• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Kondisi Pemasaran Produk Olahan Hasil Perikanan

Untuk mengetahui kondisi pemasaran produk olahan hasil perikanan terutama dari jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta, maka berbagai komponen terkait dengan kegiatan pemasaran ini perlu diidentifikasi. Supaya hasil identifikasi dan analisisnya lebih akurat, maka semua komponen/faktor yang terkait tersebut perlu dikelompokkan secara internal maupun eksternal. Hal ini penting untuk melihat secara menyeluruh dan dari berbagai sudut pandang kondisi pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan teri dan pindang selama ini. Penilaian terhadap semua faktor internal dan faktor eksternal akan memperlihatkan kondisi dan posisi pemasaran produk olahan tersebut saat ini, terutama bila dibandingkan kondisi pemasaran optimal/terbaik yang mendapat dukungan penuh semua faktor pemasaran terkait.

1. Identifikasi Faktor Internal

Secara umum, faktor internal yang mempengaruhi pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta, ada dua jenis faktor yang menjadi kekuatan dan faktor yang menjadi kelemahan dalam pemasaran. Faktor yang menjadi kekuatan merupakan faktor internal yang bila berkembang dengan baik akan memperkuat posisi tawar pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang, sedangkan faktor kelemahan meruapakan faktor internal yang bila tidak dikontrol dengan baik atau dibiarkan terlalu bebas dapat menghambat kegiatan pemasaran produk olahan hasil perikanan tersebut. Terkait dengan ini, maka perimbangan faktor kekuatan dan kelemahan ini akan menentukan posisi atau kondisi pengelolaan internal dari pemasaran produk olahan hasil perikanan saat ini di DKI Jakarta. Tabel 5 menyajikan hasil indentifikasi kelompok faktor internal yang mempengaruhi pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta.

(2)

Tabel 5 Kelompok faktor internal pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta

Faktor Internal Bobot Rating Skor

Kekuatan :

Kekompakan pelaku pemasaran

produk 0.14 4 0.56

Kemampuan modal mandiri 0.12 3 0.36

Keawetan produk 0.09 3 0.27

Penguasaan jaringan pemasaran 0.11 3 0.33 Keterampilan pengemasan produk

yang dipasarkan 0.06 3 0.18

Kemampuan pengadaan alat bantu

pemasaran secara mandiri 0.04 4 0.16

Kelemahan :

Kontinuitas produksi 0.16 1 0.16

Keseragaman ukuran fisik produk 0.09 2 0.18 Konflik antar pelaku pemasaran

produk olahan 0.05 2 0.1

Peralatan distribusi/transportasi

pemasaran 0.1 2 0.2

Penanganan produk reject di pasar 0.04 2 0.08

Total 1 2.58

Pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan ikan umum dari rumah tangga nelayan (RTN). Oleh karena anggota RTN, maka kekompokkan yang terjadi diantara pelaku pemasaran produk olahan ikan asin dan pindang ini sangat kental (rating = 4, sangat tinggi). Kekompakkan ini merupakan faktor internal yang sangat mempengaruhi kegiatan pemasaran produk yang dilakukan nelayan (bobot = 0,14, atau 14% dari total peran semua faktor internal). Meskipun pada kondisi tertentu keuntungan yang didapat tidak bagus misalnya, tetapi mereka tetap semangat, karena sedikit banyak keuntungan akan dinikmati bersama. Kondisi ini terjadi pada beberapa sentra produk olahan hasil perikanan DKI Jakarta, seperti di Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara.

Modal kerja termasuk faktor internal yang juga penting bagi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asing

(3)

dan pindang di DKI Jakarta. Secara umum pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan DKI Jakarta termasuk keluarga nelayan/masyarakat kecil dan menengah yang mempunyai peralatan pengolah sederhana dan dapat memasarkan produknya secara mandiri, meskipun terkadang dalam jumlah terbatas. Kemampuan modal kerja mereka umumnya relatif sama dengan pelaku pemasaran produk perikanan lainnya di tanah air, yang dari segi jumlah masih termasuk kecil (DKP, 2008). Kalaupun ada pelaku pemasaran dengan modal besar, umumnya dalam skala perusahaan atau pemilik pabrik/usaha olahan di lokasi, namun secara rata-rata berdasarkan populasi, pelaku pemasaran produk perikanan di DKI Jakarta dengan basis di Jakarta Utara mempunyai kemampuan pemodalan mandiri yang baik (rating = 3/tinggi). Terkait dengan ini, maka dukungan modal kerja ini terhadap pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang ini perlu dipertahankan. Secara umum, kemampuan mereka dalam pemodalan selama ini telah banyak membantu pengembangan usaha pemasaran produk olahan hasil perikanan yang dilakukan.

Keawetan produk merupakan faktor internal penting dalam mendukung ketahanan produk dipasaran dan secara jangka panjang mendukung keberlanjutan pemasaran produk ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Kepentingan pengelolaan pemasaran terhadap faktor internal ini diduga mencapai 9% (bobot 0,09) dari 11 faktor/komponen dalam kelompok faktor internal. Selama ini, pelaku pemasaran produk olahan Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara memanfaatkan teknik pengeringan alami (matahari) yang cukup untuk mempertahankan keawetan produk yang dipasarkan. Sedangkan ikan pindang mengandalkan ramuan bumbu pindang (garam, rempah-rempah) dan kadar air minimal untuk mempertahankan keawetan ikan pindang yang dihasilkan (DKPP DKI Jakarta, 2009). Teknik pengeringan/pengawetan ini sangat membantu pemasaran produk olahan ikan asin dan pindang, sehingga ketahanannya lebih lama (rating = 3/tinggi). Penguasaan jaringan pemasaran juga menjadi kekuatan penting dalam pemasaran

(4)

produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Semakin banyak tahu perilaku konsumen ibu kota dan lokasi yang banyak konsumsi produk olahan hasil perikanan, maka pemasaran produk berkembang pesat (bobot = 0,11). Hal ini banyak dimanfaatkan oleh sebagian besar pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Disamping dipasarkan di lokasi terdekat, mereka juga mengirim produknya ke pasar potensial di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bogor, dan Bekasi baik dengan tujaun pasar trasional maupun swalayan (rating = 2/tinggi).

Keterampilan dalam pengemasan produk juga berperan besar bagi kelangsungan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang. Selama ini, pelaku pemasaran di sekitar PPS Nizam Zachman, Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara umumnya akan membungkus ikan asin yang dihasilkan setelah benar-benar kering, dan untuk ikan asin ukuran besar akan dipotong lebih kecil untuk menurunkan kadar airnya dan membungkusnya ke dalam kotak karton sehingga penampilannya lebih menarik (rating = 3/tinggi). Perhatian terkait pengemasan ini juga terjadi pada ikan pindang. Untuk ikan pindang ukuran besar dan sedang dibungkus daun pisang dan ikan pindang ukuran kecil dikemas dalam anyaman bambu. Menurut DKPP DKI Jakarta (2009), teknis pengemasan ini dipilih supaya ikan pindang tidak lengket/nempel satu sama lain yang dapat mengurangi penampilan produk.

Pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang ini umumnya dapat menyiapkan alat bantu pemasaran secara manidiri, seperti anyaman bambu untuk wadah, alat ukur/takar, peralatan pikul produk, dan lainnya. Kemampuan pengadaan alat bantu pemasaran secara mandiri ini, memberi keuntungan bagi pelaku pemasaran tersebut untuk biaya operasional. Selama ini pelaku pemasaran ini hanya tinggal membeli bahan yang diperlukan, seperti bambu, rotan, tali rapia, dan lainnya. Menurut Moeljanto (1996), pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan, umumnya terbiasa memperbaiki sendiri alat pendukung pemasaran yang yang rusak/robek di saat santai. Di DKI Jakarat hal ini

(5)

terjadi, dimana bila ada waktu senggang, beberapa di antara pengolah/pedagang ikan menyibukkan diri dengan membuat alat bantu pemasaran baru baik untuk kepentingan sendiri maupun dijual kemudian (rating = 4/sangat tinggi). Dukungan faktor internal ini terhadap pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan ini di DKI Jakarta mempunyai skor sekitar 0,16.

