• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. mendasari penelitian ini. Kecanduan Game online yang dimaksudkan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. mendasari penelitian ini. Kecanduan Game online yang dimaksudkan dalam"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Pada BAB II ini akan dijelaskan mengenai kajian teori apa saja yang mendasari penelitian ini. Kecanduan Game online yang dimaksudkan dalam penelitian ini, akan dibahas secara lebih mendalam dengan menggunakan istilah populernya yakni Game Online Addiction.

2.1 Game Online Addiction 2.1.1 Pengertian Game Online

Adams & Rollings (2007) mendefinisikan game online sebagai permainan (games) yang dapat diakses oleh banyak pemain, di mana mesin-mesin yang digunakan pemain dihubungkan oleh suatu jaringan (umumnya internet). Banyaknya pemain merupakan aspek yang penting dalam pengertian game online di sini. Pada prinsipnya permainan yang dimainkan seorang diri (solitaire) melalui internet dapat dimasukkan dalam istilah game online, namun pada penelitian ini permainan yang termasuk di dalam istilah yang diwakili dengan game online hanyalah permainan yang dimainkan secara massal.

2.1.2 Jenis-jenis Game Online

Fiutami (Kusumadewi, 2009) menjelaskan mengenai jenis jenis permainan game online bisa dibagi ke dalam beberapa kategori seperti Massively Multiplayer Online Role Playing Game (MMORPG), Massively Multiplayer Online Real Time Strategy (MMORTS), Massively Multiplayer Online First Person Shooter (MMOFPS), dan lain-lain. Berikut penjelasannya:

(2)

a. MMORPG (Massively Multiplayer Online Role Playing Games)

Merupakan salah satu jenis internet game dimana pemain bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan pemain yang lain. Kemampuan tertentu yang dimiliki oleh karakter diperoleh melalui pengalaman, dan biasanya berhubungan dengan kemampuannya bertempur dan atau untuk melawan musuh. Dalam permainan lebih ditekankan pada aspek kolaborasi dan sosial, bukan kompetisi. Interaksi sosial dalam permainan jenis ini sangat diperlukan, karena pemain harus berkolaborasi dengan pemain lain untuk mencapai tujuan yang lebih rumit dan harus bergabung dalam organisasi’ atau ‘suku’ dari pemain lain agar mengalami peningkatan dalam permainan (Wan & Chiou, 2007).

Pemain dituntut untuk berimajinasi sedemikian rupa sehingga karakter yang diinginkan terbentuk sempurna. Game jenis ini juga biasanya menyediakan fasilitas ruang chatting (mengobrol), animasi yang bergerak dan berekspresi, sampai membentuk tim untuk melawan musuh ataupun monster-monster yang ada. Saat ini, permainan yang populer di dunia adalah World of Warcraft, Guild Wars dari Amerika, Final Fantasy dari Jepang, dan Lineage dari Korea. Di Indonesia, permainan yang popular dari jenis ini adalah Ragnarok, Perfect World, Seal Online, Ran Online, Audition Ayo Dance, Risk Your Life (RYL), Tantra, Gunbound, Getamped, DotA, Atlantica dan masih banyak lagi. Menurut Yee (2005) terdapat 5 faktor motivasi seseorang bermain jenis game MMORPG:

(3)

1. Relationship, didasari oleh keinginan untuk berinteraksi dengan pemain lain, serta adanya kemauan seseorang untuk membuat hubungan yang mendapat dukungan sejak awal, dan yang mendekati masalah-masalah dan isu-isu yang terdapat di kehidupan nyata.

2. Manipulation, didasari oleh pemain yang membuat pemain lain sebagai objek dan memanipulasi mereka untuk kepuasan dan kekayaan diri. Pemain yang didasari oleh factor ini, sangat senang berlaku curang, mengejek, dan mendominasi pemain lain.

3. Immersion, didasari oleh pemain yang sangat menyukai menjadi orang lain. Mereka senang dengan alur cerita dari ‘dunia khayal’ dengan menciptakan tokoh yang sesuai dengan cerita sejarah dan tradisi ‘dunia’ tersebut.

