• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis perubahan penutupan lahan di hutan adat lekuk 50 Tumbi (lempur), kabupaten Kerinci provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis perubahan penutupan lahan di hutan adat lekuk 50 Tumbi (lempur), kabupaten Kerinci provinsi Jambi"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

FEBRIYANTO KOLANUS

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN

DI HUTAN ADAT LEKUK 50 TUMBI (LEMPUR),

KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

FEBRIYANTO KOLANUS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

FEBRIYANTO KOLANUS. E34063555. Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan LILIK BUDI PRASETYO.

Kestabilan penutupan lahan hutan merupakan unsur penting untuk menjaga kelanjutan konservasi Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Perubahan penutupan lahan di kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur diakibatkan karena tuntutan ekonomi, sehingga masyarakat Lempur melakukan kegiatan konversi hutan menjadi pertanian monokultur kayu manis. Data dan informasi mengenai kondisi kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur dapat dianalisis melalui teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) Mengukur besaran dan laju perubahan penutupan lahan Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) dan (2) Menganalisis penyebab terjadinya perubahan penutupan lahan yang ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Penelitian dilakukan selama 6 bulan, yaitu pada bulan Mei-Oktober 2010. Pengambilan data sosial ekonomi dan cek lapangan (Ground check) dilakukan di Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) pada bulan Juli-Oktober 2010. Data yang dikumpulkan meliputi data spasial berupa peta, citra dan ground control point dan data atribut berupa data kependudukan, data perubahan penutupan lahan dan persepsi masyarakat. Data spasial diolah dengan metode sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. Sedangkan data atribut diolah secara deskriptif kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan yang terjadi.

Penutupan lahan dan penggunaan lahan yang ada di Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur dari tahun 1988-2008 berdasarkan hasil survei dikelompokkan menjadi empat kategori. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut adalah hutan, kebun kayu manis, semak dan lahan terbuka. Tipe penutupan lahan yang mengalami peningkatan luas wilayah dalam jumlah yang paling besar adalah kebun kayu manis. Penutupan lahan kebun kayu manis mengalami peningkatan pada tahun 2008 sebesar 62,06 ha atau 158,18% lebih luas dibandingkan dengan tahun 1988. Tipe penutupan lain yang mengalami peningkatan luas wilayah adalah semak belukar. Penutupan lahan semak belukar ini mengalami peningkatan luas sebesar 3,09 ha atau 28,36% lebih luas dibandingkan dengan tahun 1988. Dalam kurun waktu 1988 sampai 2008, tutupan lahan hutan mengalami penurunan luas wilayah sebesar 57,91 ha atau 12,18% dari luas tahun 1988. Penyebab terjadinya perubahan penutupan lahan yang ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adalah tingginya harga kayu manis, melemahnya pelaksanaan mekanisme adat, jumlah dan kepadatan penduduk serta mata pencaharian

(4)

SUMMARY

FEBRIYANTO KOLANUS. E34063555. Analysis of Land Cover Changes in the Lekuk 50 Tumbi (Lempur) Customary Forest, Kerinci Regency, Jambi Province. Under Supervision of HARYANTO R. PUTRO and LILIK BUDI PRASETYO.

Stability of forest land cover is an important element to maintain the sustainibility of Lekuk 50 Tumbi Lempur Customary Forest conservation. Land cover changes in the area of Lekuk 50 Tumbi Lempur Customary Forest caused by economic demands, so Lempur society perform activities of forest conversion from forest to cinnamon monoculture. Data and information about the condition of Lekuk 50 Tumbi Lempur Customary Forest can be analyzed by Geographic Information System (GIS). Aim of this study is (1) to measure amount and rate of land cover changes of Lekuk 50 Tumbi Lempur Customary Forest and (2) to analyze the causes of land cover changes from social, economic and cultural aspects.

This research carried out for 6 months, during May until October 2010. Social and economic data and ground check, taked and performed on Lekuk 50 Tumbi Lempur Customary Forest during July until October 2010. Data collected include spatial data i.e. maps, Landsat image, and ground control points and attribute data in the form of rural data, land cover change data and society perception. Spatial data is processed using geographical information systems and remote sensing method. While the attribute data was processed descriptive then analyzed qualitatively to determine the impact on land cover change that occurred.

Land cover and land use in the Lekuk 50 Tumbi Lempur Customary Forest from 1988 until 2008 based on the survey are grouped into four categories. Land cover and land uses types are forest, cinnamon monoculture, shrubs and open land. Land cover types that have the increased in the area of greatest number is cinnamon monoculture. In 2008, Cinnamon monoculture cover has increased 62,06 ha or 158,18% wider than 1988. Other cover types that have increased the area is shrubs. The increased of shrub land cover area is 3,09 ha or 28,36% wider than the year 1988. In the period of 1988 until 2008, forest land cover decreased 57,91 hectares or 12,18%. The causes of land cover change in social, economic and cultural community aspects is the price of cinnamon that expensive, the weakening of traditional mechanisms implementation, the number and density of population, and livelihood.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

(6)

Judul Penelitian : Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi Nama : Febriyanto Kolanus

NIM : E34063555

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Haryanto R. Putro, MS. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP. 19600928 195803 1 004 NIP. 19620316 198803 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 12 Februari 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari

pasangan Bapak Hasyim Kolanus dan Ibu Lusiana Arbie. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN 18 Kota Barat (2000), SLTPN 6 Kota Gorontalo (2003) dan MAN Insan Cendekia Gorontalo (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mulai aktif belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2007.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai ketua Biro Sosial Lingkungan periode 2008-2009 dan Ketua Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) pada periode 2008- 2009-2010. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa Barat, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam Kamojang pada tahun 2008. Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional Manupeu Tanadaru pada tahun 2009, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada tahun 2010.

Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” di bawah bimbingan Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi”. Penulis menyadari bahwa terlaksananya

penelitian hingga penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk dukungan moril maupun materiil. penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Orang tua (Bapak Hasyim Kolanus dan Ibu Lusiana Arbie), kakak (Hijriah Kolanus), adik (Moh. Fahri Kolanus) beserta semua anggota keluarga lainnya atas doa dan dukungannya.

2. Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis selama kuliah

4. Seluruh Staf DISHUTBUN Kabupaten Kerinci yang telah membantu saya selama pengambilan data dilapangan.

5. Ibu Neneng Susanti atas seluruh bantuan dan dukungannya selama penelitian.

6. Pak Sarikan atas bantuannya selama pengambilan data dilapangan.

7. Terima kasih kepada Saudara Harry Tri Atmojo dan Reni Lestari yang telah membantu saya selama penelitian.

(9)

10. Seluruh keluarga besar Departemen KSHE terutama KSHE 43

“Cendrawasih” atas bantuan, kebersamaan dan kekeluargaan yang telah terjalin selama ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bogor, April 2011

(10)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, petunjuk, dan hidayah-Nya dalam menyusun skripsi yang berjudul Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” sehingga akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan masukan yang bertujuan untuk memperbaiki skripsi ini sangat diharapkan penulis. Akhir kata penulis hanya dapat berharap semoga karya yang telah dibuat ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang membutuhkan khususnya bagi kemajuan ilmu

pengetahuan kehutanan di Indonesia.

