• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sensor Resistance wire

Sifat fisik sensor Resistance wire yaitu memiliki resistansi tinggi dan sukar teroksidasi. Sensor resistance wire tersebut dimaksudkan dapat memberikan informasi tinggi muka air dalam bentuk perubahan resistan. Nilai resistansi yang dihasilkan tergantung dari jenis bahan, ukuran dan panjang resistance wire.

Dilihat dari bahan, bentuk dan fungsinya terdapat banyak jenis resistance wire, namun untuk mendapatkannya mengalami kesulitan, hal tersebut merupakan alasan pemilihan sensor menggunakan resistance wire Fuji Japan jenis FCHW2 karena resistance wire jenis ini lebih mudah didapatkan.

Gambar 27. Fuji Resistance Wire (FCHW2)

Resistance wire Fuji Japan jenis FCHW2, terbuat dari bahan Cr AL BAL. Fe dengan unsur utama Besi (Fe) dan unsur pemadu Chrome (Cr) 21 % dan Almunium (Al) 3 %. Resistance wire jenis FCHW2 berbentuk kawat round wire (silinder) dengan ukuran 0.1 mm (+/- 0.02 mm) dengan nilai resistansi 157 ohm per meter (+/- 7 – 9 %)

4.2 Prinsip kerja Sensor

Dua elektroda dengan nilai resistansi hampir sama yang merupakan kawat sensor (resistance wire) dililit sejajar pada media tegak (pipa PVC) dengan jarak yang sama, jika terendam air maka resistensi kawat sensor tersebut akan terhubungkan (short) dengan resistansi air. Resistansi air dapat diabaikan jika nilai resistansi sensor tinggi dan jarak antar kawat sensor sangat dekat sehingga nilai pada resistansi yang dihasilkan sensor adalah jumlah resistansi dari kedua sensor tersebut (rangkaian seri).

Perubahan ketinggian air memberikan perubahan resistansi pengukuran sensor, pada muka air yang tinggi mengakibatkan semakin kecil nilai resistansi yang dihasilkan dan sebaliknya

pada muka air yang rendah memberikan nilai resistansi yang tinggi.

Gambar 28. Proses Resistansi Sensor

Nilai Resistansi yang dihasilkan dari sensor, dibangkitkan sehingga memperoleh nilai ketukan dan informasi yang digunakan adalah pada saat transient saja, yaitu pada saat lompatan tegangan rendah ke tinggi. Pada rangkaian IC 555 pengendalian pulsa dioptimumkan pada perubahan R circuit yang dihubungkan dengan R sensor secara seri. Pembangkit pulsa secara terus-menerus disebut multivibrator astable yang menggunakan tipe 555 (triple five)

Rangkaian multivibrator astable berfungsi menentukan ketukan secara tundaan waktu. Fungsi yang diharapkan adalah perubahan resistansi hasil pengukuran sensor yang diikuti dengan perubahan frekuensi. Fungsi frekuensi dari IC 555 memberikan perubahan nilai tinggi muka air berbanding terbalik dengan nilai resistansi hasil pengukuran, sehingga pada penelitian ini nilai perubahan pada Tinggi Muka Air (TMA) berbanding terbalik dengan nilai resistansi sensor yang dihasilkan.

4.3 Ketahanan Korosi

Pengujian Resistance wire FCHW2 dalam keadaan terhubung dengan oscillator terhadap air PDAM yang dilakukan selama 7 bulan yaitu sejak tanggal 12 Agustus 2007 hingga Januari 2008, dan pada air garam terdapat 2 perlakuan yaitu tereksitensi dan tidak tereksitensi yang dilakukan selama 5 bulan yaitu sejak tanggal 8 September 2007 hingga Januari 2008.

R Sensor 1 R Sensor 2

(2)

Hasil uji terhadap ketahanan korosi pada resistance wire jenis FCHW2 yaitu pada batas antar udara dan permukaan air terlihat perubahan warna gelap pada kawat tersebut. Ini dikarenakan pada bagian tersebut terjadi perubahan antara kering dan basah, daerah basah yang berdekatan dengan udara menerima oksigen lebih banyak dibandingkan pada daerah ditengah butiran air yang kurang kadar oksigennya.