Kontinuitas produksi selama ini sering menjadi menjadi kelemahan utama dari pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan hasil di DKI Jakarta. Selama ini, produk ikan asin dan pindang umumnya diproduksi pada musim puncak (banyak ikan), sedangkan pada musim lainnya, terutama paceklik tidak banyak. Hal ini tentu kurang baik untuk memperluas pemasaran produk, padahal kontinuitas penting untuk kestabilan pememuhan pemintaan produk di pasaran (bobot = 0,16). Praktek penyediaan produk olahan hasil perikanan yang hanya banyak pada musim puncak (banyak ikan) telah berlangsung lama di lokasi dan sering dianggap hanya sebagai bentuk pengalihan diwaktu harga ikan segar turun di musim puncak (rating = 1). Hal ini perlu dicari jalan keluar yang tepat, sehingga pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan lebih baik, apalagi sentra kegiatan ini sangat dekat pasar potensial Ibukota Jakarta.

Keseragaman ukuran fisik produk olahan yang dijual pelaku pemasaran hasil perikanan juga termasuk rendah di DKI Jakarta, dan juga menjadi kelemahan serius dalam pengelolalaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Selama ini, produk yang diasinkan umumnya berasal dari ikan segar yang kondisinya kurang baik dan ikan segar tujuan ekspor yang tidak masuk size. Kondisi ini tentu membuat ukuran ikan yang telah diasinkan dan dipindang tersebut lebih beragam dari umumnya ikan hasil perikanan rating = 2/biasa).

Konflik internal merupakan faktor internal yang juga menjadi kelemahan dalam pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan di DKI Jakarta. Beberapa konflik yang pernah terjadi di lokasi, seperti perebutan tempat mangkal, konflik tentang perbedaan harga jual untuk

(6)

menarik minat pembeli, dan lainnya (DKPP DKI Jakarta, 2009). Sampai saat ini ada yang berhasil diselesaikan dengan baik, dan ada yang belum karena sifatnya berulang (rating = 2/biasa). Oleh karena kondisi ini, maka dukungan terkait penanganan konflik ini perlu ditingkatkan, sehingga pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan di DKI Jakarta lebih baik lagi.

Peralatan distribusi/transportasi pemasaran juga tidak dimiliki oleh kebanyakan pelaku pemasaran hasil perikanan di DKI Jakarta, meskipun punya kemampuan dalam penyediaan peralatan pendukung yang dibuat manual. Hal ini menjadi kelemahan pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan selama ini di DKI Jakarta, dan belum dapat dipecahkannya karena kontinyuitas produk yang dipasarkan juga kurang stabil (rating = 2/biasa). Penanganan produk reject masih kurang baik dilakukan oleh pelaku pemasaran hasil perikanan ini. Radawati (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ikan asin yang sudah berjamur dengan yang bagus sering disatukan oleh pelaku pemasaran perikanan supaya tetap dijual. Padahal hal ini kurang bagus dan justru mempercepat jamuran ikan asin lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada ikan pindang, dimana ikan pindang sudah lama sering satukan dengan ikan pindang baru, padahal tetesan airnya dapat mempercepat membusuknya ikan pindang baru. Namun demikian, hal ini sudah mulai berkurang dalam dua tahun terakhir (rating = 2/biasa), setelah ada penyuluhan dari instansi terkait akan dampak pembusukan bagi produk lainnya dan citra produk yang jelek di konsumen. Penyuluhan ini perlu dilakukan lebih intensif, sehingga pemahaman dan keterampilan pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan tentang penanganan produk reject lebih baik.

2. Identifikasi Faktor Eksternal

Disamping dilihat dari aspek internal, kondisi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan di DKI Jakarta saat ini juga dapat dilihat dari dukungan faktor eksternalnya. Faktor eksternal merupakan faktor yang mempengaruhi pemasaran ikan asin dan pindang di lokasi dan sangat mempengaruhi dukungan keberlanjutan pemasaran dan penciptaan produk.

(7)

Hasil identifikasi faktor eksternal pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 6.

Pada Tabel 6 terlihat 10 faktor eksternal yang mempengaruhi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan di DKI Jakarta. Kedekatan dengan pasar potensial yaitu Ibukota Jakarta dan jalur ekspor dan pola konsumsi konsumen merupakan dua komponen dimensional yang bersifat peluang bagi pengembangan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang, yaitu masing-masing dengan tingkat kepentingan/bobot sekitar 0,20 dan 0,13. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mendukung eksistensi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan, ketergantungan terhadap komponen pasar dan perubahan kondumsi masayarakat yang menyukai produk kolesterol rendah (hasil laut) sangat tinggi.

Saat ini, kedekatan dengan pasar potensial DKI Jakarta benar-benar dimanfaatkan oleh pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan, dimana dihampir semua pasar DKI Jakarta telah banyak dipasar ikan asin dan pindang, baik di pasar tradisional maupun supermarket rating = 4/sangat tinggi), dalam tiga tahun terakhir permintaan sekitar terus, sekitar 2-4 % per tahun. Pola konsumsi masyarakat lebih menyukai produk kelesterol rendah terutama dari jenis ikan asin (teri), juga menjadi peluang yang besar untuk pengembangan pemasaran produk olahan hasil perikanan yang lebih besar (rating =3/tinggi). Untuk kebutuhan eksporpun, sebagian besar produk olahan hasil perikanan tujuan eskpor dari Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara International Soekorno Hatta merupakan produk olahan hasil perikanan yang berasal sentra perikanan DKI Jakarta, seperti Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara (DKPP, DKI Jakarta, 2009).

(8)

Tabel 6 Kelompok faktor eksternal pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta

Faktor Eksternal Bobot Rating Skor

Peluang :

Kedekatan dengan pasar potensial (DKI

Jakarta& pasar ekspor) 0.20 4 0.8

Pola konsumsi konsumen 0.13 3 0.39

Kondusifitas kondisi sosial politik 0.09 3 0.27 Promosi produk perikanan oleh PEMDA 0.07 3 0.21 Trend investasi (daya tarik investor) perikanan 0.05 3 0.15

Ancaman :

Kemacetan dan polusi udara 0.18 1 0.18

Monopoli dan pengaturan harga 0.09 2 0.18 Ulah pesaing yang merusak citra produk 0.12 2 0.24 Sentralisasi aktivitas pasar produk di lokasi

tertentu 0.05 2 0.1

Pungutan liar pemasaran 0.02 1 0.02

1 2.54

Kondisi sosial politik yang diharapkan selalu kondusif sehingga mendukung kegiatan perekonomian nasional termasuk pemasaran produk olahan hasil perikanan, akhir-akhir ini sering tidak stabil karena konflik kepentingan para elite politik. Dalam era reformasi ini, tidak terhitung lagi banyaknya tindakan anarkis dalam demo, saling serang antar geng/ kelompok masyarakat, dan lainnya yang terjadi di ibukota DKI Jakarta. Namun dalam beberapa tahun terakhir sudah mulai berkurang dan kondisi lebih stabil, sehingga peluang pasar yang ada lebih dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan termasuk dari jenis ikan teri dan pindang (rating = 3/tinggi). Melihat kondisi ini, maka dukungan faktor kondusifitas kondisi sosial politik terhadap pengembangan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta mempunyai skor cukup tinggi, yaitu sekitar 0,27.

(9)

Promosi potensi perikanan terutama Kementeraian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan PEMDA DKI Jakarta merupakan faktor eskternal dengan tingkat kepentingan yang masih sedang (bobot = 0,07) bagi pengelolaan pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang. Menurut Nikijuluw (2005), hal ini bisa terjadi karena kegiatan pemasaran produk perikanan biasanya tidak membutuhkan promosinya yang banyak/sering seperti kegiatan ekonomi lain yang dijalankan oleh perusahaan swasta. Meskipun kecil/jarang terjadi, dari beberapa kegiatan promosi yang dilakukan oleh KKP dan PEMDA DKI Jakarta telah berpengaruh cukup besar bagi pemasaran produk olahan hasil perikanan yang meningkat 2-4 % per tahun (rating = 3/tinggi). Trend investasi (daya tarik investor) pada kegiatan perikanan termasuk pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang juga termasuk baik di DKI Jakarta (rating = 3/tinggi). Hal ini karena pasar produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang DKI Jakarta berada di daerah sangat potensial, yaitu DKI Jakarta dan jalur ekspor ke Singapura, Jepang, Hongkong, maupun pasar Eropa.