Bogor, April 2011

(11)

DAFTAR ISI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Penetapan Kawasan Hutan Hak Adat ... 17

(12)

iii

5.1 Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur... 24

5.2 Penutupan Lahan di Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ... 29

5.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penutupan lahan... 39

5.4 Pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan adat ... 48

5.5 Pengendalian Perluasan Penggunaan Lahan ... 51

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 52

6.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Tingkat persepsi berdasarkan skala likert ... 14 2. Penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 1988 . 32 3. Penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 2008 . 34 4. Laju degradasi penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi

Lempur tahun 1988 dan 2008 ... 37 5. Perubahan tutupan lahan tahun 1988-2008 ... 37 6. Sejarah perkembangan pembukaan Hutan Alam di Kawasan Hulu

Air Lempur ... 40 7. Pertumbuhan penduduk masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur. ... 43

(14)

v

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alir pembuatan peta rupa bumi digital ... 11

2. Skema tahapan pengolahan citra ... 13

3. Proses analisis perubahan penutupan lahan ... 16

4. Struktur kelembagaan adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ... 21

5. Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan kawasan Lempur ... 25

6. Foto Hutan Adat (a) Hutan Adat Gunung Batuah (b) Hutan Adat Hulu Air Tanjung (c) Hutan Adat Setangis ... 26

7. Peta kawasan Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur ... 27

8. Foto tipe penutupan lahan (a) hutan (b) kebun kayu manis (c) semak (d) lahan terbuka ... 30

9. Gambar citra Landsat (a) hutan (b) kebun kayu manis (c) semak belukar (d) lahan terbuka (e) awan dan bayangan ... 32

10. Peta penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 1988 ... 33

11. Peta penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 2008 ... 35

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Laju deforestasi di Sumatera saat ini sangat tinggi, luas penyusutan tutupan hutan antara tahun 1985-1997 di Sumatera tidak kurang dari 67.000 km2 (FWI/GFW 2001). Menurut Departemen Kehutanan (2005), Provinsi Jambi pada 2002 memiliki tutupan hutan 1.379.600 ha atau 27,05% dari luas provinsi. Jumlah tersebut sangat jauh berkurang dibandingkan luas tutupan hutan pada 1990, yaitu 2.434.556 ha atau 49,97% dari luas propinsi (KKI-WARSI dan BirdLife 2004). Degradasi tutupan hutan ini disebabkan secara umum oleh pembalakan liar skala

besar untuk pasokan industri perkayuan, perluasan areal pertanian, pembukaan lahan untuk perkebunan besar swasta, dan bencana (CIFOR 2008).

Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan terjadinya perubahan luasan kawasan hutan diantaranya adalah pencurian kayu, kebakaran, perkebunan serta perambahan hutan, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini sangat terkait dengan masyarakat, baik yang sekitar kawasan hutan maupun yang di dalam kawasan hutan. Salah satu kawasan yang mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan penutupan lahan yaitu Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). Hal ini diakibatkan karena tuntutan ekonomi, maka masyarakat Lempur melakukan kegiatan konversi hutan menjadi pertanian monokultur kayu manis.

Kestabilan penutupan lahan hutan merupakan unsur penting dalam pelestarian kawasan untuk menjaga kelanjutan konservasi Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi lempur, sehingga penelitian tentang perubahan penutupan lahan pada hutan adat ini sangat penting. Data dan informasi mengenai kondisi kawasan hutan adat terutama perubahan penutupan lahan merupakan hal yang penting karena data tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan mengenai efektivitas dan efisiensi pengelolaan kawasan selama ini dan selanjutnya digunakan untuk dapat mendorong dan merumuskan kebijakan pemerintah untuk pengelolaan Kawasan Hutan Adat Lempur mengingat kawasan hutan adat ini berbatasan langsung

(17)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengukur besaran dan laju perubahan penutupan lahan Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur).

2. Menganalisis penyebab terjadinya perubahan penutupan lahan yang ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

1.3 Manfaat Penelitian

(18)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Masyarakat Adat dan Hutan Adat

Pengertian masyarakat adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional I yang dikemukakan oleh Moniaga (2004) adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan

wilayah sendiri. Menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap), di daerah Sumatera hutan adat dikenal dengan istilah hutan ulayat.

Pembentukan hutan adat ini bertujuan untuk memberikan jaminan jangka panjang ketersediaan air dan pelindung kesuburan tanah pedesaan, memperbaiki kondisi mutu dan fungsi tanah, persediaan kultivar liar tanaman budidaya dan kebutuhan lainnya (tumbuhan obat, tumbuhan ritual), perlindungan keanekaragaman hayati ex-situ serta meningkatkan apresiasi, tanggung jawab sosial dan kejelasan hak pengusahaan dan pengelolaan masyarakat lokal terhadap hutan yang berlanjut, serta membantu pihak pengelola taman nasional dalam mengamankan zona inti TNKS.

2.2Penutupan Lahan, Penggunaan lahan dan Perubahannya

Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand dan Kiefer 1990). Burley (1961) dalam Lo (1995) menyebutkan bahwa penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Secara umum ada tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan, yaitu:

1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.

2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang.

(19)

Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu (Lillesand dan Kiefer 1990). Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh, sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya.

Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer 1990). Lo (1995) menyatakan bahwa deteksi perubahan lahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan di wilayah tertentu dan dari data tersebut penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan. Cambell (1983) dalam Lo (1995) juga menyatakan bahwa peta perubahan penggunaan lahan dua periode waktu biasanya dapat dihasilkan.

2.3 Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan

Skema klasifikasi merupakan rancangan skema penutupan lahan suatu wilayah yang disusun berdasarkan informasi tambahan dari wilayah yang akan

diinterpretasikan. Salah satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan terlihat pada skema klasifikasi (Lo 1995). Kegiatan klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan, ada beberapa

informasi yang tidak dapat diperoleh dari data penginderaan jauh. Informasi mengenai penutupan lahan dapat secara langsung dikenali dari penutupan lahannya. Untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk melengkapi data penutupan lahan.

(20)

5

2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Lahan

Menurut Darmawan (2002), salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar kawasan. Berdasarkan studi Khalil (2009) menyatakan bahwa perubahan penutupan lahan di kawasan Hutan Adat Citorek dipengaruhi oleh terjadinya perubahan sosial-ekonomi masyarakat, tradisi bertani masyarakat kasepuhan dan lunturnya pengetahuan masyarakat mengenai aturan adat khususnya pembagian wewengkon. Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh diantaranya adalah pertambahan penduduk, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian.

Menurut Wijaya (2004), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan di suatu wilayah antara lain pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Masyarakat kabupaten Cianjur sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani. Perubahan penduduk yang bekerja di bidang pertanian ini memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan khususnya lahan

budidaya, yang mengakibatkan kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tingginya tingkat kepadatan

penduduk di suatu wilayah akan mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan-lahan budidaya. Tingginya kepadatan penduduk akan meningkatkan tekanan terhadap hutan. Mata pencaharian penduduk disuatu wilayah berkaitan erat dengan kegiatan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut.

2.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Kawasan Hutan

(21)

bangunan, pakan ternak dan lain-lain serta budaya yaitu kepercayaan, adat istiadat, cerita rakyat dan sebagainya.

Persepsi seseorang tergantung kepada seberapa jauh suatu objek membuka impresi (kesan) bagi seseorang. Persepsi juga melibatkan derajat pengertian kesadaran suatu arti atau suatu penghargaan terhadap suatu objek. Pada proses pembentukannya, terjadinya persepsi dikarenakan pada diri manusia ada suatu keinginan atau kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat dia hidup dan mengetahui makna dari informasi yang diterima. Seseorang bertindak dilandasi oleh persepsi pada suatu situasi walaupun seseorang hanya mendapat bagian-bagian informasi, seseorang tersebut akan dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran menyeluruh dan menjadikannya sebagai dasar untuk melakukan suatu tindakan. Persepsi seseorang terhadap lingkungan mencerminkan cara melihat, kekaguman, kepuasan serta harapan-harapan yang diinginkannya dari lingkungannya (Edmund dan Letey 1973 dalam Surata 1993).

2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Remote Sensing atau penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan

(22)

7

manusia seperti pasar, infrastruktur dan faktor topografik, untuk pengembangan efektif terhadap upaya konservasi hutan tropika.

