• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

66

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sifat Fisik Tanah Gleisol

Sifat fisik tanah berhubungan dengan kondisi asli tanah dan dapat menentukan jenis tanah. Pada penelitian ini digunakan tanah gleisol di Kebon Duren, pada kedalaman 20- 40 cm. Sifat-sifat fisik tanah gleisol dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Sifat-sifat fisik tanah gleisol,Kebon Duren, Depok

Sifat Fisik Nilai

Fraksi Liat (%) 45.00

Debu (%) 30.83

Pasir (%) 24.17

Kadar air tanah lapang (%) 15.09 Berat isi kering (g/cm

3

) 1.21

Permeabilitas (cm/jam) 0.13

Berat jenis tanah 2.69

Porositas (n) 0.62

Angka pori (e) 1.66

Potensial air tanah, pF 2.59

Gambar 14. Klasifikasi tanah gleisol berdasarkan sistem USDA

(2)

67 Berdasarkan Tabel 7, tanah gleisol yang digunakan dapat diklasifikasikan menurut sistem klasifikasi segitiga tekstur sistem USDA. Klasifikasi menurut segitiga tekstur sistem USDA didasarkan pada fraksi liat, debu dan pasir. Hasil penelitian menunjukkan tanah gleisol tergolong dalam kelas liat seperti terlihat pada Gambar 15. Hasil uji sifat fisik tanah gleisol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

1. Uji Tekstur Tanah

Uji tekstur adalah pengujian yang paling pertama dilakukan sebelum pengujian lainnya. Uji tekstur bertujuan untuk membuktikan bahwa tanah gleisol memiliki liat yang lebih tinggi daripada latosol yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya. Semakin besar kandungan liat pada tanah, maka semakin baik untuk dijadikan bahan pembuatan tanggul karena dapat menahan air lebih baik. Dari hasil uji tekstur diperoleh bahwa tanah gleisol memiliki kandungan liat sebesar 45%. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Ratnasari, 2007) kadar liat pada tanah latosol adalah sebesar 27.49%. Maka, terbukti bahwa tanah gleisol memiliki kandungan liat yang lebih tinggi daripada tanah latosol. Hasil uji tekstur tanah gleisol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

2. Permeabilitas

Nilai koefisien permeabilitas yang diperoleh merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan percobaan yang dilakukan dengan metode falling head. Besarnya nilai koefisien permeabilitas dipengaruhi oleh porositas dan angka pori tanah.

Semakin besar porositas dan angka pori maka semakin besar pula koefisien permeabilitasnya (Sumarno,2003). Semakin kecil nilai permeabilitas tanah, maka nilai RC (kepadatan relatif) akan semakin besar, dan juga berarti tanggul semakin padat (Kurniasari, 2007).

Pengukuran permeabilitas tanah yang dilakukan pada contoh tanah yang

diambil dari tubuh tanggul setelah pengaliran sebesar 0.13 cm/jam. Nilai

permeabilitas yang didapat pada penelitian kali ini lebih kecil jika dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya (Ratnasari, 2007) untuk tanah latosol yaitu, 1.17

(3)

68 cm/jam. Hal ini disebabkan kandungan liat tanah gleisol lebih besar daripada tanah latosol, sehingga daya menahan air tanah gleisol juga lebih besar daripada tanah latosol. Berdasarkan klasifikasi permeabilitas menurut sesuai pada Tabel 1, tanah gleisol yang digunakan untuk pembuatan model tanggul termasuk ke dalam kelas permeabilitas rendah. Hasil pengukuran nilai permeabilitas tanah tanggul setelah dialiri dapat dilihat pada Lampiran 8.

3. Pengukuran Kadar Air

Pengukuran kadar air yang dilakukan menggunakan metode basis kering dengan 3 sampel pada setiap pengukurannya. Dari pengukuran ini didapatkan nilai kadar air optimum rata-rata uji tumbuk manual dari dua kali pengulangan sebesar 35.92%.

