Parameter Lingkungan Suhu
Hasil pengukuran suhu perairan dari semua stasiun selama penelitian berkisar antara 26.7 - 31.4 oC dengan rata-rata 29.0 ± 1.0 oC (Lampiran 3). Suhu perairan di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh penyinaran dan curah hujan yang intensitasnya tergantung musim. Pada bulan September ketika penelitian dimulai merupakan musim peralihan dari musim timur ke musim barat, kondisi di Selat Makassar pada umumnya merupakan musim kering dan intensitas penyinaran cukup tinggi. Suhu perairan di Selat Makassar pada umumnya mulai mengalami peningkatan sejak bulan Juli hingga bulan Nopember. Peningkatan curah hujan baru terlihat signifikan pada bulan Desember (Lampiran 4) dan terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada musim barat di bulan Januari dan Februari. Perubahan pola penyinaran dan curah hujan mengikuti pola musim ini sangat mempengaruhi distribusi spasiotemporal suhu dan salinitas di perairan pantai (Gambar 5). Perubahan ini sesuai dengan pernyataan Nontji (1987) bahwa pada musim barat kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan sangat tinggi mengakibatkan suhu sangat minimun. Sebaran mendatar suhu permukaan setiap bulan (Gambar 6) memperlihatkan bahwa suhu pada bulan September relatif lebih homogen dengan sedikit peningkatan ke arah utara.
Waktu Pengamatan Fe b. 2 Fe b.1 Ja n.2 Ja n. 1 De s. 3 De s. 2 De s. 1 No p. 3 No p. 2 No p. 1 Ok t. 2 Ok t. 1 Se pt. 2 Se pt. 1 30.50 30.00 29.50 29.00 28.50 28.00 27.50
Gambar 5 Perubahan Rata-rata Suhu Permukaan Laut (oC) Menurut Waktu Pengamatan (I = Kesalahan Baku, n = 16).
Suhu (
119.570 119.575 Bujur Timur SEPTEMBER -3.990 -3.985 -3.980 -3.975 -3.970 -3.965 Li nt a n g S e la ta n A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur OKTOBER A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur NOPEMBER A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur DESEMBER -3.990 -3.985 -3.980 -3.975 -3.970 -3.965 Li nt a n g S e la ta n A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur JANUARI A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur PEBRUARI A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a Gambar 6 Sebaran Mendatar Suhu Permukaan Laut (oC) Setiap Bulan Selama
Pola sebaran mendatar suhu permukaan di lokasi penelitian selama bulan Oktober sampai Desember sangat mirip dan sangat jelas memperlihatkan gradasi dari selatan di transek A ke utara di transek D. Pola sebaran yang agak berlawanan terjadi pada bulan Januari dan Februasi dimana gradasi suhu terjadi dari utara ke selatan. Perbedaan suhu permukaan di lokasi penelitian relatif lebih besar antar transek dibandingkan antar stasiun dalam transek yang sama. Lokasi penelitian yang terbuka dengan kondisi angin yang cukup kuat pada saat musim barat menyebabkan proses percampuran cukup efektif akibat arus dan gelombang dari laut menuju pantai. Proses tersebut menyebabkan relatif lebih homogennya sebaran mendatar suhu permukaan antar stasiun dalam satu transek yang tegak lurus pantai dibandingkan antar transek ke arah sejajar pantai.
Salinitas
Hasil pengukuran salinitas perairan dari semua stasiun selama penelitian berkisar antara 23.0 - 33.5 ‰ dengan rata-rata 29.4 ± 0.1 (Lampiran 5). Salinitas air di lokasi penelitian mulai dari awal penelitian mengalami peningkatan, sempat menurun pada bulan Oktober disebabkan karena pada waktu sampling di akhir bulan Oktober (Oktober 2) terjadi hujan beberapa hari sebelumnya (Gambar 7). Pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai mempengaruhi sebaran salinitas di pantai (Wyrtki 1961; Sverdrup et al. 1961; Tchernia 1980). Perubahan musiman curah hujan tersebut menyebabkan perbedaan pola sebaran mendatar salinitas di lokasi penelitian (Gambar 8).
Waktu Pengamatan Feb . 2 Feb . 1 Ja n. 2 Ja n. 1 Des . 3 Des . 2 Des . 1 No p. 3 No p. 2 No p. 1 Okt. 2 Okt. 1 Se pt. 2 Se pt. 1 32.0 30.0 28.0 26.0
Gambar 7 Perubahan Rata-rata Salinitas Permukaan Laut (‰) Menurut Waktu Pengamatan (I = Kesalahan Baku, n = 16).
Sa lini ta s ( ‰ )
119.570 119.575 Bujur Timur SEPTEMBER -3.990 -3.985 -3.980 -3.975 -3.970 -3.965 L int a n g S e la ta n A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur OKTOBER A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur NOPEMBER A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur DESEMBER -3.990 -3.985 -3.980 -3.975 -3.970 -3.965 Li nt a n g S e la ta n A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur JANUARI A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur FEBRUARI A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a
Gambar 8 Sebaran Mendatar Salinitas Permukaan Laut (‰) Setiap Bulan Selama September- Februari.
Sebaran spasial salinitas yang terjadi selama penelitian dapat dijelaskan melalui mekanisme percampuran massa air laut yang bersalinitas lebih tinggi dengan air tawar pada saat musim hujan. Air tawar yang masuk di sebelah utara wilayah penelitian pada awalnya mengalami percampuran di dekat pantai sehingga yang paling cepat mendapatkan pengaruhnya adalah stasiun terdekat dari pantai di transek D yaitu stasiun D1. Percampuran air terus berlanjut karena gelombang dan pasang surut sehingga menyebar ke arah selatan dan barat membentuk gradasi salinitas arah diagonal dari stasiun A4 ke stasiun D1.
Kadar Oksigen Terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut yang diukur di semua stasiun selama penelitian berkisar antara 3.5 – 8.7 ppm dengan rata rata 5.9 ± 0.1 ppm (Lampiran 6). Konsentrasi oksigen terlarut di laut secara umum bervariasi antara 0 – 9 ml/l (Sverdrup et al. 1961). Hewan air membutuhkan oksigen terlarut di atas 5 ml/l dan cukup layak bagi kehidupan larva plankton (Shahab 1986). Prescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal sebesar 2 ppm, cukup untuk mendukung kehidupan perairan secara normal di daerah tropik dengan asumsi perairan tidak mengandung bahan beracun.
Pola perubahan temporal kadar oksigen terlarut berfluktuatif namun secara umum dapat disederhanakan bahwa ada tendensi peningkatan rata-rata dari bulan September ke bulan Nopember lalu menurun hingga akhir penelitian (Gambar 9). Perubahan spasial kadar DO selama penelitian ditunjukkan dalam Gambar 10.
Waktu Pengamatan Fe b. 2 Fe b. 1 Jan . 2 Jan . 1 De s. 3 De s. 2 De s. 1 Nop . 3 Nop . 2 Nop . 1 Okt . 2 Okt . 1 Se pt. 2 Se pt. 1 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5
Gambar 9 Perubahan Rata-rata Kadar DO Permukaan Laut (ppm) Menurut Waktu Pengamatan (I = kesalahan baku, n = 16).
Kad
ar
D
O
119.570 119.575 Bujur Timur SEPTEMBER -3.990 -3.985 -3.980 -3.975 -3.970 -3.965 Li n ta n g S el a ta n A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur OKTOBER A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur NOPEMBER A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur DESEMBER -3.990 -3.985 -3.980 -3.975 -3.970 -3.965 Li n ta n g S e la ta n A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur JANUARI A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a 119.570 119.575 Bujur Timur FEBRUARI A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 P a n ta i K e c . S u p p a
Gambar 10 Sebaran Mendatar Kadar DO Permukaan Laut (ppm) Setiap Bulan Selama September- Februari.
Kecepatan Arus
Data hasil pengukuran kecepatan arus selama penelitian berkisar antara 0.1 - 1.1 meter/detik dengan rata-rata 0.5 ± 0.1 meter/detik (Lampiran 7) dan arah arus saat pasang cenderung bergerak mendekati pantai, sebaliknya pada saat surut arus bergerak menjauhi pantai. Nilai arus yang didapatkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran Sudirman (2003) yang mendapatkan kisaran 0.046 - 0.339 meter/detik di permukaan perairan Pantai Barru Selat Makassar selama bulan Februari-September. Demikian pula dengan hasil pengukuran Tenriware (2005) di perairan pantai Teluk Bone selama bulan Nopember-Desember yang mendapatkan kecepatan arus berkisar antara 0.2 - 0.7 meter/detik. Perbedaan kecepatan arus di lokasi penelitian lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan angin yang secara periodik mengalami perubahan menurut musim, sesuai dengan pernyataan Nontji (1987) yang menyatakan bahwa pada musim barat kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan sangat tinggi. Pola perubahan kecepatan arus menunjukkan tendensi meningkat dari bulan September sampai Januari dan kembali menurun pada bulan Februari.