Penggunaan penginderaan jauh dan SIG dapat juga diintegrasikan dengan berbagai metode untuk mengambil keputusan terhadap penggunaan lahan. Berrios (2004) yang melakukan studi pada DAS Telake, kabupaten pasir, Kalimantan Timur, menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk melihat keadaan penutupan hutan yang sebenarnya. Terdapat perbedaan data antara luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan area penggunaan hutan. Oleh karena itu diperlukan ketegasan terhadap kebijakan penggunaan lahan dan menerapkan pada kondisi nyata.

2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sekumpulan perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data-data geografis dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-updatde, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan semua

bentuk data yang bereferensi geografis (Rind 1992 dalam Prabowo et al. 2005). Menurut Aronoff (1989) sistem informasi geografis adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang

bereferensi geografi (georeference) dalam hal pemasukan data, memanipulasi dan menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan. Gistut (1994) dalam

Prahasta (2005) menjelaskan bahwa SIG merupakan sistem yang kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen yaitu (1) perangkat keras, (2) perangkat lunak, (3) data dan informasi geografi dan (4) manajemen.

(23)
(24)

9

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB untuk kegiatan pengolahan data lapang dan analisis citra, sedangkan untuk pengambilan data sosial ekonomi dan cek lapangan (Ground check) dilakukan di Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur). Penelitian dilakukan selama enam bulan, yaitu pada bulan Mei-Oktober 2010.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan selama penelitian adalah Global Positioning System

(GPS), kamera digital, alat tulis, dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ARC GIS 9.3 serta ERDAS 9.1.

Bahan yang digunakan adalah peta batas Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur), citra Landsat TM tahun 1988 dan tahun 2008, data-data mengenai sosial ekonomi masyarakat, serta data mengenai kebijakan pengelolaan Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur).

3.3 Jenis dan Teknik Pengambilan Data

3.3.1 Data spasial

Data spasial merupakan data yang bersifat keruangan terdiri dari data citra satelit Landsat TM, peta batas Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) dan peta rupa bumi. Data-data tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Institut Pertanian Bogor. Data ini kemudian digunakan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan yang terjadi di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur).

(25)

lapangan ini digunakan sebagai salah satu bahan dalam interpretasi citra satelit Landsat dengan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

3.3.2 Data atribut

Data atribut adalah data yang berbentuk tulisan atau angka-angka, yang membantu dalam menginterpretasikan citra Landsat. Data ini meliputi data kependudukan, data sosial ekonomi masyarakat, dan data pengelolaan serta penggunaan lahan. Data kependudukan terdiri atas jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, mata pencaharian, pendidikan dan angkatan kerja diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kerinci.

Pengumpulan data mengenai sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan serta penggunaan lahan dilakukan melalui wawancara dengan masyarakat. Data ini dibutuhkan dalam menganalisis tata cara penggunaan lahan oleh masyarakat khususnya pengelolaan hutan. Pengambilan data melalui wawancara menggunakan kuesioner juga dilakukan untuk memperoleh data mengenai persepsi masyarakat dalam mengelola hutan. Jumlah sampel responden yang diambil berdasarkan rumus Slovin (Santoso dalam Khalil 2009), yaitu:

Keterangan:

n : Jumlah sampel yang diinginkan N : Jumlah populasi sampel

e : Tingkat kesalahan yaitu 10%

3.4 Metode Analisis Penutupan Lahan

3.4.1 Pembuatan peta digital

Data-data spasial yang telah dikumpulkan sebelumnya (berupa data analog) dikonversi ke dalam bentuk digital dengan menggunakan scanner dan seperangkat komputer dengan software Arc View. Data digital ini selanjutnya dipergunakan sebagai data acuan koreksi geometrik pada pengolahan citra. Tahapan pemasukan data dapat dilihat pada Gambar 1.

N n =

(26)

11

Gambar 1 Bagan alir pembuatan peta rupa bumi digital.

3.4.2 Pengolahan Data Citra

1. Koreksi Data Citra

Data citra yang diperoleh, harus dilakukan koreksi terlebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Koreksi data citra yang dilakukan adalah koreksi geometrik. Koreksi geometrik dilakukan karena adanya pergeseran koordinat, sehingga perlu dilakukan pembetulan data citra. Koreksi geometrik bertujuan agar posisi titik-titik (pixel) pada citra sesuai dengan posisi titik-titik-titik-titik geografi di permukaan bumi. Posisi ini adalah kedudukan geografis daerah yang terekam pada citra.

Kegiatan yang pertama dilakukan saat melakukan koreksi geometrik adalah penentuan tipe proyeksi dan koordinat yang digunakan. Tipe proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografik. Tahap selanjutnya adalah koreksi distorsi yang dilakukan melalui penentuan titik ikat medan yang ditempatkan sesuai dengan koordinat citra dan koordinat peta. Setelah itu, dilakukan resampling citra

Peta Rupa Bumi

Digitasi Peta

Editing Peta

Pemberian Label

Transformasi Koordinat

(27)

mengunakan pendekatan metode tetangga terdekat (nearest neighbour).

Resampling citra merupakan proses transformasi citra dengan memberikan nilai pixel citra terkoreksi.

2. Pemotongan data citra (subset image)

Pemotongan data citra bertujuan untuk menetukan batas wilayah yang akan diteliti. Pemotongan dilakukan dengan memotong data citra yang sudah terkoreksi untuk mendapatkan wilayah lokasi penelitian.

3. Klasifikasi data citra

Klasifikasi data citra merupakan kegiatan untuk menentukan kelas-kelas yang terdapat pada data citra. Kelas-kelas tersebut menunjukkan kategori-kategori lahan dan didasarkan pada warna yang tampak dalam data citra. Klasifikasi dilakukan dengan cara mengelompokkan warna yang sama pada citra ke dalam kelas-kelas tertentu. Kegiatan klasifikasi terbagi atas dua tahap yaitu klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dan klasifikasi citra terbimbing (supervised).

Klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan sebelum pengambilan data di lapangan (ground cek). Penentuan kelas-kelas tidak

didefinisikan sendiri, dan peta hasil klasifikasi ini dapat dijadikan acuan saat pengambilan data di lapangan.

Klasifikasi citra terbimbing (supervised clasification), merupakan kegiatan

klasifikasi kelas-kelas citra yang didefinisikan sendiri. Pendefinisian ini didasarkan pada data lapangan yang telah diperoleh berupa titik-titik koordinat yang ditandai dengan GPS. Kelas-kelas yang didefinisikan menunjukkan jenis penutupan lahan yang ada di lapangan. Hasil dari klasifikasi citra ini adalah peta penutupan lahan.

(28)

13

Gambar 2 Skema tahapan pengolahan citra.

4.3 Analisis perubahan lahan

Analisis perubahan lahan dilakukan dengan membandingkan peta perubahan lahan tahun 1988 dan 2008. Ketiga peta tersebut dioverlay, sehingga diketahui perubahan penutupan lahan yang terjadi pada tahun 1988-2008. Perubahan penutupan lahan pada kurun waktu tersebut dianalisis melalui rumus

(29)

N2 - N1

V = x100% N1

Keterangan:

V : Laju perubahan (%)

N1 : Luas penutupan lahan tahun pertama (ha) N2 : Luas penutupan lahan tahun kedua (ha)

3.4.4 Pengolahan data atribut

Data atribut diperlukan dalam menganalisis faktor-faktor perubahan lahan yang terjadi. Data atribut yang diperlukan adalah data kependudukan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan, serta tata cara penggunaan lahan oleh masyarakat. Data ini kemudian dianalisis secara deskriptif, sehingga diketahui keterkaitan antara pola penggunaan lahan oleh masyarakat dengan perubahan penutupan lahan yang terjadi. Data atribut lainnya adalah persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan pengelolaan hutan tanaman.

