• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Modal Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Modal Sosial"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial telah sedemikian luas diterima di kalangan komunitas professional pembangunan. Akan tetapi, masih saja menjadi konsep yang sulit dipahami. Perhatian terhadap konsep ini didorong oleh masalah yang sama, sebab banyak pengalaman di dunia yang menunjukkan bahwa inisiatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dimensi manusia termasuk faktor-faktor seperti nilai, norma, budaya, motivasi, solidaritas, akan cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi manusia. Sehingga bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan semua itu akan berujung pada kegagalan. Saat ini, konsep modal sosial lebih menarik, karena jika berhasil

memahaminya, maka dapat berinvestasi di dalamnya untuk menciptakan aliran manfaat yang lebih besar (Uphoff 2000).

Konsep modal sosial memiliki pengertian yang beragam di kalangan pakar ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Pengertian modal sosial yang berkembang selama ini banyak didasarkan pada pandangan Coleman dan Putnam, karena yang paling awal dan terkenal merumuskan konsep sosial. Coleman (1988) mendefinisikan

modal sosial adalah suatu keragaman entitas yang mempunyai dua kharakter umum, yaitu kesemuanya mengandung aspek-aspek struktur sosial, dan memfasilitasi aksi individu dalam struktur tersebut, …modal sosial dalam hal ini merupakan struktur hubungan antar individu dan diantara individu-individunya.

Modal sosial tersebut didefinisikan berdasarkan fungsinya, bukanlah suatu entitas tunggal tetapi terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama yaitu (1) semua terdiri dari aspek struktur-struktur sosial dan (2) memfasilitasi tindakan-tindakan antara orang perorang dalam struktur. Dalam hal ini, Coleman (1988) memandang modal sosial dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan bersama.

Putnam (1993) mendefinisikan secara garis besar modal sosial menggambarkan suatu organisasi sosial dengan jejaringnya, norma dan kepercayaan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Modal sosial ini berperan dalam memfasilitasi kerjasama dan

(2)

koordinasi yang saling menguntungkan untuk manfaat bersama bagi anggota organisasi tersebut. Jaringan dan norma secara empirik saling berhubungan dan memiliki konsekuensi ekonomi yang penting.

Rumusan dua konsep modal sosial tersebut dipandang kurang operasional (Uphoff, Serageldin dan Grootaert 2000). Uphoff (2000) menyatakan banyak definisi yang diberikan oleh para ahli masih membutuhkan validasi. Sehingga perlu lebih fokus pada komponen-komponen, hubungan-hubungan dan hasil-hasil yang dapat dievaluasi dalam praktek pembangunan secara nyata. Modal sosial membutuhkan penekanan pada hal-hal seperti apa unsur-unsur yang menyusunnya, apa yang menghubungkan mereka, serta konsekuensi apa yang dapat dikaitkan dengan unsur-unsur dan interaksi tersebut.

Lebih lanjut Uphoff (2000) menjelaskan bahwa selain definisi, berbagai pembahasan pada literatur tentang modal sosial selama ini belum sampai pada kesimpulan yang benar-benar jelas, sebab mereka lebih banyak hanya mencontohkan apa itu modal sosial, akan tetapi kurang menjelaskan secara spesifik apa saja yang dapat menumbuhkannya. Sehingga dibutuhkan analisis yang lebih mendalam, tidak hanya yang bersifat deskriptif agar kita memperoleh kemajuan baik secara teoritis maupun praktis.

Uphoff (2000) mendefinisikan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Aset disini diartikan segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif di masa mendatang lebih efisien, efektif, inovatif dan dapat diperluas atau disebarkan dengan mudah. Sedangkan perilaku bermakna sama positifnya antara apa yang dilakukan untuk orang lain dengan perilaku untuk diri sendiri. Artinya, perilaku tersebut bermanfaat untuk orang lain dan tidak hanya diri sendiri. Dalam hal ini, Uphoff (2000) menghubungkan konsep modal sosial dengan proposisi bahwa hasil dari interaksi sosial haruslah dapat mendorong lahirnya “manfaat bersama” (Mutually Beneficial Collective Action/MBCA).

Uphoff (2000) menjelaskan unsur-unsur modal sosial dirinci menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu struktural dan kognitif. Dengan

(3)

memahami perbedaan dari keduanya akan memudahkan dalam memahami modal sosial. Secara abstrak/teoritis, kedua kategori itu seolah-olah bisa hadir sendiri-sendiri, namun dalam kenyataannya akan sangat sulit modal sosial itu terbentuk tanpa kehadiran kedua-duanya, karena secara intrinsik saling terkait. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik, aset struktural datang dari hasil proses kognitif.