Pola perubahan kecepatan arus yang meningkat dari bulan September sampai Januari sangat ditentukan oleh perubahan kecepatan angin dan letak geografis wilayah penelitian di pantai timur Selat Makassar (pantai barat Sulawesi Selatan). Pada bulan September kecepatan angin sudah menurun karena merupakan akhir musim timur. Pada waktu peralihan dari musim timur ke musim barat tersebut kondisi angin cukup tenang sehingga kecepatan arus di pantai lebih ditentukan oleh kecepatan arus pasang surut. Memasuki awal musim barat pada bulan Desember keadaan mulai berubah dimana angin barat mulai bertiup dan pengaruhnya terhadap perairan pantai barat Sulawesi sudah terlihat. Kecepatan angin semakin meningkat sehingga mencapai puncak musim barat pada bulan Januari hingga pertengahan Februari.
Letak geografis wilayah penelitian di pantai barat Sulawesi Selatan langsung berhubungan dengan perairan Selat Makassar dan tidak ada pulau-pulau penghalang diluarnya menyebabkan pengaruh angin pada musim barat cukup kuat terhadap perairan pantai Suppa. Pengaruh kecepatan angin yang maksimal selama puncak musim barat juga menyebabkan gelombang dan pengadukan yang
kuat di perairan pantai. Penurunan kecepatan angin setelah puncaknya di akhir Januari sampai awal Februari menyebabkan kembali menurunnya kecepatan arus pada akhir Februari dan terus menurun mengikuti penurunan kecepatan angin sampai musim peralihan dari musim barat ke musim timur pada bulan April dan Mei.
Variasi kecepatan arus antar stasiun pengamatan kecil. Tidak adanya variasi kecepatan arus ini lebih disebabkan karena pantai di lokasi penelitian yang terbuka ke arah Selat Makassar memiliki kecepatan angin yang sama dan topografi dasar perairan yang seragam. Akibatnya kecepatan arus di lokasi penelitian tidak terlalu jauh berbeda antar stasiun pengamatan.
Kadar Nutrien
Pengambilan sampel untuk pengukuran kadar nutrien (nitrat, fosfat dan silikat) dilakukan dengan frekuensi sampling yang berbeda dengan parameter lingkungan lainnya. Pengambilan sampel air dilakukan di stasiun terdekat dari pantai di setiap transek yaitu di stasiun A1, B1, C1 dan D1, sebab berdasarkan uji statistik sampling pertama data parameter lingkungan didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antar transek yang dekat pantai dengan ketiga transek yaitu A2, B2, C2, D2, dan A3, B3, C3, D3 dan A4, B4, C4, D4 dan pengambian data nutrien ini hanya difokuskan pada wilayah penangkapan benur dan nener. Kemudian frekuensi pengambilan data nutrien hanya 7 (tujuh) kali selama penelitian sebab dianggap bahwa perubahan kadar nutrien tidak secepat perubahan faktor biologis seperti kelimpahan plankton dan larva yang dapat dengan cepat mengalami perubahan. Selain itu data ini dianggap telah cukup untuk dianalisis dalam rangka pengujian hipotesis sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil pengukuran kadar nutrien dalam sampel air selama penelitian (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kadar nitrat berkisar antara 0.02 - 0.48 ppm dengan ratarata ± S.E (0.19 ± 0.11) ppm. Kadar fosfat berkisar antara 0.09 0.20 ppm dengan rata 0.12 ± 0.03 ppm dan kadar silikat berkisar antara 0.040 -0.041 ppm dengan rata-rata -0.041 ± 0.001 ppm.
Hasil analisis ragam kadar nitrat dan fosfat antar waktu pengamatan menurut kelompok transek menunjukkan bahwa kadar nitrat dan fosfat tidak
berbeda menurut waktu pengamatan maupun antar keempat kelompok transek (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa kadar nutrien dapat dianggap homogen jika keragamannya dilihat atau diperbandingkan antar waktu pengamatan dalam interval sekitar setiap bulan dari bulan Nopember hingga Februari.
Selain membandingkan antar waktu pengamatan, parameter lingkungan juga dianalisis untuk membandingkan antar musim menurut kelimpahan benur dan nener yaitu sebelum, pada saat dan setelah puncak musim benur dan nener. Parameter Lingkungan Berdasarkan Musim Benur dan Nener
Mengacu pada hasil analisis data kelimpahan benur dan nener maka terdapat 3 (tiga) fase yaitu sebelum puncak musim (1), puncak musim (2) dan setelah puncak musim (3). Fase sebelum puncak musim dimulai dari awal September (September 1) sampai dengan akhir Oktober (Oktober2) dengan periode sampling sebanyak 4 (empat) kali. Fase puncak musim dimulai dari awal bulan Nopember (Nopember 1) sampai dengan pertengahan Januari (Januari 1) dengan periode sampling sebanyak 7 (tujuh) kali. Selebihnya fase setelah puncak musim dimulai setelah pertengahan Januari (Januari 2) sampai pertengahan Februari (Februari 2) dengan periode sampling sebanyak 3 (tiga) kali. Untuk selanjutnya ketiga fase tersebut dinyatakan sebagai “musim” dalam analisis yang terdiri dari (1) sebelum puncak musim; (2) puncak musim dan (3) setelah puncak musim.
Hasil analisis ragam menurut musim menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar musim semua parameter lingkungan yang diamati (Lampiran 10). Setelah dilanjutkan dengan Uji Tukey diketahui bahwa rata-rata suhu dan kadar DO sebelum dan selama puncak musim tidak signifikan berbeda tetapi kedua musim tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata setelah puncak musim. Rata-rata salinitas signifikan berbeda antar ketiga musim dimana tertinggi sebelum dan terendah setelah puncak musim benur dan nener. Kecepatan arus rata-rata juga berbeda antar ketiga musim dengan rata-rata tertinggi setelah puncak musim sedangkan terendah terjadi sebelum puncak musim benur dan nener (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil Uji Tukey (α = 0.05) Beberapa Parameter Lingkungan Berdasarkan Musim Benur dan Nener
Musim Benur dan Nener Parameter
Lingkungan Sebelum Puncak Setelah Suhu 29.31 ± 0.10 a 29.30 ± 0.09 a 28.08 ± 0.14 b Salinitas 30.80 ± 0.23 a 29.64 ± 0.16 b 27.00 ± 0.20 c Kadar DO 6.01 ± 0.11 a 6.19 ± 0.10 a 5.15 ± 0.11 b Kecepatan Arus 0.339 ± 0.014 c 0.523 ± 0.013 b 0.632 ± 0.025 a Kadar Nitrat 0.195 ± 0.033 ab 0.139 ± 0.027 a 0.255 ± 0.033 b Kadar Fosfat 0.111 ± 0.009 0.116 ± 0.007 0.127 ± 0.009
Keterangan: Huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan rata-rata
antar musim berdasarkan Uji Tukey (α = 0.05).
Berdasarkan hasil uji dalam Tabel 2 maka terlihat bahwa salinitas dan kecepatan arus merupakan dua parameter lingkungan yang sangat menonjol antar musim. Kedua parameter tersebut nampaknya berbanding terbalik dimana pada saat rata-rata salinitas paling tinggi maka sebaliknya kecepatan arus paling lambat. Salinitas dan kecepatan arus di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh perubahan musim. Pada saat puncak musim barat angin bertiup sangat kuat dan curah hujan sangat tinggi sehingga kecepatan arus di lokasi penelitian menjadi maksimal, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap transportasi larva benur dan nener, sesuai dengan pernyataan Laevastu dan Hayes (1981) bahwa kecepatan arus berpengaruh besar dalam transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil, juga berperan dalam menentukan oreintasi selama melakukan perjalanan migrasi yang panjang. Sebaliknya salinitas mengalami penurunan hingga mencapai tingkat terendah setelah puncak musim benur dan nener yaitu pada bulan Januari dan Februari karena curah hujan yang sangat tinggi pada saat tersebut, sehingga diduga menurunnya larva benur dan nener, dan larva lain akibat rendahnya salinitas, sesuai dengan pernyataan Tchernia (1980) bahwa salinitas air mempengaruhi ormoregulasi ikan dan berpengaruh besar terhadap fertilisasi dan perkembangan telur.
Suhu memiliki pola perubahan yang hampir sama dengan salinitas karena juga terkait dengan musim dalam kaitannya dengan intensitas penyinaran. Penurunan intensitas cahaya setelah puncak musim akibat tingginya curah hujan menyebabkan suhu rata-rata permukaan air pada waktu tersebut berbeda lebih rendah dibandingkan dengan suhu sebelum dan pada saat puncak musim benur
dan nener, sehingga diduga hal ini pula yang menyebabkan larva benur dan nener menjadi rendah, Wooton (1992) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor pembatas yang sangat vital bagi biota air dan dapat mempengaruhi proses biokimia, fisiologi dan tingkah laku ikan-ikan. Pembandingan kadar DO antar musim menunjukkan kesamaan dengan suhu, yang menguatkan dugaan bahwa keterkaitan cahaya dengan proses fotosintesis sebagai faktor yang berkontribusi besar dalam menentukan kadar DO dalam air.