Gambar 30. Hasil Uji Ketahanan Korosi 4.4 Simulasi Sensor

Semakin kecil ukuran resistace wire maka nilai resistansinya semakin tinggi. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan sensor maka semakin terabaikan nilai resistansi air. Diasumsikan nilai resistansi sensor yang dibutukan adalah 60k Ohm, resistansi air fresh 200 ohm

Gambar 31. Simulasi Pembuatan Sensor

Diasumsikan ketinggian sungai pada umumnya 3 meter sehingga panjang pipa sensor yang dibutuhkan 3 meter. Metode yang digunakan adalah metode lilitan 2 kawat sensor dalam 1 pipa maka kawat sensor diameter 0.1 mm dengan R 157 per meter membutuhkan panjang 382.2 ≈ 383 meter, jadi panjang masing-masing sensor 191.5 meter. Untuk jarak lilitan antar sensor 0.5 mm maka diameter pipa yang dibutuhkan adalah 2.4 cm atau 0.9 ≈ 1 inchi.

Metode lilitan digunakan dalam penelitian ini karena kawat resistance wire yang digunakan sangat panjang dan tidak sebanding dengan kebutuhan panjang sensor yang disesuaikan dengan rata-rata ketinggian sungai 3 meter.

4.5 Pembuatan Sensor

Pipa PVC sebagai media yang dililit dan proses penggulungan secara manual. Permukaan pipa yang licin menyebabkan mudahnya perubahan posisi kawat dalam penggulungan, hal ini mengakibatkan jarak antara lilitan sensor tidak sama, agar letak lilitan kawat sensor tidak beruba-ubah maka digunakan perekat (lem) pada lapisan luar pipa. Kelemahan yang lain adalah ukuran sensor resistance wire yang kecil menyebabkan terjadinya putus pada sensor tersebut dalam proses penggulungan.

Dalam penelitian ini, panjang pembuatan sensor hanya 1 meter. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam pengukuran terhadap TMA air. Sensor yang telah dibuat dengan panjang 1 meter merupakan panjang 1 meter pertama dari keseluruhan sensor yang disimulasikan. Untuk mendapatkan nilai yang sesuai dengan ketinggian sungai 3 meter maka nilai resistansi yang didapat dihubungkan secara seri dengan resitor 40k Ohm. Nilai tersebut adalah nilai resistansi sensor dengan panjang sensor sama dengan 2 meter.

Pada tahap ini telah dilakukan 3 kali pembuatan sensor, metode pembuatan dengan menggulung kawat resistansi pada pipa yang telah ditentukan diameternya dan jarak antar lilitannya.

Nilai resistansi pada sensor diukur dengan menggunakan konduktor dengan cara menghubungkan kedua kawat sensor pada ketinggian yang sama sehingga terjadi short. Nilai resistansi sensor yang terukur adalah nilai resistansi pada ketinggian tersebut, selang ketinggian untuk pengukuran resistansi ini adalah 10 cm.

4.5.1 Sensor Prototipe I

Pada sensor prototipe 1 dengan menggunakan metode lilitan 2 kawat sensor dalam 1 pipa, dengan menggunakan perekat (lem) pada permukaan luar. Kedua kawat dililitkan pada pipa diameter 1 inchi jarak antar lilitan 1 mm dengan panjang pipa 138 cm menghasilkan resistansi 11.21 k ohm dengan masing-masing nilai resistansi pada kawat yaitu 5.67 k ohm dan 5.54 k ohm. Kesulitan dalam pembuatan sensor prototipe

(3)

I yaitu seringnya terjadi short antar kawat sensor dan perekat tersebut menghambat turunnya air sehingga untuk pengujian selanjutnya harus menunggu sensor kering terlebih dahulu.

Gambar 32. Sensor Prototipe I

Dengan mengukur nilai resistansi sensor per 10 cm maka dapat diketahui nilai masing-masing dalam skala 10 cm, nilai resistansi sensor per 10 cm tersebut tidak sama sehingga jarak lilitan kawat sensor juga tidak sama dan nilai resistansi sensor memiliki hubungan yang tidak linear dengan tinggi muka air.

Gambar 33. Model Resistansi Sensor Prototipe I

Dalam uji coba sensor prototipe I dengan memasukkan sensor pada air yang memiliki volume tetap, dan nilai resistansi pengukuran dihubungkan pada rangkaian oscilator dengan Ra 1k ohm dan Rb 1.36k ohm serta C 1µF yang menghasilkan perubahan frekuensi sbb.