Analisis data ini dilakukan melalui analisis deskriptif berdasarkan hasil kuesioner yang diperoleh. Penyajian data secara deskriptif digunakan untuk menjelaskan tanggapan dan tingkat persepsi responden. Tingkat persepsi diperoleh melalui nilai tanggapan yang diberikan oleh responden. Penentuan nilai tanggapan dilakukan menggunakan skala Likert. Masing-masing tanggapan (sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju) secara berturut-turut bernilai 5,4,3,2 dan 1 (Singarimbun dan Effendi 1989 dalam

Gunawan 1999). Nilai pernyataan ini kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah pernyataan yang tersedia. Interval nilai tanggapan untuk setiap persepsi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Tingkat persepsi berdasarkan skala likert

No. Interval nilai tanggapan Tingkat persepsi

1. 4,00-5,00 tinggi

2. 3,00-3,99 sedang

3. 1,00-2,99 rendah

Analisis deskriptif juga menjelaskan nilai persentase tanggapan responden. Nilai persentase ini didasarkan pada jumlah responden. Nilai

(30)

15

persentase diperoleh dengan cara membagi jumlah responden berdasarkan tingkat tanggapannya dengan keseluruhan jumlah responden. Berdasarkan data-data yang diperoleh mengenai pengelolaan dan penggunaan lahan oleh masyarakat, maka dapat dianalisis bentuk-bentuk lahan yang sering digunakan oleh masyarakat terkait dengan kondisi sosial ekonomi. Analisis ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan sehingga dapat diketahui perluasan lahan yang mungkin terjadi.

3.4.5 Analisis data atribut

Data atribut yang telah diolah kemudian dibandingkan untuk mengetahui perubahan sosial-ekonomi yang terjadi selama kurun waktu tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi kemungkinan dapat dijadikan acuan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan pada kawasan tersebut. Selain mengacu pada perubahan sosial ekonomi masyarakat juga dilakukan juga analisis terhadap pola bercocok tanam dan pengetahuan masyarakat terhadap peraturan adat yang berlaku secara kualitatif untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan yang terjadi. Uraian analisis perubahan penutupan

(31)

Gambar 3 Proses analisis perubahan penutupan lahan.

Peta Penutupan Lahan tahun 1988 dan 2008

Data Atribut Tahun 1988 dan 2008

Perubahan Penutupan Lahan

Perubahan Sosial ekonomi

Overlay Pembanding

Analisis Kualitatif Perubahan Penutupan

lahan

Faktor-faktor Perubahan Penutupan

lahan

(32)

17

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Penetapan Kawasan Hutan Hak Adat

Kabupaten Kerinci yang terletak di lembah pegunungan Bukit Barisan memiliki luas wilayah 420.000 hektar dan berpenduduk 307.585 jiwa merupakan salah satu daerah yang masuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dimana 51,19 % atau 215.000 ha menjadi hutan lindung dan hutan konservasi TNKS. Kabupaten Kerinci sebagai daerah konservasi, mendukung upaya pelestarian keanekaragaman hayati, lingkungan hidup dan sumberdaya alam termasuk pengakuan terhadap keberadaan dan status kawasan hutan adat atau

kawasan kelola rakyat.

4.2 Sejarah Hutan Hak Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur)

Hutan hak adat di daerah Hulu Air Lempur (yang dikenal dengan Hutan Hak Adat Lempur) termasuk dalam wilayah lingkungan Kerapatan Adat Alam Lekuk 50 Tumbi Lempur dengan luas 858,3 ha. Hutan Hak Adat Lempur dikukuhkan dengan SK Bupati TK II Kerinci No. 96/1994 tanggal 10 Mei 1994. Pengelolaan Hutan Hak Adat Lempur dilakukan oleh Perwalian Masyarakat Adat Desa Lembaga Kerja Tetap Daerah Hulu Air Lempur.

Hutan Hak Adat 50 Tumbi (Lempur) ini dikelola oleh Perwalian Masyarakat Adat Desa Lembaga Kerja Tetap Daerah Hulu Air Lempur meliputi:

a. Desa Lempur Hilir, b. Desa Lempur Mudik,

c. Desa Dusun Baru Lempur dan d. Desa Lempur Tengah.

(33)

4.3 Topografi

Secara administratif pemerintahan, wilayah sub-daerah aliran Sungai Lempur terletak di Kecamatan Gunung Raya, di sebelah barat laut berbatasan dengan Kecamatan Danau Kerinci, ke arah tenggara berbatasan dengan Kecamatan Jangkat Kabupaten Sarko. Penampakan bentang alam Lempur dibagi atas tiga tipologi yaitu rawa atau dataran lembah, perbukitan dan pengunungan. Curah hujan tahunan sangat tinggi berkisar 2.500-3.000 mm. Tingginya curah hujan ini menjadikan daerah Lempur penting artinya sebagai daerah tangkapan air untuk daerah dibawahnya.

Wilayah rawa bergambut dataran tinggi sebagian besar penyebarannya terletak di bagian utara. Sebagian besar wilayah rawa dimanfaatkan masyarakat untuk daerah persawahan dan pada bagian lain masih ditemukan habitat hutan rawa gambut yang masih utuh. Wilayah dataran dimanfaatkan untuk pemukiman, sarana jalan, perladangan dan persawahan. Tipologi bentang alam tersebut merupakan retarder. Retarder adalah kawasan yang berfungsi sebagai penampung kelebihan air yang mengalir dari bagian perbukitan dan pegunungan dan air hujan.

Pada musim penghujan fungsi rawa disini berperan sebagai penampung luapan air sungai yang datang dari hulu sungai Air Hitam, Air Rasau, Air Abang, Air Lempur dan Air Kesen. Mengingat kapasitas rawa terhadap luapan air sangat

terbatas, maka perubahan ekosistem rawa memiliki konsekuensi rentan terhadap bahaya banjir dan kekeringan. Wilayah perbukitan penyebarannya tidak teratur, bukit-bukit mempunyai ketinggian 1.000-1.200 m dpl tersebar mengitari wilayah rawa dan dataran lembah. Satu sama lain bukit-bukit ini dipisahkan lembah berbentuk V yang curam. Lembah ini terdapat pada bagian tengah agak ke timur yaitu di antara Bukit Sarangtapai dengan Gunung Kemulau. Lembah-lembah curam dijumpai di sekitar Gunung Batuah, Gunung Setangis dan Gunung Kunyit. Wilayah perbukitan sudah sejak dahulu dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat seperti kebun kulit manis dan kebun campuran lainnya.

(34)

19

sumber-sumber panas bumi (solfatara) serta pola penyebaran danau yang membentuk suatu basin atau cekungan menandakan bahwa daerah tersebut terbentuk karena proses pengangkatan tenaga endogen.

Daerah Lempur merupakan salah satu bagian jalur Patahan Semangko yang memanjang dari arah tenggara hingga ke arah barat laut sepanjang Pulau Sumatera. Wilayah patahan ini sangat labil terhadap gempa baik berupa gempa tektonik maupun terhadap longsoran batuan atau lapisan tanah. Secara terperinci Lempur terbagi atas dua jalur patahan yaitu Patahan Dikit dan Patahan Siulak.

Patahan Dikit memanjang dari arah tenggara hingga barat daya, terutama bagian barat patahan ini membentuk garis lurus yang melewati Gunung Kunyit. Jalur patahan ini jika dikaji lebih mendalam bisa dikategorikan patahan besar yang relatif sangat rawan terhadap tektonik dan longsoran. Di bagian timur menyebar jalur-jalur patahan kecil yang juga memanjang dari arah tenggara sampai ke barat daya. Patahan Siulak penyebarannya meliputi bagian timur laut, jalur patahan ini pengaruhnya tidak terlalu besar untuk terhadap daerah Lempur.