Kadar fosfat yang lebih homogen antar ketiga musim menunjukkan bahwa parameter ini tidak memberikan dampak secara langsung terhadap kelimpahan benur dan nener. Perbedaan respon yang ditunjukkan oleh kedua jenis nutrien yaitu nitrat dan fosfat terjadi karena adanya kemungkinan pemanfaatan atau konsumsi oleh fitoplankton. Kadar fosfat yang tidak berbeda antar musim dapat terjadi karena lokasi penelitian di perairan pantai sehingga masukan fosfat dari darat cukup tinggi dan konsumsi oleh fitoplanton tidak menyebabkan penurunan yang signifikan. Kadar nitrat yang lebih tinggi setelah puncak musim terjadi karena pemanfaatan element ini menurun dibandingkan sebelum dan pada saat puncak musim benur dan nener, sebab pada saat itu pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton sangat rendah dibandingkan dengan dua musim sebelumnya. Kondisi itu menyebabkan kadar nitrat di perairan menjadi tinggi.
Karakteristik Lokasi Penelitian
Karakteristik lokasi penelitian pada waktu tertentu berdasarkan parameter lingkungannya dijelaskan sesuai hasil analisis komponen utama (PCA) menggunakan data transek dan bulan pengamatan sebagai observasi dan 6 (enam) parameter lingkungan sebagai karakter atau variabel. Hasil analisis PCA terhadap 24 observasi (6 bulan x 4 transek) menunjukkan bahwa 80.16% ragam terjelaskan pada 3 sumbu utama pertama masing-masing F1 (46.26%), F2 (19.56%) dan F3 (14.35%) dengan akar ciri secara berurut 2.775, 1.174 dan 0.861. Matriks korelasi antar variabel parameter lingkungan menunjukkan korelasi yang signifikan meskipun tidak kuat. Suhu dengan salinitas dan DO, dan salinitas dengan DO signifikan berkorelasi positif (Lampiran 11).
Salinitas dan Kadar DO berkorelasi positif sedangkan kecepatan arus berkorelasi negatif dengan sumbu utama pertama F1. Ketiganya merupakan parameter lingkungan yang berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama pertama F1. Nitrat lebih berkontribusi ke pembentukan sumbu utama ke-dua F2,sedangkan fosfat lebih besar perannya dalam pembentukan sumbu utama ke-tiga F3. Suhu memiliki peran yang hampir berimbang dalam pembentukan F1 dan F2. Beberapa observasi yang berperan besar dalam pembentukan sumbu F1 seperti pada bulan Februari di transek C dan D (FC dan FD), Januari di transek A dan C (JA dan JC) serta di transek B pada bulan Nopember (NB).
Plot setiap observasi berdasarkan koordinat pada dua sumbu utama pertama (F1 X F2) memperlihatkan distribusi yang cenderung beragregat berdasarkan waktu (bulan) pengamatan. Observasi bulan Januari (J) dan Februari (F) semua transek tersebar pada sumbu F1 negatif yang dicirikan oleh kecepatan arus yang tinggi. Observasi pada bulan September dan Oktober di stasiun A dan B yang tersebar di quadran I pada sumbu F1 positif dan F2 positif dicirikan oleh salinitas dan kadar DO yang tinggi. Observasi dalam bulan yang sama di transek C dan D dan Nopember di transek D lebih menyebar di Quadran IV dicirikan oleh salinitas yang lebih tinggi. Pada umumnya observasi pada bulan Desember dari semua transek dan observasi pada bulan Nopember di transek C dan D menyebar dekat dari pusat sumbu menunjukkan bahwa parameter lingkungan selama waktu tersebut berada dalam kisaran sekitar nilai rata-rata (Gambar 11).
Gambar 11 Plot Observasi dan Parameter Lingkungan pada Dua Sumbu Komponen Utama Pertama (F1 X F2).
Berdasarkan hasil análisis sidik gerombol (ClusterAnalysis) seluruh observasi berdasarkan nilai 6 (enam) parameter lingkungannya maka berdasarkan disimilaritasnya pada level dibawah 10 (4.047) dapat digolongkan kedalam 3 (tiga ) kelompok besar masing-masing yaitu: (1) semua observasi pada bulan Januari dan Februari di transek A, B dan C dan semua observasi di transek D pada bulan Oktober dan Nopember dan Desember; (2) Observasi pada bulan Januari dan Februari di transek D; dan (3) observasi lainnya yang tidak masuk dalam dua kelompok sebelumnya seperti ditunjukkan dalam Gambar 11 di atas dan dendogram hasil sidik gerombol dalam Gambar 12. Kecepatan arus yang tinggi pada bulan Januari dan Februari diakibatkan oleh kencangnya angin yang bertiup pada puncak musim barat tersebut. Kadar DO dan suhu yang tinggi pada bulan September dan Oktober berhubungan dengan tingginya intensitas penyinaran dan produksi oksigen akibat fotosintesa yang optimal.
Gambar 12 Dendogram Dissimilaritas Observasi (Bulan dan Transek) Berdasarkan Parameter Lingkungan. Huruf Pertama (S, O, N, D, J dan F) Menunjukkan Bulan; Huruf Kedua (A, B, C dan D) Menunjukkan Stasiun.
Dalam Gambar 12 terlihat kemiripan yang tinggi (skala disimilaritas yang lebih rendah) antar observasi menurut waktu (bulan). Kemiripan yang lebih tinggi antar semua transek pada bulan Januari dan Februari dibandingkan dengan observasi lainnya pada bulan berbeda terutama disebabkan oleh kecepatan arus yang tinggi dan salinitas rendah sebagai penciri kelompok observasi tersebut. Karakteristik tersendiri observasi pada bulan September dan Oktober di Transek
A dan B dan pada bulan Nopember di Transek A dikelompokkan berdasarkan kemiripan parameter salinitas dan kadar DO yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok observasi lainnya.
Kelompok observasi lainnya selain kedua kelompok yang telah disebutkan di atas memiliki kemiripan yang relatif besar berdasarkan parameter salinitas yang sedang sampai tinggi. Kelompok tersebut lebih mirip dengan kelompok kedua dibandingkan dengan kelompok observasi pertama. Dari pola pengelompokan tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik lokasi penelitian lebih dicirikan oleh perbedaan parameter lingkungannya yang berbeda menurut waktu atau musim dibandingkan dengan perbedaan spasial antar transeknya. Kemiripan karakteristik setelah puncak musim lebih rendah dibandingkan dengan sebelum dan saat puncak musim benur dan nener.
Kelimpahan Benur, Nener dan Larva Lain Kelimpahan Benur
Kelimpahan benur yang didapatkan setiap sampling berkisar antara 0 - 29067 dengan rata-rata 6990 ekor/1000 m3. Secara lengkap hasil tangkapan benur dan nener serta larva lainnya disajikan dalam Lampiran 12. Hasil analisis ragam antar waktu menurut kelompok lokasi (transek) pengamatan kelimpahan benur menunjukkan bahwa kelimpahan benur signifikan berbeda menurut waktu pengamatan tetapi tidak signifikan berbeda menurut transek pengamatan (Lampiran 13). Hasil ini membuktikan bahwa perbedaan kelimpahan benur di lokasi yang diteliti lebih menonjol karena pengaruh perbedaan waktu dibanding perbedaan secara spasial terutama ke arah sejajar pantai. Hal ini disebabkan karena perbedaan musim pemijahan dimana setiap jenis crustaceae termasuk udang windu memiliki musim pemijahan tertentu. Selain karena perbedaan musim pemijahan, perbedaan kelimpahan dapat pula disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan. Jika perbedaan musim lebih bersifat internal yang merupakan faktor genetik atau hereditas suatu spesies, faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva udang setelah terjadinya pemijahan. Tingkat kelangsungan hidup benur hasil pemijahan dalam satu musim
pemijahan sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan termasuk ketersediaan makanan pada fase larva yang merupakan fase kritis. Hasil uji Tukey juga memperlihatkan kelimpahan yang berbeda berdasarkan waktu.
Perubahan rata-rata kelimpahan benur berdasarkan waktu pengamatan menunjukkan peningkatan sejak didapatkan benur pada bulan Oktober hingga mencapai puncaknya pada akhir bulan Nopember. Kelimpahan sedikit menurun pada awal Desember kemudian mengalami sedikit peningkatan pada pertengahan bulan Desember lalu terus mengalami penurunan hingga akhir bulan Januari dan tidak ditemukan lagi pada bulan Februari (Gambar 13).
Gambar 13 Rata-rata Kelimpahan Benur di Setiap Transek Menurut Waktu Pengamatan.
Melihat pola distribusi kelimpahan benur berdasarkan waktu pengamatan yang ditunjukkan dalam Gambar 13 sangat besar kemungkinan pembentukan puncak kurva seperti yang terjadi pada akhir bulan Nopember (Nopember 3), pertengahan Desember (Desember 2) dan awal Januari (Januari 1) disebabkan oleh perbedaan periode pemijahan induk udang dengan jumlah telur dan tingkat survival larva yang berbeda. Variasi waktu pemijahan dan pemijahan terbesar yang mengeluarkan telur terbanyak antar individu selama periode pemijahan merupakan faktor yang dapat membentuk perubahan kelimpahan benur.