4. Pengukuran Potensial Air Tanah (pF)

Tabel 8. Hasil pengukuran nilai pF model tanggul pF

Kadar Air (%)

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

0 53.17 53.40 53.17

0.5 47.61 53.17 46.48

1 46.89 48.36 46.13

1.5 44.21 47.70 44.32

2 42.26 47.69 42.35

2.5 36.30 36.30 36.30

3 33.24 33.24 33.24

3.2 31.16 31.16 31.16

4.2 28.95 28.95 28.95

Penentuan nilai potensial air tanah (pF) dilakukan dengan percobaan

langsung yang menggunakan sand box dan wide range pF meter. Dari

percobaan yang telah dilakukan dapat diperoleh nilai pF sebesar 2,59 pada kadar

air 35.92% (kadar air optimum hasil uji proctor) melalui interpolasi. Nilai pF

yang diperoleh untuk kadar air optimum sama dengan nilai pF untuk kadar air

optimum tanah oxisol (Praja dkk, 2007). Semakin jenuh tanah, maka nilai pF

akan semakin rendah, tanpa terpengaruh oleh berat isi kering atau kepadatan

(4)

69 tanah. Grafik uji pF disajikan pada Gambar 15 dan hasil pengukuran nilai pF model tanggul disajikan pada Tabel 8.

Gambar 15. Grafik uji pF model tanggul untuk 3 ulangan

B. Sifat Mekanik Tanah

Sifat mekanik tanah berhubungan dengan pergerakan partikel tanah. Sifat mekanik tanah gleisol dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sifat mekanik tanah gleisol (Kebon Duren, Depok)

Sifat Mekanik Nilai (%)

Batas cair 74.44

Batas plastis 42.66

Indeks plastisitas 31.78

Kadar air optimum 35.92

5. Uji Konsistensi Tanah

Uji konsistensi tanah terdiri dari uji batas cair, uji batas plastis, dan

penentuan indeks plastisitas. Hubungan antara batas cair dan indeks plastisitas

digunakan dalam klasifikasi tanah sistem Unified. Sistem klasifikasi Unified

didasarkan dari hasil analisis konsistensi tanah yaitu menggunakan batas cair

(5)

70 dan batas plastis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah gleisol tersebut memiliki nilai batas cair (LL) adalah sebesar 74.44 % dan batas plastis (PL) sebesar 42.66 %. Nilai indeks plastisitas (PI) yang merupakan selisih dari batas cair dan batas plastis adalah sebesar 31.78 %. Nilai-nilai batas cair dan indeks plastisitas tersebut diplotkan ke dalam grafik klasifikasi tanah pada Gambar 15.

Hasil dari plot tersebut didapatkan bahwa tanah gleisol berada pada daerah MH yaitu lanau anorganik plastisitas tinggi (Craig, 1987).

Gambar 16. Klasifikasi tanah gleisol berdasarkan sistem Unified

6. Uji Pemadatan

Uji pemadatan dilakukan dengan uji proctor sebagai uji standar. Dari hasil uji pemadatan tersebut diperoleh kadar air optimum, berat isi kering, berat isi basah dan berat isi jenuh. Pada penelitian ini uji pemadatan dilakukan dua kali ulangan dan hasil pengujian tertera pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Dari tabel di atas, didapatkan rata-rata kadar air optimum adalah sebesar

35.92 % dan rata-rata berat isi kering maksimum (

dmax

) sebesar 1.20 g/cm

3

.

Nilai kadar air optimum dan berat isi kering maksimum tersebut merupakan

nilai uji pemadatan standar sebagai acuan untuk melakukan pemadatan, baik uji

pemadatan di laboratorium maupun pemadatan di lapangan. Pada penelitian

(6)

71 sebelumnya untuk jenis tanah latosol (Herlina, 2003) diperoleh kadar air optimum sebesar 33.50 %, berat isi kering sebesar 1.30 g/cm

3

, berat isi basah sebesar 1.74 g/cm

3

, dan berat isi jenuh sebesar 1.40 %, sedangkan penelitian (Ratnasari, 2007) diperoleh kadar air optimum sebesar 33.02 %, berat isi kering sebesar 1.26 g/cm

3

, berat isi basah sebesar 1.68 g/cm

3

, dan berat isi jenuh sebesar 1.41 %. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh jenis tanah yang digunakan berbeda dan juga dapat diakibatkan pada proses pemadatan yang tidak konsisten sehingga energi pemadatan yang diberikan berbeda.