Gambar 34. Hasil Uji Coba Sensor Prototipe I

Gambar 34 diatas menunjukkan perubahan nilai frekuensi hasil pengamatan dengan frekuensi yang dihitung secara teoritis. Frekuensi hasil pengamatan baik pada uji I, II maupun uji III menunjukkan ketidak sesuaian dengan nilai frekuensi yang dihasilkan pada nilai teoritis, hal ini disebabkan sensor menggunakan selongsong luar sebagai pengaman namun selongsong tersebut mengganggu proses naiknya air

resistan sebenarnya yang mengakibatkan nilai frekuensi lebih kecil. Hal ini terbukti pada saat pengukuran nilai frekuensi selalu bertambah pada ketinggian yang tetap namun tidak melebihi nilai frekuensi teoritis.

4.5.2 Sensor Prototipe II

Sensor prototipe II, dengan menggunakan metode dan diameter pipa yang sama dengan sansor 1, selain itu menggunakan perekat (lem) dengan luasan

Perbandingan Frekuensi Pengamatan dengan frekuensi Teoritis pada Sensor I

0 20 40 60 80 100 120 50 70 90 110 130 150 170 190 Frekuensi (Hz) T M A ( c m)

(4)

lebih kecil jika dibandingkan dengan sensor prototipe I serta menggunakan lapisan cat pada sisi luar pipa. Panjang pipa sensor prototipe II 170 cm didapatkan resistansi 23.6 k Ohm dengan masing-masing nilai resistansi pada kawat yaitu 11.92 k Ohm dan 11.68 k Ohm.

Gambar 35. Sensor Prototipe II

Dari hasil pengukuran resistansi per 10 cm maka diketahui keteraturan jarak antar kawat sensor dalam proses penggulungan sensor. Pada ketinggian 0-120 cm terdapat nilai resistansi sensor antara 1.3k ohm hingga 1.5k ohm ini menunjukkan dalam proses penggulangan sensor prototipe II jarak antar sensor lebih rapi jika dibandingkan dengan sensor prototipe I.

Gambar 36. Model Resistansi Sensor Prototipe II

Pada sensor prototipe II selain menggunakan perekat (lem) juga menggunakan cat namun dalam pengelupasan cat dengan menggunakan kertas gosok pada permukaan sensor menyebabkan lapisan Chrome (lapisan pemadu) terkelupas dan terjadi korosi pada kawat tersebut.

Akibat dari korosi tersebut nilai resistasi pada sensor menjadi 14.29 k Ohm dengan masing-masing sensor 7.25 k Ohm dan 7.04 k Ohm dan panjang pipa 102 cm.

Gambar 37. Hasil Uji Coba Sensor Prototipe II setelah Korosi

Dari hasil uji coba nilai resistansi yang dihasilkan tidak sesuai dengan nilai resistansi sensor, namun terdapat perubahan nilai resistansi pengukuran disetiap perubahan ketinggian muka air. Semakin tinggi permukaan air, nilai resistansinya

semakin rendah. Terdapat kesulitan dalam pembuatan sensor prototipe II, yaitu seringnya terjadi short pada sensor sehingga nilai resistansi hasil pengukuran tidak sesuai dengan perubahan TMA.

Uji Coba Sensor II

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 R (Ohm) T MA

(5)

4.5.3 Sensor Prototipe III

Gambar 38. Sensor Prototipe III

Kesulitan penggulungan pada metode 2 kawat sensor dalam 1 pipa dan seringnya terjadi short pada sensor, maka pada sensor prototipe III menggunakan metode 1 kawat sensor dililit pada 1 pipa. Diameter pipa yang dibutuhkan adalah setengah nilai dari metode 2 kawat sensor dililit pada 1 pipa yaitu 0.5 inchi dan panjang pipa 1 meter.

Metode ini memudahkan dalam sistem pembuatan sensor dan menghindari terjadinya short antar sensor. Batas jarak antar sensor menggunakan benang nilon dengan ukuran 0.5 mm. Pembuatan sensor prototipe III ini menggunakan perekat (lem) dengan luasan yang lebih kecil dari sensor prototipe I dan II dan penggunaan cat setelah penggulungan.

Pengukuran nilai resistensi sensor per 10 cm dilakukan setelah uji coba resistansi selesai namun pada ketinggian 90 dan 100 salah satu kawat sensor tersebut putus sehingga yang tercantum pada data hanya pada ketinggian 0-80 cm. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut.

