TINJAUAN PUSTAKA
Agroforestri
Wanatani atau agroforestri adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya
yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan
penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian.
Model-model wanatani bervariasi mulai dari wanatani sederhana berupa
kombinasi penanaman sejenis pohon dengan satu-dua jenis komoditas pertanian,
hingga ke wanatani kompleks yang memadukan pengelolaan banyak spesies
pohon dengan aneka jenis tanaman pertanian, dan bahkan juga dengan ternak atau
perikanan. Dalam bentuk yang dikenal umum, wanatani ini mencakup rupa-rupa
kebun campuran, tegalan berpohon, ladang, lahan bera (belukar), kebun
pekarangan, hingga hutan tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang
dikenal dalam rupa talun di Jawa Barat, repong di Lampung Barat, parak di
Sumatera Barat, tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung (sesuai
serta perlakuan silvikultur yang tepat simpukng) di Kalimantan Timur, dan
lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia (Sukmawati, 2013)
Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri memerlukan pemilihan jenis
yang sesuai untuk menjaga cahaya, air dan nutrisi yang optimum bagi
masing-masing jenis penyusun merupakan kunci keberhasilan dari sistem agroforestri.
Pertimbangan penting adalah dimensi ruang bukan hanya dimensi waktu sehingga
masing-masing jenis penyusun dapat memperoleh ruang tumbuh yang optimal.
Suryanto (2006), menjelaskan bahwa dinamika tajuk dapat dijadikan dasar untuk
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis tanaman dalam
agroforestri tegalan di Pegunungan Menoreh Kulon Progo
(Hani dan Suryanto, 2014)
Agroforestri adalah suatu sistem penggunaan lahan yang bertujuan untuk
mempertahankan atau meningkatkan hasil total secara lestari, dengan cara
mengkombinasikan tanaman pangan/pakan ternak dengan tanaman pohon pada
Universitas Sumatera Utara sebidang lahan yang sama, baik secara bersamaan
atau secara bergantian, dengan menggunakan praktek-praktek pengolahan yang
sesuai dengan kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya setempat
(Hairiah et al, 2003).
Peran-peran tersebut selama ini kurang disadari oleh masyarakat terutama
di daerah-daerah dimana akses informasi dan transportasi masih cukup rendah.
Akan tetapi dengan semakin gencarnya isu pemanasan global dan perubahan iklim
yang banyak ditayangkan dan dimuat di berbagai media massa seperti televisi dan
surat kabar, membuat masyarakat sedikit demi sedikit mulai mengerti bahwa
dampak negatif dari pemanasan global ini telah mereka rasakan. Mereka mulai
sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan cara menanam
pohon (Lestari dan Bambang, 2014).
Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam yang merupakan suatu ekosistem, di
dalam ekosisitem ini, terjadi hubungan timbal balik antara individu dengan
lingkungannya. Lingkungan tempat tumbuh dari tumbuhan merupakan suatu
sistem yang kompleks, dimana berbagai faktor saling beinteraksi Dan saling
perkembangan merupakan suatu respon tumbuhan terhadap faktor lingkungan
dimana tumbuhan tersebut akan memberikan respon menurut batas toleransi yang
dimilikinya terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut (Indriyanto, 2006).
Hutan mempunyai peran penting dalam perubahan iklim melalui 3 cara,
yaitu (1) sebagai cadangan karbon, (2) sebagai sumber emisi CO2 ketika terbakar,
(3) sebagai carbon sink ketika tumbuh dan bertambah luas arealnya. Bila dikelola
secara baik, hutan akan mampu mengatasi jumlah karbon yang berlebih di
atmosfer dengan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa, baik di atas maupun
di bawah permukaan tanah. Bahan organik yang mengandung karbon mudah
teroksidasi dan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO2. Karbon disimpan di hutan
dalam bentuk : (1) biomassa dalam tanaman hidup yang terdiri dari kayu dan
non-kayu, (2) massa mati (kayu mati dan serasah) dan (3) tanah dalam bahan organik
dan humus. Humus berasal dari dekomposisi serasah. Karbon organik tanah juga
merupakan pool yang sangat penting (Wahyuningrum, 2008)
Biomassa
Salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah dengan
mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dengan mempertahankan keutuhan hutan
alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan. Tumbuhan
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan menyerap gas asam arang (CO2) dari
udara melalui proses fotosintesis yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat
kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam
tubuh tanaman berupa daun, batang, bunga, dan buah. Dengan demikian
(biomassa)pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer
yang diserap oleh tanaman (Malau, 2012).