Lebih jauh Uphoff (2000), menegaskan bahwa kedua kategori modal sosial ini memiliki ketergantungan yang sangat kuat, bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain dan keduanya mempengaruhi perilaku individu hingga mekanisme terbentuknya harapan (ekspektasi). Keduanya terkondisikan oleh pengalaman dan diperkuat oleh budaya, semangat pada masa tertentu (zeitgeist),

dan pengaruh-pengaruh lainnya.

Konseptualisasi ini konsisten dengan pemikiran tentang modal sosial dari Coleman (1988), Putnam (1993). Coleman maupun Putnam memasukkan elemen struktural dan kognitif itu ke dalam definisi dan analisisnya, namun mereka lebih mendekati modal sosial secara deskriptif, bukan analitis. Dengan mengelompokkan faktor-faktor yang membangun dua kategori/elemen tersebut akan membuatnya lebih kongkrit dan dapat dipelajari, termasuk untuk tujuan pengukuran dan evaluasi.

Serageldin dan Grootaert (1997) membandingkan antara pandangan Coleman dan Putnam tentang modal sosial, mereka menyarankan bahwa penulis pertama (Coleman) lebih melihat “struktur sosial dalam arti luas, dimana norma-norma dianggap mempengaruhi individu”. Namun ini hanyalah soal

derajat/kecenderungan, artinya keduanya tidaklah terlalu berbeda jauh. Pandangan ketiga tentang modal sosial mengikuti hasil kerja/karya dari North (1990) yang dikarakterisasikan oleh Serageldin dan Grootaert sebagai “modal sosial yang dibentuk dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma untuk membangun dan membentuk struktur sosial”. Melihat bahwa ketiga pandangan

diatas memiliki elemen yang sama yang mengulas penekanan pada aspek struktur sosial dan pengaruh normatif, tetapi mereka tidak meletakkan faktor-faktor ini kedalam teori/kerangka kerja secara lebih eksplisit/jelas (Uphoff 2000).

(4)

Organisasi formal maupun informal dengan segala peran-peran, aturan, preseden, dan prosedur bersama dengan interaksi jaringan formal maupun informal serta nilai, norma, dan keyakinan yang tersebar di dalam populasi/komunitas/masyarakat dapat memberikan energi dan memperkuat modal sosial, sekaligus dapat menunjukkan bagaimana seseorang dapat memperoleh hasil dan manfaat darinya. Dimensi struktural dan kognitif yang kondusif bagi terciptanya MBCA inilah hal spesifik yang dapat diidentifikasi, meskipun mereka lebih bersifat mental bukan material, sehingga dapat memberikan contoh nyata bagi konsep modal sosial yang abstrak (Uphoff 2000).

Merujuk pada konsep Uphoff (2000) di atas, penelitian di Srilanka menunjukkan bagaimana dua bentuk modal sosial tersebut dapat menghasilkan keuntungan material secara substantif. Organisasi petani yang dibentuk dari proyek bantuan pada awal 1980-an ternyata dapat menghasilkan panen padi di luar perkiraan pada saat terjadi kelangkaan air di tahun 1997. Padahal insinyur dari pemerintah telah menggambarkan bahwa tidak akan ada padi yang mungkin bisa tumbuh. Namun, dengan kerjasama yang efektif, khususnya dalam hal berbagi air yang langka itu, petani justru mendapatkan hasil yang lebih baik daripada panen normal/biasanya.

Kasus lain yang dilakukan oleh Suharjito dan Saputro (2008) memberikan gambaran bagaimana modal sosial yang dibangun oleh masyarakat Kasepuhan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam (pertanian dan hutan) telah diterapkan dan ditegakkan. Hasil kajian mampu menunjukkan secara tegas bahwa tatanan masyarakat hukum adat terikat kuat pada identitasnya, yakni Kasepuhan, dan membentuk pola tatanan sosial yang didasarkan pada norma, nilai, kepercayaan dan aturan-aturan yang dipegang kuat.

Kedua kajian tersebut, menunjukkan bahwa peranan modal sosial sangat berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya. Peranan tersebut antara lain tercermin dari pelaksanaan nilai-nilai, norma, aturan, sikap, kepercayaan masyarakat dalam mengatur hubungan-hubungan sosial dan prilaku baik secara individu maupun bersama dalam pemanfaatan sumberdaya secara lestari.

(5)

2.2. Dimensi dan Tipologi Modal Sosial

Dimensi modal sosial cukup luas, menurut Nan (2004) dan Coleman (2010), fokus teori social capital adalah sumberdaya yang tertambat (embedded)

pada jaringan sosial dari aksi individu-individu untuk menggunakan dan memanfaatkan sumberdaya. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dan antar kelompok (Lawang 2005; Hasbullah 2006; Aribowo 2007).

Coleman (2010) mengklasifikasikan modal kedalam dua tipe yaitu modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital). Modal manusia dan

modal sosial seringkali saling melengkapi.