Gambar 39. Model Resistansi Sensor PrototipeIII

Nilai resistansi yang dihasilkan pada ketinggian 20 - 90 cm pada sensor prototipe III memiliki nilai yang hampir sama, hal ini membuktikan pada jarak kawat antar sensor sedikit lebih rapi dibanding sensor prototipe I dan II.

4.5.3.1 Pengujian perubahan nilai

resistansi sensor

Pengujian perubahan nilai resistansi berdasarkan ketinggian muka air dilakukan dalam 2 tahapan. Tahapan pertama pengujian secara kasar dengan mencelupkan sensor kedalam tabung air dengan volume yang tetap, dilakukan sebanyak 5 kali ulangan. Tahapan kedua dilakukan dengan menambahkan air pada tabung air sehingga sensor akan terendam air. Nilai resistansi yang dihasilkan sensor merupakan nilai ketinggian dari air tersebut. Pengujian dilakukan di Workshop Instrumentasi dan kolam depan Departemen Geofisika dan Meteorologi, berawal pada 7 Desember 2007

Gambar 40. Uji Coba Sensor Prototipe III (Tahap I) a. Pengujian Tahap I

Pengujian tahap 1 dilakukan untuk mengetahui besarnya perubahan nilai resistansi dari air PDAM, air kandungan asam, air kandungan basa, air sungai, dan air garam dengan menggunakan pipa 2 inchi setinggi 105 cm sehingga volume air 2,1 liter, pengukuran dalam keadaan volume tetap. Untuk air kolam dengan volume kolam yang berada di depan Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

(6)

Gambar 42. Proses Uji Coba Tahap I

Nilai resistansi air merupakan nilai selisih dari resistansi hasil pengukuran dengan resistansi sensor saat tidak terendam air (kering) yang dihubungkan dengan logam. o Air PDAM

Pada percobaan terhadap air PDAM yang diharapkan sebagai air bersih, pH netral dan tidak banyak mengandung unsur-unsur elektrolit. Pada pengujian terhadap perubahan resistansi air PDAM selisih nilai resistansi rata-rata pada air PDAM 609.75 ≈ 600 ohm.

Pada uji coba 1 dan 3 terdapat nilai resistansi yang tidak sesuai, ini dikarenakan pada proses pengulangan keadaan sensor masih terdapat air sehingga terjadi short antar kawat sensor.

Gambar 43. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap I terhadap Air PDAM)

o Air Asam

Pada air asam dengan memanfaatkan asam cuka dapur yang tergolong asam asetat CH3COOH. Nilai

resistansi rata-rata yang dihasilkan adalah, 311 ≈ 300 ohm.

Pada air asam pengukuran hanya dilakukan hingga ketinggian 80 cm, karena pada waktu pengukuran terjadi kebocoran pada pipa penampung sehingga ketinggian maksimum yang dihasilkan hanya 80 cm

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 Resistansi (ohm) T M A ( c m)

(7)

Gambar 44. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap I terhadap Air Asam)

o Air Kolam

Air kolam yang dimaksudkan adalah air kolam yang berada di depan jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB, Dramaga. Air dengan luasan dan volume yang tinggi dengan harapan dapat

memberikan gambaran pengukuran pada area yang luas dan volume air yang tinggi. Nilai resistansi rata-rata dihasilkan pada air kolam berkisar 655.5 ≈ 700 ohm

Gambar 45. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap I terhadap Air Kolam)

o Air Garam

Pada uji coba dengan air garam, dengan memanfaatkan garam dapur (KJO3)

250g yang dicampur pada air dengan volume 2.1 liter. Untuk air garam yang memiliki sifat penghantar yang baik selisih

nilai resistansi yang dihasilkan lebih kecil. Selisih nilai resistansi sensor dengan nilai resistansi pengukuran adalah 258 ≈ 300 ohm.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 Resistansi (ohm) T M A ( c m)

Uji Coba 1 Uji Coba 2 Uji Coba 3 Uji Coba 4 Uji Coba 5 R sensor Linear (R sensor) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 Resistansi (ohm) T M A ( cm)

(8)

Gambar 46. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap I terhadap Air Garam)

o Air Basa

Pada uji coba dengan air basa, air yang ditambahkan kapur gamping (Ca(OH)2),

sebagai contoh pengukuran TMA pada kadar keasaman diatas pH 7. Untuk air basa nilai

resistansi rata-rata yang didapat adalah 114 ≈ 100 ohm.

