• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Dalam Otonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perencanaan Dalam Otonomi Daerah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1.1.

1.1. Latar Latar BelakangBelakang

Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), menyebutkan bahwa RPJMD merupakan rencana pembangunan Daerah (RPJMD), menyebutkan bahwa RPJMD merupakan rencana pembangunan suatu daerah untuk jangka waktu 5 tahun yang sering disebut dengan Rencana suatu daerah untuk jangka waktu 5 tahun yang sering disebut dengan Rencana Strategis (Renstra). Secara operasional RPJMD diuraikan untuk kegiatan atau Strategis (Renstra). Secara operasional RPJMD diuraikan untuk kegiatan atau  program pemerintah setiap tahun dalam

 program pemerintah setiap tahun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau seringsering  juga disebut Rencana Kerja (Renja) Pemerintah (Permendagri No 54 Tahun 2010).  juga disebut Rencana Kerja (Renja) Pemerintah (Permendagri No 54 Tahun 2010).

Berdasarkan penjelasan Permendagri No 54 Tahun 2010, bahwa kedudukan Berdasarkan penjelasan Permendagri No 54 Tahun 2010, bahwa kedudukan RPJMD Kota/Kabupaten merupakan dokumen yang akan menjadi pedoman dalam RPJMD Kota/Kabupaten merupakan dokumen yang akan menjadi pedoman dalam  penyusunan

 penyusunan Rencana Rencana Kerja Kerja Pemerintah Pemerintah Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota. Dengan Dengan demikian demikian RKPRKP Kota Binjai yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kota Binjai merupakan Kota Binjai yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kota Binjai merupakan implementasi dari RPJMD Kota Binjai.

implementasi dari RPJMD Kota Binjai.

Keberhasilan RPJMD dalam upaya pelaksanaan pembangunan di suatu daerah Keberhasilan RPJMD dalam upaya pelaksanaan pembangunan di suatu daerah sangat ditentukan oleh kualitas dari RKP yang disusun untuk program kerja selama sangat ditentukan oleh kualitas dari RKP yang disusun untuk program kerja selama satu tahun. Oleh karena itu pengukuran kualitas suatu rencana kerja pembangunan satu tahun. Oleh karena itu pengukuran kualitas suatu rencana kerja pembangunan lebih tepat di ukur pada rencana kerja operasional yaitu RKP melaui penilaian pada lebih tepat di ukur pada rencana kerja operasional yaitu RKP melaui penilaian pada setiap fase atau tahapan proses perencanaan (Dunn, 1998).

setiap fase atau tahapan proses perencanaan (Dunn, 1998).

Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan telah dinyatakan didalam Bab II Pasal 4 Huruf d yang menyatakan Pembangunan telah dinyatakan didalam Bab II Pasal 4 Huruf d yang menyatakan

(2)

 bahwa perencanaan pembangunan bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, Undang-Undang tersebut telah menjamin bahwa dalam setiap langkah perencanaan pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah  partisipasi masyarakat wajib untuk didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah. Perencanaan dilakukan dengan tahapan: agenda setting,  policy formulation dan budgeting.

Beberapa kendala dan hambatan dalam perencanaan dan penganggaran  berbasis kinerja antara lain (1) struktur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)  belum memberikan ruang yang cukup bagi penyusunan perencanaan dan  penganggaran secara terintegrasi (2) tim anggaran belum terlibat secara penuh pada setiap tahapan perencanaan (3) kurangnya pengetahuan, pemahaman dan juga motivasi dari para pegawai untuk menerapkan anggaran kinerja secara optimal (4) keterbatasan anggaran daerah (Utari, 2009).

Redjo (2001), mengemukakan pandangan mengenai prasyarat-prasyarat institusional bagi pemerintahan yang demokratis dalam mengekspresikan kepentingan publik, diantaranya adalah pandangan yang menyebutkan bahwa demokrasi pada dasarnya menunjuk pada hak berpartisipasi dalam mempengaruhi atau menentukan pembuatan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan individu anggota masyarakat, sementara itu partisipasi hanya dapat terjadi apabila terdapat proses pemberdayaan oleh suatu kekuatan politik yang memiliki hak, dalam hal ini pemerintah.