Dimensi lain dari modal sosial adalah yang berkaitan dengan tipologinya. Bagaimana pola-pola interelasi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang membentuk terikat (bounding) atau menjembatani (bridging). Modal sosial

terikat cenderung bersifat eksklusif dan lebih berorientasi ke dalam daripada ke luar. Hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesi yang kuat dan memiliki kekuatan untuk menjalin kerjasama antara anggota tetapi tidak merefleksikan kemampuan masyarakat untuk menciptakan/memiliki modal sosial yang kuat juga. Sedangkan pada modal sosial menjembatani, biasanya keanggotaan kelompok heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Pertukaran ide tidak hanya datang dari luar tetapi dari keanggotaan yang bervariasi dengan mengembangkan prinsip kemanusiaan, persamaan dan kebersamaan (Hasbullah 2006). Secara lebih rinci social capital

dalam bentuk bounding dan bridging adalah sebagaimana pada Tabel 1.

Tabel 1. Dimensi social capital dalam tipologi bounding dan bridging Tipologi Social Capital

Bounding Bridging

• Terikat/ketat, jaringan yang eksklusif

• Pembedaan yang kuat antara “orang

kami” dan “orang luar”

• Hanya ada satu alternatif jawaban

• Sulit menerima arus perubahan

• Kurang akomodatif terhadap pihak luar

• Mengutamakan kepentingan kelompok

• Mengutamakan solidaritas kelompok

• Terbuka

• Memiliki jaringan yang lebih fleksibel

• Toleran

• Memungkinkan untuk memiliki banyak

alternatif jawaban dan penyelesaian masalah

• Akomodatif untuk menerima perubahan

• Cenderung memiliki sikap yang altruistik, humanitarianistik dan universal

(6)

Woolcock (1998) membedakan tiga tipe modal sosial, yaitu: bounding, bridging dan linking sebagai berikut: 1) Tipe ‘bounding’ dicirikan dengan ikatan

yang kuat (atau ‘social glue’), seperti antar anggota atau anggota keluarga dalam

grup etnik yang sama; 2) Tipe ‘Bridging’ dicirikan dengan ikatan yang lemah

(social oil), seperti asosiasi lokal, hubungan teman dari grup etnik berbeda; 3) tipe ‘linking’ dicirikan dengan hubungan antara kelompok yang berbeda level

kekuasaanya atau status sosialnya, seperti hubungan antara elit politik dengan masyarakat umum, atau antara individu-individu dari klas sosial yang berbeda.

Ketiga pandangan tersebut sebenarnya merupakan prinsip yang menjadi dasar pengelompokan modal sosial. Social bounding (perekat sosial), merupakan

modal sosial yang lebih banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karenanya menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat mikro dan komunal karena itu hubungan yang terjalin di dalamnya lebih bersifat eksklusif (nilai, kultur, persepsi, tradisi dan adat istiadat). Sedangkan social bridging

(jembatan sosial) timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya dan lebih banyak menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang melekat. Social linking merupakan hubungan sosial di antara beberapa level dari

kekuatan sosial atau status sosial dalam masyarakat tanpa membedakan kelas dan status sosial tersebut (Ramli 2007; LP UNPAD 2008).

2.3. Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial

Secara umum modal sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue)

yang menjaga kesatuan anggota masyarakat/kelompok secara bersama-sama. Menurut Ridell (1997), dalam Suharto (2007) dan Putnam (1993), menyebutkan

tiga parameter modal sosial yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan

jaringan-jaringan (networks). Dimana modal ini mempunyai komponen penting

yaitu keterlibatan aktif dalam pengembangan jaringan sosial, norma-norma yang sudah terinternalisasi, dan kepercayaan sosial. Flassy et al. (2009), menyatakan

bahwa unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust)

sebagai syarat keharusan (necessary condition) terbangunnya modal sosial dari

(7)

Modal sosial mempunyai tiga pilar utama, yaitu: 1. Trust (kepercayaan)

Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis disebut sebagai bagian tak

terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi “ruh” dari modal sosial (Dharmawan, 2002a: 2002b). Kepercayaan terbagi atas tiga klasifikasi aras (Dharmawan, 2002a: 2002b), yaitu:

a. Kepercayaan pada aras individu dimana kepercayaan merupakan bagian dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Kepercayaan pada aras ini terbentuk bila seseorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji (promise keeping) sesuai yang telah

disepakati. Hal ini menunjukkan adanya nilai mengemban amanah.

b. Kepercayaan pada aras kelompok dan kelembagaan yang menjadi karakter moral kelompok dan institusi. Kepercayaan pada aras ini termasuk regulasi dan beragam bentuk agreed institutional agreement yang

digunakan dalam rangka menjaga amanah di tingkat group sosial secara efektif.

c. Kepercayaan pada sistem yang abstrak seperti ideologi dan religi yang membantu setiap individu dalam mengoperasionalisasikan kepercayaan dalam hubungan bermasyarakat.