4. Escapism, didasari oleh pemain yang senang bermain di dunia maya hanya sementara untuk menghindar, melupakan dan pergi dari stress dan masalah di kehidupan nyata.

5. Achievement, didasari oleh keinginan untuk menjadi kuat di lingkungan dunia virtual, melalui pencapaian tujuan dan akumulasi dari item-item yang merupakan simbol kekuasaan.

b. MMORTS (Massively Multiplayer Online Real Time Strategy)

Adalah salah satu jenis internet games yang di dalamnya terdapat kegiatan mendirikan gedung, pengembangan teknologi, konstruksi bangunan serta pengolahan sumber daya alam. MMORTS merupakan kategori dari game komputer yang menggabungkan real-time strategy (RTS) dengan banyak pemain secara bersamaan di internet. Game yang popular dari jenis

(4)

ini adalah WarCraft, Command and Conqueror, Total Annihilation, StarCraft, The Sims, City Ville, Farm Ville, dan lain-lain.

c. MMOFPS (Massively Multiplayer Online First Person Shooter)

Merupakan salah satu jenis internet games yang menekankan pada penggunaan senjata. MMOFPS banyak mendapat tentangan dari berbagai pihak dibandingkan dengan jenis permainan lainnya karena dalam MMOFPS sangat menonjolkan kekerasan dan agresifitas. Biasanya sepanjang permainan yang ada hanya pertarungan dan pembunuhan.

Para pemain dapat bermain secara sendiri- sendiri (single) atau juga bisa membentuk tim (team) dalam melawan musuh. Sampai saat ini hanya sedikit sekali MMOFPS yang baru dibuat. Hal tersebut dikarenakan sangat banyaknya jumlah pemain yang bermain pada saat bersamaan di internet sehingga terdapat masalah teknis dan infrastruktur pada internet. Contoh game dari MMOFPS ini adalah WarRock, Cross Fire, Point Blank, Counter Strike, dan lain-lain.Di Indonesia sendiri, contoh yang terkenal dari jenis ini adalah Counter Strike (CS). Menurut sumber yang sama, game ini sangat disukai oleh anak-anak dan remaja laki-laki, karena game ini mengandalkan keterampilan dalam kecepatan bertindak, memompa adrenalin dan membutuhkan ketepatan menembak.

2.1.3 Pengertian Game online addiction

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yee (2002) mengenai kecanduan terhadap MMORPG (Massive Multiplayer Online Roleplaying Games), kecanduan didefinisikan sebagai suatu perilaku tidak sehat atau merugikan diri sendiri yang berlangsung terus-menerus yang sulit diakhiri oleh individu yang bersangkutan.

(5)

Suatu perilaku yang tidak sehat atau merugikan diri sendiri ini menjadi suatu aspek yang penting dalam definisi kecanduan Yee. Individu yang memiliki hobi sehat, seperti olahraga atau menari, dapat merasa terganggu atau frustrasi jika tidak dapat melakukan hobi tersebut dikarenakan misalnya, cuaca yang buruk. Individu yang memiliki hobi sehat juga dapat merasa bahwa berada di lapangan atau lereng memberikan sejenis kepuasan yang meningkatkan self-esteem. Namun, hanya jika seseorang melakukan aktivitas yang kurang baik atau merugikan diri sendiri barulah istilah kecanduan menjadi pantas digunakan, dan perilaku seperti ini terlihat pada pemain game online.

Akibat dari perilaku merugikan ini dapat dilihat lebih jelas ketika pemain ditanya secara langsung apakah kebiasaan bermain mereka ini membawa pada masalah dalam kehidupan nyata sehari-hari. Masalah dalam kehidupan nyata ini dibagi menjadi masalah akademis, masalah kesehatan, masalah keuangan dan masalah relasi. Jika kebiasaan bermain mereka ini membawa pada masalah dalam kehidupan nyata maka dapat dikatakan itu merupakan suatu perilaku yang merugikan diri sendiri yang menjadi aspek penting yang menentukan terjadinya kecanduan (Yee, 2002).