Gambar 47. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap I terhadap Air Basa)

o Air Sungai

Pada air sungai yang menggambarkan kandungan air yang

sesungguhnya didapatkan nilai resistansi rata-rata 624.5 ≈ 600 ohm. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 Resistansi (ohm) T M A ( c m)

Uji Coba 1 Uji Coba 2 Uji Coba 3 Uji Coba 4 Uji Coba 5 R sensor Linear (R sensor) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 Resistansi (ohm) T M A ( c m)

(9)

Gambar 48. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap I terhadap Air Sungai)

Perubahan nilai resistansi dari 1meter ketinggian air untuk sensor prototipe III, dengan volume dan jenis kandungan air berbeda menunjukkan bahwa nilai resistansi pengujian mengikuti slope resistansi sensor pada keadaan kering (tidak terendam air). Selisih nilai resistansi air dari hasil pengujian secara kasar yaitu antara 600 - 700 ohm dan untuk kandungan air elektrolit (garam, basa dan asam) semakin tinggi kandungannya maka nilai resistansinya semakin kecil.

b. Pengujian Tahap II

Pengujian pada tahap ini dilakukan pada ketinggian dan volume air tetap.

Pencatatan nilai resistan air dilakukan 2 kali setiap awal dan akhir pengujian dalam selang 10 menitan, hal ini dimaksudkan untuk melihat respon time sensor terhadap perubahan tinggi muka air.

Pada pengamatan ini kepekaan sensor terhadap nilai resistansi sangat tinggi, hal ini ditunjukkan pada menitan awal yaitu pada saat penambahan air pada tabung nilai resistansi yang dihasilkan sensor berkurang yaitu mengikuti perubahan tinggi muka air tersebut dan saat diakhir pengamatan pada ketinggian yang tetap, nilai resistan yang dihasilkan sensor relatif sama seperti diawal pengamatan. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 Resistansi (ohm) T M A ( c m)

(10)

Nilai resistansi hasil pengamatan diakhir pengamatan dalam ketinggian yang sama (kondisi air tenang) terdapat nilai resistan yang berubah-ubah, sehingga nilai

selisih tersebut merupakan nilai resistansi acak. Nilai tersebut adalah selisih nilai resistansi maksimum dengan nilai minimum yang dicapai pada ketinggian yang sama.

Gambar 50. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap II terhadap Air PDAM)

Pada pengujian untuk air PDAM, selisih resistansi maksimum pada akhir 10 menit dari pengamatan adalah 400 Ohm

yaitu pada Tinggi Muka Air 50 cm dengan rata-rata selisih resistansi 145 ≈ 100 Ohm.

Gambar 51. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap II terhadap Air Asam)

Untuk air asam pengujian yang dilakukan dari 0 hingga 80 cm memiliki nilai selisih nilai resistansi maksimum pada tinggi muka

air 80 cm dengan selisih resistansi 290 ≈ 300 Ohm, sedangkan untuk rata-ratanya yaitu 181 ≈ 200 Ohm. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 R (ohm) T M A ( c m) Terendah Tertinggi 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 R (ohm) T M A ( c m) Terendah Tertinggi

(11)

Gambar 52. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap II terhadap Air Kolam)

Pada air kolam nilai rata-rata yang dihasilkan untuk selsisih resistansi sebesar

211 ≈ 200 ohm dan nilai selisih maksimum 350 ≈ 400 Ohm pada ketinggian air 10 cm

Gambar 53. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap II terhadap Air Garam)

Untuk air garam kondisinya tidak jauh berbeda dengan pengamatan pada air kolam yaitu memiliki selisih maksimum pada

ketinggian 10 cm sebesar 350 ≈ 400 Ohm dengan rata-rata 148 ≈ 100 Ohm.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 R (ohm) T M A ( c m) Terendah Tertinggi 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 R (ohm) T M A ( c m) Terendah Tertinggi

(12)

Gambar 54 Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap II terhadap Air Basa)

Pada air basa memiliki nilai selisih resistan maksimum terbesar diantara kelima kandungan air, yaitu 500 ohm pada

ketinggian air 20 cm dan rata-rata 120 ≈ 100 ohm

Gambar 55. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap II terhadap Air Sungai)

Untuk air sungai nilai rata-rata yang didapat sebesar 120 ≈ 100 ohm dengan nilai maksimum 180 ≈ 200 ohm yaitu pada ketinggian air 1cm.