Pengukuran biomassa hutan mencakup seluruh biomassa hidup yang ada
di atas dan di bawah permukaan dari pepohonan, semak, palem, anakan pohon,
dan tumbuhan bawah lainnya, tumbuhan menjalar, liana, epifit dan sebagainya
ditambah dengan biomassa dari tumbuhan mati seperti kayu dan serasah. Pohon
(dan organisme fototrof lainnya) melalui proses fotosintesis menyerap CO2 dari
atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan
menyimpannya dalam biomassa tubuhnya seperti dalam batang, daun, akar, umbi
buah dan-lain-lain. Keseluruhan hasil dari proses fotosintesis ini sering disebut
juga dengan produktifitas primer. Aktifitas respirasi, sebagian CO2 yang sudah
terikat akan dilepaskan kembali dalam bentuk CO2 ke atmosfer. Selain melalui
respirasi, sebagian dari produktifitas primer akan hilang melalui berbagai proses,
misalnya dekomposisi. Sebagian dari biomassa mungkin akan berpindah atau
keluar dari ekosistem karena terbawa aliran air atau agen pemindah lainnya
(Sutaryo, 2009).
Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Biomasa
hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon.
Brown (1997) menyatakan biomassa adalah jumlah bahan organik yang
diproduksi oleh organisme (tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat.
Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan
gram, atau dalam kalori. Oleh karena kandungan air yang berbeda setiap
tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa
dari bahan organik dinyatakan dalam satuan kilogram atau ton
(Krisnawati et al, 2012)
Karbon (C)
Karbon merupakan salah satu unsur alam yang memiliki lambang “C”
dengan nilai atom sebesar 12. Karbon juga merupakan salah satu unsur utama
pembentuk bahan organik termasuk makhluk hidup. Hampir setengah dari
organisme hidup merupakan karbon. Karenanya secara alami karbon banyak
tersimpan di bumi (darat dan laut) dari pada di atmosfir. Karbon tersimpan dalam
daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), bahan organik
mati ataupun sedimen seperti fosil tumbuhan dan hewan. Sebagian besar jumlah
karbon yang berasal dari makhluk hidup bersumber dari hutan. Seiring terjadinya
kerusakan hutan, maka pelepasan karbon ke atmosfir juga terjadi sebanyak tingkat
kerusakan hutan yang terjadi (Manuri et al, 2011).
Jumlah cadangan karbon antar lahan berbeda-beda, tergantung pada
keanekaragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara
pengelolaannya. Penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila
kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomassa pohon meningkat, atau dengan
kata lain cadangan karbon di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh
besarnya cadangan karbon di dalam tanah (bahan organik tanah). Untuk itu,
pengukuran banyaknya karbon yang disimpan dalam setiap lahan perlu dilakukan
(Hairiah, 2011).
Cadangan karbon adalah kandungan karbon tersimpan baik itu pada
permukaan tanah sebagai biomasa tanaman, sisa tanaman yang sudah mati
karbon ini kemudian menjadi dasar untuk menghitung emisi, dimana sebagian
besar unsur karbon (C) yang terurai ke udara biasanya terikat dengan O2 (oksigen)
dan menjadi CO2 (karbon dioksida). Itulah sebabnya ketika satu hektar hutan
menghilang (pohon-pohonnya mati), maka biomasa pohon-pohon tersebut cepat
atau lambat akan terurai dan unsur karbonnya terikat ke udara menjadi emisi. Dan
ketika satu lahan kosong ditanami tumbuhan, maka akan terjadi proses pengikatan
unsur C dari udara kembali menjadi biomasa tanaman secara bertahap ketika
tanaman tersebut tumbuh besar (sekuestrasi). Ukuran volume tanaman penyusun
lahan tersebut kemudian menjadi ukuran jumlah karbon yang tersimpan sebagai
biomasa (cadangan karbon). Sehingga efek rumah kaca karena pengaruh unsur
CO2 dapat dikurangi, karena kandungan CO2 di udara otomatis menjadi
berkurang. Namun sebaliknya, efek rumah kaca akan bertambah jika
tanaman-tanaman tersebut mati (Kauffman dan Donato, 2012).