Kelimpahan benur diasosiasikan dengan periode pemijahan induk udang windu maka mekanisme yang mungkin terjadi adalah kelimpahan rendah pada awal pemijahan di awal bulan Oktober merupakan representasi dari permulaan
pemijahan dan terus meningkat sehingga mencapai puncak pemijahan yang hasilnya terlihat pada akhir bulan Nopember. Karena telur-telur dalam induk udang windu tidak dilepaskan sekaligus maka setelah memijahkan sebagian besar telurnya yang matang lebih awal beberapa minggu kemudian akan memijahkan lagi sebagian telur yang terlambat matang, sehingga terjadi kelimpahan benur yang meningkat kembali dari awal ke pertengahan Desember. Kemungkinan pada pemijahan kedua masih menyisakan sebagian kecil dari telurnya dan memijahkannya kembali setelah beberapa hari kemudian sehingga terjadi peningkatan benur dan nener lagi pada awal Januari. Mekanisme lain yang mungkin terjadi sehingga terjadi pola perubahan kelimpahan benur seperti dalam Gambar 13 adalah karena perbedaan tingkat kelangsungan hidup larva yang berbeda akibat perbedaan kelimpahan sumber makanan benur yaitu plankton. Jika kelimpahan benur dan nener pada awalnya lebih disebabkan dari perbedaan jumlah telur yang dipijahkan oleh induk pada fase permulaan pemijahan maka pada waktu pasca puncak pemijahan pertama perbedaan kelimpahan benur dan nener bukan saja dapat terjadi karena perbedaan jumlah telur yang dipijahkan tetapi juga dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat kelangsungan hidup larva sampai benur ditangkap. Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang berbeda menyebabkan perbedaan daya dukung dalam menyediakan makanan terhadap larva udang. Pengaruh daya dukung kelimpahan plankton (fitoplankton maupun zooplankton) terhadap benur sangat mungkin terjadi sebagai penyebab menurunnya kelimpahan benur dan nener dari bulan Nopember disamping karena memang jumlah telur yang dipijahkan juga menurun. Pengaruh ketersediaan fitoplankton dan zoooplankton sebagai makanan alami berbagai larva di laut telah banyak dibuktikan di beberapa daerah yang menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup larva sangat ditentukan dari kelimpahan fitoplankton dan zooplankton, hal ini sesuai dengan pernyataan Kiørboe et al. (1988) bahwa pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan herring di daerah frontal dipengaruhi oleh fitoplankton dan zooplankton. Hinrichsen et al. (2002) menyatakan bahwa dinamika populasi ikan dikontrol oleh perubahan populasi fitoplankton di laut.
Kelimpahan Nener
Kelimpahan nener yang didapatkan setiap sampling berkisar antara 0 -7733 dengan rata-rata 1586 ekor/1000 m3. Hasil lengkap jumlah nener yang didapatkan setiap kali sampling dan perhitungan kelimpahan di setiap transek disajikan dalam Lampiran 14. Kisaran kelimpahan nener yang didapatkan ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan total ichthoplankton yang didapatkan oleh Fiiliukienà dan Fiiliukas (2000) di laguna Curonian, di Lituania yang berkisar antara 4100 - 29300 ekor/1000 m3.
Hasil analisis ragam antar waktu menurut kelompok lokasi (transek) pengamatan (menggunakan data akar kelimpahan nener karena tidak berdistribusi normal) menunjukkan bahwa kelimpahan nener signifikan berbeda menurut waktu maupun menurut transek pengamatan (Lampiran 15). Selanjutnya dari Uji Tukey diketahui bahwa rata-rata kelimpahan pada awal bulan Desember (Desember 1) signifikan berbeda lebih tinggi dibandingkan dengan semua waktu lainnya.
Perubahan rata-rata kelimpahan nener berdasarkan waktu pengamatan menunjukkan peningkatan sejak didapatkan nener pada sampling ke-2 di bulan Oktober (Oktober 2) lalu mengalami peningkatan yang cukup tajam pada awal bulan Nopember (Nopember 1). Kelimpahan nener sempat menurun pada pertengahan Nopember dan sedikit peningkatan pada akhir bulan Nopember. Peningkatan sangat tajam terlihat di puncak kelimpahan pada awal Desember dan setelah itu drastis pula mengalami penurunan di sekitar pertengahan Desember hingga tidak didapatkan lagi nener pada awal Januari (Gambar 14).
Perbandingan antara kedua pola perubahan kelimpahan benur dan nener seperti ditunjukkan dalam Gambar 13 dan 14, maka terdapat perbedaan pola berdasarkan puncak kurva yang ditunjukkan keduanya. Meskipun keduanya menunjukkan periode puncak kurva selama puncak musim terlihat 2 (dua) kali mengalami kenaikan kelimpahan namun terdapat perbedaan yang khas diantara keduanya. Puncak kurva kelimpahan pertama benur yang terjadi pada akhir Nopember (Nopember 1) lebih tinggi dibandingkan dengan puncak kedua pada pertengahan Desember (Desember 1) dengan jarak antara kedua puncak kelimpahan hanya diantarai satu periode sampling.
Gambar 14 Rata-rata Kelimpahan Nener di Setiap Transek Menurut Waktu Pengamatan.
Pola perubahan kelimpahan nener nampak berbeda dimana terlihat puncak kurva kelimpahan pertama relatif lebih awal dibandingkan dengan benur yaitu pada awal Nopember (Nopember 1) dan diantarai dua periode sampling. Selain pola perubahan pada masa puncak kelimpahan juga terlihat durasi pra pasca puncak musim terlihat sedikit lebih lama pada benur dibandingkan dengan nener. Perbedaan pola perubahan kelimpahan antara benur dan nener dapat terjadi karena perbedaan waktu dan pola pemijahan antara induk udang windu dengan bandeng. Perschbacher ( 2004) menyatakan bahwa ikan bandeng memijah di laut dekat pantai dengan fekunditas mencapai sekitar tujuh juta telur per ekor induk betina, memijah dua kali atau sekali dalam setahun tergantung wilayahnya.
Fenomena munculnya benur dan nener dalam waktu yang hampir bersamaan puncaknya sekitar bulan Desember mungkin terkait dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton, pernyataan ini sesuai dengan pernyataan Alemany dan Ignacio (2003) bahwa tingkat kelangsungan hidup larva ikan dipengaruhi oleh kondisi pemijahan dan makanan dalam suatu waktu dan periode tertentu. Fiiliukienà dan Fiiliukas (2000) menyatakan bahwa meskipun hubungannya tidak terlalu kuat (r = 0.339), namun kelimpahan larva ikan menunjukkan korelasi positif dengan kelimpahan zooplankton. Kemungkinan ini juga terkait dengan teori match mismatch yang dikemukakan oleh Cushing (1981) yang menjelaskan hypotesis match mismatch, dan Fortierl et al. (1995) yang
mendapatkan bahwa kelangsungan hidup dan kesuksesan larva ikan cod Artic sangat ditentukan oleh match atau tidak matchnya dengan kelimpahan populasi kopepoda. Hal ini mendukung hypotesis match mismatch. Ketepatan waktu antara kelimpahan plankton dan pemijahan larva berbagai jenis hewan sangat menentukan tingkat kelangsungan hidup generasi tersebut. Nampaknya waktu puncak kelimpahan benur dan nener yang terjadi di lokasi penelitian hampir bertepatan (sesaat setelah) puncak kelimpahan fitoplankton dan zooplankton. Dengan kondisi demikian maka telur-telur yang dipijahkan jadi larva udang dan ikan memiliki persediaan makanan alami yang cukup untuk menunjang kelangsungan hidupnya beberapa saat setelah kuning telurnya habis.
Kelimpahan plankton dan faktor arus juga diduga menunjang pergerakan larva dari laut dalam dimana induk udang dan ikan memijah ke arah pantai. Pada saat puncak kelimpahan benur dan nener kecepatan arus sangat tinggi akibat kecepatan angin yang tinggi sehingga memungkinkan pergerakan larva menuju pantai yang kaya akan makanan berupa plankton, sesuai dengan pernyataan Peterman dan Bradford (1986) bahwa kecepatan angin sangat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup larva ikan “northern anchovy” (Engraulis mordax) dan mempunyai hubungan yang kuat antara laju mortalitas larva dengan kekuatan angin. Kecepatan dan arah angin sangat mempengaruhi proses transportasi larva ikan.
Kelimpahan Larva Lain
Larva lain yang ditemukan meliputi larva crustacea, larva ikan, larva gastropoda, dan jenis lainnya yang tidak teridentifikasi. Komposisi larva lain didominasi oleh larva berbagai jenis udang (crustaceae) yang sudah dikenali dari segment-segment tubuhnya. Kelimpahan larva lain yang didapatkan setiap sampling berkisar antara 1600 - 54400 dengan rata-rata 16362 ekor/1000 m3. Hasil lengkap jumlah larva lain yang didapatkan setiap kali sampling dan perhitungan kelimpahan di setiap transek disajikan dalam Lampiran 16.