Fedderke et al. (1999) menjelaskan bahwa modal sosial mencakup

kepercayaan sosial yang memfasilitasi adanya koordinasi dan komunikasi. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin ini akan mempengaruhi terhadap tindakan kolektif yang dilakukan dalam rangka mencapai keuntungan kolektif juga. Coleman (1998) juga menyebutkan bahwa kelangsungan setiap transaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat dimungkinkan dan ditentukan oleh terpeliharanya “trust” atau kepercayaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam

hubungan sosial tersebut.

Fukuyama (2007) menyebutkan bahwa modal sosial dalam membangun ikatan sosialnya dilandasi oleh “trus” (kepercayaan). Sehingga modal sosial

akan bermakna lebih menjadi asset sosial yang dikuasai dan diperasinalkan oleh sistem sosialnya. Pada akhirnya ikatan-ikatan sosial yang terbentuk dari dibangunnya kepercayaan akan membentuk jaringan ikatan sosial yang merupakan infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja.

(8)

2. Networking (Jaringan)

Menurut Coleman (1998) jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Membahas jaringan sosial, tentu saja tidak bisa terlepas dari komunikasi yang terjalin antar individu (interpersonal communication) sebagai unit analisis dan perubahan

prilaku yang disebabkannya. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu (interpersonal communication) yang

memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama (Rogers & Kincaid 1980).

Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: (a) ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubngan timbale balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan pada keluarga, pertemanan, pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Misalnya pada ikatan dalam system kelembagaan dan hubungan kekuasaan (Stone dan Hughes 2002).

Ukuran lain berkaitan dengan jaringan sosial dalam modal sosial adalah karakteristik jaringan sosial (network characteristics), kerapatan dan

ketertutupan (density and closure), dan keragaman (diversity). Karakteristik

bentuk dan luas misalnya mengenai jumlah hubungan informal yang terdapat dalam sebuah interaksi sosial, jumlah tetangga mengetahui pribadi seseorang dalam sebuah system sosial, dan jumlah kontak kerja. Sedangkan kerapatan dan ketertutupan sebuah jaringan sosial dapat dilihat misalnya dengan seberapa besar seasma anggota keluarga saling mengetahui teman-teman dekatnya, diantara teman saling mengetahui satu sama lainnya, masyarakat setempat saling mengetahui satu sama lainnya. Sedangkan untuk keragaman, jaringan sosial dikarakteristikkan misalnya dari keragaman etnik teman, dari perbedaan pendidikan dalam sebuah group atau dari pencampuran budaya dalam wilayah setempat (Stone dan Hughes 2002).

(9)

Coleman (1998) sebagai salah satu seorang penggagas konsep modal sosial, melihat bahwa jaringan (networks) dalam modal sosial merupakan

konsekuensi yang telah ada ketika kepercayaan diterapkan secara meluas dan didalamnya terdapat hubungan timbale balik yang terjalin dalam masyarakat dengan adanya harapan-harapan dalam masyarakat.

3. Norm (Norma-norma/aturan)

Norma masyarakat merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Fukuyama (2007) berpendapat bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal berupa aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendukung terjadinya kerjasama diantara dua atau lebih individu. Norma-norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerjasama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbale balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berprilaku dalam interaksinya dengan orang lain.

Norma sebagai elemen penting modal sosial juga diutarakan oleh Fedderke

et al. (1999) yang menyatakan bahwa sebuah asosiasi sosial (organisasi sosial) di

dalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerjasama untuk memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama.

Uphoff (2000) menjelaskan unsur-unsur modal sosial dirinci menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu struktural dan kognitif. Kategori struktural berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial. Peranan (roles) dan

aturan (rules) mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk

(10)

sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Hubungan-hubungan sosial membangun pertukaran (exchange) dan kerjasama (cooperation)

yang melibatkan barang material maupun non material. Hubungan-hubungan sosial membentuk jejaring (networks). Peranan, aturan, dan jejaring memfasilitasi

tindakan kolektif yang saling menguntungkan (mutually beneficial collective action/MBCA).

Kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi. Norma, nilai, sikap, dan kepercayaan memunculkan dan menguatkan saling ketergantungan positif dari fungsi manfaat dan mendukung MBCA. Terdapat dua orientasi, yaitu orientasi ke arah pihak/orang lain dan orientasi mewujudkan tindakan. Orientasi pertama, yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak lain, bagaimana seseorang harus berfikir dan bertindak ke arah orang lain. Kepercayaan (trust) dan pembalasan (reciprocation) merupakan cara membangun

hubungan dengan orang lain. Sedangkan tujuan membangun hubungan sosial adalah solidaritas. Kepercayaan (trust) dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan

kepercayaan (belief) untuk membuat kerjasama dan kedermawanan efektif.

