• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Lingkungan Penambangan Gamping

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak Lingkungan Penambangan Gamping"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN LINGKUNGAN AKIBAT PENAMBANGAN BATU GAMPING DAN ALTERNATIF UNTUK MENGURANGI DAMPAKNYA.

Pendahuluan

Karst merupakan suatu ekosistem dengan karakteristik yang berbeda dan terbentuk dari kombinasi batuan yang tinggi dan pembentukan porositas sekunder. Ciri suatu kawasan karst adalah terbentuknya hidrologi bawah tanah (Ford dan Williams 1989 dalam Wong et al 2001). Bentang alam tersebut baik kelompok maupun tunggal, dibentuk dan dipengaruhi oleh proses pelarutan yang intensitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan batuan lainnya. Proses pelarutan kimiawi yang terjadi karena air ini kaya akan CO2. Baik yang

berasal dari atmosfer, maupun dari hasil pembusukan sisa-sisa tumbuhan atau humus. Untuk menjaga kelangsungan proses karstifikasi, maka proses alam yang membentuk bentang alam karst harus dipertahankan. Dalam konteks yang lebih luas, kawasan karst merupakan perpaduan antara unsur-unsur morfologi, kehidupan, energi, gas, tanah, dan batuan yang membentuk satu kesatuan sistem yang utuh. Gangguan terhadap salah satu unsur akan mempengaruhi seluruh sistem.

Keanekaragaman nilai strategis (ilmiah, ekonomi, dan kemanusiaan) yang dimiliki oleh kawasan karst akan menuntut upaya pengelolaannya (pemanfaatan dan perlindungan) yang dilakukan secara holistik (lintas sektor dan multi disiplin). Tidak dapat dipungkiri lagi, karst memiliki berbagai potensi yang luar biasa jika dapat dimanfaatkan, seperti potensi batu gamping yang merupakan salah satu dari sumber mineral terbesar di daerah karst. Batuan ini sering digunakan sebagai ornamen/hiasan, campuran pembuatan semen, serta bahan baku industri-industri seperti untuk bahan pemutih, penjernih air dan bahan pestisida. Industri skala besar yang memanfaatkan batu gamping sebagai bahan dasar utama adalah pabrik semen. Pabrik semen di Indonesia pada umumnya menggunakan teknologi basah, sehingga membutuhkan banyak air. Air tersebut biasanya mengambil dari sungai bawah tanah di kawasan karst itu sendiri (Suyanto 2008). Proses pembuatan semen umumnya menggunakan teknik penambangan terbuka dalam bentuk kuari tipe sisi bukit (side hill type quarry). Penambangan skala besar menggunakan sistem peledakan beruntun, peralatan berat antara lain escavator dan ripper (penggaru), sedangkan untuk penambangan skala kecil dilakukan dengan alat sederhana dengan cangkul, ganco, dan sekop (Minerhe, 2009). Kegiatan

(2)

penambangan tersebut tentunya akan menimbulkan eksternalitas baik eksternalitas positif maupun negatif.

Dampak Lingkungan dari Penambangan Batu Gamping

Diperkirakan lebih dari 2/3 kegiatan eksploitasi bahan tambang di dunia, dilakukan dengan pertambangan terbuka yang biasanya dilakukan dengan open cast mining, strip mining,

open-pit mining dan quarrying, tergantung pada posisi dan bentuk geometris cadangan serta

jenis komoditinya. Dampak kegiatan penambangan terbuka antara lain morfologi perbukitan, tanah pucuk dan vegetasi penutup, membentuk lereng-lereng yang terjal, sehingga rentan terhadap longsoran serta mengubah kondisi hidrologi dan kesuburan tanah. Menurut William (2001), kegiatan penambangan dapat memicu timbulnya permasalahan degradasi lingkungan yang berawal dari hilangnya tutupan vegetasi dan perubahan topographi (engineering impact) yang umumnya diikuti dengan dampak negatif menurunnya kemampuan peresapan air dan tingginya tingkat erosi (cascading impact), akan bermuara terhadap degradasi kesuburan tanah dan sistem hidrologi. Pada kegiatan penambangan batu gamping, partikel-partikel yang dihasilkan dan berpotensi sebagai sumber pencemaran udara adalah SiO2, Al2O3, MgO,

3CaOSiO (Wardhana, 1995).