Nilai resistansi acak berkisar 200 ohm, ini berarti setiap pengukuran pada TMA nilai resistansi akan berubah-ubah sebesar 200 ohm dari nilai sebenarnya. ketidakstabilan tersebut dipengaruhi oleh resistansi air dan dapat diabaikan jika nilai resistansi sensor jauh lebih besar dari nilai resistansi yang tidak stabil

4.5.3.2 Pengujian Resistansi Air

terhadap Pengaruh Suhu

Pada dasarnya perubahan suhu pada air sungai tidak begitu besar. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian bahwa suhu pada sensor resistansce wire tidak mempengaruhi nilai resistansi pengukuran yang dihasilkan.

Pada tahap ini dilakukan 2 pengujian pada suhu dibawah 5oC dan diatas 25 oC, untuk nilai suhu dibawah 25 oC atau pada kondisi normal telah dilakukan pada tahap I dan II yaitu pada suhu 23oC

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 R (ohm) T M A ( c m) Terendah Tertinggi 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 R (ohm) T M A ( c m) Terendah Tertinggi

(13)

A Suhu < 5 oC

Pengujian pada air sungai dengan suhu dibawah keadaan normal dari suhu air sungai pada umumnya, memberikan gambaran bahwa sensor dapat mengabaikan pengaruh suhu dibawah keadaan suhu

normal karena nilai resistansi yang dihasilkan oleh sensor pada suhu < 5 oC dan pada keadaan normal suhu air sungai tidak jauh berbeda serta nilai resisitansi air pun masih dalam keadaan yang hampir sama

Gambar 56. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (pada Suhu < 5 o

C)

B Suhu > 25 oC

Uji coba ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan resistansi yang dipengaruhi oleh suhu, yaitu suhu 25 oC hingga 45 oC. Pengukuran dilakukan pada 3 sampel ketinggian air yaitu pada ketinggian

23, 30 dan 40 cm. Nilai resistansi yang dihasilkan pada pengukuran ini relatif konstan jadi panas pada air tidak mempengaruhi besarnya nilai resistansi yang dihasilkan oleh sensor.

Gambar 57. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (pada Suhu > 25 o

C)

4.6 Simulasi dan Pembuatan

Rangkaian Elektronik

Pada tahap ini yaitu simulasi dan pembuatan rangakaian elektronik adalah tahap lanjutan dari simulasi pembuatan

sensor. Pada simulasi pembuatan sensor, resistansi sensor yang dihasilkan antara 0-60k ohm, hal tersebut akan sama dengan perubahan nilai TMA hingga 3 meter. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5000 10000 15000 20000 25000 Resistansi (ohm) T M A ( c m)

Resistansi Sensor Suhu Normal Uji II Uji I

20 25 30 35 40 45 50 14000 14500 15000 15500 16000 16500 17000 17500 18000 18500 19000 R Pengukuran (ohm) S u hu ( o C)

(14)

Gambar 58. Diagram Elektronik Sensor

Gambar 59. Elektronik Sensor

Resistansi yang dihasilkan oleh sensor tersebut kemudian dibangkitkan menjadi pulsa oleh rangkaian oscillator IC 555, nilai resistansi sensor dihubungkan secara seri dengan Rb pada rangkaian oscillator tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan 2 variasi untuk mendapatkan nilai frekuensi sehingga dapat diketahui nilai yang tepat digunakan dalam pembuatan sensor, yaitu, Ra = 1k Ohm dan Rb = 10k Ohm atau Ra= 1k Ohm dan Rb = 1.36k Ohm.

1. RA = 1k Ohm dan R2 = 10k Ohm

Sensor dihubungakan dengan Rb = 10k Ohm, untuk mendapatkan pengukuran tinggi muka air 3 meter yang setara dengan 60k Ohm, maka nilai Rb berselang antara 10k Ohm hingga 70k Ohm. Frekuensi yang dihasilkan adalah 10.21 Hz hingga 68.57 Hz

2. RA = 1k Ohm dan R2 = 1.36k Ohm

Nilai Rb berselang antara 1.36k Ohm hingga 61.36k Ohm serta frekuensi yang dihasilkan adalah 11.64 Hz hingga 387.10 Hz

Frekuensi yang dibutuhkan adalah frekuensi dengan range yang tinggi, karena pada selang yang tinggi perubahan nilai R

yang kecil akan dapat terukur. Pada rangakaian oscilator dengan Ra 1k Ohm dan Rb 1.36k Ohm yang memiliki nilai range frekuensi lebih lebar jika dibanding Ra 1k Ohm dan Rb 10k Ohm, sehingga rangkaian yang cocok dalam untuk sensor ini adalah rangkaian Ra 1k ohm dan Rb 1.36k ohm.