Wesley (1973) menyatakan bahwa tanah yang dipakai untuk pembuatan tanggul, bendungan tanah, atau dasar jalan harus dipadatkan untuk menaikkan kekuatannya, memperkecil kompresibilitas, dan daya rembes air serta memperkecil pengaruh air terhadap tanah tersebut. Tujuan pemadatan tanah di lapangan yaitu memadatkan tanah pada keadaan kadar air optimumnya, sehingga tercapai keadaan yang paling padat. Dengan demikian tanah tersebut akan mempunyai kekuatan yang relatif besar, kompresibilitas kecil, dan memperkecil pengaruh air terhadap tanah.

Menurut Pratita (2007), tanah yang memiliki kadar air rendah maka tanah tersebut akan mengeras atau kaku dan sukar dipadatkan. Jika kadar air ditambahkan, maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah tersebut akan mudah dipadatkan dan ruang kosong antara butir menjadi lebih kecil. Pada kadar air yang lebih tinggi lagi, tingkat kepadatan tanah akan turun lagi karena pori-pori tanah menjadi penuh terisi air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara pemadatan. Hasil perhitungan uji pemadatan standar selengkapnya pada Lampiran 5.

7. Uji Tumbuk Manual

Uji tumbuk manual dilaksanakan di laboratorium dengan alat dan energi

pemadatan tertentu. Alat yang digunakan dalam uji tumbuk manual maupun

proses pemadatan tanggul ini adalah penumbuk (rammer) yang terbuat dari

kayu. Pada proses uji tumbuk manual dipergunakan cetakan dengan ukuran

yang telah disesuaikan dengan rammer buatan.

(7)

72 Spesifikasi pemadatan pada Tabel 5 diperoleh dari pengujian yang dilaksanakan dengan variasi jumlah tumbukan untuk mendapatkan nilai kadar air yang mendekati optimum dan berat isi kering yang mendekati maksimum dari hasil pengujian standar. Berat isi kering dihitung berdasarkan persamaan (15), sedangkan kadar air diteliti kembali dengan persamaan (4).

Uji tumbuk manual dilakukan 2 kali ulangan dengan 3 lapisan tanah pada setiap ulangan dan jumlah tumbukan yang berbeda seperti terlihat pada Lampiran 6. Dari hasil uji tumbuk manual didapatkan nilai energi pemadatan sebesar 241.326 kJ/m

3

dan RC 90.60% dengan jumlah tumbukan 160. Untuk mendapatkan nilai RC yang besar, maka dibutuhkan energi pemadatan yang besar. Tingkat energi pemadatan yang besar akan meningkatkan nilai berat isi keringnya. Jumlah tumbukan yang didapatkan akan dijadikan pembanding dalam menghitung jumlah tumbukan yang akan diberikan pada model tanggul dengan menggunakan persamaan (17).

.

Tabel 10. Jumlah tumbukan pada tiap lapisan Lapisan

ke-

Panjang (cm)

Lebar (cm)

Luas Permukaan

(cm

2

)

Jumlah Tumbukan

1 140 50 7000 933

2 119 50 5950 793

3 110 50 5500 733

4 93 50 4650 620

5 76 50 3800 507

6 63 50 3150 420

7 50 50 2500 333

8 33 50 1650 220

Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis

tanah latosol, diperoleh hasil uji tumbuk manual yang berbeda menurut

Darmastuti (2005) diperoleh RC sebesar 91. 44% dengan jumlah tumbukan

sebanyak 75 tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm, sedangkan menurut Ratnasari

(2007) diperoleh RC sebesar 84.13% dengan jumlah tumbukan sebanyak 150

tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm. Hal ini dapat disebabkan karena kadar air

optimum yang didapatkan berbeda karena perbedaan jenis tanah yang

(8)

73 digunakan. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh energi yang diberikan pada saat penumbukan tidak konsisten. Jumlah energi pemadatan pada uji tumbuk manual dihitung dengan menggunakan persamaan (13) dan diperoleh CE (energi pemadatan) adalah sebesar 241 326 kJ/m

3

.

Nilai RC pada penelitian Ratnasari (2007) sebesar 84.13% lebih kecil daripada nilai RC tanah gleisol yang digunakan kali ini yaitu sebesar 90.60%.