Disamping bersifat peluang, faktor eksternal ini ada juga yang sifat ancaman bagi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan. Kemacetan lalu lintas dan poluasi udara yang tinggi merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta. Selama ini, tujuan pasar yang berjarak hanya 10 km dapat ditempuh dalam waktu setengah hari bahkan sastu hari di DKI Jakarta. Kondisi ini tentu sangat tidak mendukung bagi pemasaran produk (rating = 1/rendah). Polusi udara yang tinggi di Jakarta juga dapat menurunkan kualitas produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang baik pada saat dipasarkan maupun dalam distribusinya. Hal ini tentu bertolak belakang dari kecenderungan pasar produk selama ini yang menginginkan pelayanan cepat dengan mutu terbaik

Kegiatan monopoli, pengaturan harga dan ulah pesing yang merusak citra produk (isu formalin, belatung, dan lainnya) merupakan dua faktor

(10)

eksternal yang juga bersifat ancaman bagi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang di DKI Jakarta. Pada tahun 1990-an, monopoli/pengaturan harga sangat kentara terjadi dalam kegiatan pemasaran hasil perikanan DKI Jakarta terutama Muara Baru dan Kali Baru, dimana seorang tengkulak/pengusaha besar dapat dengan mudahnya menurunkan harga terutama bila terjadi musim banyak ikan (Radarwati, 2010). Beberapa dari pengusaha produk olahan besar baik bidang perikanan maupun non perikanan, sengaja menyebarkan isu bahwa produk olahan tradisional tidak sehat dan diolah menggunakan bahan berbahaya. Hal ini bahkan sempat diberitakan di media massa sehingga produk olahan tradisonal banyak tidak laku di pasaran (rating = 2/biasa).

Sentralisasi aktivitas pasar produk pada lokasi tertentu dianggap sebagai ancaman bagi pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan. Hal ini karena mereka dibatasi untuk menjajakan produk olahannya di sekitar tempat tinggal mereka (rating = 2/biasa). Hal ini terjadi sebagai dampak lanjutan dari kegiatan penertiban pedagang kaki lima di DKI Jakarta. Oleh kegiatan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang ini umumnya dilakukan di pinggir jalan dan menyebabkan kemacetan, maka kegiatan pemasaran ini tidak luput dari upaya penertiban yang selama ini terus berlanjut di DKI Jakarta.

Pungutan liar juga menjadi faktor eksternal dengan ancaman serius di DKI Jakarta. Pungutan liar yang ada saat ini dan terjadi pada pelaku pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan teri dan pindang diantaranya pungutan parkir, setoran wilayah (oleh preman penguasa wilayah), setoran kepada Satpol PP, biaya keamanan, dan lainnya (rating = 1). Pengutan liar ini terus berlanjut di beberapa sentra ekonomi padat di DKI Jakarta termasuk yang banyak menjual produk olahan hasil perikanan. Hal ini merupakan gambaran kondisi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan termasuk jenis ikan teri dan pindang, yang luput dari perhatian banyak orang. Kelebihan dan kelemahan, peluang dan ancaman yang terjadi dalam pengelolaan pemasaran produk olahan hasil

(11)

perikanan akan menentukan keberlanjutan dan prospek pengembangannya di masa yang akan datang.

4.2 Ploting Kondisi dan Solusi Pengelolaan Prospektif

1. Ploting Kondisi dan Prospek Pengelolaan Pemasaran Produk Olahan Hasil Perikanan

Ploting kondisi dan prosek pengelolaan pemasaran produk olahan

hasil perikanan di DKI Jakarta ini ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh dari semua faktor/komponen yang berpengaruh baik secara internal maupun eksternal terhadap aktivitas pemasaran produk olahan hasil perikanan selama ini. Terkait dengan ini, maka total skor semua faktor internal (Tabel 5) akan dipetakan dengan total skor semua faktor eskternal (Tabel 6), sehingga diketahui kuadran ploting kondisi pengelolaan pemasaran saat ini dan arahan pengembangannya ke depan.

Gambar 1 Matriks IE pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta

Gambar 1 memperlihatkan hasil analisis matriks internal-eksternal (IE) kondisi dan prospek pengelolaan pemasaran produk olahan hasil

Total Skor Faktor Internal Total Skor Faktor Eksternal Tinggi III Penciutan II Pertumbuhan I Pertumbuhan Menengah VI Penciutan V Pertumbuhan/ Stabilitas IV Stabilitas Rendah IX Likuidasi VIII Pertumbuhan VII Pertumbuhan

Rendah Menengah Tinggi ● = kondisi saat ini

= arah / prospek pengelolaan 2,54 1 2 3 4 4 3 2 ● 2,58

(12)

perikanan di DKI Jakarta yang memadukan total skor faktor internal dan total skor faktor eksternal. Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa kondisi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang saat ini di DKI Jakarta berada pada kuadran V (pertumbuhan/ stabilitas). Sesuai dengan ketentuan SWOT (Rangkuti, 2004), bahwa suatu proyek atau kegiatan pengelolaan dapat dilanjutkan bila minimal berasal kondisi pertumbuhan (total skor faktor internal > 2 dan total skor dimensional eksternal > 1. Total skor faktor internal dan total skor faktor eksternal pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang masing-masing berada pada kisaran 2 - 3 dan 2 – 3, sehingga prospek pengembangannya ke depan termasuk kategori “cukup baik”.

Bila pelaku pemasaran pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang ini dibina dengan baik, maka bukan tidak mungkin dapat menjadi penggerak ekonomi penting dan prioritas di DKI Jakarta. Bila melihat gambaran prospek pada Gambar 1, maka pengembangan pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang dapat diarahkan ke kuadran I, dimana terjadi pertumbuhan pesat dalam pemasaran produk produk olahan tersebut dengan dukungan maksimal semua faktor internal dan faktor eksternal yang berpengaruh positif. 2. Solusi Pengelolaan Prospek Pemasaran Produk Olahan Hasil

Perikanan

Dengan mengacu kepada metodologi, solusi pengelolaan prospek pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang ini dilakukan dengan memadukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Faktor-faktor yang mempunyai dampak positif (kekuatan dan peluang) akan digunakan mensiasati kelemahan yang dimiliki dan ancaman yang timbul, dan bahkan memanfaatkan secara bersama kekuatan dan peluang yang ada, untuk menghasilkan dampak positif yang lebih baik (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985 dan Rangkuti, 2004). Rumusan solusi pengelolaan prospek pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan

(13)

pindang ini dari hasil perpaduan faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Matriks SWOT solusi pengelolaan prospek pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang

Faktor Eksternal

Faktor Internal

Peluang (O) Ancaman (T)

Kedekatan pasar potensial Kemacetan dan polusi Pola konsumsi konsumen Monopoli dan pengaturan

harga

Kondusifitas sospol Perusakan citra produk Promosi produk Sentralisasi pasar produk Trend investasi Pungutan liar

Kekuatan (S)

Kekompakan  Kekompakan merebut jaringan pasar potensial dan menarik minat konsumen

 Peningkatan kemandirian dalam modal,

keterampilan, dan pengadaan alat bantu untuk memperbesar usaha/investasi

 Penguatan modal dan peningkatan kualitas produk untuk

mengeliminir citra buruk dan permainan harga  Pengembangan jaringan

pasar di setiap lokasi pasar baru (sentralisasi) Modal mandiri

Keawetan produk Jaringan pemasaran

Keterampilan pengemasan Pengadaan alat bantu mandiri

Kelemahan (W)

Kontinuitas produksi  Memanfaatkan keragaman produk memenuhi permintaan yang berubah-ubah  Pemanfaatan kondusifitas sospol untuk penyelesaian konflik internal  Perbaikan penanganan produk reject untuk perbaikan citra buruk  Distribusi produk dalam

jumlah besar untuk mengelimir dampak kemacetan

Ragam ukuran fisik produk Konflik antar pelaku Peralatan

distribusi/transportasi Penanganan produk reject

Berdasarkan Tabel 7, dapat dirumuskan enam solusi yang dapat dilakukan untuk pengelolaan prospek pemasaran produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang yang lebih baik ke depan. Harapan akhir dari implementasi solusi ini adalah terjadinya kondisi pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan yang tumbuh pesat (kuadran I) dengan dukungan maksimal semua faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhinya.

