasi ketinggian tempat, variasi ketinggian satelit, variasi kecepatan sensor, kesalahan panoramik, kelengkungan bumi, refraksi atmosfer, variasi bentuk relief permukaan bumi dan ketidaklinieran cakupan sensor satelit (Prahasta 2005). Koreksi geometrik dilakukan dengan menghubungkan citra satelit dengan peta acuan yang tersedia. Peta acuan yang digunakan berupa peta sungai, danau dan peta garis pantai rupa bumi Indonesia (RBI). Dalam prosesnya, hubungan antara kedua peta ini ditunjukkan dengan penempatan ground control point (GCP) pada kedua peta tersebut. Akurasi koreksi geometrik sendiri ditunjukkan dengan nilai RMS-error

(root mean square-error) yang dihasilkan, dimana jika semakin kecil nilai

RMS-error, maka ketepatan titik GCP pun akan semakin tinggi. Untuk melihat hasil akhir dari koreksi geometrik, dilakukan uji keakuratan terhadap citra hasil koreksi tersebut dengan cara melakukan overlay antara citra hasil koreksi dengan peta acuan yang digunakan. Proses ini akan memperlihatkan besarnya penyimpangan pada citra hasil koreksi geometrik. Koreksi geometrik yang telah dilakukan dapat diterima dan dapat digunakan jika posisi penyimpangannya tidak melebihi satu piksel pada citra atau seluas 900 m2 pada kondisi sebenarnya.

Citra hasil koreksi geometrik selanjutnya disederhanakan sesuai dengan kebutuhan lokasi penelitian melalui proses pemotongan citra (subset image) dengan menggunakan digitasi polygon peta batas Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). Hasil pemotongan citra digunakan sebagai peta panduan selama kegiatan survei lapang. Peta ini akan membantu dalam menentukan titik lokasi pengukuran biomassa tersimpan di setiap tipe penggunaan lahan yang terdapat di lokasi penelitian selama kegiatan lapang berlangsung. Titik-titik lokasi pengambilan data lapang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan proses klasifikasi citra secara terbimbing (supervised classification). Klasifikasi terbimbing akan menghasilkan peta yang telah dikategorikan menjadi beberapa tipe penggunaan lahan. Selain menggunakan titik lokasi pengambilan data lapang, proses klasifikasi terbimbing pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan link google map yang dapat menunjukkan penggunaan lahan terkini di lokasi penelitian. Peta penggunaan lahan multi waktu hasil klasifikasi terbimbing yang telah melalui proses recode dilengkapi dengan atribut berupa kerapatan

(36)

karbon di setiap tipe penggunaan lahan yang nilainya diperoleh dari hasil pengukuran lapang. Klasifikasi penggunaan lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) dibagi menjadi lima kelas penggunaan lahan yaitu Hutan sekunder, kebun kayu manis, semak belukar, lahan terbuka dan awan dan bayangan (no data).

Uji akurasi harus dilakukan terhadap peta hasil klasifikasi terbimbing sebelum peta tersebut benar-benar bisa digunakan. Proses ini dilakukan untuk mengetahui keakuratan hasil klasifikasi terbimbing yang telah dilakukan dengan melihat perbedaan antara titik survei lapang dengan peta hasil klasifikasi terbimbing. Hasil klasifikasi terbimbing dapat diterima jika nilai akurasi yang diperoleh mencapai 85%. Selanjutnya dapat diketahui jumlah perubahan cadangan karbon di lokasi penelitian yang dihitung berdasarkan data cadangan karbon di setiap tipe penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan pada waktu yang berbeda. Alur tahap pendugaan cadangan karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) tersaji dalam Gambar 4.

(37)

22

Gambar 4 Alur pembuatan peta pendugaan cadangan karbon di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur).

