• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

5.3 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penutupan lahan

Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1986) menyatakan bahwa kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan umumnya terkait erat dengan hutan. Pusat Studi lingkungan Unila (1984) dalam Kasim (1990) menyatakan bahwa Masyarakat di sekitar kawasan konservasi mempunyai sistem sosial, ekonomi dan budaya tersendiri dengan ekosistem dalam kawasan konservasi. Menurut kaidah ekologi, bila suatu sistem berdekatan umumnya akan terjadi eksploitasi dari ekosistem yang kuat terhadap yang lemah. Fenomena yang umum adalah eksploitasi terhadap kawasan konservasi oleh sistem sosial sekitarnya.

5.3.1 Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

Data sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Lempur berkaitan dengan kegiatan masyarakat dalam penggunaan lahan dan interaksi terhadap kawasan Hulu Air Lempur. Data yang diambil adalah data sekunder yang berasal dari wawancara dengan lembaga adat serta BPS Kabupaten Kerinci.

1. Peningkatan harga jual kayu manis

Kabupaten Kerinci merupakan salah satu wilayah kabupaten terluas dalam melakukan pengembangan kayu manis di Indonesia, dengan luas areal pengembangannya 42,610 ha (31,61%), dan produksinya 65,422 ton (64,92%) dari total produksi nasional (Ditjenbun 2005). Tingginya harga jual serta dominannya pengembangan kayu manis di Kabupaten Kerinci menempatkan komoditas tersebut sebagai komoditas unggulan dan juga andalan ekspor daerah Kabupaten Kerinci.

Sebagian besar masyarakat Lempur menggantungkan hidupnya dari hasil kebun kayu manis. Sebelum terjadi krisis moneter pada tahun 1998, harga kayu manis sangat tinggi yaitu sebesar Rp 20,000/kg, sehingga masyarakat berlomba- lomba untuk berkebun kayu manis. Pembukaan hutan alam ini tidak lagi sesuai lagi dengan ketetapan adat tahun 1956. Pada tahun 1919 pemerintah Belanda menetapkan Kawasan Hulu Air lempur sebagai kawasan hutan lindung atau lebih dikenal dengan nama Bos Weisyen (BW). Penetapan ini bertujuan untuk melindungi daerah tangkapan air. Pada tahun 1949 Aparat Pemerintah Darurat

Indonesia (PDRI) yang berada di Lempur membolehkan rakyat menebang hutan untuk dijadikan kebun sehingga masyarakat membuat kebun di atas perbukitan atau wilayah yang ditetapkan oleh Belanda sebagai BW. Kegiatan penebangan di wilayah hulu air yang semakin meluas, mendorong para pemuka adat serta kepala Dusun Empat Negeri Lempur membuat ketetapan adat maka pada tahun 1956, yang intinya bahwa kawasan hutan (imbo larangan) yang ada sekarang ini harus dipertahankan dan tidak boleh ditebang lagi.

Sebagian besar hutan yang berada pada tanah masyarakat dirubah menjadi kebun kayu manis. Menurut Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Daerah Tingkat II Kabupaten Kerinci (1993), hasil inventarisasi perladangan memperlihatkan luas perladangan di daerah hulu air lempur mencakup 1,344 ha, diantaranya 1194,5 ha atau 88,9% ditanami kayu manis dan melibatkan 605 kepala keluarga pemilik ladang dengan tanggungan anak 2,364 jiwa. Rata-rata setiap keluarga memiliki lahan kebun kayu manis berkisar antara 0,25 sampai 20 ha. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Lempur sangat bergantung dari hasil kebun kayu manis untuk kehidupannya sehari-hari. Sejarah pembukaan hutan alam desa menjadi ladang dan kebun kayu manis disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Sejarah perkembangan pembukaan Hutan Alam di Kawasan Lempur

Tahun Jumlah pengolah (KK) Luas ladang (Ha) Kebun kayumanis (Ha)

Total luas lahan (Ha) 1920 - 1926 47 77 76 153 1926 - 1941 154 339 333 671 1942 - 1945 93 182 181 363 1946 - 1969 238 576 516 1092 1970 - 1981 28 57 7 63 1982 - 1992 45 105 43 148