Nilai permeabilitas pada penelitian Ratnasari (2007) lebih besar daripada nilai RC tanah gleisol yang digunakan kali ini. Hal ini membuktikan bahwa semakin padat susunan partikel tanah tubuh tanggul, maka permeabilitas semakin kecil

Lee dan Singh (1971) dalam Bowles (1989) menyebutkan bahwa kepadatan relatif yang bersesuaian dengan kerapatan relatif nol adalah 80%

sehingga kepadatan relatif tidak akan pernah kurang dari 80%. Kepadatan relatif merupakan tolok ukur angka pori di lapangan yang dinyatakan dalam berat isi maksimum (ρ

d maks

), minimum (ρ

d min

) dan di lapangan (ρ

dn

) sebagai:

Dr =

min min d dmaks

d dn dn

dmaks

x ………(18)

Setelah diperoleh hasil uji tumbuk manual, maka dibuatlah model tanggul dengan pemadatan. Perlakuan pemadatan sama dengan perlakuan uji tumbuk manual dengan jumlah lapisan sebanyak 8 lapisan. Jumlah tumbukan pada tiap lapisan tertera pada Tabel 10. Perhitungan jumlah tumbukan tiap lapisan pada model tanggul disajikan pada Lampiran 7. Setelah tanggul terbentuk dalam kotak model, air dialirkan.

C. Penyebaran Air Rembesan Pada Model Tanggul

Tabel 11. Debit inlet pada model tanggul

Ulangan Q

in

(ml/det)

1 91.6

2 90.3

3 80.6

Rata-rata 87.5

Debit aliran air (debit inlet) yang diberikan pada model tanggul diukur

sebanyak 3 kali ulangan untuk setiap pembuatan model tanggul. Rata-rata debit

(9)

74 inlet yang diberikan yaitu 87.5 ml/det. Nilai debit inlet rata-rata yang diberikan lebih besar daripada nilai debit inlet pada penelitian Ratnasari (2007) yaitu sebesar 60.0 ml/det. Selama pengaliran dilakukan pengambilan foto pada model tanggul setiap 3 menit. Debit inlet (Q

in

) yang diberikan pada tiga kali ulangan disajikan pada tabel 11.

Tabel 12. Hasil pengukuran debit rembesan (Q

out

)

ulangan t (menit)

Volume (ml) Q

out

(ml/jam)

Ulangan Ulangan

Tanggul 1

Tanggul 2

Tanggul 3

Tanggul 1

Tanggul 2

Tanggul 3

0 0 0 0 0 0 0 0

1 5 168 112 170 2016 1342.8 2041.2

2 10 330 196 316 1980 1177.2 1897.2

3 15 498 284 464 1980 1137.6 1857.6

4 20 670 374 612 2016 1123.2 1836.0

5 25 840 462 762 2016 1108.8 1828.8

6 30 1010 554 912 2016 1108.8 1825.2

7 35 648 1060 1112.4 1818.0

8 40 742 1210 1112.4 1814.4

9 45 836 1360 1116.0 1814.4

Gambar 17. Grafik debit rembesan

(10)

75 Rata-rata debit outlet yang terjadi pada 3 kali pembuatan model tanggul yaitu 1648.8 ml/jam atau 0.458 ml/det. Pengukuran debit outlet dilakukan setiap 5 menit mulai dari air keluar melalui pipa outlet sampai debit outlet konstan. Debit outlet (Q

out

) pada model tanggul disajikan pada Tabel 12 dan diberikan dengan bentuk grafik seperti Gambar 17.

1. Pengamatan Garis Freatik

Pengamatan langsung terhadap model tanggul mempermudah dalam mempelajari teori garis aliran pada tubuh tanggul. Melalui pengamatan ini dapat dilihat secara langsung bagaimana proses perembesan air yang terjadi di dalam tubuh tanggul. Dengan adanya proses perembesan air secara visual ini maka dapat dibandingkan hasilnya dengan teori yang sudah ada. Kelebihan yang diperoleh dari penggunaan model ini yaitu dapat menggambarkan batas atas dari rembesan sehingga garis aliran yang terjadi dapat diperoleh secara lebih tepat untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan (Jumikis, 1962 dalam Praja, 2007). Hal ini disebabkan adanya kemungkinan beberapa kondisi batas pada tanggul di lapangan yang tidak dapat diperhitungkan dalam teori, sehingga menyebabkan perbedaan hasil antara teori dan kondisi di lapangan.