Perubahan rata-rata kelimpahan larva lain berdasarkan waktu pengamatan menunjukkan peningkatan dari awal penelitian dan cukup signifikan pada pertengahan Nopember (Nopember 2). Kelimpahan yang tinggi dimulai dari
bulan Oktober dan mencapai kelimpahan tertinggi pada akhir bulan Desember (Desember 3). Kelimpahan larva lain menurun drastis pada awal Januari dan terus menurun hingga akhir penelitian. Kelimpahan rata-rata dari tiga (3) kali sampling tertinggi di Transek D mencapai 46933 ekor/1000 m3 (Gambar 15).
Gambar 15 Rata-rata Kelimpahan Larva Lain di Setiap Transek Menurut Waktu Pengamatan.
Hasil analisis ragam terhadap nilai akar kelimpahan larva lain antar waktu menurut kelompok transek pengamatan menunjukkan bahwa kelimpahan larva lain signifikan (P < 0.05) berbeda menurut waktu pengamatan tetapi tidak signifikan (P > 0.05) menurut transek pengamatan (Lampiran 17). Hasil ini membuktikan bahwa perbedaan kelimpahan larva lain di lokasi yang diteliti lebih disebabkan oleh perbedaan secara temporal faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan larva lain. Jika dibandingkan dengan kedua larva lainnya maka hasil analisis ragam larva lain relatif sama dengan benur dan berbeda dengan nener. Penyebabnya adalah karena dominan penyusun komunitas larva lain adalah crustacea yang segolongan dengan benur. Hasil ini mengindikasikan adanya perbedaan pola sebaran spasial antara larva golongan ikan dengan crustacea. Perbedaan ini sangat besar kemungkinan disebabkan karena perbedaan respon dan daya adaptasi terhadap lingkungan antara larva ikan dengan larva crustacea atau udang-udangan pada umumnya.
Variasi temporal faktor yang menyebabkan perbedaan kelimpahan larva lain disebabkan karena perbedaan musim pemijahan berbagai jenis crustace, ikan, mollusca dan hewan lainnya. Selain karena perbedaan musim pemijahan, perbedaan kelimpahan dapat pula disebabkan oleh perbedaan respon setiap jenis larva terhadap lingkungan. Variabilitas aspek heriditas dan interaksi dengan faktor lingkungan merupakan aspek internal dan eksternal yang mempengaruhi kelimpahan dan distribusi larva lain, sesuai dengan pernyataan Clark (1974) bahwa suhu mempunyai pengaruh yang besar di ekosistim perairan pesisir, berbagai aktivitas hewan akuatik dipengaruhi oleh suhu, misalnya: migrasi, pemijahan, kebiasaan makanan, kecepatan berenang, perkembangan larva dan laju metabolisma. Tingkat kelangsungan hidup larva lain hasil pemijahan dalam satu musim pemijahan sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan termasuk ketersediaan makanan pada fase larva yang merupakan fase kritis.
Hasil uji beda rata-rata Tukey diketahui bahwa rata-rata kelimpahan larva lain selama bulan Nopember dan Desember signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelimpahan pada bulan pertama (September) dan bulan terakhir penelitian (Februari). Diduga hal ini terkait dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang juga tinggi pada bulan tersebut, sesuai dengan pernyataan Kiørboe et al. (1988) yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan herring di daerah frontal dipengaruhi oleh kelimpahan fitoplankton dan zooplankton. Rata-rata kelimpahan larva lain pada awal Januari tidak signifikan berbeda dengan akhir September dan pertengahan Oktober. Rata-rata kelimpahan larva lain pada tiga waktu pengamatan tersebut tergolong sedang.
Hasil pembandingan Uji beda rata rata Tukey menunjukkan bahwa variasi temporal kelimpahan larva lain lebih beragam dibandingkan dengan variasi kelimpahan benur dan nener. Banyaknya huruf superscrip pembeda rata-rata menunjukkan bahwa paling tidak ada 8 (delapan) kategori rataan kelimpahan yang terbentuk dari 14 (empat belas) waktu pengamatan. Jika dilihat dari kecenderungan menurut kelimpahan benur dan nener maka dapat dikatakan bahwa tendensi kemelimpahan larva lain sangat mirip dengan kemelimpahan benur dan nener dimana sangat melimpah pada saat musim dimana benur dan nener juga
melimpah dan menurun setelah puncak musim. Kemiripan ini disebabkan karena komposisi larva lain lebih didominasi oleh larva dari berbagai jenis udang-udangan (crustaceae).
Pemangsaan Plankton Pemangsaan Fitoplankton Oleh Zooplankton
Berdasarkan hasil identifikasi dan pencacahan fitoplankton pada setiap periode selama pengamatan pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton didapatkan hasil lengkap mengenai perubahan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton pada kombinasi fitoplankton tunggal (F), zooplankton tunggal (Z), dan gabungan fitoplankton dan zooplankton (F+Z) diberikan pada Lampiran 18.
Perubahan kelimpahan fitoplankton memperlihatkan kecenderungan penurunan yang cukup signifikan selama 4 (empat) jam pertama inkubasi. Penurunan kelimpahan fitoplankton nampaknya lebih tinggi pada periode pengamatan yang kelimpahan awalnya lebih tinggi dan sebaliknya lebih rendah pada kelimpahan awal fitoplankton yang lebih rendah. Selain perbedaan kelimpahan awal fitoplankton sebagai mangsa laju pemangsaan juga terkait dengan ritme harian aktivitas pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton seperti yang dijelaskan Wang et al. (1998) bahwa copepoda memiliki ritme aktivitas makan dalam siklus selama 24 jam. Aktivitas makan paling tinggi pada saat menjelang malam (jam 15:00) sampai tengah malam (jam 24:00).
Populasi fitoplankton menurun 47% sampai 72% dengan rata-rata 62% dari populasi awal. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaswadji (1997) di perairan Laguna Pulau Seribu, yaitu zooplankton memangsa antara 3.1 – 26.1 % biomassa fitoplankton setiap hari, berarti pemangsaan zooplankton di lokasi penelitian lebih tinggi, tetapi jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gyfford dan Percy (1998) di East Sound WA, yaitu memangsa sekitar 100 % produksi klorofil harian di sekitar lapisan piknoklin dan di bawah lapisan piknoklin memangsa sekitar 39 % produksi klorofil harian, berarti laju pemangsaan di daerah penelitian sedikit lebih rendah. Laju penurunan cukup tinggi pada jam-jam awal inkubasi diduga terkait kelimpahan awal fitoplankton sebagai mangsa dan rasio fitoplankton:zooplankton.
Hasil plot antara lama inkubasi dengan pemangsaan (jumlah sel fitoplankton yang dimangsa oleh zooplankton) didapatkan laju pemangsaan. Laju kecepatan pemangsaan merupakan perubahan jumlah yang dimangsa dibagi dengan waktu pemangsaan yang dinyatakan dalam satuan sel/liter/jam atau dikonversi menjadi laju pemangsaan harian dalam satuan sel/liter/hari. Besarnya laju pemangsaan dalam setiap jam sama dengan kemiringan (slope) yang merupakan nilai koefisien regresi dalam persamaan regresi antara akumulasi pemangsaan (Y) dengan lama inkubasi dalam jam (X). Nilai ini merupakan laju pemangsaan populasi zooplankton terhadap fitoplankton yang satuannya dapat dinyatakan dalam sel/liter/jam atau jika digandakan dengan 24 maka didapatkan laju pemangsaan harian populasi zooplankton terhadap populasi fitoplankton, yang dinyatakan dalam satuan sel/liter/hari. Plot antara lama inkubasi dengan pemangsaan 7 (tujuh) periode pengamatan disajikan dalam Gambar 16.
Gambar 16 Hubungan antara Lama Inkubasi dengan Akumulasi Pemangsaan Fitoplankton oleh Zooplankton pada Setiap Periode Pengamatan Kombinasi F+Z. ( P = Periode Pengamatan).
Laju pemangsaan dari seluruh periode pengamatan nilainya berkisar antara 36 sampai dengan 120 sel/liter/jam (Tabel 3). Dugaan jumlah fitoplankton yang dapat dimangsa dalam sehari atau selama 24 jam berdasarkan persamaan regresi dalam Tabel 3, berkisar antara 1023 - 4818 sel/liter/hari. Hasil analisis regresi antara kelimpahan awal fitoplankton (X) dalam satuan sel/liter dengan laju pemangsaan (Y) dalam satuan sel/liter/jam menggunakan data selama enam (6)
periode pengamatan menunjukkan bahwa laju pemangsaan signifikan berkorelasi linier positif dengan kelimpahan awal fitoplankton (Lampiran 19).