(14)

4.3 Kelayakan Pengembangan Usaha Ikan Asin dan Pindang di Sentra Perikanan DKI Jakarta

Disamping memproduksi produk olahan hasil perikanan, pelaku usaha perikanan DKI Jakarta biasanya langsung memasarkan sendiri produk olahannya. Hal ini terjadi karena usaha mereka sudah berada di tengah-tengah pasar potensial (DKI Jakarta), sehingga dapat dijual langsung tanpa perantara. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa produk ikan asin yang banyak diolah dan pasar pelaku perikanan di sentra perikanan Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara diantaranya ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin. Sedangkan untuk produk ikan pindang, yang banyak diolah dan dipasarkan, diantaranya ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang dan ikan etem pindang.

Kedelapan jenis usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut menjadi andalan rumah tangga nelayan (RTN) selama ini, terutama dari kalangan ibu-ibu dan anak nelayan. Kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran tersebut diharapkan dapat menjadi usaha yang sangat layak secara finansial untuk dikembangkan lebih luas sehingga dapat meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah produk perikanan yang berorientasi ke pasar baik jumlah, mutu, dan harganya, serta dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya. Mengingat pentingnya peran usaha pengolahan dan pemasaran dalam ekonomi rumah tangga nelayan (RTN) maupun masyarakat pesisir di DKI Jakarta, maka kedepan usaha perikanan tersebut akan dianalisis tingkat kelayakannnya dalam penelitian ini.

Untuk memastikan hal tersebut, maka analisis kelayakan terhadap kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut perlu dilakukan menggunakan parameter finansial yang relevan. Dengan mengacu kepada Hanley dan Spash (1993), metode analisis kelayakan usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang yang digunakan adalah NPV, IRR, ROI, dan B/C Ratio.

(15)

1. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan Net Present

Value (NPV)

Dalam analisis kelayakan menggunakan parameter NPV ini, usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang dan ikan etem pindang akan dikaji selisih antara nilai sekarang (present) dari penerimaan masing-masing dengan nilai sekarang dari pengeluaran masing-masing pada tingkat bunga tertentu yang berlaku yang terjadi selama menjalankan usaha ikan asin dan pindang tersebut. Sedangkan suku bunga yang digunakan dalam analisis, mengacu kepada Bank Umum (2010) tentang bunga kurs, yaitu 14%. Hasil analisis kelayakan kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang di DKI Jakarta ini berdasarkan NPV disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan Net Present

Value (NPV)

Jenis Usaha Pengolahan

dan Pemasaran Standar NPV Nilai NPV (Rp) Keterangan

Usaha ikan teri  0 976.976 Layak

Usaha ikan japuh asin 12.273.427 Layak

Usaha ikan pari asin 6.814.871 Layak

Usaha ikan jambal asin 21.865.625 Layak

Usaha ikan selar pindang 28.551.492 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 44.617.477 Layak

Usaha ikan layang pindang 1.670.167 Layak

Usaha ikan etem pindang 23.036.901 Layak

Berdasarkan Tabel 8 tersebut, usaha ikan tongkol pindang mempunyai nilai NPV paling tinggi (Rp 44.617.477). Hal ini menunjukkan bahwa usaha ikan tongkol pindang dapat memberikan keuntungan bersih terbesar berdasarkan nilai sekarang selama masa operasinya (8 tahun). Dari hasil survai lapang, barang investasi utama seperti kuali, bak pencuci, dan gerobak dapat digunakan secara layak hingga delapan tahun kemudian

(16)

setelah dibeli/dibuat. Keuntungan bersih yang sangat tinggi dalam delapan tahun operasinya disebabkan penerimaan yang tinggi dari usaha ikan tongkol pindang yaitu mencapai Rp 273.750.00 per tahun, sementara biaya operasional relatif standar (Rp 261.869.500 per tahun). Hal ini terjadi lebih didukung oleh harga bahan baku / ikan segar yang relatif murah (Rp 11.000 per kg), intensitas produksi yang baik (3 hari sekali), dan skala pengusahaan yang menengah ke atas (200 kg per batch produksi). Terkait dengan ini, maka dari segi NPV, usaha ikan tongkol pindang mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan lanjut di DKI Jakarta.

Disamping usaha ikan tongkol pindang, usaha pengolahan dan pemasaran lainnya yang mempunyai nilai NPV tinggi diantaranya usaha ikan selar pindang (Rp 28.551.492), usaha ikan etem pindang (Rp 23.036.901), dan usaha ikan jambal asin (Rp 21.865.625). Namun bila mengacu kepada standar yang dipersyaratkan (NPV > 0), maka usaha usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang mempunyai NPV jauh di atas persyaratan minimal tersebut, sehingga dari segi NPV usaha kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut layak untuk dilanjutkan. Hanley dan Spash (1993) menyatakan bahwa nilai NPV merupakan cerminan keuntungan bersih yang didapat pelaku usaha pada kondisi terakhir saat keuntungan dihitung.

Terhadap kondisi tersebut, maka usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang yang dikembangkan di DKI Jakarta saat ini tidak perlu diragukan lagi keuntungan bersihnya berdasarkan nilai sekarang terutama bagi pemilik, meskipun operasi kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran tersebut terkadang berhenti pada musim paceklik. Hal ini tentu sangat baik, mengingat usaha pengolahan dan pemasaran tersebut telah menyatukan dengan kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir DKI Jakarta, terutama dari kalangan ibu rumah tangga dan anak-anak.

(17)

2. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan IRR

Paramater IRR penting untuk mengetahui batas untung rugi suatu usaha pengolahan dan pemasaran, yang ditunjukkan oleh suku bunga maksimal yang menyebabkan NPV = 0. Bagi usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang dijalankan di sentra perikanan DKI Jakarta, hasil analisis ini membantu usaha tersebut dalam mengelola uang yang dimiliki, sehingga keputusan pemanfaatannya lebih baik. Tabel 9, menyajikan hasil analisis kelayakan kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang di DKI Jakarta ini berdasarkan IRR.

Tabel 9 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan IRR

Jenis Usaha Pengolahan dan Pemasaran

Standar

IRR Nilai IRR (%) Keterangan Usaha ikan teri > 14 % 4,22 Tidak Layak

Usaha ikan japuh asin 52,24 Layak

Usaha ikan pari asin 24,31 Layak

Usaha ikan jambal asin 72,04 Layak

Usaha ikan selar pindang 104,21 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 131,86 Layak

Usaha ikan layang pindang 9,13 Tidak Layak

Usaha ikan etem pindang 77,90 Layak

Berdasarkan Tabel 9, usaha ikan tongkol pindang, usaha ikan selar pindang, usaha ikan etem pindang, dan usaha ikan jambal asin termasuk kelompok usaha pengolahan dan pemasaran produk olahan dengan IRR besar (persentase keuntungan besar). Nilai IRR keempat usaha pengolahan dan pemasaran produk olahan tersebut masing-masing mempunyai nilai IRR 131,86%, 104,21%, 77,90%, dan 72,04%. Usaha ikan tongkol pindang mempunyai nilai IRR paling tinggi (131,86%). Nilai IRR 131,86% ini menunjukkan bahwa menginvestasikan uang pada usaha ikan tongkol pindang di DKI Jakarta akan mendatangkan keuntungan sekitar 131,86% per tahunnya. Kondisi ini tentu sangat baik, dan hal ini

(18)

bisa jadi merupakan penyebab rumah tangga nelayan (RTN) yang mempunyai uang berlebih selalu mendorong isteri dan anaknya supaya dapat mengembangkan usaha pemindangan, terutama pada musim puncak atau bila hasil tangkapan ikan tongkol banyak. Hyndman, et. al (2008) dan Mustaruddin (2009) menyatakan bahwa ada kecenderungan pelaku usaha perikanan lebih termotivasi untuk mengembangkan usaha perikanan sampingan yang dapat menopang ekonomi keluarga daripada mengembangkan usaha lainnya di luar perikanan, dan pelibatan yang tinggi keluarga nelayan pada usaha/industri perikanan dapat mempercepat pertumbuhan dan kestabilan ekonomi pesisir.