Digunakannya istilah game online addiction ini merupakan suatu hal yang masih kontroversial. Namun, berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, ditemukan data yang mendukung bahwa istilah ini dapat diterima dan digunakan (Yee, 2002). Data-data tersebut seperti: sebanyak 64,45% remaja laki-laki dan 47,85% remaja perempuan usia 12-22 tahun yang bermain game online menyatakan bahwa mereka menganggap diri mereka kecanduan terhadap game online.; juga sebanyak 25,3% remaja laki-laki dan 19,25% remaja perempuan

(6)

usia 12-22 tahun yang bermain game online mencoba untuk berhenti main namun tidak berhasil (Yee, 2002).

Dengan para pemainnya menganggap diri mereka kecanduan dan tidak berhasil berhenti tidak lantas membuat istilah “game online addiction” ini dapat diterima begitu saja. Satu hal yang juga merupakan bukti penting adalah keterkaitan erat antara gejala kecanduan game online dengan kecanduan zat terlarang. Dua gejala yang menjadi ciri utama kecanduan zat terlarang adalah ketergantungan (dependence) dan penarikan diri (withdrawal).

Individu-individu yang kecanduan suatu zat membutuhkan zat tersebut untuk menopang suatu perasaan wajar dan kesejahteraannya. Individu-individu yang mengalami ketergantungan pada suatu zat, menderita dari penarikan atau pemberhentian (withdrawal) ketika mereka tidak mengkonsumsi zat tersebut. Withdrawal ditandai dengan kemarahan, kecemasan, kejengkelan, dan frustrasi. Kedua gejala kecanduan ini ditemui pada pemain game online dalam penelitian mengenai kecanduan game online (Game online addiction).

Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi zat terlarang, yaitu:

1. Karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi.

2. Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.

3. Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.

(7)

4. Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.

5. Cinta dan Hubungan Heteroseksual 6. Permasalahan Seksual

7. Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua 8. Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama

Kecanduan juga bisa ditinjau berdarkan teori belajar sosial milik Albert Bandura, yang difokuskan pada konsep Resiprocal Determinism, dimana konsep ini menjelaskan model perubahan perilaku. Terdapat tiga sumber pengaruh dalam teori ini yang saling berinteraksi, yaitu: individu, perilakunya, dan lingkungan. Perilaku yang ditampilkan oleh seseorang akan membantu membentuk lingkungannya, yang kemudian memberikan timbale balik pada dirinya. Model perubahan perilaku tersebut akan dijelaskan seperti gambar 2.1 berikut:

P (person)

E B

(environtment) (behavior)

(8)

Pada gambar tersebut, dijelaskan bagaimana hubungan antara Person (P) = individu atau kognitif (persepsi), Behavior (B) = perilaku, dan Environtment (E) = lingkungan, yang saling berpengaruh dan bergantung satu dengan yang lainnya. Dalam masa perkembangan, remaja lebih terampil dalam pembelajaran melalui pengamatan, dimana tingkah laku individu sebagian besar diperoleh dari hasil belajar melalui observasi atau hasil pengamatantingkah laku orang lain. Seringkali terbukti bahwa pengamatan (observation) lebih efektif daripada ikut partisipasi langsung. Hal tersebut dikarenakan karena adanya proses kognitif yang mendasari observational learning (belajar melalui pengamatan).

2.1.4 Sejarah Game Online Addiction

Istilah “Game Online Addiction” muncul sebagai perpanjangan dari “Internet Addiction” yang pertama kali dicetuskan oleh Goldberg pada tahun 1995. Istilah Internet Addiction mulanya digunakan untuk menggambarkan efek-efek negatif dari penggunaan Internet yang berlebihan pada kehidupan pribadi. Serupa dengan penyalahgunaan zat, seperti kecanduan zat kimia, kecanduan tersebut dapat merusak secara fisik atau emosional dari ketergantungan semacamnya (Goldberg dalam Sally, 2006).