Tabel 3 Persamaan Regresi antara Lama Inkubasi (X) dengan Pemangsaan Zooplankton terhadap Fitoplankton (Y) dan Kelimpahan Awal Plankton pada Setiap Periode Pengamatan Kombinasi F+Z
Kelimpahan Awal Periode
Pengamatan F Z Persamaan Regresi R 2 (α = 0.05) 1 7882 263 Y = 2104.00 + 119.71 X 0.72 2 8778 190 Y = 2710.67 + 80.07 X 0.94 3 6111 319 Y = 1829.33 + 93.14 X 0.79 4 4743 912 Y = 1009.33 + 68.86 X 0.98 5 8146 280 Y = 2126.67 + 112.14 X 0.94 6 2750 460 Y = 152.00 + 36.29 X 0.96 7 4222 128 Y = 382.67 + 65.29 X 0.94 Hubungan antara laju pemangsaan populasi fitoplankton dengan kelimpahan awal fitoplankton mengikuti persamaan regresi Y = 18.3796 + 0.0105 X (R2 = 0.68). Semakin tinggi kelimpahan awal fitoplankton dalam satu masa inkubasi maka semakin meningkat pula laju pemangsaan fitoplankton. Hubungan antara pemangsaan dengan kelimpahan awal fitoplankton di setiap waktu inkubasi mengikuti persamaan: Y = - 706.0254 + 0.3520 X (R2 = 0.79) seperti ditunjukkan dalam Gambar 17.
Gambar 17 Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dengan Pemangsaan Fitoplankton oleh Zooplankton pada Kombinasi F+Z.
Informasi dari slope persamaan regresi dapat digunakan untuk menghitung kelimpahan minimal fitoplankton untuk terjadinya pemangsaan oleh zooplankton. Nilai tersebut diperoleh dengan membagi nilai intercept dengan nilai slope persamaan regresi yaitu 706.0254 : 0.3520 = 2005. Nilai ini merupakan perpotongan antara sumbu X (kelimpahan fitoplankton) dengan garis regresi dimana nilai Y (pemangsaan) = 0. Nilai ini dapat diartikan bahwa pada saat kelimpahan fitoplankton dibawah 2005 sel/liter maka tidak ada pengaruh pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton. Dalam pengertian yang sama dapat dinyatakan bahwa pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton terjadi ketika kelimpahan fitoplankton melebihi 2005 sel/liter.
Hasil bagi jumlah pemangsaan dengan jumlah zooplankton pada setiap awal inkubasi dan mengkonversi jam menjadi hari maka laju pemangsaan individu harian zooplankton terhadap fitoplankton dapat diketahui. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah fitoplankton yang dimangsa per individu zoooplankton lebih tinggi pada awal inkubasi (Gambar 18). Hal ini disebabkan oleh tingginya kelimpahan fitoplankton dan rasio fitoplankton:zooplankton. Laju pemangsaan fitoplankton per individu zooplankton tinggi pada saat kelimpahan fitoplankton, zooplankton dan rasio fitoplankton:zooplankton tinggi. Pola perubahan pemangsaan individu zooplankton terhadap fitoplankton berdasarkan waktu inkubasi dan rasio fitoplankton:zooplankton disajikan dalam Gambar 19.
Gambar 18 Hubungan antara Lama Inkubasi dengan Jumlah Fitoplankton yang Dimangsa oleh Zooplankton pada Setiap Periode Pengamatan Kombinasi F+Z.
Gambar 19 Rasio Fitoplankton:Zooplankton dan Pemangsaan Individu Zooplankton terhadap Fitoplankton Menurut Waktu Inkubasi pada Setiap Periode Pengamatan Kombinasi F+Z.
Hasil regresi menunjukkan bahwa laju pemangsaan harian individu zooplankton terhadap fitoplankton meningkat dengan meningkatnya kelimpahan fitoplankton (Gambar 20). Hubungan antara laju pemangsaan harian individu zooplankton (Y) dengan kelimpahan fitoplankton (X) mengikuti persamaan Y = 2.9100 + 0.0015 X (R2 = 0.7019).
Gambar 20 Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dengan Laju Pemangsaan Individu Harian Zooplankton.
Persamaan diatas dapat dikatakan bahwa laju pemangsaan individu harian zooplankton terhadap fitoplankton bertambah 1.5 sel/liter/ hari dengan meningkatnya kelimpahan fitoplankton sebanyak 1000 sel/liter. Lebih tepatnya
jika kelimpahan fitoplankton meningkat sebanyak 2000 sel/liter maka laju pemangsaan harian satu individu zooplankton meningkat sebanyak 3 sel/liter/hari/individu zooplankton. Jika akumulasi pemangsaan dibagi dengan kelimpahan awal zooplankton pada setiap periode pengamatan maka setiap individu zooplankton memangsa sekitar 3 sampai 25 dengan rata-rata 14 sel/liter fitoplankton/hari. Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang dikemukakan oleh Kaswadji (Komonikasi pribadi, 2008) bahwa dalam sehari 1 (satu) individu zooplankton membutuhkan fitoplankton sebanyak 15 – 26 sel /liter.
Beberapa hasil perhitungan pemangsaan terlihat bahwa nilainya sangat dipengaruhi oleh kelimpahan awal fitoplankton. Meskipun demikian masih tetap terlihat adanya tendensi meningkatnya pemangsaan dengan meningkatnya rasio kelimpahan fitoplankton. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa jumlah fitoplankton yang dimangsa oleh setiap individu zooplankton meningkat 1.5 setiap peningkatan 10 rasio fitoplankton:zooplankton (Gambar 21). Fakta ini sangat logis karena dengan meningkatnya kelimpahan fitoplankton (dalam rasio F:Z sama) maka peluang relatif pertemuan antara satu individu zooplankton dengan satu sel fitoplankton akan lebih besar.
Gambar 21 Hubungan antara Rasio Kelimpahan Fitoplankton:Zooplankton dengan Jumlah Fitoplankton yang Dimangsa per Individu Zooplankton. Data pencilan (
○
) tidak dimasukkan dalam analisis.Salah satu hal penting yang perlu diketahui adalah pengamatan dengan durasi selama 24 jam diyakini tidak sepenuhnya akurat sesuai dengan kondisi alam dalam jangka waktu yang cukup lama. Jika pengamatan dilanjutkan dalam jangka waktu yang cukup lama maka kemungkinan dampak pertumbuhan populasi fitoplankton maupun zooplankton akan terlihat. Oleh karena itu sepenuhnya pengamatan yang dilakukan mengacu pada kelimpahan pemangsa maupun yang dimangsa dalam jangka waktu selama 24 jam.
Pemangsaan Plankton Oleh Benur dan Nener
Pemangsaan benur dan nener terhadap plankton (fitoplankton dan zooplankton) dihitung berdasarkan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dalam pengamatan yang diisi dengan kombinasi F+B/N, Z+B/N dan F+Z+B/N. Kombinasi F+B/N digunakan untuk menghitung pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton tanpa ada zooplankton. Kombinasi Z+B/N digunakan untuk menghitung pengaruh pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton ketika tidak ada fitoplankton. Kombinasi F+Z+B/N pengaruh pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton dan zooplankton dalam kondisi fitoplankton dan zoolankton ada dalam media yang sama. Pengamatan pemangsaan benur dan nener terhadap plankton dilakukan pada periode pengamatan ke-2 (P2) sampai dengan ke-6 (P6) setelah benur didapatkan. Karena nener sudah hilang pada periode pengamatan ke-6 maka jumlah benur yang diisikan ke kotak pemangsaan adalah 10 ekor, agar jumlah larva tetap sebanyak 10 ekor. Hasil perhitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton pada ketiga kombinasi setiap waktu inkubasi selama 5 periode pengamatan seperti dalam Lampiran 20.
Pemangsaan Fitoplankton Oleh Benur dan Nener
Perubahan kelimpahan fitoplankton dalam kurungan yang diisi dengan fitoplankton bersama benur dan nener selama 24 jam inkubasi memperlihatkan kecenderungan penurunan yang bervariasi berdasarkan kelimpahan awal. Populasi fitoplankton hingga akhir inkubasi menurun antara 32 - 57% dari populasi awal akibat pemangsaan. Akumulasi pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton bervariasi menurut periode pengamatan (Gambar 22).
Gambar 22 Hubungan antara Lama Inkubasi dengan Akumulasi Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Fitoplankton pada Setiap Periode Pengamatan pada Kombinasi F+B/N (P= Periode Pengamatan). Hasil analisis regresi antara akumulasi pemangsaan dengan lama inkubasi, didapatkan laju pemangsaan benur dan nener terhadap populasi fitoplankton berkisar antara 21 sampai 154 sel/liter/jam (Tabel 4). Nilai ini setara dengan 1800 sampai 3696 sel/liter/hari.