3.5.2.5 Pendugaan perubahan cadangan karbon

Pendugaan perubahan cadangan karbon dilakukan dengan mengaitkan data hasil pengukuran karbon di atas tanah (above ground carbon stock) dengan luas setiap tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian. Selanjutnya, nilai karbon dari setiap tipe penggunaan lahan hasil perhitungan akan dijadikan nilai karbon

Koreksi geometrik Klasifikasi tidak terbimbing Survei lapang Pemotongan citra Pengukuran karbon

Areal contoh Klasifikasi terbimbing

Citra terklasifikasi Tidak

Terima Akurasi

Analisis perubahan cadangan karbon

Data perubahan cadangan karbon Pengolahan data Peta penggunaan lahan Cadangankarbon Citra satelit

RBI dan peta batas kawasan

Cadangan karbon di berbagai tipe penggunaan lahan

(38)

pembanding pada dua citra terklasifikasi yang digunakan. Data penggunaan lahan citra terklasifikasi tahun 1988 dan 2008 digunakan dalam pendugaan perubahan cadangan karbon. Pendugaan cadangan karbon pada dua citra terklasifikasi dengan tahun yang berbeda pada dasarnya dilakukan sebagai proses pemberian atribut ulang pada peta penggunaan lahan dengan data cadangan karbon pada skala plot tipe penggunaan lahan yang sama. Hasil yang diharapkan adalah dugaan cadangan karbon berdasarkan tipe penggunaan lahan pada waktu yang berbeda, sehingga dapat diketahui perubahan cadangan karbon berdasarkan perubahan penggunaan lahan.

(39)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI

4.1. Letak dan Luas

Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Kawasan Hutan Hak Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) yang terletak di Kecamatan Gunung Raya ini memiliki batas wilayah sebagai berikut:

 Utara : Kecamatan Keliling Danau  Selatan : Provinsi Bengkulu

 Timur : Kecamatan Batang Merangin

 Barat : Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat

Gambar 5 Lokasi penelitian Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur).

4.2 Sejarah Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur)

Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) dikukuhkan melalui SK Bupati TK II Kerinci No. 96/1994 tanggal 10 Mei 1994 tentang penetapan Hutan Adat Air

(40)

Lempur dengan luas 858,3 ha. Hutan adat ini termasuk dalam wilayah lingkungan Kerapatan Adat Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur sehingga dikenal dengan nama Hutan Adat lekuk 50 Tumbi (Lempur). Kawasan ini meliputi tiga lokasi hutan adat yaitu Gunung Batuah, Bukit Setangis dan Hulu Air Dusun Tanjung (Bukit Kemulau). Hutan Hak Adat 50 Tumbi (Lempur) dikelola oleh Perwalian Masyarakat Adat Desa Lembaga Kerja Tetap (LKT) Daerah Hulu Air Lempur meliputi:

a. Desa Lempur Hilir. b. Desa Lempur Mudik.

c. Desa Dusun Baru Lempur dan kelurahan Lempur Tengah.

(a) (b)

(c)

Gambar 6 (a) Hutan Adat Bukit Setangis; (b) Hutan Adat Hulu Air Tanjung (Kemulau); (c) Hutan Adat Gunung Batuah.

(41)

26

4.3.Topografi

Bentang alam Lempur secara umum terbagi atas tiga tipologi yaitu rawa, atau dataran lembah, perbukitan dan pengunungan. Kawasan Hutan adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) merupakan daerah berbukit-bukit yang setiap bukitnya dipisahkan oleh lembah curam. Derajat kemiringan kawasan ini antara 10-85 dengan ketinggian antara 500-2.505 m dpl. Lempur merupakan wilayah jalur patahan-patahan kecil yang rawan mengalami erosi dan longsor dan sangat labil terhadap gempa. Hal ini ditandai dengan ditemukannya sumber-sumber panas bumi (solfatara). Selain itu ditandai dengan pola penyebaran danau yang membentuk suatu basin atau cekungan menandakan bahwa daerah tersebut terbentuk karena proses pengangkatan tenaga endogen.

Hutan adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) sebagian besar berupa batuan-batuan dengan lubang besar di bawahnya, kondisi tanah yang didominasi oleh jenis andosol menyebabkan tanah di lokasi ini sangat gembur sehingga mudah amblas. Semakin tinggi didaki, kawasan perbukitan ini semakin sulit untuk dilewati.