Solidaritas juga dibangun berdasarkan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan untuk membuat kerjasama dan kedermawanan bergairah.

Orientasi Kedua, yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan untuk mewujudkan tindakan (action), bagaimana seseorang harus

berkemauan untuk bertindak. Kerjasama (cooperation) merupakan cara tindakan

bersama dengan yang lain. Sedangkan tujuan dari tindakan adalah kedermawanan (generosity). Kerjasama dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan

(belief) untuk memunculkan harapan bahwa pihak/orang lain akan bersedia

kerjasama dan membuat tindakannya efektif. Kedermawanan juga dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan untuk memunculkan harapan bahwa “moralitas yang tinggi akan mendapat penghargaan (virtue will be rewarded)”.

Unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif disajikan pada Tabel 2.

(11)

Tabel 2. Kategori Modal Sosial

Kategori Struktural Kognitif Sumber dan

perwujudannya/manifestasi

Peran dan aturan

Jaringan dan hubungan antar pribadi lainnya Prosedur-prosedur dan preseden-preseden Norma-norma Nilai-nilai Sikap Keyakinan

Domain/ranah Organisasi sosial Budaya sipil/kewargaan

Faktor-faktor dinamis Hubungan horisontal

Hubungan vertikal Kepercayaan, solidaritas, kerjasama, kemurahan hati/kedermawanan

Elemen umum Harapan yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan

menghasilkan manfaat bersama Sumber: Uphoff (2000)

Dua kategori pembentuk unsur modal sosial tersebut secara intrinsik saling terkait. Walaupun peran, aturan, jaringan preseden dan prosedur dapat diamati di dalamnya, itu semua tetap datang dari hasil proses kognitif. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik (Uphoff 2000). 2.4. Pengukuran Modal Sosial

Metode pengukuran modal sosial yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal cukup beragam. Model-model tersebut antara lain adalah:

1. Index of National Civic Health

Indeks ini dikembangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk merespon penurunan partisipasi masyarakat. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan 5 (lima) indikator, yakni: (a) keterlibatan politik; (b) kepercayaan; (c) keanggotaan dalam asosiasi; (d) keamanan dan

kejahatan; serta (e) integritas dan stabilitas keluarga. Keterlibatan politik mencakup pemberian suara dalam pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya, seperti petisi dan menulis surat kepada koran. Kepercayaan diukur melalui tingkat kepercayaan pada orang lain dan kepada institusi pemerintah. Keanggotaan dalam asosiasi diukur melalui keanggotaan dalam suatu kelompok, kehadiran di gereja/tempat ibadah, kontribusi derma, partisipasi di tingkat komunitas, dan menjadi pengurus di organisasi lokal. (Narayan dan Cassidy 2001).

(12)

2. Integrated Questionnaire for The Measurement of Social Capital (SC-IQ)

Model ini dikembangkan oleh Grootaert et al. (2004) dengan penekanan

fokus pada negara-negara berkembang. Model ini bertujuan memperoleh data kuantitatif pada berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada tingkat rumah tangga. Pada model ini, digunakan 6 (enam) indikator, yakni: (a) kelompok dan jejaring kerja; (b) kepercayaan dan solidaritas; (c) aksi kolektif dan kerjasama (cooperation); (d) informasi dan komunikasi;

(e) kohesi dan inklusivitas sosial; serta (f) pemberdayaan dan tindakan politik.

3. Social Capital Assesment Tool

Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Shrader (1999) yang mencoba menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menciptakan pengukuran komplementer dan kompleksitas dimensi sosial. Unit analisa SCAT adalah pada rumah tangga dan komunitas, dengan variabel yang berhubungan dengan modal sosial yang mungkin diciptakan dan diakses oleh individu, rumah tangga dan institusi lokal. SCAT mengukur modal sosial pada tiga level yaitu profil komunitas, profil rumah tangga dan profil organisasi. SCAT walaupun mengkat kajian pada level makro dan mikro tetapi untuk level makro dapat dilakukan wawancara untuk informan kunci pada institusi yang terkait. Pada SCAT diperolah gambaran profil masyarakat melalui serangkaian wawancara. Beberapa metode partisipatif digunakan untuk mengembangkan profil masyarakat. Selain format kelompok fokus, pengumpulan data mencakup pemetaan masyarakat diikuti diagram kelembagaan.