Berdasarkan hasil interpretasi pemetaan bentang alam seluas 40.000 ha,

maka daerah Lempur terbagi dalam 8 (delapan) bagian daerah aliran sungai yaitu Lempur (30,9%), Jujun (6,9%), Sungai Kunyit (5,5 %), Ulu Jernih (3,9%) dan Batang Kemumu (3,1%). Tipologi penggunaan lahan dalam daerah aliran sungai

cakupan kawasan Lempur meliputi hutan primer atau sekunder (84,1%), kebun atau pertanian lahan kering (12,3 %), sawah (3,3 %) dan danau atau rawa (0,3 %), sedangkan tipologi penggunaan tanah khusus di Daerah Hulu Air Lempur yang memiliki total luas 1.964,4 ha meliputi daerah aliran sungai lempur seluas 1.553,9 ha (79%) dan daerah aliran sungai Manjunto seluas 412,5 ha. Kawasan Hutan Hak Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan ketinggian 500 sampai 2.505 mdpl. Lokasi tertinggi dapat dijumpai di Hutan Hak Adat Gunung Batuah, dengan derajat kemiringan antara 100-850.

4.4 Potensi Hutan Hak Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur)

(35)

subavenium). Hutan Hak Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur) ini memiliki potensi yang terdiri dari:

1. Tumbuhan, yaitu paku resam, Bambusa sp, Ardisia sp, Syzygium sp, dan ficus

sp. Terdapat juga jenis tanaman obat-obatan, misalnya selasih gunung, kudo bawah, anggrek jambu, kap simpai, rukam, bintungan, pulut-pulut dan paku jantan. Jenis kayu yang digunakan untuk bahan bangunan seperti surian, kayu apit dan kayu bayo.

2. Hutan hak adat sebagai tempat rekreasi atau obyek wisata.

4.5 Struktur dan Mekanisme Kerja Adat Lempur

Pemimpin adat dari keseluruhan masyarakat adalah seorang Depati Agung, namun dalam memutuskan segala sesuatu tetap berdasarkan hasil musyawarah. Pemimpin yang berperan penting ada tiga orang yaitu Depati Agung, Depati Suko Berajo dan Depati Anum. Ketiga pemuka adat ini dibantu oleh depati-depati dan ninik mamak yang dikenal dengan istilah “ Depati Nan Sepuluh dan Ninik Mamak Nan Berenam” (Gambar 5). Secara adat, tanggung jawab para depati cukup berat. Penentuan jabatan dilakukan secara adat bukan berdasarkan periode waktu, tetapi berdasarkan kesanggupan individu itu sendiri sehingga dapat menyandang gelar seumur hidupnya tetapi dapat pula mengundurkan diri bila tidak sanggup lagi.

Kata kunci bagi adat istiadat Lempur adalah “dimana ada adat disitu ada teliti”. Kata teliti menandakan adanya kebiasaan berfikir dan masyarakat menghargai pendidikan. Manajemen pelaksanaan tugas masing-masing depati cukup baik, seperti Depati Agung bergerak di bidang pemerintahan, Depati Anom bergerak di bidang peraturan dan hukum dan Depati Suko Barajo bergerak di bidang ekonomi.

(36)

21

Gambar 4 Struktur kelembagaan adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

Kebiasaan bermusyawarah sangat kuat di daerah ini, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan keputusan bersama sesama pemuka adat. Hal ini juga dapat diperhatikan dari kebiasaan masyarakat dari golongan atas sampai bawah, yang senang berbincang-bincang di warung pada pagi dan sore hari. Selain pemerintahan desa dan lembaga adat, lembaga-lembaga hukum yang terdapat pada tingkat desa adalah lembaga dapur, lembaga kurung, lembaga adat dan lemabaga alam. Lembaga kurung dipimpin oleh nenek-mamak yang meliputi kumpulan kaum atau perut, lembaga dapur dipimpin oleh tengganai yang terdiri dari kumpulan tumbi, lembaga adat dipimpin oleh para depati yang merupakan lembaga hukum tertinggi yang sekarang dikenal dengan nama pengadilan negeri. Mekanisme lainnya adalah kelompok yang tidak mempunyai otoritas politik (adat) tetapi turut akses dalam pembangungan desa yaitu para pengumpul dan penyalur

(37)

segan-segan membelanjakan uang untuk kebutuhan fisik umum itu, karena itu juga berkaitan dengan prestise mereka dimata masyarakat.

Kelompok wanita jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Padahal jumlah mereka lebih banyak dan hampir lebih dari separuh kegiatan pertanian yang dilakukan dalam kelompok ini. Pada dasarnya „sistem pemerintahan adat tradisional‟ untuk mengatur serta mengarahkan kebijakan pembangunan dengan mekanisme kerja sesuai dengan tanggung jawab dalam pembagian kerjanya, telah ada dan berjalan sejak dulu. Sistem pemerintahan adat tradisional yang ada, secara tidak langsung menerapkan pembagian tugas legislatif dan eksekutif yang layaknya dalam praktek sistem pemerintahan modern sekarang. Oleh karenanya dominasi lembaga adat sengat berperan besar, jika dibandingkan dengan kekuasaan lembaga pemerintahan desa yang ada. Posisi lembaga adat desa merupakan media tunggal dan menjadi sangat strategis sebagai forum sentral untuk menentukan kebijakan pembangunan desa. Implikasinya dengan bergesernya nilai budaya adat kini, menjadi hambatan terbesar dan paling dasar dalam menentukan masa depan kebijakan pembangunan desa. Persoalan lain

yang cukup serius untuk segera diantisipasi adalah faktor status sosial ekonomi masyarakat yang berjalan sangat kompetitif yang berdampak negatif.

Pengendalian dan atau mengangkat kembali nilai-nilai budaya adat yang

(38)

23

4.6 Tata Cara Pembukaan Lahan Pertanian

Status para depati masih kuat dalam menjalankan mekanisme adat, cara mendapatkan lahan di kawasan Lempur tidaklah sulit. Seseorang yang bermaksud merintis lahan baru dalam desa-desa di Lempur, cukup dengan melemparkannya dalam musyawarah pemuka adat untuk kemudian ditetapkan lokasi lahan dengan cara “ajun arah”. Ajun arah ini merupakan hak pakai dalam dusun atas tanah yang diberi oleh para depati ninik mamak sehingga masyarakat boleh memakai tanah tersebut selama tanah tersebut masih digunakan baik untuk berladang atau bertani. Status tanah tersebut jika tidak dimanfaatkan lagi atau tidak sanggup dikelola lagi maka hak pakainya habis sehingga tanah arah tersebut kembali kepada raja yaitu para depati atau ninik mamak. Hak pakai tanah kemudian akan diberikan kepada siapa yang memintanya dengan mengisi persyaratan menurut adat.

Menurut Adat Lekuk 50 Tumbi jika ada orang luar atau bukan penduduk asli ingin membuka lahan di Kawasan Lempur, maka harus memenuhi syarat terlebih dahulu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pendatang untuk membuka hutan adalah:

1. Harus memiliki ijin dari depati atau ninik mamak,

2. Jika Pendatang ingin mengambil atau menebang kayu-kayu di hutan maka harus membayar bungo kayu (pajak yang harus ditarik dari sejumlah kayu yang ditebang) kepada depati atau ninik mamak,

3. Harus mematuhi seko (aturan adat, badan peradilan adat dan uang adat) dan 4. Mengindahkan semua ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di daerah

(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi (Lempur)

Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang

harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi merupakan kawasan hutan desa yang terdapat di dalam Kawasan Hulu Air Lempur. Kawasan Hulu Air Lempur dalam terminologi masyarakat Lempur dikenal dengan istilah imbo larangan. Imbo larangan merupakan kawasan hutan yang harus dilindungi secara turun temurun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan depati, perlindungan Kawasan Hulu Air Lempur dikarenakan kawasan hulu menjadi penyimpan dan distributor air ke hilir untuk keperluan pertanian, industri dan pemukiman. Kerusakan tutupan hutan di daerah hulu, akibat penebangan, pembukaan ladang dan kebun kayu manis akan menjadi ancaman bagi daerah hilir, karena air hujan yang turun akan menjadi air permukaan dan mengalir ke sungai, tidak ada yang diresapkan karena hutan sebagai daerah resapan sudah tidak ada lagi. Ancaman banjir adalah hal yang takkan terelakkan, karena kawasan hulu juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis dengan hilir.