4.4. Iklim

Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi yang berupa daerah perbukitan memiliki curah hujan tahunan yang tinggi, yaitu berkisar antara 2.500 - 3.000 mm. Tingginya curah hujan ini menyebabkan kawasan ini potensial sebagai daerah tangkapan air untuk daerah di bawahnya. Kawasan ini memiliki kelembaban sebesar 84%, suhu rata-rata 21,8°C dengan suhu maksimum 27,9°C dan minimum 17,5°C.

4.5. Potensi

Jauh sebelum dikukuhkan sebagai Hutan Hak Adat, kawasan di sekitar Hutan Hak Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) secara turun temurun telah dimanfaatkan sebagai perkebunan yang didominasi jenis kayu manis (cinnamomum burmanii) oleh masyarakat sekitar. Secara umum, perkebunan kayu manis di Kabupaten Kerinci tersebar luas di seluruh daerah, hal ini yang menyebabkan Kabupaten Kerinci menjadi salah satu penghasil kulit kayu manis terbesar di Indonesia.

(42)

Hutan Hak Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) memiliki potensi antara lain: a. Tumbuhan, yaitu paku resam, Bambusa sp, Ardisia sp, Syzygium sp, dan

Ficus sp. Di sini juga terdapat jenis tanaman obat-obatan, misalnya selasih gunung, kudo bawah, anggrek jambu, kap simpai, rukam, bintunangan, pulut-pulut dan paku jantan. Selain itu terdapat jenis-jenis kayu keras yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan seperti surian, kayu apit, dan kayu bayo. Namun, dalam pemanfaatannya harus melalui persetujuan dari lembaga adat. b. Hutan hak adat sebagai tempat rekreasi atau obyek wisata, bentang alam yang

berbukit-bukit dan panorama alam yang indah bisa ditawarkan sebagai obyek wisata. Selain itu, baik di dalam maupun di luar Hutan Hak Adat terdapat beberapa danau seperti Danau Lingkat, Danau Kaca, Danau Nyalo dan lainnya yang bisa dikembangkan menjadi obyek daya tarik wisata alam.

4.6. Kondisi masyarakat sekitar Kawasan

Masyarakat Lempur merupakan masyarakat asli yang sudah lama dan secara turun temurun menempati daerah Lempur. Pada awal terbentuknya, masyarakat Lempur hanya berjumlah 50 keluarga. Hal ini yang mendasari penamaan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), dimana tumbi memiliki arti keluarga. Seiring berjalannya waktu, jumlah keluarga yang menempati daerah ini semakin bertambah sampai saat sekarang. Mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dan peladang. Sehingga sejak pagi hari masyarakat lempur sudah disibukkan dengan aktivitas berladangnya masing-masing, Pada sore hari mereka baru kembali ke rumah masing-masing. Kepatuhan terhadap hukum adat membuat mereka terikat pada suatu kekerabatan yang erat, sehingga setiap diadakannya kegiatan adat mereka pasti berkumpul bersama.

Kehidupan bermasyarakat adat Lempur dipimpin oleh seorang Depati Agung. Namun dalam menjalankan peraturan adat dan pengambilan keputusan, Depati Agung dibantu oleh Depati Suko Berajo dan Depati Anum. Ketiga pemuka adat ini dibantu oleh depati-depati dan ninik mamak yang dikenal dengan istilah “Depati Nan Sepuluh dan Ninik Mamak Nan Berenam”. Gambar 7 menunjukkan struktur kelembagaan adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

(43)

28

Gambar 7 Struktur kelembagaan adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. DEPATI AGUNG

DEPATI ANUM DEPATI SUKO BERAJO

DEPATI NAN BERENAM (Lempur Mudik dan

Dusun Baru Lempur) 1.Depati Pulang 2.Depati Serampas 3.Depati Kerinci 4.Depati Telago 5.Depati Anggo 6.Depati Naur