Nilai IRR untuk usaha ikan japuh asin dan usaha ikan pari asin juga termasuk bagus, karena suku bunga bank yang berlaku hanya 14% (bunga komersial). Terkait dengan ini, maka menginvestasikan uang pada kedua usaha ini jauh lebih baik daripada menyimpan uang tersebut di bank, karena bank hanya akan memberikan bunga 14% per tahun, sedangkan usaha ikan japuh asin dan usaha ikan pari asin memberikan bunga yang berlipat ganda. Hal yang sama juga terjadi dan bahkan lebih tinggi bila uang diinvestasikan pada usaha ikan tongkol pindang, usaha ikan selar pindang, usaha ikan etem pindang dan usaha ikan jambal asin

Usaha ikan teri dan usaha ikan layang pindang mempunyai nilai IRR yang lebih rendah daripada bunga bank (14%). Terkait dengan ini, maka menginvestasikan uang pada kedua usaha ini tidak lebih bermanfaat daripada menyimpan uang tersebut di bank. Terkait dengan ini, maka dari segi IRR usaha ikan teri dan usaha ikan layang pindang tidak layak dikembangkan di DKI Jakarta. Usaha pengelolahan dan pemasaran produk olahan ini tidak dapat memberi kesejahteraan yang lebih baik bagi rumah tangga nelayan maupun masyarakat pesisr yang menjalankannya. Menurut Nikijuluw (2005), usaha ekonomi berbasis perikanan yang dilakukan oleh nelayan hendaknya dapat memberi kesejahteraan yang layak bagi keluarga tersebut, serta jika tidak maka kemiskinan dan konflik sosial akan terus terjadi di kawasan pesisir, sehingga menganggu aktivitas ekonomi lebih besar di lokasi.

(19)

Bila dilihat lebih detail ketidakmampuan kedua usaha ikan teri untuk memberikan keuntungan yang layak (IRR > 14%), dapat disebabkan oleh intensitas produksi yang rendah (rataan hanya 5 hari sekali) dan skala pengusahaan yang rendah (sekitar 80 kg per batch produksi). Hal ini terjadi karena bahan baku ikan teri tidak mudah diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di pesisir utara DKI Jakarta. Untuk usaha ikan layang pindang, IRR yang rendah lebih disebabkan oleh harga bahan baku yang tinggi relatif tinggi (Rp 11.000 per kg), sedangkan harga jualnya relatif sama dengan ikan etem yang harga bahan bakunya jauh lebih murah (Rp 7.500 per kg).

3. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan ROI

Parameter ROI penting untuk mengetahui tingkat pengembalian investasi dari benefit (penerimaan) yang diterima pemilik usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang. Usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang layak dilanjutkan bila mempunyai nilai ROI > 1 (satu). Hasil analisis kelayakan terhadap kedelapan (8) usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang ini berdasarkan parameter ROI disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan ROI Jenis Usaha Pengolahan

dan Pemasaran

Standar

ROI Nilai ROI (%) Keterangan

Usaha ikan teri > 1 163,36 Layak

Usaha ikan japuh asin 179,75 Layak

Usaha ikan pari asin 178,84 Layak

Usaha ikan jambal asin 211,01 Layak

Usaha ikan selar pindang 262,39 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 178,86 Layak

Usaha ikan layang pindang 249,82 Layak

(20)

Berdasarkan Tabel 10 tersebut, maka dari ROI, usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang layak dilanjutkan di sentra perikanan DKI Jakarta karena mempunyai nilai ROI >1. Secara umum, nilai ROI kedelapan usaha tersebut termasuk sangat tinggi. Hal ini terjadi karena biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha ikan asin dan ikan teri ini sangat rendah, sehingga dengan penerimaan darai beberapa kali produksi sebenarnya sudah dapat ditutupi. Menurut Hanley and Spash (1993) dan Muslich (1993), nilai ROI suatu usaha ekonomi menunjukkan kelipatan jumlah investasi yang bisa dikembalikan bila usaha ekonomi tersebut dijalankan. Usaha ikan tongkol pindang misalnya hanya membutuhkan biaya investasi sekitar Rp 7.100.000, padahal penerimaan usaha mencapai Rp 273.750.000 per tahun, sehingga hanya dalam beberapa saja, karena biaya investasi sudah bisa dikembalikan.

Oleh karena kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut, mempunyai nilai ROI yang lebih dari yang dipersyaratkan, maka usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang tidak akan bermasalah dalam pengembalian investasinya, bila dikembangkan lanjut di DKI Jakarta. Namun demikian, nilai ROI harus diperiksa dengan hasil analisis paramteer lainnya, sehingga keputusan kelayakan pengembangan lanjut usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang lebih tepat, memberi kesejahteraan bagi pelakunya, dan menjamin keberlanjutan usaha di masa mendatang.

4. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan B/C Ratio Hasil analisis parameter B/C Ratio ini penting untuk melihat perimbangan antara penerimaan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut dengan pembiayaan yang dikeluarkan untuk mengoperasikan usaha tersebut. Nilai B/C Ratio ini diharapkan lebih besar dari 1 (satu), yang berarti penerimaan usaha pengolahan dan

(21)

pemasaran ikan asin dan pindang dapat menutupi pembiayaan. Tabel 11 menyajikan hasil analisis kelayakan usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang di DKI Jakarta berdasarkan parameter B/C Ratio.

Tabel 11 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan B/C Ratio

Jenis Usaha Pengolahan

dan Pemasaran Standar B/C Nilai B/C Keterangan

Usaha ikan teri > 1 1,00 Tidak Layak

Usaha ikan japuh asin 1,01 Layak

Usaha ikan pari asin 1,01 Layak

Usaha ikan jambal asin 1,02 Layak

Usaha ikan selar pindang 1.02 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 1,04 Layak

Usaha ikan layang pindang 1,00 Tidak Layak

Usaha ikan etem pindang 1,02 Layak

Berdasarkan Tabel 11, usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang dan ikan etem pindang di DKI Jakarta, karena mempunyai nilai B/C Ratio yang lebih dari 1 (satu). Untuk usaha ikan tongkol pindang misalnya, setiap 1 (satu) satuan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha pengolahan dan pemasaran ikan tongkol pindang di DKI Jakarta, maka akan mendatangkan penerimaan bersih sekitar 1,04 satuan. Hal yang sama juga untuk usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, dan ikan etem pindang, dimana setiap 1 satuan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha, maka akan mendatangkan penerimaan bersih masing-masing 1,01 satuan, 1,01 satuan, 1,02 satuan, 1,02 satuan dan 1,02 satuan.

Secara sepintas, jumlah penerimaan bersih berdasarkan analisis B/C Ratio ini tidak terlalu besar. Hal ini karena pembandingnya merupakan

(22)

akumulasi biaya yang dikeluarkan selama menjalankan usaha pengolahan dan pemasaran produk olahan tersebut (8 tahun). Setiap rumah tangga nelayan (RTN) yang melakukan usaha ikan asin dan pindang, maka sebagian dari penerimaan yang didapat, digunakan kembali menjadi biaya operasional dan diawal operasi, mereka juga sudah mengeluarkan biaya untuk investasi. Oleh karena semua biaya tersebut diperhitungkan, maka sangat wajar bila rasio penerimaan dikatakan baik dengan hanya lebih beberapa satuan dari akumulasi biaya tersebut. Menurut Safi’i (2007), bila rasio penerimaan dengan biaya dikonversi kepada nilai riil satuan mata uang yang digunakan dalam operasional usaha (satuan rupiah), maka nilai kelebihan penerimaan akan terlihat jelas, dan kelebihan tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik usaha. Usaha ikan teri dan ikan layang pindang mempunyai nilai B/C ratio 1,00, yang berarti bahwa penerimaan bersih kedua usaha ikan asin dan pindang tersebut sama dengan biaya yang dikeluarkan (tidak ada keuntungan). Dengan demikian, usaha ikan teri dan ikan layang pindang tidak layak dikembangkan lanjut di sentra perikanan DKI Jakarta.