Menurut PP Menhut No. 50 Tahun 2009 tentang penegasan status dan fungsi kawasan hutan dinyatakan bahwa sebagian besar kawasan Lempur termasuk ke dalam kategori Areal Penggunaan Lain (APL) artinya areal yang fungsinya bukan untuk kawasan hutan (Gambar 5). Hanya Kawasan Hutan Adat Gunung Batuah yang sebagian besar wilayahnya termasuk dalam kategori kawasan pelestarian alam. Oleh karena itu kawasan hutan desa yang ada di kawasan Lempur berdasarkan fungsinya dapat dirubah baik menjadi kawasan

(40)

25

Gambar 5 Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan kawasan Lempur.

(41)

5.1.1 Pembagian Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi

Kawasan Hutan Adat lekuk 50 Tumbi terbagi menjadi 3 hutan adat yaitu Hutan Adat Gunung Batuah, Hutan Adat Bukit Setangis dan Hutan Adat Hulu Air Tanjung (Gambar 6). Hutan Adat Gunung Batuah dan Hutan Adat Hulu Air Tanjung terletak di dalam Kawasan Hulu Air Lempur, sementara itu Hutan Adat Bukit Setanggis teletak di luar Kawasan Hulu Air Lempur (Gambar 7). Sebagian besar masing-masing kawasan hutan adat dikelilingi oleh pertanian monokultur yaitu kayu manis.

(a) (b)

(c)

Gambar 6 (a) Hutan Adat Gunung Batuah; (b) Hutan Adat Hulu Air Tanjung; (c) Hutan Adat Bukit Setangis.

Berdasarkan tata ruang Kawasan Hulu Air Lempur yang dilakukan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, masing-masing hutan adat yang termasuk dalam Kawasan Hulu Air Lempur dikategorikan sesuai dengan fungsinya. Contohnya sebagai kawasan hutan adat

(42)

27

Gambar 7 Peta kawasan Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

Sumber Peta: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci

(43)

1. Hutan Adat Gunung Batuah

Sesuai dengan namanya, Hutan Adat Gunung Batuah merupakan daerah hutan yang berbatu-batu dengan lubang-lubang besar, memungkinkan orang yang melewatinya terperosok masuk ke dalamnya. Kondisi lahan seperti ini sangat menyulitkan dalam penjelajahan. Semakin tinggi jalur pendakian maka lubang dan batu yang dijumpai semakin berbahaya. Hutan adat ini mempunyai area terluas dibanding Hutan Adat Bukit Setangis dan Hutan Adat Bukit Kemulau. Hutan adat ini memiliki luas 552 ha atau 74,3% dari luas total Hutan Adat lekuk 50 Tumbi Lempur. Berdasarkan tata ruang, Kawasan Hulu Air Lempur dikategorikan sebagai kawasan rawan bencana, kawasan sekitar mata air, kawasan sekitar danau, kawasan sabuk hijau, kawasan koridor lintas satwa liar dan kawasan pengungsian satwa dan kantong sumber daya genetika. Hutan Adat Gunung Batuah adalah satu-satunya kawasan Hutan Adat lekuk 50 Tumbi Lempur yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Hutan Adat Gunung Batuah mengairi 7 danau (D. Lingkat, D. Nyalo, D. Duo, D. Kecil, D. Kaco, D. Kipon dan D. Inai) yang berada disekitarnya.

2. Hutan Adat Hulu Air Tanjung

Hutan Adat Hulu Air Tanjung merupakan bagian hutan adat yang memiliki luas tertinggi kedua setelah Hutan Adat Gunung Batuah. Hutan adat ini

(44)

29

3. Hutan Adat Bukit Setangis

Hutan Adat Bukit Setangis merupakan bagian hutan adat yang memiliki luasan terkecil dibandingkan bagian hutan adat yang lain. Hutan adat ini memiliki luas 29 ha atau 3,9% dari luas total hutan adat. Hutan Adat Bukit Setangis merupakan hutan yang didominasi oleh jenis-jenis bambu di bagian lerengnya dan rotan di bagian puncaknya. Hutan adat ini terdapat batu-batu yang sangat besar dan tekstur tanahnya sangat gembur sehingga sangat mudah longsor. Sudut kemiringannya mencapai 850. Bukit Setangis merupakan satu-satunya bagian dari Hutan Adat Lempur yang berada di luar Kawasan Hulu Air Lempur. Berdasarkan penataan ruang kawasan, Bukit Setangis dikategorikan sebagai daerah rawan bencana (gempa dan longsor), kawasan hutan adat desa, serta menjadi koridor satwa liar. Oleh karena itu, Bukit Setangis di masukkan ke dalam kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

5.2 Penutupan Lahan di Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur

5.2.1 Penutupan dan penggunaan lahan oleh masyarakat Lempur

Penutupan lahan dan penggunaan lahan yang ada di Kawasan Lempur berdasarkan hasil survei dikelompokkan menjadi empat kategori. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut adalah hutan, kebun kayu manis, semak dan lahan

terbuka. Penutupan dan penggunaan lahan di Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi disajikan pada Gambar 8.

(45)

(c) (d)

Gambar 8 (a) Hutan; (b) Kebun Kayu Manis; (c) Semak; (d) Lahan Terbuka.

Sebagian besar Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur dikelilingi oleh perkebunan yang didominasi oleh tanaman kayu manis. Menurut dokumen Rancang Bangun Restrukturisasi dan Deregulasi Pengelolaan Sumber Alam Pedesaan dan Kawasan Lindung Daerah Hulu Air Lempur sekitarnya dan TNKS tahun 1993, diterangkan bahwa luas perkebunan monokultur di dalam daerah Hulu Air Lempur atau di luar daerah TNKS mencakup areal 1,344 ha dan yang ditanami kulit manis sebesar 1,194 ha (88,9%). Akibatnya kondisi bentang alam kawasan ini dikategorikan sebagai kawasan rawan bencana, seperti gempa patahan, longsor, kekeringan dan laju kemerosotan sumberdaya alam hayati yang tinggi. Hal ini sesuai dengan studi Soerianegara dan Indrawan(1988) dalam

Kasim (1990) bahwa pembukaan lahan hutan baik untuk perladangan maupun untuk pemukiman akan mengganggu ekosistem hutan dan merubah keanekargaman jenis dan struktur vegetasi.

(46)

31

5.2.2 Klasifikasi penutupan lahan

Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan vegetasi dan penggunaan ruang yang ada di permukaan bumi. Salah satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan pemetaan penggunaan dan penutupan lahan terletak pada skema pemilihan klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu (Lo 1995). Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di dalam menjelaskan setiap kategori penggunaan dan penutupan lahan. Oleh karena itu pada penelitian ini menggunakan teknik pengindraan jauh dengan sumber data berasal dari citra Landsat tahun 1988 dan tahun 2008. Berdasarkan data citra Landsat (tahun 1988 dan 2008), penutupan lahan di kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur diklasifikasi dalam lima kelas klasifikasi dimana satu kelas diantaranya merupakan kelas tanpa nilai (tidak ada data). Kelas klasifikasi tersebut hutan, kebun campuran (kayu manis), semak belukar, lahan terbuka dan tidak ada data (awan dan bayangan awan).

Hutan adalah seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan. Pada citra Landsat kombinasi band 5,4,3, hutan berwarna hijau gelap

sampai dengan agak terang dengan tekstir agak kasar. Kebun kayu manis adalah seluruh kenampakan hamparan kebun kayu manis. Pada daerah-daerah tertentu, di bawah tegakan kayu manis ditumbuhi semak belukar. Pada citra Landsat

kombinasi band 5,4,3, berwarna hijau terang kekuningan, dengan teksur agak kasar sampai dengan halus (karena homogenitasnya).