Percobaan pada model tanggul yang dialiri air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan untuk diamati garis freatiknya setiap 3 menit. Waktu yang dibutukan untuk aliran air untuk sampai ke outlet pada setiap ulangan disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Waktu air mencapai outlet dan zona basah (a) model tanggul

Ulangan Waktu (menit) a (cm)

1 107 21.00

2 146 23.19

3 104 22.13

Rata-rata 119 22.11

Pengaliran air rata-rata membutuhkan sekitar 119 menit untuk mencapai

outlet dengan panjang zona basah (a) rata-rata sebesar 22.11 cm. Nilai panjang

zona basah (a) rata-rata yang diperoleh pada penelitian sebelumnya disajikan

pada Tabel 14.

(11)

76 Pada penelitian ini diperoleh panjang zona basah lebih besar. Hal ini diakibatkan karena perbedaan penggunan jenis tanah maupun ukuran partikel tanah yang digunakan. Selain itu, dapat juga diakibatkan pemadatan pada model tanggul tidak sama sehingga penyebaran air pada tubuh tanggul lebih besar yang mengakibatkan panjang zona basah yang terbentuk lebih besar pula.

Tabel 14. Nilai a metode pengamatan langsung penelitian sebelumnya

Peneliti a (cm)

Ratnasari (2007) 19.9

Darmastuti (2005) 16.0

Latif (2004) 17.7

Panjang zona basah dan waktu yang berbeda-beda yang terjadi pada aliran air untuk menuju outlet disebabkan nilai kepadatan (

d

) yang tidak mungkin persis sama pada setiap ulangan, meskipun spesifikasi pemadatan yang dilakukan sama. Hal itu menyebabkan nilai permeabilitas model tanggul setelah dialiri air juga berbeda. Semakin padat, maka nilai permeabilitas akan semakin kecil. Melalui pengambilan foto secara langsung dapat diketahui garis freatik pada tubuh model tanggul seperti terlihat pada Gambar 18. Pola penyebaran air dalam tubuh tanggul yang dilihat dari pengamatan secara langsung garis freatik secara lengkap disajikan pada Lampiran 9.

Garis freatik yang disajikan pada Lampiran 9 adalah perubahan setiap 3

menit. Perubahan yang terjadi tidak terlalu drastis pada setiap 3 menit yang

berurutan. Hal ini disebabkan nilai permeabilitas tanah gleisol pada model

tanggul setelah pengaliran termasuk dalam nilai rendah. Garis freatik memotong

tubuh model tanggul (sampai pada lereng model tanggul) membutuhkan waktu

sekitar 99 menit. Semakin rendah nilai permeabilitas, maka garis freatik yang

memotong tubuh model tanggul akan semakin lama mencapai lereng model

tanggul tersebut. Dengan kata lain, semakin besar nilai permeabilitas, maka

akan semakin cepat aliran air (rembesan) pada tubuh model tanggul.

(12)

77 Gambar 18. Garis freatik pada model tanggul melalui pengamatan langsung

2. Program Geo-Slope

Data dimensi yang dimasukkan ke dalam program Seep/W adalah dimensi model tanggul yang terdapat pada Lampiran 10. Panjang model tanggul adalah 140 cm dan tinggi 20 cm. Nilai pF dan permeabilitas adalah nilai yang digunakan untuk menggambar jaringan aliran pada program Seep/W. Garis freatik hasil program Seep/W pada tubuh model tanggul disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19. Garis freatik pada model tanggul berdasarkan program Seep/W

Gambar 20. Jaringan aliran pada model tanggul berdasarkan program Seep/W

(13)