Tabel 4 Persamaan Regresi antara Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Fitoplankton (Y) dengan Lama Inkubasi (X) dan Kelimpahan Awal Fitoplankton Pada Setiap Periode Pengamatan Kombinasi F+B/N
Periode Pengamatan
Kelimpahan Awal
Fitoplankton (sel/liter) Persamaan Regresi R 2 (α = 0.05) 2 8778 Y = 288.00 + 150.86 X 0.93 3 6111 Y = 424.00 + 118.29 X 0.82 4 4743 Y = 37.33 + 74.71 X 0.94 5 8146 Y = 6.67 + 154.29 X 0.90 6 2750 Y = 81.33 + 20.86 X 0.97 Tabel 4 menunjukkan bahwa laju pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton berkisar antara 21 - 154 sel/liter/jam dengan kelimpahan rata-rata fitoplankton 6106 sel/liter. Dugaan jumlah fitoplankton yang dimangsa oleh benur dan nener selama 24 jam inkubasi berkisar antara 582 - 3909 dengan rata-rata 2659 sel/liter. Jika nilai tersebut dibagi dengan jumlah benur+nener (10 ekor) maka setiap ekor benur/nener dapat memangsa fitoplankton sebanyak 58 - 391 dengan rata-rata 266 sel/liter/hari.
Analisis regresi yang dilakukan seperti dalam menghitung pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton sebelumnya maka didapatkan bahwa laju pemangsaan benur dan nener signifikan berkorelasi linier dengan kelimpahan fitoplankton (Lampiran 21). Hubungan antara laju pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton (Y) dengan kelimpahan fitoplankton (X) mengikuti persamaan: Y = -32.9039 + 0.0224 X (R2 = 0.9641).
Hasil regresi antara pemangsaan fitoplankton oleh benur dan nener (Y) dengan kelimpahan fitoplankton (X) menunjukkan bahwa pemangsaan fitoplankton oleh benur dan nener signifikan berkorelasi linier dengan kelimpahan fitoplankton (Gambar 23). Hubungan antara pemangsaan fitoplankton oleh benur dan nener dengan kelimpahan fitoplankton mengikuti persamaan: Y = -181.9682 + 0.1313 X (R2 = 0.2908).
Gambar 23 Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dengan Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Fitoplankton pada Kombinasi F+B/N. Koefisien determinasi sebesar 29% dalam persamaan di atas menunjukkan besarnya keragaman pemangsaan fitoplankton yang dapat dijelaskan dari keragaman kelimpahan fitoplankton. Dari nilai tersebut maka disimpulkan bahwa pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain dibandingkan dengan kelimpahan fitoplankton. Faktor lainnya yang juga besar pengaruhnya adalah jumlah pemangsa dan rasionya terhadap kelimpahan awal fitoplankton.
Mengacu pada interpretasi terhadap nilai intercept maka dapat dikatakan bahwa kelimpahan minimal fitoplankton untuk terjadinya pemangsaan oleh benur dan nener adalah 181.9682 : 0.1313 = 1386.17 yang dibulatkan menjadi 1386 sel/liter. Jika nilai ini dibandingkan dengan nilai kelimpahan minimal yang dibutuhkan untuk terjadinya pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton yaitu 2005 sel/liter maka dapat dikatakan bahwa kelimpahan minimal untuk terjadinya pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton lebih rendah sampai lebih dari 2/3 dari kelimpahan minimal untuk terjadinya pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton.
Arti penting dari pembandingan kelimpahan minimal fitoplankton untuk terjadinya pemangsaan antara benur dan nener dengan zooplankton adalah bahwa ketika kelimpahan fitoplankton menurun sedemikian sehingga zooplankton tidak dapat memangsa fitoplankton lagi maka benur dan nener masih memangsa populasi fitoplankton hingga kelimpahan fitoplankton mencapai sekitar lebih dari setengah kelimpahan dimana fitoplankton tidak dapat dimangsa lagi oleh zooplankton. Perbedaan respon yang ditunjukkan oleh benur dan nener dalam memangsa fitoplankton dapat terjadi karena perbedaan fisik dan kemampuan dalam menyaring air dimana fitoplankton ada di dalamnya. Benur dan nener dengan ukuran yang lebih besar dan dilengkapi dengan organ yang berfungsi menyaring air lebih baik dibandingkan dengan zooplankton yang berukuran lebih kecil maka jelas akan menangkap fitoplankton lebih banyak dalam kondisi kelimpahan fitoplankton yang rendah.
Pemangsaan Zooplankton Oleh Benur dan Nener
Perubahan kelimpahan zooplankton dalam pengamatan ini setelah diinkubasi selama 24 jam terlihat bervariasi diantara 5 periode pengamatan. Penurunan cukup tajam pada periode pengamatan ke-4 disebabkan kelimpahan awal yang cukup tinggi pada waktu inkubasi 4 jam pertama. Penurunan kelimpahan yang diakibatkan oleh pemangsaan benur dan nener mencapai 71% sampai 98%. Ini mengindikasikan bahwa benur dan nener dapat memangsa populasi zooplankton sampai hampir habis. Plot antara pemangsaan dengan lama
inkubasi memperlihatkan tendensi peningkatan yang linier selama 24 jam pemangsaan (Gambar 24).
Gambar 24 Hubungan antara Lama Inkubasi dengan Akumulasi Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Zooplankton pada Setiap Periode Pengamatan Kombinasi Z+B/N (P = Periode Pengamatan).
Pemangsaan benur terhadap zooplankton terdapat waktu periode pengamatan tidak terjadi pemangsaan. Fakta ini menguatkan dugaan bahwa besar kemungkinan benur dan nener memangsa zooplankton pada periode-periode tertentu saja dalam sehari. Atau paling tidak selama 24 jam laju pemangsaan benur dan nener terhadap zoplankton ada fase dimana pemangsaannya sangat rendah atau tidak ada. Dengan demikian maka kelimpahan zooplankton sama pada awal dan akhir inkubasi sehingga pemangsaan terhitung sama dengan nol.
Plot data pemangsaan zooplankton oleh benur dan nener (Y) dengan lama inkubasi (X) setelah diregresikan diperoleh nilai koefisien regresi berkisar antara 3.51 sampai dengan 7.76 individu/liter/jam (Tabel 5). Nilai ini jika dirata-ratakan dengan membagi jumlah benur dan nener maka didapatkan laju pemangsaan zooplankton oleh benur dan nener berkisar kurang dari satu yaitu antara 0.35 sampai 0.78 individu/liter/jam/ekor. Jumlah zooplankton yang dimangsa oleh setiap ekor benur/nener setiap harinya berdasarkan berdasarkan akumulasi pemangsaan terhadap populasi zooplankton berkisar antara 11 – 43 individu/ liter/ hari. Nilai ini berada dalam kisaran hasil penelitian yang dilakukan oleh Michael & Guylaine (2003) dilaboratorium Zoea (udang) terhadap zooplankton,
mendapatkan kecenderungan peningkatan secara linear 3 – 250 mangsa/liter. Pemangsaan 14 individu/hari pada kelimpahan awal mangsa tertinggi yaitu 250 individu/liter.
Tabel 5 Persamaan Regresi antara Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Zooplankton (Y) dengan Lama Inkubasi (X) dan Kelimpahan Awal Zooplankton Pada Setiap Periode Pengamatan Kombinasi Z+B/N Periode Pengamatan Kelimpahan Awal Zooplankton (individu/liter) Persamaan Regresi (α = 0.05) R2 2 190 Y = 34.80 + 3.51 X 0.84 3 319 Y = 15.20 + 4.84 X 0.93 4 912 Y = 230.40 + 7.76 X 0.94 5 280 Y = 110.80 + 4.89 X 0.81 6 460 Y = 96.60 + 6.80 X 0.89 Perhitungan regresi antara laju pemangsaan benur dan nener terhadap populasi zooplankton (Y) dengan kelimpahan zooplankton (X) menunjukkan bahwa laju pemangsaan benur dan nener terhadap populasi zooplankton signifikan berkorelasi linier (Lampiran 22). Hubungan antara laju pemangsaan benur dan nener terhadap zooplankton dengan kelimpahan zooplankton mengikuti persamaan regresi: Y = 3.1021 + 0.0056 X (R2 = 0.83).
Penggabungkan seluruh data dari 5 periode pengamatan pemangsaan didapatkan hasil regresi yang signifikan antara pemangsaan benur dan nener terhadap zooplankton (Y) dengan kelimpahan zooplankton (X) mengikuti persamaan: Y = -16.8981 + 0.2572 X dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.6362 (Gambar 25). Hasil pembagian antara nilai intercept dengan koefisien regresi yaitu 16.8981 : 0.2572 = 66 adalah nilai kelimpahan pada saat pemangsaan sama dengan nol atau perpotongan garis regresi dengan sumbu X. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelimpahan minimal zooplankton untuk terjadinya pemangsaan oleh benur dan nener setelah dibulatkan adalah 66 individu/liter. Pemangsaan minimal zooplankton oleh benur dan nener yang dapat mencapai nilai tersebut berarti bahwa pemangsaan benur dan nener terhadap zooplankton mencapai nilai yang cukup rendah jauh melampaui kelimpahan minimal fitoplankton untuk dimangsa oleh benur dan nener yaitu 1386 sel/liter.