(3)

Kajian yang lebih mendalam tentang proses perumusan kebijakan  perencanaan yang demokratis dalam pelaksanaan otonomi daerah, dilakukan oleh

Maskun (2001). Kesimpulan dari studi ini adalah aspek perencanaan memiliki  peranan penting dalam membina serta mengembangkan otonomi daerah, karena melalui perencanaan, jauh sebelum terjadi perwujudan pembangunan, masyarakat lebih banyak mengerti tentang situasi daerahnya dan peranannya untuk berpartisipasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa perencanaan akan menjadi katalisator pembangunan daerah yang didukung oleh masyarakat setempat, masyarakat memahami tentang kebijakan pemerintah dan dapat memperhitungkan kemampuannya dalam mendukung pembangunan daerah atas dasar otonomi yang dimilikinya

Utari (2009), menemukan bahwa praktek penyusunan anggaran masih banyak ditemukan gejala penggunaan pendekatan traditional budget   atau line item, antara lain adanya pencatuman indikator kinerja (input, output   dan outcome), yang tidak  jelas ukuran dan stándar biayannya. Dengan kata lain proses penyusunan anggaran  belum menggunakan indikator utama pendekatan anggaran kinerja. Disamping itu dalam penganggaran juga masih didasarkan pada anggaran tahun sebelumnya, bukan didasarkan pada indikator capaian kinerja yang akan dicapai.

Salah satu proses yang paling penting adalah perencanaan pembangunan. Oleh karena itu didalam proses perencanaan peran serta masyarakat mutlak diperlukan sebab didalam pembangunan masyarakat tidak hanya sebagai objek  pembangunan saja tetapi juga subjek pembangunan.

(4)

Rencana stratejik pembangunan (Renstra) disusun berdasarkan Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan diikuti dengan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang menetapkan prioritas anggaran pembangunan nasional. Renstra menekankan program untuk mencapai misi yang telah dinyatakan dalam Propenas, sedangkan RKP memberikan program dan kegiatan yang lebih terperinci untuk menghubungkan rencana pembangunan pemerintah dengan anggaran  pembangunan pusat untuk tahun yang akan datang (Kuncoro, 2004).

Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan  pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidah-kaidah ilmiah ke dalam praksis (praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif kepentingan orang  banyak atau publik (Nugroho & Dahuri, 2004).

Pada era desentralisasi, daerah otonom diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut  prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemerintahan daerah otonom merupakan pemerintahan daerah yang badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk (masyarakat) setempat dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri (Nurcholis, 2005).

Lech dalam Muluk (2002) menyatakan local authorities are not only  providers of services: they also political institutions for local choice and local voice. Penyerahan wewenang yang diberikan kepada daerah berupa kewenangan untuk mengatur (rules making = regelling) dan kewenangan mengurus (rules aplication =

(5)

bestuur). Menurut Hoessein (2001, dalam Nurcholis 2005) fungsi pembentukan kebijakan (policy making function) yang dilakukan oleh pejabat yang dipilih melalui  pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function) dilakukan oleh pejabat yang diangkat/birokrat lokal, sehingga dalam pemerintahan daerah terdapat tiga aktor utama yaitu (1) masyarakat, (2) elected official/pejabat  politik (kepala daerah dan DPRD), dan (3)appointed official/birokrasi.

Penyerahan kewenangan yang diterapkan dalam otonomi daerah bersifatopen end arrangement atau  general competence. Daerah diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki oleh pusat. Dalam konsep otonomi tersebut,  pemerintah pusat hanya menyisakan kewenangan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam Undang- Undang  Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sampai saat ini masih  berlaku, mempunyai corak system penyelenggaraan pemerintahan dan pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai mana tersebut di atas.