4. Mapping and Measuring Social Capital

Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Uphoff (1999) yang mencoba menggunakan metode kuantitatif untuk pemetaan dan mengukur modal sosial pada sebuah studi konseptual dan empiris pada tindakan bersama (collective action) dalam konservasi dan pengembangan Daerah Aliran

Sungai (DAS) di Rajasthan India. Model ini bertujuan untuk mengamati hubungan antara modal sosial dengan kinerja pembangunan DAS di 64 desa di Rajasthan, India. Model ini dilakukan dengan memperoleh data

(13)

kuantitatif pada unsur modal sosial dengan unit analisis pada tingkat individu rumah tangga dipilih secara acak di setiap desa. Selain wawancara pada individu rumah tangga, juga dilakukan wawancara kelompok fokus dengan para pemimpin desa. Pada model ini digunakan 6 (enam) unsur modal sosial dari kategori struktural dan kognitif. Unsur modal sosial kategori struktural berhubungan dengan hubungan sosial yakni: (a) peran; (b) jaringan; dan (c) aturan. Unsur modal sosial kategori kognitif berhubungan dengan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak lain, yakni: (a) kepercayaan; (b) timbal balik; dan (c) solidaritas. Analisis yang digunakan adalah menggunakan analisis korelasi dan regresi.

2.5. Konsep Hutan Rakyat

Hutan rakyat sampai saat ini masih didefinisikan secara beragam. Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Selanjutnya di dalam bab penjelas disebutkan bahwa hutan milik tersebut lazimnya disebut hutan rakyat . Pengertian hutan rakyat secara sederhana adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik perorangan, kelompok ataupun lembaga.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997 mendefiniskan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Menurut Raharjo (2007) hutan rakyat diartikan sebagai kelompok pohon-pohonan yang didominasi oleh tumbuhan berkayu, luas dan kerapatannya cukup sehingga dapat menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya, dikelola dan dikuasai oleh rakyat. Sementara Haryono (1996) mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik yang terdiri dari pohon-pohon berkayu yang diusahakan secara monokultur atau campuran, baik yang ditanam atas usaha sendiri maupun dengan bantuan pemerintah.

(14)

Menurut Suharjito et al. (2000), definisi hutan rakyat tersebut kurang

mengutamakan rakyat sebagai pelaku pengelolaan dan membiarkan kemungkinan adanya hutan diatas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata ‘rakyat” seyogyanya lebih ditunjukan kepada pengelola yaitu “rakyat kebanyakan”, bukan pada status kepemilikan tanahnya. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan dipertahankan, maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (sedang dan besar) menguasai tanah milik untuk pengusahaan hutan. Namun tidak menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat.

Kartodihardjo (1996) menjelaskan bahwa apabila hutan rakyat dipandang dari sudut kepemilikan dan bentuk pengambilan keputusan dapat memberikan paling tidak empat tipe kondisi, yaitu (1) pemilikan komunal, pengambilan keputusan komunal, (2) pemilikan komunal pengambilan keputusan individual, (3) pemilikan individual, pengambilan keputusan komunal, dan (4) pemilikan individual, pengambilan keputusan individual.

Istilah hutan rakyat berkaitan dengan pemilikan (property) dari suatu

kawasan hutan yang dimiliki oleh rakyat. Istilah hutan rakyat digunakan untuk membedakan dengan hutan yang tumbuh di atas lahan/kawasan yang dikuasai oleh negara. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa terminologi pemerintah

dan lembaga perguruan tinggi di Indonesia menyebut semua pohon dan pohon buah-buahan yang ditanam di lahan milik yang memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya disebut hutan rakyat yang berarti sumberdaya hutan berupa pekarangan, tegalan dan “wono” yang secara penuh dimiliki oleh

masyarakat.

Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah

bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutan.

(15)

Wijayanto (2006) menyatakan bahwa pada umumnya permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain adalah, pertama

keterbatasan masyarakat dalam pengetahuan teknik silvikultur, kedua keterbatasan

modal masyarakat dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, ketiga luas

pemilikan lahan yang relatif sempit dan terpencar sehingga menyulitkan pengelolaan dalam satu manajemen, keempat pembinaan yang tidak berkelanjutan

dan hanya berorientasi pada proyek, kelima kualitas sumberdaya manusia

(masyarakat) masih rendah, keenam kurang adanya koordinasi dari berbagai pihak

baik pemerintah maupun pihak lainnya untuk mendukung pengelolaan hutan rakyat, dan ketujuh belum mantapnya tata niaga dan informasi pasar kayu rakyat

sehingga peranan tengkulak masih sangat dominan dalam menentukan harga kayu hutan rakyat.