Semak belukar adalah seluruh kenampakan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi) namun belum atau tidak optimal, atau lahan kering dengan liputan pohon jarang (alami) atau lahan kering dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Pada citra Landsat kombinasi band 5,4,3, berwarna hijau terang sampai dengan sangat terang, bercampur atau berbercak kekuningan dan kemerahan, dengan teksur kasar sampai dengan agak kasar, biasanya dekat dengan aktivitas manusia (baik permanen atau temporer).

(47)

data adalah kenampakan awan dan bayangannya yang menutupi lahan suatu kawasan. Kenampakan penutupan lahan yang ditangkap oleh citra Landsat disajikan dalam bentuk seperti dalam Gambar 9.

Gambar 9 Gambar Citra Landsat (a) Hutan; (b) Kebun Kayu Manis; (c) Semak

Belukar; (d) Lahan Terbuka; (e) Awan dan Bayangan

5.2.3 Penutupan lahan tahun 1988

Berikut ini akan disajikan tipe penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 1988 berikut dengan luasnya. Data disajikan dalam bentuk tabel seperti dalam Tabel 2, untuk memudahkan melakukan analisis penutupan lahan tahun 1988.

Tabel 2 Penutupan lahan di Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 1988

No Penutupan Lahan

HA. Bukit Setangis

HA. Gunung Batuah

HA. Hulu Air

Tanjung Jumlah Ha % Ha % Ha % Ha % 1 Hutan 20,63 72,57 395,81 72,45 58,89 37,05 475,33 64,78 2 Kebun kayu

manis 2,27 8,00 22,42 4,10 14,54 9,15 39,23 5,35 3 Semak belukar 5,52 19,43 3,90 0,71 1,46 0,92 10,88 1,48 4 Tidak ada data 0,00 0,00 124,19 22,73 84,07 52,89 208,26 28,38 Jumlah 28,43 100,00 546,32 100,00 158,96 100,00 733,71 100,00

Overall Accuracy = 85

(a) (b) (c)

(48)

33

Gambar 10 Peta penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 1988

(49)

Berdasarkan interpretasi citra Landsat TM tahun 1988, tipe penutupan lahan yang terluas adalah hutan dengan luas 475,33 ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 64%. Seluruh kawasan hutan berada pada punggung sampai puncak bukit atau gunung dan memiliki topografi yang sulit. Sebagian besar hutan di kawasan Lempur dikelilingi oleh kebun kayu manis. Masyarakat menyebut hutan ini sebagai kawasan hulu air karena menjadi sumber air bagi kehidupan mereka. Tipe penutupan lahan terluas kedua yaitu tidak ada data. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra. Tidak ada data merupakan gabungan dari awan dan bayangannya.

Kebun kayu manis merupakan penutupan lahan yang wilayahnya paling luas ketiga. Adapun luasnya sebesar 39,23 ha atau bila dipersentasikan sebesar 5,35%. Sebagian besar masyarakat lempur memiliki kebun kayu manis yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu kayu manis menjadi hasil perkebunan utama di kawasan Lempur. Tipe penutupan lahan terluas keempat adalah semak belukar. Semak belukar merupakan lahan berupa rumput, ilalang atau tumbuhan bawah yang tumbuh dilahan bekas garapan tanaman kayu manis.

Semak belukar ini tumbuh bersamaan dengan anakan kayu manis.

5.2.4 Penutupan lahan tahun 2008

Berikut ini akan disajikan tipe penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 2008 berikut dengan luasnya. Data disajikan dalam bentuk tabel seperti Tabel 3, untuk memudahkan melakukan analisis penutupan lahan tahun 2008.

Tabel 3 Penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 2008

(50)

35

Gambar 11 Peta penutupan lahan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur tahun 2008.

(51)

Berdasarkan interpretasi citra Landsat ETM tahun 2008, tipe penutupan lahan terluas adalah hutan. Adapun luas penutupan lahan hutan adalah 417,42 ha atau menempati 56,12% dari luas total kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Bagian hutan adat yang memiliki penutupan lahan hutan terluas dibandingkan dengan bagian hutan adat lainnya adalah HA Gunung Batuah yaitu seluas 342,93 ha dan bagian hutan adat yang mempunyai penutupan lahan hutan tersempit adalah HA Bukit Setangis dengan luas 19,01 ha. Sementara itu tipe penutupan lahan terluas kedua yaitu tidak ada data. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra.

Kebun kayu manis merupakan tipe penutupan lahan yang memiliki luas terbesar ketiga. Adapun luasnya adalah 101,29 ha atau menempati 13,62% dari luas total hutan adat. Bagian hutan adat yang memiliki penutupan lahan kebun campuran terluas dibandingkan dengan bagian hutan adat lainnya adalah HA Gunung Batuah yaitu seluas 72,29 ha dan bagian hutan adat yang mempunyai penutupan lahan hutan paling kecil adalah HA Bukit Setangis dengan luas 9,99 ha.

Tipe penutupan lahan terluas keempat adalah semak belukar. Adapun luasnya adalah 13,97 ha atau menempati 1,88% dari luas total hutan adat. Sebagian besar semak belukar ini tumbuh dilahan bekas kebun kayu manis yang

telah dipanen. Tipe penutupan lahan berikutnya yaitu lahan terbuka. Lahan terbuka ini terdapat pada kebun kayu manis yang baru dipanen. Masyarakat akan membiarkan lahan tersebut terbuka, setelah kayu manisnya dipanen, hingga tumbuh semak belukar serta tumbuh anakan tanaman kayu manis yang muncul dari tunggak induknya.

5.2.5 Perubahan penutupan lahan

(52)

37

Tipe penutupan lahan yang mengalami peningkatan luas wilayah dalam jumlah yang paling besar adalah kebun kayu manis. Penutupan lahan kebun kayu manis mengalami peningkatan pada tahun 2008 sebesar 62,06 ha atau 158,18% lebih luas dibandingkan dengan tahun 1988. Peningkatan kebun kayu manis ini terjadi karena tuntutan ekonomi dimana masyarakat lempur yang melakukan kegiatan pembukaan hutan untuk dijadikan kebun kayu manis.

Tabel 5 Perubahan tutupan lahan tahun 1988-2008

No 1988

2008

Hutan Kebun kayu manis Semak

belukar Lahan terbuka Tidak ada data

1 Hutan 391 66,5 9,4 1,86 6,417

2 Kebun kayu manis 12,99 22,7 3 0,08 0,32

3 Semak belukar 2,2 7,7 0,5 0,24 0,162

4 Tidak ada data 10,722 4,3 0,89 0,00 0,00

Luas Total 417 101 14 2,18

(53)

Pada kurun waktu 1988 sampai 2008, tutupan lahan hutan mengalami penurunan luas wilayah sebesar 58 ha atau 12,21% dari luas tahun 1988. Tutupan hutan sebagian besar berubah menjadi kebun kayu manis, semak belukar dan lahan terbuka berturut-turut sebesar 66,5 ha, 9,4 ha dan 1,86 ha (Tabel 5). Tutupan lahan hutan juga mengalami peningkatan luas wilayah sebesar 25,91 ha. Peningkatan luasan kawasan hutan berasal dari perubahan tutupan kebun kayu manis yang ditanam dengan tanaman kehutanan sehingga berubah menjadi hutan. Berdasarkan hasil wawancara, peningkatan hutan ini karena masyarakat mendapatkan bantuan bibit tanaman seperti surian dari pihak TNKS untuk ditanam di daerah hulu air. Hutan ini merupakan hak milik masyarakat dan bebas digarap oleh pemilik lahannya. Karena tuntutan ekonomi, masyarakat yang mempunyai tanah dalam Kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur membuka hutan tersebut untuk dijadikan kebun kayu manis.