Penyerahan kewenangan politik dan administrasi yang bersifat terbuka kepada daerah tersebut berimplikasi pada perencanaan pembangunan daerah. Sebelum otonomi daerah, pemerintah pusat memegang kewenangan politik, sedangkan  pemerintah daerah melaksanakan kewenangan administratif. Namun dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diharapkan mampu membentuk kebijakan (policy making function) dan mampu melaksanakan kebijakan (policy executing  function). Daerah diharapkan mampu untuk mengidentifikasi kebutuhannya sendiri,

(6)

merumuskan tujuan pembangunan sendiri dan mampu mengkreasi rencana strategi  pencapaian tujuan.

Praktek pendekatan perencanaan bottom up  ini dalam penyelenggaraan  pemerintahan daerah sering dihadapi masalah-masalah sebagai berikut: (1) RKP  bukanlah rencana yang kontinu sebab hanya dipersiapkan untuk satu tahun, (2) masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan perencanaan top-down  dan bottom up terintegrasi. Begitu juga siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan integrasi atau apa yang terjadi jika daerah otonom memutuskan untuk mengabaikan Propenas dari pusat, (3) perencanaan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang besar dalam memperhitungkan kemampuan finansial. hanya perencanaan daerah tahunan yang memasukkan kemampuan fiskal tersebut, (4) bahwa perencanaan tersebut terlalu memfokuskan diri pada anggaran dan proyek pembangunan dari pada memandang anggaran secara keseluruhan (Nugroho 2004).

Meskipun telah ditegaskan bahwa yang didesentralisasikan menyangkut  penyerahan kewenangan politik dan administrasi, namun masih banyak yang  beranggapan bahwa perencanaan pembangunan merupakan wujud dari  policy

executing functionyang menjadi tanggungjawab dari pemerintah/eksekutif khususnya  birokrasi (Bappeda). Tugas Legislatif/DPRD hanya mengkritisi dan melegitimasi sedangkan tugas masyarakat hanya mendukung kebijakan yang telah ditetapkan. Model perencanaan pembangunan daerah seharusnya dibangun sejalan dengan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Perencanaan pembangunan yang didominasi oleh birokrasi sudah tidak relevan lagi

(7)

dengan sistem pemerintahan daerah saat ini. Partisipasi semua stakeholders setempat diperlukan agar rencana sesuai dengan aspirasi dan prakarsa daerah. Untuk itulah suatu sistem perencanaan pembangunan partisipatif sangat diperlukan.

Penyusunan rencana pembangunan dirumuskan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Dalam musrenbang tersebut seluruh  pelaku/aktor pembangunan dilibatkan dalam penyusunan rencana pembangunan. Dalam sistem perencanaan pembangunan ini, rencana dibagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan Tahunan. Rencana Pembangunan Tahunan merupakan bentuk rencana operasional dari RPJP dan RPJM. Rencana Pembangunan Tahunan atau yang disebut sebagai Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) inilah yang menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).

Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah berdasarkan PP No. 8 Tahun 2008 disebutkan bahwa, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun.

Di dalam RAPBD ini terdapat berbagai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat/ stake holders yang relevan dengan bidang tugasnya dalam rangka mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan apa yang digariskan dalam visi dan misi daerah.

(8)

Sebelum kegiatan-kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diusulkan oleh masyarakat dan stake holdersyang lain menjelma menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang siap dioperasionalkan, sesungguhnya telah melalui proses perencanaan yang sangat panjang, baik itu yang berkaitan dengan perencanaan yang bersifat fisik seperti pembangunan berbagai fasilitas umum, sarana dan parasara umum dan lain sebagainya, serta pembangunan yang  bersifat non fisik seperti pembinaan ketrampilan teknis sebagai sarana untuk  peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Dalam kaitannya dengan tesis ini yang akan dibahas adalah mengenai proses  perencanaan pembangunan dari tingkat di Kelurahan, yang dilanjutkan di tingkat Kecamatan dan sampai dengan tingkat Kota yang pada akhirnya bermuara pada rencana kegiatan tersebut mendapatkan kepastian dibiayai dari APBD yang siap dioperasionalkan. Di dalam proses inilah seringkali berbagai muatan dan kepentingan stake holders akan senantiasa mengedepankan aspirasi dan kepentingannya sendiri-sendiri. Kondisi inilah yang memunculkan bias dan deviasi aspirasi yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat luas dikalahkan oleh kepentingan kelompok-kelompok kecil yang tentunya hanya menguntungkan kelompok tersebut dan melupakan kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Sementara itu sesuai dengan Pengantar Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disebutkan bahwa Kebijakan Umum belanja daerah Kota Binjai Tahun 2010 adalah:

(9)

1. Belanja daerah diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan baik wajib dan pilihan.

2. Belanja dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah dalam rangka memenuhi pelayanan dasar: pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

3. Belanja daerah disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja, yang berorientasi  pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan, dalam rangka peningkatan akuntabilitas perencanaan anggaran serta memperjelas efektifitas dan efisiensi  penggunaan anggaran.

4. Pembiayaan pembangunan yang bersifat investasi dan strategis.

5. Menunjang efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan daerah yang menjadi tanggungjawabnya.

Berdasarkan hal di atas menggambarkan bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terlibat secara langsung dalam proses perencanaan dan perumusan anggaran akan mempunyai keleluasaan membuat kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang relatif besar dan didukung oleh anggaran yang cukup. SKPD itu antara lain DPKAD (Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) dan Bappeda. Sementara Satuan Kerja Perangkat Daerah lain yang secara faktual tidak terlibat secara langsung dalam proses perencanaan dan perumusan anggaran akan mempunyai  jumlah kegiatan dan dukungan anggaran yang relatif kecil.

(10)

Dalam proses perencanaan pembangunan dari tingkat paling bawah dibutuhkan partisipasi aktif dari semua pihak yang berkepentingan(stakeholders) di daerah tersebut. Namun pada saat ini partisipasi dari stakeholders termasuk di dalamnya masyarakat masih sering diabaikan. Untuk melaksanakan sistem ini diperlukan perubahan-perubahan sikap yang cukup mendasar dari para aktor dalam  perencanaan pembangunan daerah. Sistem ini memerlukan perubahan sikap masyarakat dari pasif menjadi aktif, DPRD dari mengkritisi menjadi mengkreasi serta  birokrasi dari menguasai menjadi memfasilitasi. Gambaran bagaimana proses  penyusunan rencana pembangunan tahunan yang dimulai dari struktur pemerintahan  paling bawah yaitu Kelurahan, dilanjutkan di tingkat Kecamatan dan pada akhirnya sampai di tingkat Kota sangat diperlukan. Hal ini penting, karena di setiap level  pemerintahan inilah aspirasi baik dari masyarakat, birokrasi stake holders lain yang

disampaikan sangat diharapkan dapat direalisasikan.

Masalah yang sering muncul dalam perencanaan pembangunan adalah masalah kualitas. Proses perencanaan yang berkulaitas akan menghasilkan rencana yang berkualitas. Rencana yang berkualitas akan cenderung bisa mengakomodir kepentingan berbagai fihak yang terkait dengan pelaksanaan dari suatu rencana. Begitu juga sebaliknya, hal yang sering terjadi pada proses penyusunan rencana  pembangunan, kualitas seringkali tidak mendapatkan perhatian yang memadai,

sehingga akan menghasilkan rencana yang tidak berkualitas.

Perencanaan pembangunan di Kota Binjai belum menunjukkan koordinasi yang baik antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yang berdampak pada  pelaksanaan pembangunan yang kurang menyentuh kepentingan atau kebutuhan

(11)

masyarakat, khususnya pada bidang kesejahteraan rakyat (kesehatan, pendidikan, tenaga kerja). Hal ini ditunjukkan fakta empiris masih tingginya persentase anak usia sekolah yang tidak mendapatkan pendidikan dasar, penduduk miskin yang tidak tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta angkatan kerja yang tidak terserap pada lapangan kerja (Binjai Dalam Angka, 2009).