Penguatan ketetapan adat tahun 1956, para pemuka adat bekerjasama dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan difasilitasi oleh WWF/ID 0094-PEC pada tahun 1993 melalui kegiatan restrukturisasi dan deregulasi mengenai mekanisme pengelolaan sumberdaya alam Lempur menetapkan batas Kawasan Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Hasil dari kegiatan ini adalah surat keputusan Bupati TK. II Kab. Kerinci tentang pengesahan batas Kawasan Hulu Air Lempur dan Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi

41

Lempur. Masyarakat tetap melakukan kegiatan pembukaan hutan, walaupun telah dilakukan pemetaan batas Kawasan Hulu Air Lempur serta Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi. Selama harga kayu manis masih tinggi maka pembukaan hutan alam akan semakin meningkat juga. Hal ini yang mengakibatkan perubahan penutupan kawasan hutan alam baik di Kawasan Hulu Air Lempur serta Hutan Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.

2. Melemahnya pelaksanaan mekanisme adat

Nilai pendapatan ekonomi masyarakat yang meningkat dari bersumber budidaya tanaman kayu manis, telah mampu menciptakan pergeseran nilai adat budaya tradisional yang telah ada dan berlangsung sejak lama. Masalah ini yang kemudian mampu merubah peta budaya adat tradisional maupun wibawa lembaga adat, sehingga menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat desa. Perubahan mekanisme adat ini dalam pengelolaan lahan di Kawasan Lempur serta pengelolaan lembaga adat oleh lembaga adat. Keempat pemimpin desa dibidang pemerintahan mempunyai hubungan keluarga yang sangat dekat. Hal ini cukup potensial untuk menggerakkan masyarakat di bidang pembangunan. Seseorang yang jika berbuat salah, maka yang lain tidak dapat menegur secara tegas. Berbeda dalam hal penggunaan lahan, para depati dapat membelanya jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan dan lahan dapat dipakai secara turun-temurun.

Posisi lembaga adat desa merupakan media tunggal dan menjadi sangat strategis sebagai forum sentral untuk menentukan kebijakan pembangunan desa. Lembaga adat memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintahan desa. Oleh karena itu setiap keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan desa harus disetujui oleh lembaga adat. Kepala adat dapat menjadi pimpinan baik kepala desa atau kedudukan lain dalam pemerintahan desa (dwi fungsi). Kondisi ini dapat menimbulkan kekuasaan yang cenderung otoriter baik dalam pemerintahan desa ataupun lembaga adat.

Semua aturan dan ketentuan adat tentang pemanfaatan sumberdaya alam telah didokumentasikan oleh Lembaga Adat lekuk 50 Tumbi. Aturan dan ketentuan adat itu sebagian besar hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa tokoh saja. Terdapat juga tokoh yang secara garis keturunan merupakan pewaris gelar adat, sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat.

Anggota masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat dan aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam, sebaliknya di dalam pengambilan keputusan saat sidang adat, suara mereka kurang diperhitungkan. Penerapan keputusan adat kadang-kadang tidak memenuhi rasa keadilan dimasyarakat. Seringkali keputusan adat hanya memuaskan pihak yang lebih kuat atau yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan tokoh adat.

Masyarakat tidak memiliki waktu atau ruang khusus bagi untuk mempelajari atau mengetahui ketentuan adat. Praktek dan seluk beluk adat hanya diketahui oleh masyarakat apabila ada upacara adat ataupun sidang adat. Penyebaran dan pencerdasan tentang nilai-nilai adat dari para tokoh adat kepada masyarakat sangat kurang. Masyarakat awam tidak punya waktu untuk mengetahui adat. Minat orang muda untuk mempelajari adat sangat rendah. Menurut pandangan orang muda, adat istiadat adalah urusan orang tua. Orang muda cenderung memilih berbagai informasi dan budaya dari dunia luar daripada nilai-nilai yang telah dimiliki.

Struktur sosial masyarakat turut mempengaruhi gejala ini secara timbal balik, terutama dalam pola pewarisan. Pusako tinggi berupa tanah basah dan rumah pada anak perempuan secara sistem “dialir ganti”. Akibatnya lahan semakin sempit mendorong perluasan areal baru. Pembukaan lahan melalui mekanisme “ajun arah” yang dikendalikan pemuka adat, saat ini sudah tidak diterapkan lagi. Hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan atas tanah sangat besar sehingga menyebabkan cara pembukaan hutan melalui mekanisme “arah kuaso” tanpa pengendalian pemuka adat. Sistem ini menyebabkan perubahan kepemilikan lahan dari sebelumnya merupakan milik adat menjadi milik individu masyarakat. Sistem “ajun arah” sudah tidak berlaku lagi dimasyarakat dan ini menguntungkan pihak-pihak yang memiliki modal untuk membeli tanah di kawasan Lempur untuk dijadikan daerah perkebunan. Oleh karena itu, saat ini setiap masyarakat baik penduduk lokal maupun pendatang dapat mempunyai lahan garapan asal memiliki modal tanpa ada aturan lagi dari lembaga adat.