Kemudian merujuk pada teori hidrologi karst dan kenyataan banyaknya penambangan pada daerah tangkapan sistem SBT (Sungai Bawah Tanah) ini, maka akan dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1. Akan terjadi degradasi jumlah air yang tersimpan sebagai komponen sungai karena hilangnya bukit karst. Sebagai suatu akuifer yang sangat berpotensi, bukit‐ bukit karst (conical hills) dengan porositas sekundernya yang mencapai lebih dari 30% pada zone epikarst berperan sangat penting sebagai reservoir utama kawasan ini.

2. Akan terjadi perubahan perilaku waktu tunda terhadap hujan puncak pada puncak debit mataair maupun SBT. Berkurangnya zona epikarst pada permukaan bukit gamping akan merubah perilaku pengisian komponen diffuse yang menjadi komponen air andalan pada saat musim kemarau. Sebaliknya, waktu tunda puncak banjir bisa menjadi lebih cepat setelah kejadian hujan karena rusaknya fungsi regulator pada permukaan bukit karst.

(3)

3. Akan ada perubahan komposisi aliran dasar (diffuse flow) dibanding aliran total. Jika permukaan bukit karst ditambang, maka proporsi aliran dasar terhadap aliran total sungai otomatis akan berkurang. Hal ini akan meningkatkan agresivitas air tanah terutama pada saat musim hujan, sehingga proses pelarutan akan menjadi semakin cepat, perkembangan lorong-lorong pada akuifer karst akan semakin cepat, dan pelebaran lorong SBT akan semakin cepat. Akibatnya, fungsi akuifer karst sebagai penahan air sebelum dilepaskan menuju SBT akan berkurang, sehingga akan lebih sulit mempertahankan jumlah debit andalan saat musim kemarau (Adji, 2005). Berdasarkan teori epikarst, penambangan bukit gamping akan mengurangi jumlah simpanan air

diffuse, dan sebaliknya akan meningkatkan aliran conduit saat banjir. Dampak yang

sangat tidak diharapkan adalah bertambahnya persentese aliran conduit saat musim hujan (banjir) tetapi berkurangnya persentase aliran diffuse saat musim kemarau.

4. Adanya degradasi atau kemungkinan pencemaran kualitas air. Jika aktivitas penambangan menemukan “luweng” atau lorong vertikal saat menambang, maka tidak akan ada lagi filter atau saringan yang dapat menahan berbagai macam polutan dari permukaan (limbah, pemupukan, sampah, dll) untuk sampai ke sungai bawah tanah, karena zona epikarst di atasnya sudah habis ditambang.

5. Berpotensi terhadap efek rumah kaca dan pemanasan global. Ekosistem karst melalui siklus hidrologi yang ada didalamnya juga mempunyai peran terhadap penyerapan karbon, pengkonsumsi karbon dan penyeimbang siklus karbon yang dapat mereduksi efek rumah kaca dan pemanasan global yang terjadi.

Alternatif untuk Mengurangi Dampak Lingkungan dari Penambangan

Batu Gamping

Masalah utama yang timbul akibat kegiatan penambangan batu gamping adalah hilangnya vegetasi, tanah penutup serta terjadinya perubahan morfologi dan topografi yang juga mengakibatkan hilangnya bagian atas batu gamping yang mempunyai porositas tinggi. Dampak ini akan diikuti dengan perubahan karakteristik tanah maupun batuan pasca tambang. Terjadinya pemadatan dalam penimbunan top soil pada rehabilitasi lahan pasca tambang dan tertutupnya rekahan (porositas sekunder) batu gamping pada lantai tambang

(4)

oleh partikel batuan, debu dan beban alat berat, akan menghambat infiltrasi baik pada tanah maupun pada lantai tambang.