Gambar 25 Hubungan antara Kelimpahan Zooplankton dengan Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Zooplankton pada Kombinasi Z+B/N. Perbedaan kelimpahan minimal antara fitoplankton dengan zooplankton untuk terjadinya pemangsaan oleh benur dan nener memberikan informasi mengenai respon pemangsaan dari benur dan nener yang sangat berbeda antara fitoplankton dan zooplankto. Perbedaan respon ini dapat terjadi karena perbedaan ukuran antara fitoplankton dengan zooplankton. Zooplankton yang berukuran lebih besar relatif lebih mudah tersaring dan dimangsa oleh benur dan nener jika dibandingkan dengan fitoplankton yang berukuran lebih kecil. Akibatnya adalah zooplankton dapat dimangsa oleh benur dan nener sampai pada tingkat kelimpahan yang lebih rendah dibandingkan dengan fitoplankton. Disamping itu perbedaan yang menyolok antara kelimpahan awal fitoplankton dan zooplankton menyebabkan perbedaan nilai intercept yang besar dalam persamaan regresi. Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah preferensi dan orientasi pemilihan makanan yang berbeda terhadap fitoplankton dengan zooplankton.
Pemangsaan Fitoplankton dan Zooplankton Oleh Benur dan Nener Secara Bersama
Hasil pencacahan kelimpahan total fitoplankton dan zooplankton dalam pengamatan pemangsaan pada kombinasi F+Z+B/N secara lengkap disajikan dalam Lampiran 20. Perubahan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton agak tinggi pada waktu awal inkubasi.
Pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton akumulasinya terus mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu inkubasi. Kecenderungan akumulasi pemangsaan menurut waktu inkubasi masih mirip dengan kecenderungan pada pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton dengan kombinasi F+B/N (Gambar 26). Pemangsaan populasi fitoplankton oleh benur dan nener selama 24 jam inkubasi mencapai 59 - 85% dari populasi awal. Setelah diregresikan antara akumulasi pemangsaan benur dan nener terhadap populasi fitoplankton (Y) dengan waktu inkubasi (X) maka terlihat bahwa laju pemangsaan benur dan nener terhadap fitoplankton berkisar antara 48 - 183 sel/liter/jam atau setara 1162 - 4402 sel/liter/hari. Kisaran ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan laju pemangsaan fitoplankton pada kombinasi F+B/N yaitu 21 - 154 sel/liter/jam atau sertara 501 -3703 sel/liter/hari.
Gambar 26 Hubungan antara Lama Inkubasi dengan Akumulasi Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Fitoplankton pada Kombinasi F+Z+B/N (P= Periode Pengamatan).
Meningkatnya laju pemangsaan terhadap populasi fitoplankton dalam pengamatan kombinasi F+Z+B/N lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi F+B/N bukan berarti sepenuhnya karena pengaruh pemangsaan benur dan nener saja. Alasannya adalah karena dalam waktu yang bersamaan sangat besar kemungkinannya terjadi juga pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton. Jika diasumsikan bahwa laju pemangsaan benur dan nener tetap pada kedua kombinasi pengamatan maka peningkatan laju pemangsaan fitoplankton pada
kombinasi ketika fitoplankton, zooplankton, benur dan nener diinkubasi bersama F+Z+B/N adalah pengaruh pemangsaan oleh zooplankton.
Pemangsaan benur dan nener terhadap populasi zooplankton pada pengamatan kombinasi F+Z+B/N nampak jauh berbeda dengan hasil pengamatan pada kombinasi Z+B/N (Gambar 27). Pengaruh pemangsaan benur dan nener terhadap populasi zooplankton selama 24 jam inkubasi mencapai kisaran antara 49 - 95% dari populasi awal.
Hasil regresi antara akumulasi pemangsaan zooplankton dengan waktu inkubasi didapatkan persamaan regresi yang menunjukkan bahwa laju pemangsaan benur dan nener terhadap zooplankton pada kombinasi F+Z+B/N berkisar antara 3 - 31 individu/liter/jam. Hal ini berarti bahwa nilai maksimum laju pemangsaan zooplankton naik hampir 4 kali lipat dari 8 individu/liter/jam pada kombinasi Z+B/N. Artinya adalah laju pemangsaan benur dan nener terhadap populasi zooplankton meningkat ketika fitoplankton ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehadiran fitoplankton sangat signifikan mempengaruhi peningkatan laju pemangsaan benur dan nener terhadap populasi zooplankton.
Gambar 27 Hubungan antara Lama Inkubasi dengan Akumulasi Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Zooplankton pada Kombinasi F+Z+B/N (P= Periode Pengamatan).
Hasil pemangsaan benur dan nener terhadap populasi fitoplankton dan zooplankton dijumlahkan maka didapatkan pemangsaan benur dan nener terhadap total populasi plankton. Meskipun dalam perhitungan dengan menjumlahkan langsung pemangsaan fitoplankton dan zooplankton terdapat bias namun bias
tersebut sangat sulit untuk dikoreksi. Bias yang terjadi ketika menjumlahkan langsung pemangsaan fitoplankton dan zooplankton dan menganggapnya bahwa itu adalah laju pemangsaan benur dan nener terhadap populasi plankton adalah karena dalam pemangsaan fitoplankton itu sendiri terdapat kontribusi zooplankton. Dengan demikian pemangsaan fitoplankton dalam pengamatan kombinasi F+Z+B/N tidak sepenuhnya diakibatkan oleh benur dan nener saja. Kesulitan dalam mengoreksi bias ini terjadi karena tidak tepat jika hanya dengan mengurangi dengan laju pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton pada kombinasi F+Z. Alasannya adalah karena dalam pengamatan kombinasi F+Z populasi zoooplankton tidak mengalami pemangsaan yang kenyataannya dalam kombinasi F+Z+B/N hal itu terjadi. Dengan demikian maka pemangsaan plankton oleh benur dan nener yang dijumlahkan langsung dapat dianggap sebagai nlai pemangsaan relatif benur dan nener terhadap populasi plankton.
Laju pemangsaan populasi plankton menunjukkan adanya variasi antar periode pengamatan (Gambar 28). Variasi ini lebih disebabkan perbedaan kelimpahan awal plankton pada awal inkubasi. Besarnya laju pemangsaan relatif benur dan nener terhadap populasi plankton berkisar antara 50-184 plankter/liter/jam. Dengan laju pemangsaan tersebut populasi plankton yang dimangsa mencapai 62 - 85% dari total populasi awal.
Gambar 28 Hubungan antara Lama Inkubasi dengan Akumulasi Pemangsaan Relatif Benur dan Nener terhadap Plankton (Fitoplankton + Zooplankton) pada Kombinasi F+Z+B/N (P= Periode Pengamatan).
Sesuai dengan hasil perhitungan pemangsaan benur dan nener terhadap plankton maka terlihat bahwa pemangsaan terhadap populasi fitoplankton jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pemangsaan terhadap populasi zooplankton. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil regresi pada setiap periode pengamatan antara pemangsaan fitoplankton, zoooplankton dan fitoplankton + zooplankton yang memperlihatkan bahwa koefisien regresi yang didapatkan antara pemangsaan fitoplankton jauh lebih besar dibandingkan dengan zooplankton (Tabel 6).
Tabel 6 Persamaan Regresi antara Pemangsaan Benur dan Nener terhadap Plankton (Y) dengan Lama Inkubasi (X) dan Kelimpahan Awal Plankton pada Setiap Periode Pengamatan Komninasi F+Z+B/N
Periode
Pengamatan Kelimpahan Awal F, Z dan F+Z Persamaan Regresi R 2 (α = 0.05) Fitoplankton 2 8778 Y = 1425.33 + 183.43 X 0.91 3 6111 Y = 1098.67 + 149.50 X 0.86 4 4743 Y = 1244.00 + 84.00 X 0.82 5 8146 Y = 1634.67 + 140.14 X 0.92 6 2750 Y = 252.00 + 48.43 X 0.93 Zooplankton 2 190 Y = 29.58 + 3.00 X 0.84 3 319 Y = 64.58 + 7.20 X 0.83 4 912 Y = 141.68 + 31.24 X 0.96 5 280 Y = 40.36 + 7.33 X 0.83 6 460 Y = 109.73 + 11.74 X 0.79 Plankton (F+Z) 2 8968 Y = 1434.93 + 184.46 X 0.91 3 6430 Y = 1124.27 + 152.24 X 0.86 4 5655 Y = 1218.40 + 102.26 X 0.86 5 8426 Y = 1666.27 + 144.39 X 0.92 6 3210 Y = 312.00 + 49.71 X 0.93 Menggunakan data dalam Tabel 6, jika nilai-nilai koefisien regresi antara laju pemangsaan plankton diregresikan lagi secara Bersama maupun parsial dengan kelimpahan awal fitoplankton dan zooplankton saat diinkubasi pertama maka didapatkan bahwa hanya kelimpahan fitoplankton yang signifikan berkorelasi dengan laju pemangsaan plankton (Lampiran 23). Hasil perhitungan regresi tersebut memperjelas bahwa laju pemangsaan benur dan nener terhadap