Pola hidup masyarakat Lempur saat ini telah mengalami perubahan. Pola hidup konsumtif dan individual berkembang dimasyarakat. Hal ini sudah tidak

43

sesuai dengan aturan-aturan (Tambo Lekuk 50 Tumbi) yang ada. Hal ini akan mengakibatkan budaya di Lempur akan luntur dan jika dibiarkan terus menerus maka akan terjadi pengikisan sumberdaya baik alam maupun budaya yang tidak dapat dikendalikan.

3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Jumlah dan kepadatan penduduk Lekuk 50 Tumbi Lempur pada tahun 1993, 1998, 2003, 2006 dan 2008 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pertumbuhan penduduk Lekuk 50 Tumbi Lempur

No Desa Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk (jiwa/km2)

1993 1998 2003 2006 2008 1993 1998 2003 2006 2008 1 Dusun Baru Lempur 4244 851 817 799 801 21 18 1 16 16 2 Lempur Tengah 202 2000 1529 1595 5 46 35 36 3 Lempur Hilir 461 296 393 381 8 5 7 7 4 Lempur Mudik 1033 785 851 872 38 29 30 32 Total 4244 2547 3898 3572 3649 21 17 24 22 23

Sumber : BPS kabupaten Kerinci tahun 1998, 2003, 2006 dan 2008 (data telah diolah) Bappeda Kabupaten Kerinci Tahun 1993

Pertumbuhan jumlah penduduk Lempur yang terdiri dari empat desa dalam kurun waktu 15 tahun yaitu antara tahun 1993-2008 mengalami penurunan sebesar 0.93% per tahun (40 jiwa/tahun). Pada tahun 1993 jumlah penduduk di empat desa sebesar 4244 jiwa dengan kepadatan 21 jiwa /km2. Penurunan jumlah penduduk terjadi antara tahun 1993-1998 dari 4244 jiwa menjadi 2547 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 17 jiwa/km2. Jumlah penduduk menurun disebabkan karena pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi nasional yang menyebabkan harga kayu manis merosot sehingga masyarakat Lempur banyak yang melakukan urbanisasi ke daerah lain ataupun menjadi tenaga kerja di Malaysia. Jumlah penduduk meningkat antara tahun 1998-2003 menjadi 3898 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 24 jiwa/km2. Jumlah penduduk menurun antara tahun 2003-2006 menjadi 3572 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 22 jiwa/km2, kemudian antara tahun 2006-2008 jumlah penduduk mengalami peningkatan kembali menjadi 3649 jiwa.

Data jumlah penduduk tersebut diperoleh dari dua sumber yaitu data tahun 1993 diperoleh dari laporan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten

Kerinci yang bekerjasama dengan WWF serta data jumlah penduduk tahun 1998, 2003, 2006 serta 2008 yang diperoleh dari BPS Kabupaten Kerinci. Data jumlah penduduk tahun 1993 jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan cara pengumpulan data jumlah penduduk antara WWF dengan BPS Kabupaten Kerinci. Data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Kerinci, menunjukkan jumlah penduduk dari tahun 1998-2008 mengalami peningkatan. Perubahan penutupan lahan di Kawasan Lempur dapat dilihat dari hasil overlay tutupan lahan diempat desa yang berada di Kawasan Lempur dari tahun 1988-2008 (Gambar 12).

45

Gambar 12 Peta perubahan tutupan lahan tahun 1988 dan 2008.

Gambar 12 menunjukkan bahwa dari tahun 1988-2008 kawasan Lempur mengalami perubahan penutupan lahan. Tutupan lahan terbangun, kebun kayu manis serta semak belukar mengalami peningkatan luasan. Semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk disuatu wilayah maka akan mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman atupun lahan- lahan budidaya. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi jumlah pemukiman atau lahan terbangun lainnya. Kurun waktu antara tahun 1988-2008 terjadi perluasan luas wilayah lahan terbangun. Pada tahun 1988 luasan lahan terbangun sebesar 24,36 ha dan pada tahun 2008 luasannya meningkat menjadi 279 ha. Perluasan lahan terbangun khususnya untuk daerah pemukiman meningkat sangat drastis dan terjadi pada daerah pemukiman yang telah ada serta daerah yang topografinya relatif datar.