Bila mengacu kepada semua parameter finansial yang digunakan, maka hanya ada enam usaha pengelolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang yang layak dikembangkan lanjut (diteruskan) di DKI Jakarta, yaitu usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, dan ikan etem pindang. Sedangkan usaha ikan teri dan ikan layang pindang tidak layak dikembangkan lanjut karena mempunyai nilai IRR dan B/C ratio yang lebih rendah dari standar yang dipersyaratkan.

Menurut Cahyono (1997) dan Yusron, et. al (2001), penggabungan analisis parameter finansial ini dapat membantu menetapkan keputusan pengembangan yang lebih tepat pada suatu proyek atau kegiatan ekonomi, karena diantara parameter finansial tersebut dapat saling cek silang. Suatu proyek atau kegiatan ekonomi dikatakan layak dikembangkan bila standar yang dipersyaratkan oleh setiap paramater tersebut dapat dipenuhi dengan baik, dan ini mengindikasikan bahwa proyek atau kegiatan ekonomi

(23)

tersebut akan memberi manfaat nyata pelakunya, baik ditunjau dari penerimaan bersih, kemampuan pengembalian investasi, maupun kewajaran keuntungan yang didapat pelakunya. Pengembangan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang di DKI Jakarta harus dilakukan dengan konsep ini, sehingga keberadaannya dapat secara nyata meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan dan masyarakat pesisir, serta percepatan pembangunan ekonomi perikanan di DKI Jakarta.

4.4 Perumusan Strategi Pengembangan Produk Olahan Hasil Perikanan 1. Rancangan Struktur Hierarki

Rancangan struktur hierarki ini disusun untuk menetapkan formula dalam analisis prioritas strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan terutama dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Dengan mengacu kepada metodologi penelitian, perumusan strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan ini dilakukan dengan pendekatan analisis hierarki. Hal ini penting supaya prioritas strategi pengembangan yang dipilih benar-benar merupakan strategi terbaik bagi pengembangan produk olahan hasil perikanan terutama dari jenis ikan asin dan pindang, serta mengakomodir semua komponen pengelolaan terkait baik yang menjadi kriteria pengembangan maupun pembatas pengembangan.

Pemilihan strategi prioritas untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta ini sangat ditentukan oleh kriteria pengembangan yang ingin dicapai, pembatas pengembangan dan alternatif strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan yang ditawarkan. Hasil identifikasi lapang dan studi literatur menunjukkan paling tidak ada empat kriteria yang perlu dicapai dari pengembangan produk olahan hasil perikanan, terutama dari jenis ikan asin dan pindang adalah :

a. Pertumbuhan (growth)

b. Kesinambungan (sustainable) c. Peningkatan daya saing produk d. Peningkatan profit

(24)

Dalam struktur hierarki yang dikembangkan, keempat kriteria pengembangan ini berada di level 2 setelah goal di level 1.

Pemilihan strategi prioritas untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan terutama dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta ini juga dipengaruhi berbagai kendala/pembatas. Kendala/pembatas ini merupakan gambaran kondisi dan kebutuhan pengembangan, namun mempunyai keterbatasan baik kualitas maupun kuantitas, sehingga dapat menjadi menghambat kegiatan pengembangan produk olahan hasil perikanan. Terkait dengan ini, maka strategi pengembangan yang baik adalah strategi yang dapat mengakomodir dan mengontrol keterbatasan tersebut, sehingga mendukung pengembangan produk olahan hasil perikanan jenis ikan asin dan pindang dan bukan sebaliknya. Hal-hal yang bisa menjadi kendala/pembatas dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta diantaranya adalah:

a. Ketersediaan sumber daya ikan (SDI) b. Mutu SDM

c. Kekuatan modal d. Teknologi pengolahan

Faktor pembatas tersebut akan menentukan dan mempengaruhi pemenuhan kriteria pengembangan yang perlu dicapai, dimana dalam struktur hierarki, faktor tersebut berada di level 3. Sedangkan alternatif strategi yang ditawarkan untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta mengacu kepada Glueck dan Jauch (1988) dan Porter (1997) adalah :

a. Strategi stabilitas, menitiberatkan pada peningkatan efiesien, resiko kecil, namun jenis dan jumlah produk stabil.

b. Strategi ekspansi, menitiberatkan pada penambahan jumlah produk, pasar, dan fungsi-fungsi unit usaha

c. Strategi diversifikasi, menitiberatkan pada penciptaan produk baru, kemasan baru, dan cara pelayanan baru produk

d. Strategi penciutan, menitikberatkan pada pengurangan produksi untuk mengurangi kerugian dan dampak negatif persaingan

(25)

e. Strategi kombinasi, menitiberatkan penambahan produk pada pasar kondusif dan stabilitas pada kondisi pasar tidak kondusif.

Dalam struktur hierarki AHP, alternatif strategi yang ditawarkan untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan ini akan mengisi posisi level 4 dalam struktur hierarki AHP yang dikembangkan. Berdasarkan semua uraian tersebut, maka struktur hierarki pemilihan strategi prioritas untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta dapat dirancang, seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur hierarki pemilihan strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang

Pada Gambar 2 terlihat bahwa ada tiga tahapan analisis hierarki yang dilakukan untuk pemilihan strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta, yaitu (a) analisis kepentingan empat (4) kriteria pengembangan yang ingin dicapai, (b) analisis kepentingan lima (5) faktor pembatas dalam pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhanratu, dan (c) analisis kepentingan setiap Pemilihan Strategi Prioritas Pengembangan Produk Olahan Hasil

Perikanan GOAL

Limit Factor SDI SDM Modal Teknologi

Kriteria Pengembangan

Growth Sustainable Daya Saing Profit

Stabilitas Ekspansi Diversifikasi Penciutan Kombinasi

Alternatif

(26)

alternatif strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang. Untuk mengakomodir kepentingan semua komponen pengelolaan dalam hierarki AHP ini, maka pendapat dan pertimbangan semua stakeholders dan komponen terkait dengan pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta sangat diharapkan.

2. Kriteria Pengembangan Produk Olahan Hasil Perikanan

Kriteria yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta adalah pemenuhan semua aspek yang menjadi perhatian dan harapan dari kegiatan pengembangan. Menurut Hendriwan, et. al (2008) dan hasil identifikasi lapang pengembangan produk dan usaha perikanan haruslah memperhatikan yang menjamin perkembangan/pertumbuhan, kesimbungan, peningkatan daya saing dan profit dari pengusahaan produk tersebut. Hasil analisis kepentingan kriteria pengembangan tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hasil analisis kepentingan kriteria pengembangan

Dalam analisis hierarki menggunakan AHP, hasil penilaian setiap kriteria pengembangan ditunjukkan oleh tingkat kepentingannya terkait pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Berdasarkan Gambar 4.3, kriteria peningkatan daya saing produk merupakan kriteria pengembangan paling

(27)

berkepentingan dengan pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang, yaitu dengan rasio kepentingan (RK) 0,330 pada inconsistency terpercaya 0,07. Sedangkan batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah tidak lebih dari 0,1. Tingginya rasio kepentingan kriteria peningkatan daya saing produk ini terlihat dari hasil uji banding berpandangan (format AHP) antar kriteria pengembangan terkait seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil uji banding berpasangan antar kriteria pengembangan

Berdasarkan Gambar 4, kriteria peningkatan daya saing produk lebih penting dua kali daripada kriteria kesinambungan (sustainable) dan kriteria peningkatan profit dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Kriteria peningkatan daya saing produk sama penting dengan kriteria pertumbuhan (growth), dan tidak ada kriteria pengembangan yang lebih penting daripada peningkatan daya saing produk. Kriteria pertumbuhan (growth) merupakan kriteria pengembangan yang berkepentingan kedua terhadap pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta, yaitu dengan rasio kepentingan (RK) 0,288 pada inconsistency terpercaya 0,07. Pada Gambar 4.4, meskipun kriteria pertumbuhan (growth) tidak seurgen kriteria peningkatan daya saing produk, tetapi

(28)

kriteria pertumbuhan (growth) ini lebih penting dua kali daripada kriteria kesinambungan (sustainable). Pertumbuhan merupakan syarat utama adanya kegiatan ekonomi yang dipelihara kesinambungannya spaya terus bermanfaat.