Nilai minimum yang dianjurkan untuk IC 555 adalah Ra 5k Ohm dan Rb 3k ohm, maka perlu pengujian fungsi persamaan frekuensi 555 (frekuensi teoritis) dengan frekuensi R variable (hasil pengukuran). Uji coba ini sebagai pembuktian terhadap fungsi persamaan frekuensi 555,

(

(

( )

)

)

C x b 2R a R 1.44 f + =

(frekuensi teoritis) dengan frekuensi R variabel. Besarnya frekuensi sangat ditentukan oleh nilai R dan C, dengan nilai R variable sebagai nilai resistansi sensor yang dihubungkan secara seri dengan nilai konstanta Rb pada oscillator, nilai Ra dan C adalah konstan.

Frekuensi teoritis adalah nilai frekuensi yang dihasilkan berdasarkan persamaan frekuensi, sedangkan frekuensi R variable yaitu frekuensi yang dihasilkan dari pengukuran DVM dari nilai variable resistan. Besarnya nilai resistansi untuk kedua frekuensi tersebut adalah sama, maka didapat hubungan seperti gambar 60 dibawah ini.

(15)

Gambar 60. Hubungan Frekuensi Teortis dengan Frekuensi Pengukuran

Rangkaian astabel multivibrator, dengan Ra 1k ohm dan Rb 1.36k ohm akan menghasilkan nilai frekuensi yang diterapkan pada simulasi ketinggian TMA 3 meter. Terdapat 6 nilai frekuensi yang mengikuti perubahan nilai TMA dari 0-100 cm atau TMA kurang dari 1 meter. Nilai frekuensi yang dihasilkan dari keenam uji

coba tersebut kurang dari nilai frekuensi resistansi sensor, perbedaan nilai tersebut dipengaruhi oleh nilai resistansi air antara 600 - 700 ohm. Namun pada gambar 61 terlihat selisih yang sama disetiap ketinggian, ini menunjukkan nilai tersebut mengikuti slope pada ketinggian 3 meter.

Gambar 61. Frekuensi 1 meter dan frekuensi simulasi 3 meter

Nilai frekuensi tersebut merupakan nilai ketukan per satuan detik, semakin besar frekuensi maka semakin cepat ketukannya. Sehingga semakin tinggi TMA dengan nilai resistansi yang dihasilkan semakin rendah maka frekuensi semakin cepat dan sebaliknya. Hal ini berarti nilai resistansi

sensor dengan frekuensi untuk IC 555 adalah berbanding terbalik yang menyebabkan variasi durasi waktu pengamatan, semakin tinggi permukaan air maka semakin cepat waktu pengamatan dan semakin rendah muka air maka semakin lama waktu pengamatan. 0 50 100 150 200 250 300 0 50 100 150 200 250 300 350 400 Frekuensi (Hz) T M A (c m)

PDAM Asam Kolam Garam Basa Sungai Sensor dan Simulasi

y = 0.9846x - 0.3146 R2 = 0.9997 y = 0.9916x - 0.4021 R2 = 1 0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 50 100 150 200 250 300 350 400 Frekuensi Teoritis (Hz) F rek u e n s i P e n g a m a ta n ( H z)

Ra 1k ohm dan Rb 1.36k ohm Ra 1k ohm dan Rb 10k ohm Linear (Ra 1k ohm dan Rb 10k ohm) Linear (Ra 1k ohm dan Rb 1.36k ohm)

(16)

Sifat pengukuran yang semakin tinggi permukaan air maka semakin cepat selang waktu pengukuran yang dihasilkan, dan pada keadaan permukaan lebih rendah waktu yang dihasilkan lebih lama. Hal tersebut sesuai dengan perubahan permukaan air pada DAS dari permukaan rendah kepermukaan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih cepat dibanding perubahan nilai permukaan air DAS dari permukaan yang lebih tinggi kerendah.

4.7 Kestabilan Catu Daya terhadap

Oscilator

Kebutuhan catu daya pada rangkaian osilator adalah pada selang 4.5 volt hingga 15 volt, namun voltasi yang digunakan adalah 9 dan 12 volt karena mendapatkannya mudah dalam bentuk battery ataupun accu. Untuk jenis oscilator ini perubahan catu daya tidak begitu mempengaruhi besarnya frekuensi, perubahan nilai voltasi dari 4.3 volt hingga 10.5 volt menunjukkan nilai frekuensi yang relatif konstan, terlihat pada gambar 62 dibawah ini.