Tingginya kepadatan penduduk akan meningkatkan tekanan terhadap hutan. Misalkan, banyaknya penduduk yang bekerja di bidang pertanian ini memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan khususnya lahan budidaya, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan. Konsekuensi dari jumlah penduduk yang meningkat salah satunya adalah pertambahan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja yang tidak seimbang dengan penyediaan lapangan kerja mengakibatkan pengangguran meningkat, yang kemudian akan mengakibatkan ketergantungan masyarakat akan hutan semakin tinggi sehingga kegiatan konversi lahan semakin meningkat (Fakultas Kehutanan IPB 1986).

4. Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Mata pencaharian masyarakat Desa Lekuk 50 Tumbi Lempur

No Desa Pertanian Perindustrian Perdagangan Pengangkutan Jasa

lainnya 1 Dusun Baru Lempur 138 3 16 23 14 2 Lempur Tengah 406 5 43 49 39 3 Lempur Hilir 57 4 13 19 22 4 Lempur Mudik 209 2 20 26 16 Total 810 14 92 117 91

47

Masyarakat Lempur merupakan masyarakat agraris yang pada umumnya bekerja pada sektor pertanian antara lain berkebun kayu manis, kopi dan tanaman palawija sebesar 810 jiwa (72%), selain itu sebagian masyarakat bekerja di bidang pengangkutan dan perdagangan seperti tukang ojek dan pengumpul kayu manis berturut-turut sebesar 117 jiwa (10,4%) dan 92 jiwa (8,19%). Berdasarkan hasil wawancara terhadap 97 responden, 45 responden memiliki kebun kayu manis dan 20 responden memiliki sawah. Pada umumnya setiap keluarga memiliki lanah garapan baik itu dalam bentuk sawah ataupun kebun kayu manis yang dikelola secara turun-temurun.

Pada saat harga kayu manis tinggi, sebagian besar masyarakat Lempur menggantungkan hidupnya dari hasil berkebun kayu manis. Harga kayu manis menurun drastis saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998, sehingga masyarakat yang tadinya menggantungkan hidupnya dari hasil kayu manis, beralih berkebun tanaman palawija. Lahan bekas kebun kayu manis dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ditanam tanaman palawija seperti tomat, cabe serta kopi.

Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1986) bahwa semakin besar kebutuhan lahan untuk pertanian, maka semakin besar pula tingkat gangguan keamanan terhadap kawasan hutan. Hal ini terjadi di Kawasan Hulu Air Lempur yang sudah sejak dahulu wilayah perbukitannya dikonversi dari hutan menjadi perkebunan rakyat seperti kebun kulit manis dan kebun campuran lainnya. Harga kulit manis yang membaik sejak tahun 1983 yang diiringi dengan merosotnya harga cengkeh di pasaran mendorong lahirnya stabilisasi harga kulit manis. Masyarakat lempur kemudian berlomba-lomba mengkonversi ladang mereka menjadi tanaman kayu manis.

Karakteristik ekonomi Lempur yang nyata adalah pendapatan perkapita relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil pemetaan kemiskinan Bappenas, daerah ini tidak dikategorikan sebagai desa “miskin atau sangat miskin”. Tentunya pemetaan ini tanpa menampilkan kemerosotan nilai ekonomi sumberdaya alam yang intagible (tidak dapat dinilai), seperti pemusnahan jenis hayati dan berkurangnya mutu air sungai akibat konversi hutan sekitar desa menjadi daerah perladangan. Salah satunya ditunjukkan dengan nilai ekonomi total kebun kayu manis di ladang masyarakat lempur sebesar Rp 40 milyar. Konstruksi budaya

ekonomi di daerah ini sedang mengalami transisi dari masyarakat petani yang feodal ke masyarakat pra-kapitalitas dengan tingkat konsumsi yang cukup tinggi. Nilai ekonomi yang lebih bersifat intangible, seperti ketersediaan air dan kandungan jenis hutan diperkiran telah mengalami kemerosotan drastis akibat pengurangan sumber daya alam pedesaan.

5.4 Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Hutan

Dokumen terkait