Alternatif untuk meningkatkan kemampuan meresapkan air pada tanah revegetasi adalah dengan menghindari terjadinya proses pemadatan pada saat restorasi dalam proses penimbunan, antara lain tidak melakukan penimbunan pada kondisi tanah masih basah atau sistim penimbunan dilakukan dari yang paling jauh secara mundur, sehingga tanah yang baru ditimbun tidak terjadi pemadatan akibat terlindas truk pengangkut tanah timbun. Sedangkan upaya untuk meningkatkan kemampuan menyimpan air (water holding capacity) batu gamping pasca tambang, bisa dilakukan dengan rekayasa membuat rekahan buatan (artificial

crack) pada lantai pasca tambang dengan softblastin. Selanjutnya ditimbun tanah pucuk, yang

dilanjutkan dengan revegetasi dengan jenis tanaman yang mempunyai sistem perakaran yang kuat memecah batuan. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam didasarkan pada adaptabilitas, cepat tumbuh, diketahui teknik silvikultur, ketersediaan bahan tanam, dan dapat bersimbiosis dengan mikoriza. Penggunaan mikoriza sangat diperlukan sebagai salah satu alternatif untuk merestorasi lahan bekas tambang. Mikoroza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang cukup populer, yaitu cendawan mikoriza arbuskula yang dapat digunakan sebagai pupuk biologis. Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) ini adalah salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas, dan kualitas tanaman utamanya tanaman yang ditanam pada lahan-lahan yang kurang subur, seperti lahan bekas tambang.

Penanganan reklamasi lahan pasca tambang hendaknya dilakukan seoptimal dan secepat mungkin serta dilaksanakan secara progresif sesuai dengan kemajuan penambangan. Dalam tahapan penambangan selanjutnya, sebaiknya perlu mengkonservasi daerah batugamping dengan porositas tinggi yang berfungsi sebagai resapan. Hal ini diperlukan agar kelestarian lingkungan, terutama ketersediaan air, dapat terjaga.

(5)

Referensi

Adji, T.N., 2010. Kondisi Daerah Tangkapan Sungai Bawah Tanah Karst Gunung Sewu dan Kemungkinan Dampak Lingkungannya terhadap Sumberdaya Air Karena Aktivitas Manusia. Paper on Seminar UGK ‐ BPDAS SOP

Djakamihardja, A,S., Mulyadi, D., 2013. Implikasi Penambangan Batu gamping Terhadap Kondisi Hidrologi di Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan, Vol.23, No.1, Juni 2013, 49-60

Hidayati, S., Suryadi, D., Kasih, F.D., Wiratama, C., 2009. Identifikasi Dampak dan Kerusakan Kawasan Karst Cibinong Akibat Aktivitas Penambangan di Desa Leuwikaret oleh PT Indocement. IPB, Bogor

Referensi

Dokumen terkait

Dari berbagai Uraian di atas dapat di tarik simpulan bahwa loyalitas nasabah adalah sikap seorang konsumen yang tidak akan pernah pindah ke pihak lain, serta

Dengan adanya berat kering akar yang tinggi menunjukkan pertumbuhan akar adventif yang lebih banyak sehingga dapat diindikasikan merupakan tanaman yang tahan

Raspatikalpa merupakan naskah Merapi-Merbabu yang menjadi koleksi dari PNRI yang tergolong naskah jamak dengan 16 judul naskah yang sama dan satu judul berbeda

[r]

b. Penelitian survei dapat digunakan untuk mendapatkan informasi/ data yang tidak dapat diperoleh dari sumber lain. Dengan kuesioner dapat menghasilkan data/

Hasil penelitian pada tabel 5.6 dengan jumlah responden 35 menunjukkan hasil uji statistik (Chi-Square test) di dapat P.Value = 0,035 atau P.Value ≤ 

Pengaruh perlakuan deoperlukasi benih dan media perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren ( Arenga pinnata (Wurmb) Merr).. Parameter Pengujian Vigor Benih dari

Keluarga besar Hijau Hitam Fak Ilmu Budaya, (Bang Eko, Bang Budi, Bang Ansor, Bang Daru, Bang Evan, Bang Zulfan, Bang Palit, Bang Bembeng Saswanda, Bang Fajar, Bang Izala,