Goetsh dan Davis dalam Tjiptono (2000), menyatakan kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.

Kamelus (2004) menyatakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi  perencanaan dan penganggaran daerah maka perlu perbaikan proses perencanaan dan  penganggaran antara lain yang terkait dengan alur proses perencanaan dan  penganggaran serta sekuens penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran harus konsisten. Terkait dengan hal itu maka kualitas proses dapat dinilai dari alur  perencanaan dan penganggaran yang terdiri dari tahap-tahap (1). Penyusunanagenda setting, (2). Penyusunan policy formulation dan (3). Penyusunan budgeting, serta keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran. Dalam kaitannya dengan kualitas perencanaan pembangunan, penulis berpendapat bahwa perencanaan  pembangunan yang berkualitas adalah perencanaan yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan stakeholders dan konsisten dari tahap agenda setting,  policy  formulation danbudgeting.

(12)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan berkaitan dengan proses perencanaan pembangunan, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah yaitu sebagai berikut: (a) mekanisme proses perencanaan meskipun sudah menganut kaidah-kaidah peraturan yang berlaku, namun stakeholders yang terlibat  belum mewakili masyarakat. (b) lemahnya penegakan peraturan dalam proses  perencanaan pembangunan karena tidak adanya sanksi bagi yang melanggar ketentuan dalam proses perencanaan pembangunan. (c) adanya intervensi kepentingan kelompok dalam proses perencanaan pembangunan, sehingga sulit menerapkan skala prioritas dalam membiayai kegiatan yang telah diusulkan.

Berangkat dari berbagai masalah yang telah teridentifikasi tersebut diatas maka permasalahan penelitian yang penulis sampaikan adalah:

a. Apakah penyusunan agenda (agenda setting) berpengaruh terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai.

 b. Apakah perumusan usulan kebijakan ( policy formulation) berpengaruh terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai. c. Apakah penganggaran (budgeting) berpengaruh terhadap kualitas rencana kerja

dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai.

1.3. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka  penelitian ini mempunyai tujuan:

(13)

a. Untuk menganalisis pengaruh agenda setting terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai.

 b. Untuk menganalisis pengaruh policy formulationterhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai

c. Untuk menganalisis pengaruh budgeting terhadap kualitas rencana kerja dalam  pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai

1.4. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan dari penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan/ manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Binjai khususnya dalam proses  penyusunan rencana kerja pembangunan ini agar sistem dan implementasinya di

masa yang akan datang menjadi lebih baik.

 b. Mendorong ditemukannya suatu bentuk perencanaan pembangunan dalam konteks otonomi daerah yang diharapkan menjadi praktek-praktek yang baik (best  practices)serta dapat mendukung pengembangan wilayah.

c. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah.

Referensi

Dokumen terkait

Ketidakhadiran anak pada pasangan dewasa madya memang menjadi dambaan setiap pasangan, namun ketidakhadiran anak tidak selalu memberikan dampak negatif, melainkan dapat

Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik trauma tumpul maupun

Penyusunan rencana zonasi kawasan pesisir sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kendal periode

Persentase kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal HOTS pada materi hukum dasar kimia secara keseluruhan di SMA Negeri Pontianak secara keseluruhan sebesar

Prosedur Pemberian pelayanan ATS termasuk prosedur pemanduan lalu lintas penerbangan, komunikasi, radio telephony dan phraseology (rutin, non-rutin dan keadaan darurat);

Class obyek digunakan untuk menyimpan data spasial beserta atribut non-spasial, simbolisasi tematik berupa warna obyek pada peta, obyek ”tetangga”, dan status obyek yang dibagi

Dalam istilah teknis perbankan syari’ah, murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan

1) Setelah dilakukan pengumpulan data yang dibutuhkan untuk penelitian maka selanjutnya adalah membuat model stereo menggunakan perangkat lunak Summit Evolution. Untuk membuat