Young (1996) menggunakan istilah “Pathological Internet Use” ketika menyampaikan suatu karya tulis pada pertemuan American Psychological Association’s (APA). Namun kemudian, ia menggunakan frase “Internet Addiction” ketika berbicara dengan masyarakat umum (Sally, 2006). Young mendefinisikan Internet Addiction sebagai “suatu penyakit pada pengendalian impuls (impulse-control disorder) yang tidak melibatkan suatu zat yang memabukkan (intoxicant) (Young, 1996). Meskipun belum sepenuhnya diterima (masih menjadi perdebatan apakah kecanduan terhadap Internet akan

(9)

dimasukkan dalam DSM V atau tidak), namun istilah ini kian sering digunakan dalam banyak penelitian dan mulai spesifik pada kecanduan terhadap salah satu aspek dari Internet saja, seperti game online.

Yee (2002), melakukan penelitian deskriptif tentang kecanduan MMORPG yang merupakan salah satu bagian dari game online. Penelitian ini menunjukkan bahwa kecanduan MMORPG merupakan suatu fenomena yang nyata.

2.1.5 Kriteria Game Online Addiction

Seperangkat kriteria digunakan untuk membedakan pemakaian internet yang kecanduan dan yang normal. Ini digunakan sebagai kriteria untuk membedakan pemain game online yang kecanduan dan yang tidak. Bila seperangkat kriteria dapat digunakan secara efektif dalam mendiagnosis, maka kriteria semacam ini dapat digunakan dalam pelayanan klinis dan memfasilitasi penelitian-penelitian di kemudian hari mengenai kecanduan internet (atau kecanduan game online). Namun, diagnosis yang tepat dipersulit dengan fakta bahwa istilah adiksi (kecanduan) tidak terdaftar pada Dignostic and Statistical Manual of Mental Disorders - Fourth Edition (DSM-IV; American Psychiatric Association, 1994 dalam Young, 1996).

Dengan menggunakan Pathological Gambling sebagai contoh, Young (1996) mengembangkan suatu kuesioner singkat dengan delapan kriteria yang digunakan sebagai alat untuk membedakan pengguna yang “kecanduan” dan yang “tidak kecanduan” Internet. Delapan kriteria tersebut dimodifikasi oleh Center for Internet Addiction Recovery untuk mengubah alat tersebut menjadi alat yang membedakan pengguna game online yang kecanduan dan yang tidak kecanduan. Hal ini dilakukan dengan mengubah istilah-istilah yang mengacu

(10)

pada Internet menjadi istilah-istilah yang mengacu pada game online. Berikut ini merupakan hasil modifikasinya:

1. Merasa terikat dengan game online (memikirkan mengenai aktivitas online pada saat sedang offline atau mengharapkan sesi online berikutnya)

2. Merasakan kebutuhan untuk bermain game online dengan jumlah waktu yang terus meningkat untuk mencapai sebuah kegembiraan yang diharapkan

3. Pernah secara berulang-ulang membuat upaya-upaya untuk mengendalikan, mengurangi, atau berhenti bermain game online namun tidak berhasil

4. Merasa gelisah, murung, depresi, atau lekas marah ketika mencoba untuk mengurangi atau menghentikan bermain game online

5. Pernah terancam bahaya kehilangan relasi signifikan yang disebabkan oleh bermain game online

6. Pernah terancam bahaya kehilangan pekerjaan, kesempatan karir atau kesempatan pendidikan yang disebabkan oleh bermain game online 7. Pernah berbohong pada anggota keluarga, terapis atau orang lain untuk

menyembunyikan seberapa jauh keterlibatannya dengan game online 8. Bermain game online sebagai suatu cara untuk melarikan diri dari

masalah-masalah atau untuk mengurangi suatu kondisi perasaan yang menyusahkan (misal perasaan-perasaan tidak berdaya, bersalah, cemas, depresi)

Delapan (8) kriteria inilah yang akan digunakan sebagai pedoman untuk mengukur apakah responden tersebut tergolong dalam orang yang kecanduan game online (game online addiction) atau tidak, dengan menyajikannya dalam bentuk pertanyaan.