Hutan rakyat di Jawa mempunyai karakteristik yang berbeda baik dari segi budidaya maupun status kepemilikannya dibandingkan dengan di luar Jawa. Budidaya dan manajemen pengelolaan hutan rakyat di Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibandingkan dengan di luar Jawa. Disamping itu juga status kepemilikan lahan dengan tata-batas yang lebih jelas serta kondisi-kondisi lain seperti pasar, informasi dan aksessibilitas yang relatif lebih baik. Hutan rakyat di

Jawa pada umumnya sangat sempit, sehingga mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan secara optimal. Secara umum masyarakat membudidayakan tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan dan tanaman konsumsi sehari-hari (Darusman dan Hardjanto 2006). Menurut Jariyah dan Wahyuningrum (2008), karakteristik hutan rakyat di Jawa dapat terbagi dalam hutan rakyat murni yang ditanami kayu-kayuan, hutan rakyat yang ditanam kayu dan tanaman buah-buahan serta tanaman rakyat yang ditanami kayu, buah-buah-buahan dan empon-empon seperti kebanyakan hutan-hutan rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Menurut Awang et al. (2007), pada suatu hamparan lahan masyarakat

Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman pangan, tanaman pakan ternak dan tanaman pohon-pohonan. Ini merupakan hasil kebudayaan masyarakat yang mampu membentuk ekologi tersendiri. Tanaman keras yang ditanam hanya terfokus pada tanaman tertentu, yaitu pada pohon-pohon yang sudah terdomestifikasi(sudah dibudidayakan oleh masyarakat).

(16)

Selanjutnya Awang et al. (2007) menjelaskan bahwa hasil utama hutan

rakyat dapat berupa : (a) kayu, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jati

(Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swetenia mahagoni), surian/suren

(Toona sureni) dan lain-lain; (b) getah, seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan

damar (Shorea javanica); dan (c) berupa buah, seperti kemiri (Aleurites moluccana), durian (Durio zibethinus), tengkawang (Shorea spp.) dan kelapa

(Cocos nucifera). Keberadaan pohon-pohon pada lahan pertanian masyarakat

dapat berperan : (a) memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan

dan energi; (b) melestarikan sumber-sumber ekonomi keluarga. Semua pohon-pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.

Hutan rakyat dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: (1) Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat yang ditanam di atas tanah milik dan atas inisiatif pemiliknya sendiri tanpa adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah, (2) Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui kegiatan atau program bantuan penghijauan (LP IPB 1990). Berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya hutan rakyat digolongkan kedalam tiga bentuk (Haryono 1996), yaitu:

1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahan secara homogen atau monokultur.

2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat sistem agroforestry atau tumpangsari, yaitu hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan usahatani lainnya, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada satu lokasi.

2.6. Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat sudah ada sejak lama dan terus dikembangkan dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat. Hal ini didorong dengan adanya prospek yang cerah akan keberadaan hutan rakyat untuk mendukung pasokan

(17)

bahan baku industri tanpa mengabaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan pemilik lahan khususnya (Sukadaryati 2006).

Tujuan pengelolaan hutan rakyat menurut Lembaga penelitian IPB (1990) antara lain: (1) adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan; (2) adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap kualitas lingkungan secara berkesinambungan; dan (3) adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan. Sedangkan menurut Sumitro (1985), dalam Setyawan (2002), menyatakan bahwa

tujuan pembangunan hutan rakyat antara lain: (1) memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif atau yang karena keadaan lapangan dan tanahnya tidak sesuai untuk pertanian tanaman pangan; (2) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya petani akan kebutuhan kayu bakar maupun kayu perkakas serta jenis hasil hutan lainnya; (3) meningkatkan pendapatan masyarakat petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan dan (4) memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya lahan hutan yang ada di kawasan perlindungan daerah aliran sungai.

Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990) ada tiga sub sistem yang saling terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran hasilnya. Perincian komponen yang terdapat pada setiap sub sistem adalah sebagai berikut:

1. Sub sistem produksi adalah tercapainya kesimbangan produksi dalam jumlah jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat. Sub sistem ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

2. Sub sistem pengolahan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk, produk akhir yang dijual oleh para petani hutan rakyat atau dipakai sendiri. 3. Sub sistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjualan yang

optimal, dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual dipasaran.

Selanjutnya lembaga penelitian IPB (1990) menjelaskan bahwa pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan dan menilai serta mengawasi

(18)

pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat ini adalah peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik/pengusahanya secara terus menerus selama daur.

Satuan periode waktu terbesar yang dipakai dalam mengukur kesinambungan hasil adalah jangka waktu 1 tahun. Hal ini dimaksudkan agar pendapatan dari hutan rakyat dapat memberikan tambahan terhadap pendapatannya pada setiap periode waktu yang relative pendek, maksimum untuk setiap periode 1 tahun sepanjang daur (Lembaga Penelitian IPB 1990).

Selanjutnya lembaga penelitian IPB (1990) menjelaskan bahwa. Pengaturan hasil pada hutan rakyat menggunakan metode jumlah batang atau manajemen pohon, yaitu pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman yang terdapat pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat.

