• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

5.4 Pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan

5.4.1 Pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan hutan adat

Ketidaktahuan masyarakat akan arti dan fungsi kawasan konservasi akan menimbulkan tindakan-tindakan masyarakat yang tidak mendukung kelestarian kawasan tersebut (Fakultas Kehutanan IPB 1986). Pelestarian Kawasan Hulu Air Lempur yang di dalamnya terdapat hutan adat lebih dilihat sebagai upaya menjaga kawasan hutan bagi masyarakat Lempur agar tetap bisa dimanfaatkan dan bermanfaat bagi kehidupan mereka. Pengolahan lahan dapat dilakukan dimana dan kapan saja oleh masyarakat selagi cara pemanfaatannya tidak melanggar aturan adat yang telah disepakati.

Tabel 9 Pengetahuan responden mengenai keberadaan dan status hutan adat

No Pengetahuan responden tentang hutan adat Jumlah

responden

Persentase (%)

1 Mengetahui kawasan tersebut memiliki hutan adat 89 91.7

2 Mengetahui batas-batas Hutan adat Lekuk 50 Tumbi 16 16.5

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 97 responden yang berasal dari 4 desa yaitu 42 orang dari desa Lempur Tengah, 23 orang dari desa Lempur Mudik, 21 orang dari desa Dusun Baru Lempur dan 10 orang dari desa Lempur Hilir. Responden terdiri dari tokoh adat (depati-ninik mamak), tokoh pemerintahan (kepada desa, sekeretaris desa) dan warga biasa. Hasil wawancara menunjukkan sebanyak 89 responden (91,7%) yang mengetahui keberadaan hutan adat dan sebanyak 8 responden (8,3%) tidak mengetahui keberadaan hutan adat.

Masyarakat mengetahui keberadaan kawasan hutan adat yang termasuk dalam kawasan Hulu Air Lempur yang sangat dilindungi oleh masyarakat dan pengelolaan di bawah Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi. Akan tetapi tidak seluruh

49

responden mengetahui batas-batas hutan adat serta batas Kawasan Hulu Air Lempur. Sebanyak 16 responden (16,5%) mengetahui batas hutan adat dan sebanyak 81 responden (83,5%) tidak mengetahui batas hutan adat. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat, hal ini disebabkan karena tidak jelasnya batas yang ada di lapangan. Patok batas hanya terbuat dari lempengan besi yang diikatkan pada batang kayu serta kawasan hutan adat serta adanya sebagian besar masyarakat Lempur yang tidak mengikuti sosialisasi pengukuhan batas Kawasan Hulu Air Lempur yang dilakukan di balai adat. Saat ini kondisi patok batas Kawasan Hulu Air Lempur dan hutan adat sebagian besar telah hilang sehingga masyarakat melakukan kegiatan pertanian khususnya kebun kayu manis di dalam kedua kawasan tersebut. Oleh karena itu kegiatan sosialisasi dari instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan serta lembaga adat perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Hal itu harus dilakukan dengan pembuatan patok batas hutan adat yang permanen sehingga masyarakat mengetahui batas-batas hutan adat. Upaya tersebut dilakukan agar pengelolaan kawasan Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lempur dapat optimal dan tetap lestari.

5.4.2 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan adat

Bila masyarakat memandang kawasan lindung sebagai penghalang, masyarakat akan menggagalkan langkah-langkah pelestariannya dengan berbagai upaya. Kawasan lindung yang menguntungkan atau memberi manfaat kepada masyarakat, menjadikan masyarakat ikut bekerjasama dalam melindungi kawasan dari kegiatan yang merusaknya. Persepsi masyarakat yang menganggap hutan sebagai sumberdaya alam yang bebas dimiliki dan dipergunakan semakin mendorong masyarakat sekitar hutan untuk menyerobot lahan hutan (Wiriadinata 1988 dalam Kasim 1990).

Berdasarkan hasil pengolahan data persepsi masyarakat dengan menggunakan rentang criteria atau skala Likert, tingkat persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan rendah. Dari hasil wawancara diperoleh sebanyak 86 reponden (88,7%) memiliki tingkat persepsi masyarakat tinggi, 8 responden (8,3%) memiliki tingkat persepsi masyarakat sedang dan 3 responden (3,1%) memiliki tingkat persepsi rendah.

Masyarakat Lempur memandang hutan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Masyarakat sangat menyetujui bahwa kawasan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi memberikan manfaat bagi masyarakat melalui fungsi-fungsinya. Menurut mereka hutan adalah sumber kehidupan bagi mereka, misalkan sebagai sumber air, udara yang sejuk, serta hutan memberikan hasil alam lainnya. Mereka menganggap bahwa hutan mereka ini merupakan hutan yang masih alami, maksudnya hutan mereka terlindung dari pengeksploitasian seperti pembalakan liar. Masyarakat menyadari bahwa jika kawasan hutan dirusak maka bencana akan datang seperti longsor dan sawah menjadi kering. Masyarakat sangat menjaga hutan ini dengan mematuhi segala aturan dari pemerintah maupun aturan yang ada dalam adat Lekuk 50 Tumbi.

Persepsi masyarakat yang tinggi juga ditunjukkan dengan sikap mereka untuk mengelola lahan garapan yang telah diberikan oleh adat. Misalkan untuk menyuburkan tanah garapan, masyarakat membiarkan areal lahan tersebut ditumbuhi semar belukar atau dengan menghutankan kembali areal tersebut. Cara menghutankan kembali atau membiarkan areal lahan menjadi semak belukar inilah yang dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai cara melestarikan hutan. Kondisi hutan yang dianggap sudah menjadi hutan kembali, yang ditandai semakin banyak dan tingginya pohon-pohon di atas areal tersebut, maka berarti lahan tersebut dianggap sudah cukup bagus untuk dijadikan ladang. Jenis tanaman semak lalu dibersihkan. Kondisi ladang yang dianggap tidak cukup baik lagi, maka lahan akan dibiarkan menjadi hutan kembali, demikian seterusnya. Kegiatan seperti ini akan menghindarkan masyarakat dari sistem berladang berpindah.

Kawasan Hulu Air Lempur yang di dalamnya terdapat Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur dilihat sebagai areal hutan yang bermanfaat secara terus menerus, maka areal hutan juga terbuka untuk pengambilan kayu. Kegiatan pengambilan kayu ini bukan pengambilan dalam jumlah besar seperti yang sering dilakukan kelompok HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Pengambilan kayu sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, misalkan untuk sarana dan prasarana desa dan adat, dianggap bukan perusakan hutan, tetapi apabila pengambilan kayu tersebut memang ditujukan untuk dijual dan diambil dalam jumlah besar, maka akan dikenakan hukuman adat. Menurut masyarakat, masih wajar apabila penduduk

51

mengambil kayu di hutan untuk kebutuhan hidup mereka dan menganggapnya bukan perusak hutan.

Dokumen terkait