Kriteria kesinambungan (sustainable) merupakan kriteria pengembangan yang berkepentingan urutan ketiga terkait pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarat, yaitu dengan rasio kepentingan 0,207 pada inconsistency terpercaya 0,07. Hasil uji banding berpasangan (Gambar 4.4) menunjukkan bahwa kriteria kesinambungan (sustainable) kalah penting daripada kriteria peningkatan daya saing produk dan pertumbuhan (growth), sedangkan dengan kriteria peningkatan profit lebih penting dua kali. Kriteria peningkatan profit merupakan kriteria pengembangan yang berkepentingan urutan keempat (terakhir) terkait pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta, yaitu dengan rasio kepentingan 0,175 pada inconsistency terpercaya 0,07. 3. Faktor Pembatas (Limit Factors) Pengembangan Produk Olahan Hasil

Perikanan

Selain kriteria pengembangan yang cenderung berupa harapan ke depan, pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta juga dihadapkan pada berbagai keterbatasan yang ada. Menurut Saaty (1993) dan Dahuri (2001), strategi pengembangan yang baik adalah strategi pengembangan yang dapat mengakomadir secara maksimal kriteria pengembangan dengan memperhatikan berbagai faktor pembatas (limit factors) yang ada di sentra perikanan. Hal ini penting untuk menjamin kelangsungan usaha produk olahan dan nilai manfaat yang dapat diterima oleh pelaku perikanan. Hasil analisis setiap faktor pembatas (limit factors) yang ada terkait kriteria pertumbuhan (growth) dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta disajikan pada Gambar 5.

(29)

Gambar 5 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas terkait kriteria pertumbuhan (growth) dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang

Dalam upaya mencari strategi yang tepat untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang, maka faktor pembatas yang terdiri dari ketersediaan sumberdaya ikan (SDI), kualitas sumberdaya manusia (SDM), kekuatan modal, dan teknologi pengolahan yang digunakan perlu dipertimbangkan, karena faktor pembatas tersebut akan menentukan tingkat upaya yang bisa dilakukan. Dalam kaitan dengan kriteria pertumbuhan (growth), maka ketersediaan sumberdaya ikan (SDI) menjadi faktor pembatas paling penting (RK = 0,366 pada

inconsistency terpercaya 0,02) untuk diperhatikan dalam pengembangan

produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang DKI Jakarta. Dari lima strategi pengembangan yang ditawarkan, tentu ada yang lebih sesuai dan dapat mengakomodir lebih baik kriteria pertumbuhan (growth) ini dan faktor pembatasnya yang dominan (ketersediaan sumberdaya ikan) tersebut.

Kualitas sumberdaya manusia merupakan faktor pembatas yang penting kedua terkait kriteria pertumbuhan (growth) dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Pada Gambar 5, faktor pembatas ini mempunyai rasio kepentingan (RK) 0,278 pada inconsistency terpercaya 0,02 terkait kriteria

(30)

pertumbuhan (growth). Teknologi pengolahan merupakan faktor pembatas paling rendah kepentingannya terkait kriteria pertumbuhan (growth), yaitu dengan rasio kepentingan (RK) 0,124 pada inconsistency terpercaya 0,02.

Dalam pemenuhan kriteria kesinambungan (sustainable), ketersediaan sumberdaya ikan (SDI) juga menjadi faktor pembatas paling penting dan perlu menjadi perhatian bila suatu strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang diterapkan di DKI Jakarta. Hasil analisis pada Gambar 6 menunjukkan hal ini, dimana pembatas ketersediaan sumberdaya ikan (SDI) mempunyai rasio kepentingan 0,110 pada inconsistency terpercaya 0,02.

Gambar 6 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas terkait kriteria kesinambungan (sustainable) dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang

Kekuatan modal menjadi faktor pembatas yang berkepentingan kedua terkait kriteria kesinambungan (sustainable) ini, bila suatu strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang diimplementasikan di DKI Jakarta, yaitu dengan rasio kepentingan 0,302 pada inconsistency terpercaya 0,02. Menurut Hendriwan, et. al (2008) dan Murdiyanto (2004), kekuatan modal ini sangat menentukan skala usaha produk olahan yang bisa dilakukan, kelancaran pembayaran, perputaran usaha, dan menjadi penjamin kelangsungan usaha produk olahan di masa datang. Bila modal mandiri

(31)

tidak tersedia dengan baik, sementara kredit perbankan sulit didapat, maka usaha produk olahan tidak bertahan lama. Hal ini perlu menjadi perhatian penting dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang. Strategi pengembangan produk olahan yang baik tentu dapat memecahkan berbagai keterbatasan tersebut.

Kualitas SDM dan teknologi pengolahan menjadi faktor pembatas ketiga dan keempat (terakhir) yang berkepentingan terkait kriteria kesinambungan (sustainable) dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang. Kualitas SDM mempunyai rasio kepentingan 0,230 pada inconsistency terpercaya 0,02, sedangkan teknologi pengolahan mempunyai rasio kepentingan 0,110 pada

inconsistency terpercaya 0,02. Gambar 7 menyajikan hasil analisis

kepentingan faktor pembatas pengembangan terkait kriteria peningkatan daya saing dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta.

Gambar 7 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas terkait kriteria peningkatan daya saing dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang

Berdasarkan Gambar 7, dalam pemenuhan kriteria peningkatan daya saing, kekuatan modal menjadi faktor pembatas paling penting dan perlu menjadi perhatian bila suatu strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang ingin diterapkan di DKI Jakarta. Faktor pembatas ini mempunyai rasio kepentingan 0,377 pada

(32)

inconsistency terpercaya 0,04. Ketersediaan SDI menjadi faktor pembatas

urutan kedua paling penting dan perlu diperhatikan terkait kriteria peningkatan daya saing dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Faktor pembatas ini mempunyai rasio kepentingan 0,273 pada inconsistency terpercaya 0,04. Teknologi pengolahan menjadi faktor pembatas paling rendah kepentingannya terkait kriteria peningkatan daya saing, dengan rasio kepentingan 0,126 pada inconsistency terpercaya 0,04.

Dalam pemenuhan kriteria peningkatan profit, teknologi pengolahan tersebut menjadi faktor pembatas paling penting dan perlu menjadi perhatian bila suatu strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang ingin diterapkan di DKI Jakarta. Gambar 8 menyajikan hasil analisis kepentingan faktor pembatas pengembangan terkait kriteria peningkatan profit dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta.

Gambar 8 Hasil analisis kepentingan faktor pembatas terkait kriteria peningkatan profit dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta

Berdasarkan Gambar 8, teknologi pengolahan menjadi faktor pembatas berkepentingan pertama yang terkait dengan kriteria peningkatan

profit. bila suatu strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan

dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta, yaitu dengan rasio kepentingan 0,334 pada inconsistency terpercaya 0,09. Menurut

(33)

Kusumastanto (2007), teknologi pengolahan terutama dalam penyortiran, pemotongan, dan pemasakan sangat mempengaruhi produktivitas proses dan menentukan jumlah produk reject. Strategi pengembangan yang baik tentu dapat mengakomodir tuntutan profit yang layak, melalui peningkatan kinerja usaha dan pengembangan teknologi pengolahan yang lebih tepat. Tingkat kepentingan faktor pembatas tersebut menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang yang tepat di sentra-sentra perikanan DKI Jakarta.

Kekuatan modal menjadi menjadi faktor pembatas urutan kedua yang berkepentingan terkait kriteria peningkatan profit dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Kekuatan modal ini mempunyai rasio kepentingan .0,245 pada

inconsistency terpercaya 0,09. Ketersediaan SDI menjadi faktor pembatas

berkepentingan ketiga terkait kriteria peningkatan profit dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta (RK = 0,254 pada inconsistency terpercaya 0,09).

Hal tersebut terjadi karena ketersediaan SDI mempengaruhi supply bahan baku, yang bila tidak lancar maka produksi terganggu dan produk olahan yang dihasilkan juga tidak banyak, sehingga menurunkan keuntungan (profit) yang didapat pelaku perikanan. Ketersediaan SDM merupakan merupakan faktor pembatas yang paling rendah kepentingannya terkait kriteria peningkatan profit bila suatu strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang ingin diimplementasikan di DKI Jakarta. Faktor pembatas ini mempunyai rasio kepentingan 0,167 pada inconsistency terpercaya 0,09.