Tumbuhan Bawah
Tumbuhan bawah merupakan vegetasi dasar yang secara alami tumbuh
dibawah tegakan pohon atau lantai hutan yaitu meliputi semak, herba, rumput,
paku-pakuan dan lainnya. Tumbuhan bawah merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari ekosistem hutan alam. Di dalam stratifikasi hutan hujan tropika,
tumbuhan bawah menempati dua strata yaitu strata keempat (semak belukar) dan
strata kelima (penutup tanah). Dengan demikian selain berfungsi sebagai
penahanpukulan air hujan, juga berfungsi sebagai penahan aliran permukaan
sekaligus meningkatkan infiltrasi air (Sekarini, 2010).
Tumbuhan bawah adalah komunitas tanaman yang menyusun stratifikasi
biannual, atau perenial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak menjalar
atau memanjat.Secara taksonomi vegetasi bawah umumnya anggota dari
suku-suku Poceae, Cyperaceae, Araceae, Asteraceae, paku-pakuan Dan lain-lain.
Vegetasi ini banyak terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai,
lantai hutan, lahan pertanian dan perkebunan (Odum, 2003).
Keberadaan tumbuhan bawah di lantai hutan dapat berfungsi sebagai
penahan pukulan air hujan dan aliran permukaan sehingga meminimalkan bahaya
erosi. Selain itu, tumbuhan bawah juga sering dijadikan sebagai indikator
kesuburan tanah dan penghasil serasah dalam meningkatkan kesuburan tanah.
Selain fungsi ekologi, beberapa jenis tumbuhan bawah telah diidentifikasi sebagai
tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, tumbuhan obat, dan
sebagai sumber energi alternatif. Namun tidak jarang juga tumbuhan bawah dapat
berperan sebagai gulma yang menghambat pertumbuhan permudaan pohon
khususnya pada tanaman monokultur yang dibudidayakan (Hilwan et al, 2013).
Komposisi dari keanekaragaman jenis tumbuhan bawah sangat
dipengaruhi oleh faktorlingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan
tajuk dari pohon disekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis.
Pada komunitas hutan hujan, penetrasi cahaya matahari yang sampai pada lantai
hutan umumnya sedikit sekali. Hal ini disebabkan terhalang oleh lapisan-lapisan
tajuk pohon yang ada pada hutan tersebut, sehingga tumbuhan bawah yang
tumbuh dekat permukaan tanah kurang mendapat cahaya, sedangkan cahaya
matahari bagi tumbuhan merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
Terbentuknya pola keanekaragaman dan struktur spesies vegetasi hutan
merupakan proses yang dinamis, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan,
baik biotik maupun abiotik. Salah satu komponen dalam masyarakat
tumbuh-tumbuhan adalah tumbuh-tumbuhan bawah. Meskipun mempunyai pengaruh negatif
karena dapat menjadí pesaing bagí tanaman pokok, tumbuhan bawah berperan
penting dalam ekosistem hutan. Dalam stratifikasi hutan hujan tropika, tumbuhan
bawah menempati stratum D yakni lapisan perdu, semak dan lapisan tumbuhan
penutup tanah pada stratum E, sehingga tumbuhan bawah juga dapat berfungsi
sebagai pencegah erosi (Sihaloho, 2014).
Keanekaragaman tumbuhan bawah memperlihatkan tingkatan
keanekaragaman yang tinggi berdasarkan komposisinya. Perbedaan bentang
lahan, tanah, faktor iklim serta perbandingan keanekaragaman spesies vegetasi
bawah memperlihatkan banyak perbedaan, baik dalam kekayaan jenisnya maupun
pertumbuhannya. Hutan yang lapisan pohon-pohon tidak begitu lebat, sehingga
cukup cahaya yang dapat menembus lantai hutan, kemungkinan perkembangan
vegetasi bawah bersifat cepat, sedangkan pada tempat-tempat kering berupa
tumbuhan berkayu antara lain rumput-rumputan jenis Pennisetum. Pada hutan
yang lebat sehingga intensitas cahaya sedikit, tumbuhan bawah beradaptasi
melalui permukaan daun yang lebar untuk menangkap cahaya matahari