Sistem pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat memiliki performansi atau kinerja. Performansi hutan rakyat yang dimaksud adalah produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efesiensi. Mengacu pada Conway (1987) dalam Suharjito et al. (2000) produktivitas didefinisikan sebagai out-put

produk bernilai perunit sumber daya. Keberlanjutan didefinisikan sebagai kemampuan suatu agroekosistem untuk menjaga produktivitas dari waktu ke waktu. Keadilan didefinisikan sebagai pemerataan distribusi produk dari agroekosistem diantara yang berhak menerima manfaat dan dengan terdefinisinya

property rights dengan baik maka akan tercapai efesiensi.

Menurut Suharjito et al. (2000) performansi tersebut antara lain dipengaruhi

oleh : (1) sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan keputusan apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap ekonomi pasar dan model ekonomi sosialnya; (2) Orientasi usaha, apakah sub-sisten atau komersial. Tingkat sub-sub-sisten dan komersialisasi merupakan ukuran responsibilitas terhadap ekonomi pasar; (3) Jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi atau dipasarkan merupakan respon terhadap kebutuhan pasar yang sekaligus mempengaruhi performansi pengelolaannya.

(19)

Performansi praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di Indonesia, seperti dikenal istilah hutan rakyat; hutan desa; hutan kebun; wanatani; atau menggunakan istilah daerah seperti mamar di

Nusa Tenggara Timur, limbo di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan

Barat, repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara sebagai bukti kongkrit

keberhasilan pengelolaan sumber daya alam berupa hutan dan lahan dengan berbasiskan pada masyarakat (Suharjito et al. 2000).

Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu (perorangan) pada lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Petani hutan rakyat biasanya tergabung dalam suatu wadah kelompok tani. Kelompok tani ini bisa dibentuk oleh pemerintah, bisa dibentuk oleh lembaga swadaya masyarakat dan bisa juga terbentuk berdasarkan atas kebutuhan dan kepentingan bersama dari beberapa anggota masyarakat. Kelompok tani ini akan berjalan sesuai dengan kebutuhan dan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat seperti penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran. Untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat, maka diperlukan penguatan kelembagaan yang akan membentuk aturan internal yang mengatur sistem dalam pengelolaan hutan rakyat (Hindra 2006).

Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito et al. (2000) menyebutkan keberadaan

hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.

Paradigma pembangunan kehutanan yang terjadi di Indonesia mengalami perubahan, dari paradigma pembangunan negara ke pembangunan berbasis masyarakat (Suharjito et al. 2000), dari pembangunan berbasis ekonomi ke

pembangunan integrasi ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang berbasis kesejahteraan dan kelestarian ekosistem (Darusman 2002; Awang 2004). Dalam

(20)

paradigma baru ini pemerintah semakin memperhatikan pembangunan hutan rakyat, hal ini didorong karena hutan rakyat sangat menguntungkan ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya.

Hutan rakyat sebagai model pengelolaan hutan yang lebih bersifat individual harus dikembangkan dengan jalan membangun jejaring kerja secara kolektif. Pola jejaring kerja yang dikembangkan oleh petani hutan rakyat adalah membangun hubungan kemitraan antara petani dengan petani, petani dengan kelompok tani, petani dengan lembaga penyedia modal dan petani dengan pedagang. Selain itu yang menunjukkan kesejahteraan sosial petani hutan rakyat adalah tidak adanya konflik antar petani menyangkut batas-batas lahan hutan rakyat. Batas-batas lahan yang jelas dan tata aturan serta norma hubungan yang sudah melembaga dalam kaitan dengan pengelolaan hutan rakyat merupakan modal sosial yang menjaga keharmonisan hubungan antar petani (Awang et al.

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku terbuka terjadi jika respon terhadap stimulus tersebut berupa tindakan atau praktik yang dapat diamati oleh orang lain dari luar secara jelas.. Respon

Langgam Libertarian adalah suatu gaya dalam sistem politik yang memperlakukan atau memandang bahwa negara itu sebenarnya didirikan untuk menjaga agar selalu

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di Indonesia, penelitian ini menggunakan alat analisis DEA (Data Envelopment

Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan, precedent, dan prosedur yang dapat membentuk

Agar penentuan pohon masalah dapat di pahami dengan jelas, penting untuk diperhatikan yang terdapat pada pohon masalah : Penyebab (kausa), masalah utama (core

Jaringan sosial menciptakan peluang usaha baru melalui jalur kekerabatan, pertemanan dan kolega, menjamin ketersediaan bahan dari menjaga relasi dengan penyedia bahan,

Ibu post sectio caesarea memiliki kebutuhan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ibu postpartum normal, seperti kebutuhan mobilisasi, kebutuhan perawatan masa nifas, kebutuhan

Ditinjau dari proses pembelajaran sebagai kegiatan interaksi antar siswa dan lingkungannya, fungsi dari media adalah diketahuinya adanya kelebihan media tersebut dan hambatan komunikasi