78 Penggambaran jaringan aliran dilakukan sesuai dengan prosedur yang dikemukakan oleh Hardiyatmo (1992). Melalui program Seep/W diperoleh panjang zona basah sebesar 18.44 cm. Nilai ini merupakan nilai yang paling mendekati dengan aktualnya (pengamatan langsung). Dari gambar analisis program Seep/W dan pengamatan langsung pada model tanggul melalui pengambilan foto aliran, bentuk garis rembesan/garis freatik model tanggul dari hulu ke hilir tanggul akan semakin menurun. Garis freatik terbentuk karena adanya pergerakkan air di sebelah hulu menuju bagian hilir tanggul. Dengan adanya tekanan air di sebelah hulu maka akan ada kecenderungan terjadinya aliran air melewati pori-pori di dalam tubuh tanggul. Apabila gaya yang menahan lebih besar dari gaya yang mengalirkan maka aliran air tidak akan memotong tubuh tanggul, sebaliknya jika gaya yang menahan lebih kecil daripada gaya yang mengalirkan maka aliran air akan cepat sampai ke bagian hilir tanggul. Peristiwa ini dapat dicirikan dengan adanya lereng basah pada bagian hilir tanggul atau dikenal dengan panjang zona basah (a). Jaringan aliran yang terjadi pada tubuh model tanggul melalui program Seep/W digambarkan seperti Gambar 20. Tanggul dialiri air dengan debit yang tetap yaitu 87.5 ml/det.

Garis – garis ekuipotensial terbentuk pada daerah hulu tanggul dan tegak lurus dengan garis aliran. Garis freatik yang merupakan batas antara tanah jenuh dan tidak jenuh merupakan muka air rembesan pada tubuh tanggul. Setiap lapisan tanah yang berada di bawah garis freatik akan jenuh oleh air yang merembes.

Air yang merembes membentuk garis aliran mulai dari lereng hulu tanggul dimana air mulai masuk dan merembes sampai pada hilir model tanggul. Garis freatik merupakan garis yang pertama kali menyentuh lereng hilir tanggul dan membentuk zona basah.

Menurut Pratita (2007), zona basah yang memotong tubuh tanggul akan

menyebabkan terjadinya gejala piping. Jika hal ini dibiarkan terjadi maka debit

rembesan melalui piping akan merusak tanggul. Salah satu upaya agar tanggul

tetap stabil maka harus dibuat saluran drainase dan penggunaan filter pada tubuh

tanggul tersebut. Debit rembesan merupakan kapasitas rembesan air yang

mengalir ke hilir model tanggul (Q

out

). Debit rembesan yang terjadi pada sebuah

tanggul diusahakan agar tidak melebihi debit kritis (Q

c

), jika hal tersebut

(14)

79 dibiarkan maka kemungkinan akan timbulnya erosi bawah tanah (piping).

Besarnya Q

c

yaitu sekitar 5% dari debit rata-rata yang masuk ke dalam tanggul (Q

in

). Debit rembesan (Q

out

) pada tanggul untuk penelitian ini dengan pengukuran langsung adalah 1648.8 ml/jam atau 0.458 ml/det, dimana debit kritis (Q

c

) sebesar 4.375 ml/det. Maka, pada model tanggul kali ini tidak terjadi piping karena debit rembesan dari ketiga metode lebih kecil dari debit kritisnya (Q

out

< Q

c

).

3. Analisis Grafis

Penggambaran jaringan aliran dengan metode grafis adalah berdasarkan dimensi dan penampang melintang model tanggul seperti pada Lampiran 10.

Dengan mengetahui nilai dari Hp, , dan d, maka dapat dihitung panjang zona basah (a) menggunakan persamaan (1).

Perhitungan zona basah secara empiris dilakukan terhadap model dan keadaan tanggul sebenarnya. Dari perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh nilai a pada model sebesar 12.22 cm dan keadaan sebenarnya 146.59 cm. Jika diperbandingkan maka 12.22 : 146.59 = 1 : 12, sesuai dengan rasio antara ukuran model tanggul dan ukuran tanggul yang sebenarnya. Nilai a sebesar 12.22 cm menunjukkan titik perpotongan antara garis aliran dengan muka model tanggul di sebelah bagian hilir. Nilai a juga berarti bahwa permulaan aliran air yang keluar dari tubuh tanggul terletak pada jarak 12.22 cm dari ujung bawah permukaan model tanggul bagian hilir. Titik inilah selanjutnya yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan dan penggambaran garis freatik. Nilai x dan y merupakan jarak horizontal dan vertikal antara a dengan dasar tanggul. Nilai x

o

dan y

o

merupakan jarak horizontal dan vertikal antara a dengan titik pada jarak 0.3S (titik asal garis freatik), yang pada Gambar 4 disebut 0.3D.