(11)

2.2 Keterampilan Sosial

2.2.1 Pengertian Keterampilan Sosial

Pengertian mengenai keterampilan sosial, banyak dijelaskan dan di definisikan oleh para professional dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini yang menyebabkan pengertian keterampilan sosial disesuaikan dengan sudut pandang ilmunya yang berbeda-beda. Pengertian mengenai keterampilan sosial dalam penelitian ini, difokuskan pada pendapat dua orang tokoh, yang secara umum berkaitan dengan penelitian yang hendak dilakukan. Dua orang tokoh tersebut ialah Riggio dan Goleman yang mengatakan bahwa keterampilan sosial adalah:

Menurut Riggio (Loton, 2007):

“A cluster of skills used in decoding, sending and regulating non-verbal and verbal information in order to facilitate positive and adaptive social interactions.”

Menurut Goleman (2007):

“keterampilan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana interaksi terhadap situasi sosial yang bebeda. Keterampilan sosial menjadi modal dalam bergaul dan berinteraksi dengan lingkungan sosial agar dapat diterima di dalam lingkungan sosial tersebut”

Dari definisi-definisi di atas, keterampilan sosial merupakan sekumpulan keterampilan atau kemampuan individu dalam berinteraksi dengan orang lain dengan melakukan decoding, mengirimkan dan mengatur informasi non-verbal maupun verbal, yang dapat diterima atau dihargai secara sosial dan membawa manfaat, baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun keduanya dengan tujuan untuk memfasilitasi interaksi sosial yang positif dan adaptif.

(12)

2.2.2 Model Keterampilan Sosial

Riggio, dkk. (dalam Loton, 2007) memaparkan 3 model keterampilan sosial dan keterampilan emosi. Kerangka tersebut dibuat berdasarkan penelitian mengenai komunikasi interpersonal, yang mengajukan bahwa komunikasi emosional dan komunikasi sosial dapat dikonseptualisasikan menjadi tiga keterampilan dasar: keterampilan dalam ekspresi atau biasa dikenal sebagai encoding skills, keterampilan dalam mengenali dan melakukan decoding kesan dari orang lain, dan keterampilan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku komunikasi.

Dari ketiga keterampilan tersebut, masing-masing terdapat di dalam domain emosional (keterampilan emosional) dan dalam domain verbal atau sosial (keterampilan sosial). Berikut penjelasan singkat yang di sajikan dalam tabel, yang juga selanjutnya di jelaskan secara lebih rinci mengenai 3 model keterampilan sosial dan keterampilan emosi tersebut:

Tabel 2.1. Kerangka Kerja Keterampilan Emosional dan Sosial

Keterampilan Definisi

Emotional expressivity

Keterampilan dalam berkomunikasi secara non-verbal, khususnya dalam mengirimkan pesan-pesan emosional, ekspresi sikap yang non-verbal, dominasi, dan orientasi interpersonal.

Emotional sensitivity

Keterampilan dalam menerima dan menginterpretasikan komunikasi emosional dan non-verbal dari orang lain.

Emotional control

Keterampilan dalam mengendalikan dan mengatur ekspresi emosi dan ekspresi non-verbal diri, khususnya saat menyampaikan atau menyembunyikan emosi dengan isyarat.

Social expressivity Keterampilan ekspresi verbal dan kemampuan untuk melibatkan orang lain dalam wacana sosial.

Social sensitivity

Keterampilan dalam menginterpretasikan komunikasi verbal orang lain; kemampuan untuk memahami situasi sosial, norma sosial, dan juga peran.

Social control Keterampilan dalam bermain peran dan presentasi sosial-diri

(13)

2.2.2.1 Emotional Expressivity (EE)

Mengacu pada keterampilan umum dalam menyampaikan pesan non-verbal. Dimensi ini merefleksikan kemampuan individu untuk mengekspresikan, secara spontan dan akurat, merasakan keadaan emosional sebaik memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perilaku secara non-verbal dan tanda-tanda orientasi interpersonal. Individu yang memiliki keterampilan EE adalah individu yang “hidup” dan berenergi dan dapat dikarakteristikkan sebagai individu yang emosional. Individu yang memiliki EE tinggi dapat terpengaruh secara emosional atau menginspirasikan orang lain karena kemampuannya memperlihatkan keadaan emosional yang mereka rasakan (Friedman & Riggio, dalam Loton, 2007). Mereka cenderung kurang dapat mengontrol emosi, karena kespontanan emosional yang mereka miliki.