Pengukuran terhadap Kesetabilan Catu Daya

0 10 20 30 40 50 60 70 80 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Catu Daya (volt)

Fre

k

uenasi (H

z)

Gambar 62. Uji Oscilator terhadap Catu Daya

4.8 Uji Kestabilan Sensor

Sensor dalam keadaan terendam air dengan ketinggian tetap dihubungkan dengan astable multivibrator IC jenis 555. Pada tahap ini merupakan tahap pengujian

untuk kestabilan elektronik dan kestabilan sistem pencatatan. Meskipun jauh dari keadaan yang sesungguhnya namun tahap ini mampu memberikan gambaran secara fungsional alat.

Gambar 63. Kestabilan Sensor pada TMA 35 dan 40 cm

30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Waktu (Jam) F re k u e n s i (H z) Pengukuran TMA 40 cm Pengukuran TMA 35 cm oritis pada TMA 40 cm" Frekuensi Teoritis pada TMA 35 cm

(17)

Uji Coba pada ketinggian air 40 cm dengan rangkaian oscilator Ra 1k Ohm dan Rb 1.36k Ohm, dengan menggunakan DVM didapat resistansi sensor = 14.9k Ohm dan frekuensi 42 Hz, mendapatkan hasil pada gambar 63 diatas dengan frekuensi rata-rata 42.76 Hz dan frekuensi maksimum yang dicapai 42.89 Hz dan frekuensi minimum yang dihasilkan 42.72 Hz sehingga nilai frekuensi pengamatan selalu diatas nilai frekuensi teoritis

Untuk gambar 63 diatas, dengan menggunakan Ra 1k Ohm dan Rb 1.36k Ohm, diukur dengan menggunakan DVM didapat resistansi sensor 15.9k Ohm dngan frekuensi 41 Hz pada ketinggian muka air 35 cm, menghasilkan frekuensi rata-rata pengamatan 40.8 Hz frekuensi maksimum pengamatan 40.88 Hz dan nilai frekuensi minimumnya 40.68 Hz maka nilai nilai frekuensi pengamatan selalu dibawah nilai frekuensi teoritis.

Dari 2 uji coba tersebut perubahan nilai frekuensi tidak begitu besar, resistansi dan frekuensi yang dihasilkan sensor dengan memanfaatkan rangkaian astable multivibrator IC 555 tergolong cukup stabil.

Gambar

Gambar 33. Model Resistansi Sensor Prototipe I
Gambar 36. Model Resistansi Sensor Prototipe II
Gambar 42. Proses Uji Coba Tahap I
Gambar 45. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III (Uji Tahap I terhadap Air Kolam)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dapat dilihat bahwa untuk semua sampel pengamatan tingkat kesibukan tinggi, kecuali pada pengamatan 10 Juli 2012 loader tidak terlalu sibuk.. Dari nilai ini dapat

Hal ini menunjukkan bahwa metode HPLC-ELSD yang telah dilakukan oleh peneliti memiliki nilai rekoveri yang lebih baik yang ditunjukkan dengan nilai RSD yang lebih rendah dari

Tanah pada lokasi 4 memiliki klas infiltrasi sangat lambat dengan nilai laju infiltrasi hanya 0,704 cm/jam diakibatkan tanah pada lokasi 4 telah pada keadaan jenuh air

Pengamatan atau observasi di siklus II ini dilakukan dengan teknik dan pedoman yang sama dengan pengamatan pada siklus I, yang meliputi: pengamatan pada nilai pemahaman

Pengamatan dilakukan terhadap nilai torsi pada alat rheomix yang digunakan dalam pencampuran. Nilai torsi menunjukkan berapa besar energi yang dibutuhkan oleh alat

Variasi nilai faktor aman (FS) dengan data curah hujan raingauge dan TRMM-NASA pada lereng terhadap waktu hujan untuk berbagai kedalaman muka air tanah

Observasi atau pengamatan dilakukan oleh peneliti yang bertindak sebagai observer. Observer mengamati jalannya pembelajaran dari awal sampai akhir. Pengamatan yang

Pembagian berita dalam program berita tv parlemen yaitu menyajikan berita-berita yang memiliki nilai berita yang tinggi pada segmen awal dan menempatkan berita-berita