Garis freatik merupakan kurva parabola, maka dalam penentuannya

digunakan persamaan parabola sederhana, yaitu pada persamaan (2) dan (3),

sehingga diperoleh nilai K sebesar 1.65 x 10

-3

cm

-1

. Posisi titik – titik pada garis

freatik dapat diperoleh secara empiris seperti pada Tabel 15. Perhitungan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.

(15)

80 Tabel 15. Posisi titik – titik pada garis freatik

Parameter Posisi

Jarak

horizontal (x

i

)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Jarak vertikal (y

i

= K* x

i

2

)

0.000 0.165 0.660 1.485 2.640 4.125 5.940 8.085 10.560

Penggambaran garis freatik dengan program Geo-Slope menunjukkan bahwa tidak ada garik freatik yang berbentuk parabola. Namun mengalami penyesuaian, yaitu berangsur –angsur menjadi tegak lurus terhadap muka tanggul pada garis muka air. Hal ini disebabkan karena muka tanggul bagian hulu merupakan garis ekuipotensial dan kemiringan garis ekuipotensial tegak lurus terhadap garis aliran (Wesley, 1973).

Gambar 21. Perbandingan letak zona basah untuk 3 metode

Gambar 22. Pengaruh kapilaritas pada tubuh model tanggul

(16)

81 Penelitian ini menunjukkan nilai panjang zona yang diperoleh secara grafis jauh berbeda dari kedua metode lainnya. Hal ini disebabkan karena analisis grafis tidak memperhitungkan sifat fisik tanah sehingga setiap tanggul dengan dimensi dan perlakuan yang sama dari tiap jenis tanah akan menghasilkan panjang zona basah yang sama secara grafis. Hal ini disebabkan sifat-sifat fisik tanah yang berbeda-beda untuk tiap jenis tanah, dan nilai yang akan digunakan adalah nilai yang diperoleh secara visual. Metode pengamatan langsung dan progran Seep/W cukup mendekati. Oleh karena itu, program Geo- Slope merupakan metode yang paling tepat untuk memperoleh nilai yang mendekati dengan kenyataan sebenarnya. Perbedaan ketiga metode dapat terlihat pada Gambar 21.

Rembesan air pada tubuh tanggul mengalir dari batas muka air ke dasar

bagian tubuh tanggul. Rembesan air dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan

kapilaritas. Meskipun pola aliran pada tanggul selalu bergerak menuju ke bagian

dasar tanggul tetapi pengaruh dari kapilaritas tanah dapat terjadi seperti terlihat

pada Gambar 21. Akibatnya, bagian tanggul yang berada di atas muka air juga

menjadi basah.

Referensi

Dokumen terkait

penelitian Adam yang menunjukkan bahwa jika pelayanan kesehatan di puskesmas tidak dapat memberikan jaminan mutu yang sesuai dengan harapan responden makan akan

Kasusastran kang awujud drama yaiku kasusastran kang nggambarake sesambungane manungsa klawan ndonya (ruang lan wektu). Saben genre karya sastra duwe ciri khas

Dari hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari 12 variabel yang diteliti (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengalaman, keyakinan, pengetahuan, sikap, jarak,

Persimpangan simpang 4 kota Lhokseumawe merupakan simpang bersinyal yang memiliki lalulintas harian yang tinggi karena jalan merdeka barat dan jalan merdeka timur

Tahanan gelinding merupakan gaya tarik karena berat alat yang diperlukan agar bergerak diatas permukaan dengan kecepatan konstan dan merupakan gaya yang digunakan untuk melawan

Pertama, kejahatan Genosida. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh

Gejala merkurialisme: Efek pada sistem saraf, sakit kepala, badan terasa lemah, anoreksia, depresi, berat badan turun, salivasi berlebih, mual, muntah, diare,

– Context menu merupakan serangkaian perintah yang bisa dijalankan dengan melakukan klik kanan dari mouse pada obyek tertentu dalam form atau pada kontrol yang berada pada form