DEPATI NAN BEREMPAT (Lempur Hilir dan

Lempur Tengah) 1.Depati Suko Berajo 2.Depati Muncak 3.Depati Mudo 4.Depati Nalo

Nenek Mamak Nan Batigo (Lempur Mudik dan Dusun Baru Lempur) 1.Kedemang Sri Memanti 2.Manggung Sri Menanti

3.Seri Paduko Rajo

Nenek Mamak Nan Batigo (Lempur Hilir dan

Lempur Tengah) 1.Rajo Depati 2.Rajo Bujang

(44)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Distribusi Pengambilan Titik

Terdapat dua jenis pengambilan titik distribusi yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu titik distribusi plot contoh pengukuran karbon dan titik kontrol lapang (ground control point). Pengambilan titik dilakukan dengan menggunakan bantuan alat penerima sinyal global positioning system (GPS). Keakuratan dan ketepatan penempatan titik dipengaruhi oleh sistem kerja GPS yang digunakan, dimana GPS bekerja dengan dipengaruhi oleh jumlah sinyal satelit yang ditangkap saat pengambilan titik. Untuk mendapatkan titik koordinat yang akurat, diusahakan pengambilannya dilakukan pada tempat yang relatif tidak terlalu tertutup oleh tajuk pohon sehingga GPS dapat lebih mudah menangkap sinyal. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Lillesand dan Kiefer (1997) dimana penangkapan sinyal oleh GPS dipengaruhi faktor atmosfer, bentuk tutupan tajuk pohon dan pantulan sinyal terhadap topografi bumi.

Total titik yang diambil pada lokasi penelitian sebanyak 53 titik dengan pengambilan titik yang dilakukan secara acak berdasarkan keterwakilan setiap tipe penggunaan lahan yang ada di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) (Gambar 8). Pengambilan titik interpretasi lapang ini dilakukan untuk mendapatkan informasi terbaru tentang keadaan terkini di lapang yang akan dicocokkan dengan interpretasi warna peta citra landsat yang tersedia sehingga dapat mempermudah proses uji keakuratan geometri. Titik distribusi plot contoh pengukuran karbon yang diambil adalah sebanyak 19 titik, dimana jumlah tersebut mewakili jumlah plot contoh yang diukur pada lokasi penelitian (Gambar 9). Titik tersebut diambil secara acak berdasarkan tipe penggunaan lahan di seluruh lokasi penelitian sehingga dianggap dapat mewakili keseluruhan kondisi lokasi penelitian.

(45)

Gambar 8 Peta distribusi ground control point (GCP).

(46)

Gambar 9 Peta distribusi titik plot contoh pengukuran karbon.

Gambar

Tabel 1  Parameter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan tanah  dan metode pengukurannya
Tabel 2  Cadangan karbon di beberapa tipe penutupan lahan
Gambar 1  Uraian subsistem SIG.
Tabel 3  Saluran citra landsat TM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menghitung total cadangan karbon hutan didasarkan pada kandungan biomasa dan bahan organik pada lima carbon pool (biomassa atas permukaan tanah, biomassa bawah permukaan tanah,

Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan kota UI yaitu 172.86 ton/ha dengan perolehan biomassa sebesar 345.72 ton/ha, kemudian disusul oleh hutan kota Srengseng

IKO PRATAMA : Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon di Kawasan Hutan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat, dibimbing oleh Delvian dan Kansih

IKO PRATAMA : Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon di Kawasan Hutan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat, dibimbing oleh Delvian dan Kansih

Analisis Vegetasi Dan Pendugaan Cadangan Karbon Tersimpan Pada Pohon Di Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir..

Dari data cadangan karbon pohon dan kelapa sawit, maka potensi kehilangan cadangan karbon pada kawasan yang dikonversi dari kawasan hutan menjadi tanaman kelapa sawit pada tahun ke

(2011) menunjukkan bahwa cadangan karbon pada gambut mencapai 8 hingga 20 kali karbon pada vegetasi hutan. Kemampuan bentang lahan dalam membentuk tanah gambut merupakan

lahan tersebut kemudian menjadi ukuran jumlah karbon yang tersimpan sebagai. biomasa