Pembagian hutan berdasarkan status dan fungsi kawasan hutan dimana Hutan Adat Bukit Setanggis dan Hutan Adat Bukit Kemulau termasuk dalam kategori Areal Penggunaan Lain (APL) memiliki laju perubahan penutupan lahan

lebih tinggi dibandingkan Hutan Adat Gunung Batuah yang termasuk dalam Kategori Kawasan Lindung. Hal ini disebabkan karena lokasi Hutan Adat Bukit Setanggis dan Hutan Adat Bukit Kemulau lebih dekat dengan pemukiman

masyarakat. Lokasi ini juga memiliki akses yang mudah dibandingkan dengan Hutan Adat Gunung Batuah. Berdasarkan hasil survei, di hutan adat ini banyak ditemukan bekas-bekas tebangan liar oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara, di hutan adat ini sering diambil kayunya untuk menjadi bahan bangunan baik untuk adat, pemerintah desa serta masyarakat. Hal ini yang mempengaruhi laju perubahan tutupan kawasan hutan di hutan adat ini.

(54)

39

5.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penutupan Lahan

Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1986) menyatakan bahwa kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan umumnya terkait erat dengan hutan. Pusat Studi lingkungan Unila (1984) dalam Kasim (1990) menyatakan bahwa Masyarakat di sekitar kawasan konservasi mempunyai sistem sosial, ekonomi dan budaya tersendiri dengan ekosistem dalam kawasan konservasi. Menurut kaidah ekologi, bila suatu sistem berdekatan umumnya akan terjadi eksploitasi dari ekosistem yang kuat terhadap yang lemah. Fenomena yang umum adalah eksploitasi terhadap kawasan konservasi oleh sistem sosial sekitarnya.

5.3.1 Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

Data sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Lempur berkaitan dengan kegiatan masyarakat dalam penggunaan lahan dan interaksi terhadap kawasan Hulu Air Lempur. Data yang diambil adalah data sekunder yang berasal dari wawancara dengan lembaga adat serta BPS Kabupaten Kerinci.

1. Peningkatan harga jual kayu manis

Kabupaten Kerinci merupakan salah satu wilayah kabupaten terluas dalam melakukan pengembangan kayu manis di Indonesia, dengan luas areal

pengembangannya 42,610 ha (31,61%), dan produksinya 65,422 ton (64,92%) dari total produksi nasional (Ditjenbun 2005). Tingginya harga jual serta dominannya pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci menempatkan komoditas tersebut sebagai komoditas unggulan dan juga andalan ekspor daerah Kabupaten Kerinci.

(55)

Indonesia (PDRI) yang berada di Lempur membolehkan rakyat menebang hutan untuk dijadikan kebun sehingga masyarakat membuat kebun di atas perbukitan atau wilayah yang ditetapkan oleh Belanda sebagai BW. Kegiatan penebangan di wilayah hulu air yang semakin meluas, mendorong para pemuka adat serta kepala Dusun Empat Negeri Lempur membuat ketetapan adat maka pada tahun 1956, yang intinya bahwa kawasan hutan (imbo larangan) yang ada sekarang ini harus dipertahankan dan tidak boleh ditebang lagi.

Sebagian besar hutan yang berada pada tanah masyarakat dirubah menjadi kebun kayu manis. Menurut Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Daerah Tingkat II Kabupaten Kerinci (1993), hasil inventarisasi perladangan memperlihatkan luas perladangan di daerah hulu air lempur mencakup 1,344 ha, diantaranya 1194,5 ha atau 88,9% ditanami kayu manis dan melibatkan 605 kepala keluarga pemilik ladang dengan tanggungan anak 2,364 jiwa. Rata-rata setiap keluarga memiliki lahan kebun kayu manis berkisar antara 0,25 sampai 20 ha. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Lempur sangat bergantung dari hasil kebun kayu manis untuk kehidupannya sehari-hari. Sejarah pembukaan hutan

alam desa menjadi ladang dan kebun kayu manis disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Sejarah perkembangan pembukaan Hutan Alam di Kawasan Lempur

Tahun

Penguatan ketetapan adat tahun 1956, para pemuka adat bekerjasama dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan difasilitasi oleh WWF/ID 0094-PEC pada tahun 1993 melalui kegiatan restrukturisasi dan deregulasi mengenai mekanisme pengelolaan sumberdaya alam Lempur menetapkan batas

Kawasan Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Hasil dari kegiatan ini adalah surat keputusan Bupati TK. II Kab. Kerinci tentang

(56)

41

Lempur. Masyarakat tetap melakukan kegiatan pembukaan hutan, walaupun telah dilakukan pemetaan batas Kawasan Hulu Air Lempur serta Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi. Selama harga kayu manis masih tinggi maka pembukaan hutan alam akan semakin meningkat juga. Hal ini yang mengakibatkan perubahan penutupan kawasan hutan alam baik di Kawasan Hulu Air Lempur serta Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

2. Melemahnya pelaksanaan mekanisme adat

Nilai pendapatan ekonomi masyarakat yang meningkat dari bersumber budidaya tanaman kayu manis, telah mampu menciptakan pergeseran nilai adat budaya tradisional yang telah ada dan berlangsung sejak lama. Masalah ini yang kemudian mampu merubah peta budaya adat tradisional maupun wibawa lembaga adat, sehingga menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat desa. Perubahan mekanisme adat ini dalam pengelolaan lahan di Kawasan Lempur serta pengelolaan lembaga adat oleh lembaga adat. Keempat pemimpin desa dibidang pemerintahan mempunyai hubungan keluarga yang sangat dekat. Hal ini cukup potensial untuk menggerakkan masyarakat di bidang pembangunan. Seseorang

yang jika berbuat salah, maka yang lain tidak dapat menegur secara tegas. Berbeda dalam hal penggunaan lahan, para depati dapat membelanya jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan dan lahan dapat dipakai secara turun-temurun.

Posisi lembaga adat desa merupakan media tunggal dan menjadi sangat strategis sebagai forum sentral untuk menentukan kebijakan pembangunan desa. Lembaga adat memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintahan desa. Oleh karena itu setiap keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan desa harus disetujui oleh lembaga adat. Kepala adat dapat menjadi pimpinan baik kepala desa atau kedudukan lain dalam pemerintahan desa (dwi fungsi). Kondisi ini dapat menimbulkan kekuasaan yang cenderung otoriter baik dalam pemerintahan desa ataupun lembaga adat.

Gambar

Gambar citra Landsat (a) hutan (b) kebun kayu manis (c) semak
Gambar 1  Bagan alir pembuatan peta rupa bumi digital.
Gambar 2  Skema tahapan pengolahan citra.
Tabel 1  Tingkat persepsi berdasarkan skala likert
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan Penutup Lahan Hutan dan Perkebunan Periode 2000 dan 2008 Hasil pengolahan data satelit dari dua tahun berbeda yang digunakan untuk mengetahui perubahan penutup

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik gambut di Kawasan Hidrologi Hutan Lindung Gambut Londerang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,

Kondisi di atas sangat bagus dimana hutan lahan kering primer dan sekunder hingga tahun 2013 telah mendominasi di kawasan CADS sehingga dapat disimpulkan kondisi

Pada kawasan hutan adat Bukit Tunggal ditemukan sedikitnya 77 jenis vegetasi yang dikelompokkan ke dalam 37 family yang teridentifikasi mulai dari tingkat

yang terdapat di Kabupaten Kampar salah satunya adalah Hutan Adat Rimbo Tujuh Danau yang terletak di Desa Buluh Cina dan diketahui memiliki banyak keanekaragaman

Perubahan tutupan lahan pada kawasan mangrove menjadi non hutan dikhawatirkan akan memberikan dampak negative terhadap masyarakat di sekitar hutan terutama yang

Pelaksanaan hak masyarakat hukum adat di hutan adat Ammatoa Kajang dimiliki oleh seluruh suku adat Ammatoa Kajang, namun pelaksanaannya dilakukan dengan izin

Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perubahan lahan di Taman Nasional Berbak adalah luas lahan garapan di dalam kawasan, lama bermukim, jumlah tanggungan keluarga serta