(34)

4.5 Pemilihan Strategi Pengembangan Produk Olahan Hasil Perikanan Yang Tepat

1. Hasil Analisis Alternatif Strategi Pengembangan

Pemilihan strategi priorritas pengembangan ditentukan melalui pertimbangan bertingkat dari semua kriteria pengembangan dan faktor pembatas dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Keempat kriteria pengembangan dan keempat faktor pembatas pengembangan telah dianalisis pada bagian sebelumnya, dan semuanya hasil analisisnya mempengaruhi pemilihan strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Mengacu kepada jumlah kriteria pengembangan (4 buah) dan faktor pembatas pengembangan (5 buah) tersebut, maka jumlah pertimbangan untuk setiap alternatif strategi pengembangan yang ditawarkan ada sekitar 16 pertimbangan. Kombinasi pertimbangan yang menyeluruh ini memberi indikasi bahwa strategi pengembangan yang dipilih akan lebih dapat mengakomodir semua kriteria, kepentingan, dan keterbatasan yang ada dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta.

Pada Bagian 4.3.1 telah dijelaskan, alternatif strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang yang ditawarkan di DKI Jakarta, yaitu adalah strategi stabilitas, strategi ekspansi, strategi diversifikasi, strategi pencuitan, dan strategi kombinasi. Hasil analisis pemilihan strategi prioritas untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta setelah diolah menggunakan software TeamEC ditunjukkan pada Gambar 9.

(35)

Gambar 9 Hasil analisis pemilihan strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta (berdasarkan urutan prioritas)

Berdasarkan Gambar 9, alternatif strategi diversifikasi mempunyai rasio kepentingan paling tinggi dibandingkan empat (4) alternatif strategi pengembangan lainnya, yaitu sekitar 0,267 pada inconsistency terpercaya 0,06. Sedangkan secara statistik, batas inconsistency yang diperbolehkan adalah tidak lebih dari 0,1. Terkait dengan ini, strategi diversifikasi merupakan strategi paling tepat untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta (prioritas pertama).

Strategi ekspansi merupakan strategi prioritas kedua dalam mendukung pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Strategi ini dapat menjadi back-up strategi diversifikasi untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta, terutama bila banyak kendala untuk mengembangkan produk olahan baru, kemasan baru dan cara pelayanan baru produk.

(36)

Gambar 10 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima alternatif strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dalam mengakomodir pembatas ketersediaan SDI terkait kriteria pertumbuhan (growth)

Tingginya rasio kepentingan strategi diversifikasi ini ini sudah terlihat dari interaksi beberapa faktor pembatas, seperti interaksi faktor pembatas ketersediaan SDI terkait kriteria pertumbuhan (growth) (Gambar 10) dan interaksi pembatas kekuatan modal terkait kriteria peningkatan daya saing (Gambar 11). Berdasarkan Gambar 10, strategi diversifikasi 2 (dua) kali lebih penting daripada strategi stabilitas, strategi ekspansi dan strategi kombinasi dalam mengakomodir pembatas ketersediaan SDI terkait kriteria pertumbuhan (growth). Hal ini menunjukkan bahwa untuk mensiasati kondisi sumber daya ikan terbatas, maka strategi diversifikasi dianggap strategi paling tepat untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Diversifikasi ini memberi ruang untuk meningkatkan variasi dan nilai tambah produk olahan, memberi lapangan kerja, sehingga kegiatan perikanan tidak lagi terlalu difoksukan pada kegiatan penangkapan ikan (bila berlebihan

(37)

mengancamam ketersediaan SDI). Diversifikasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk memperbaiki kemasan produk, ukuran dan rasa produk, pola penyediaan produk, dan lainnya.

Gambar 11 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima alternatif strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dalam mengakomodir pembatas kekuatan modal terkait kriteria peningkatan daya saing

Berdasarkan Gambar 11, strategi diversifikasi 3 (tiga) kali lebih penting daripada strategi stabilitas dan 2 (dua) kali lebih penting daripada strategi ekspansi dalam mengakomodir pembatas kekuatan modal terkait kriteria peningkatan daya saing. Hal ini menunjukkan bahwa strategi diversifikasi lebih dapat diandalkan daripada strategi lainnya dalam menyesiasati keterbatasan modal. Strategi diversifikasi menekankan pada penciptaan sesuatu yang baru baik terkait dengan produk, kemasan, maupun pangsa pasarnya. Hal ini tentu akan lebih menarik minat investor daripada hanya sekedar bertahan (stabilitas) maupun penjualan besar-besaran terhadap produk yang sama (ekspansi). Dahuri (2001) menyatakan bahwa kebaruan suatu produk akan memberi ruang bagi penciptaan pasar baru, dan penanaman modal investor akan mengikutinya. Secara jangka panjang hal ini akan berdampak pada percepatan

(38)

pembangunan ekonomi, yang pada bidang perikanan terlihat pada berkembangnya dengan pesat beberapa kawasan pesisir.

2. Hasil Uji Sensitivitas Strategi Pengembangan Terpilih

Hasil analisis sebelumnya menunjukkan strategi diversifikasi terpilih sebagai strategi pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang yang paling tepat di DKI Jakarta. Untuk lebih jauh mengetahui keunggulan strategi diversifikasi dalam pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta, maka perlu dilakukan analisis sensitivitas. Hasil analisis sensitivitas juga memberi petunjuk tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan, terutama terkait kriteria pengembangan yang ada, sehingga strategi diversifikasi tersebut tetap bertahan sebagai strategi terbaik untuk pengembangan produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Tabel 12 menyajikan hasil analisis sensitivitas strategi diversifikasi (strategi terpilih).

Tabel 12 Hasil analisis sensitivitas strategi diversifikasi

No.

Kriteria Pengembangan Rasio Kepentingan (RK) Awal Sensitivitas Range RK Stabil Range RK Sensitif 1 Pertumbuhan (growth) 0,288 0 – 1 Tidak Ada

2 Kesinambungan (sustainable)

0,207 0 – 1 Tidak Ada

3 Peningkatan daya saing produk

0,330 0 – 1 Tidak Ada

4 Peningkatan profit 0,175 0 – 1 Tidak Ada

Sumber : AHP

Berdasarkan Tabel 12 tersebut, intervensi kepentingan ditunjukkan oleh tuntutan pemenuhan terhadap berbagai kriteria pengembangan yang ada. Hal ini cukup wajar karena kriteria-kritera tersebut merupakan penentu atau ukuran keberhasilan dari suatu kegiatan pengembangan produk olahan hasil perikanan termasuk dari jenis ikan asin dan pindang di DKI Jakarta. Pada Tabel 4.4, strategi diversifikasi stabil terhadap intervensi atau dinamika perubahan yang terjadi terkait kriteria

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) memetakan pemasaran produk perikanan yang meliputi ikan mas, ikan asin dan ikan pindang yang dijual di Pasar Leuwiliang, (2) mengetahui

Hasil tangkapan yang didistribusikan ke daerah tersebut dapat berupa ikan segar atau ikan olahan (pindang dan asin). Penanganan mutu ikan dalam pendistribusian hasil tangkapan

Korelasi positif yang dimiliki variabel pengaruh teman ini terhadap faktor kedelapan (dilihat dari nilai loading factor, Tabel 8) menunjukkan bahwa konsumen akan

Berdasarkan Tabel (23,24,25) jika dilihat dari lembaga pemasaran ketiga saluran pemasaran dengan jenis ikan tongkol, kembung dan bentong pedagang pengumpul

Berdasarkan dari ketiga tabel tersebut yaitu Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5 adalah biaya yang dikeluarkan dalam usaha produksi pemasaran ikan konsumsi antara lain

Total skor faktor internal pengelolaan pemasaran produk olahan hasil perikanan dari jenis ikan asin dan pindang (2,58), dan total skor faktor eksternalnya sekitar 2,54

Analisis usaha pengolahan ikan asin yaitu penelitian terhadap kelangsungan usaha pengolahan ikan asin dengan meninjau dari berbagai hal yang meliputi biaya,

Nugroho SN, M.Si selaku Kasi Pembinaan Perdagangan dan Pemasaran , bahwa Kampoeng Bebek dan telur Asin Desa Kebonsari Sidoarjo dahulu hanya mempunyai satu prodak olahan