2.2.2.2 Emotional Sensitivity (ES)

Mengacu pada keterampilan umum dalam menerima dan menginterpretasikan komunikasi non-verbal dari orang lain. Individu yang memiliki skor ES yang tinggi adalah individu yang mudah tertarik dan menyimak tanda-tanda emosional non-verbal pada orang lain. Karena individu dengan ES yang tinggi, dapat menginterpretasikan komunikasi emosional secara cepat dan efisien, mereka dapat lebih mudah menjadi orang yang terpengaruh secara emosional oleh orang lain-merasakan kedaan emosional orang lain dengan penuh pengertian (Friedman & Riggio, dalam Loton, 2007).

2.2.2.3 Emotional Control (EC)

Mengacu pada kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur perilaku emosional dan non-verbal yang tampak. Individu dengan EC tinggi kemungkinan besar dapat menjadi actor emosional yang baik, dapat memperagakan

(14)

tanda-tanda emosi, dan mampu menggunakan tanda-tanda konflik emosional untuk menutupi keadaan emosional yang sebenarnya (misalnya, tertawa seadanya saat mendengar gurauan; memasang wajah senang untuk menutupi kesedihan). Orang dengan EC tinggi cenderung untuk membiasakan tampilan yang kuat, merasa emosi, juga mengatur melawan tampilan keadaan spontan dan keadaan emosional yang ekstrim.

2.2.2.4 Social Expressivity (SE)

Mengacu pada keterampilan bicara verbal dan kemampuan untuk menyatukan orang lain dalam interaksi sosial. Orang-orang dengan SE tinggi tampak outgoing dan ramah karena kemampuan mereka untuk memulai percakapan dengan orang lain. Individu tersebut seringkali dapat berbicara dengan spontan, terkadang tanpa kendali yang jelas.

2.2.2.5 Social Sensitivity (SS)

Mengacu pada kemampuan untuk menginterpretasi dan memahami komunikasi verbal dan pengetahuan umum dari norma-norma yang mengatur tingkah laku sosial yang tepat. Individu membantu orang lain (misalnya, menjadi pengamat dan pendengar yang baik). Karena pengetahuan mereka akan norma dan peraturan sosial, orang dengan SS yang tinggi dapat menjadi individu yang terlalu mengkhawatirkan tingkah laku yang tampak pada mereka dan orang lain. 2.2.2.6 Social Control (SC)

Mengacu pada keterampilan umum dalam presentasi-diri dalam lingkungan sosial. Individu dengan SC tinggi adalah individu yang diplomatis, beradaptasi secara sosial, dan percaya diri. Orang-orang dengan SC yang tinggi sangat mampu dalam berperan untuk memainkan berbagai peran sosial dan dengan mudah dapat mengambil posisi atau orientasi dalam sebuah diskusi.

(15)

Individu-individu dengan SC tinggi adalah individu yang bergaya sosial dan bijaksana, sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah laku personal mereka untuk masuk dalam apa yang mereka anggap pantas dalam situasi sosial apapun.

2.3 Remaja

2.3.1 Pengertian Remaja

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial dari masa anak-anak (childhood) ke masa dewasa (adulthood) (Papalia, et. Al., 2008). Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang melibatkan perubahan aspek fisik, kognitif, dan psikososial.

Monks dkk. (2006) mengkategorikan masa remaja berlangsung pada usia 12-21 tahun, yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu masa remaja awal dengan batasan usia 12-14 tahun, masa remaja tengah untuk usia 15-17 tahun dan remaja akhir 18-21 tahun. Adapun penelitian ini lebih ditekankan pada masa remaja karena keberhasilan perkembangan pada masa tersebut akan menentukan keberhasilan pada masa selanjutnya.

Menurut Erik Erickson dalam Santrock (2007) dan Papalia et al (2008) masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/confussion, identity moratorium, identity foreclosure, dan identity achieved. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

(16)

a. Identity diffusion, yaitu individu yang belum mengalami krisis, dan belum membuat komitmen. Mereka juga belum memutuskan mengenai pilihan pekerjaan atau ideologis tetapi mereka juga tidak menunjukan minat terhadap masalah tersebut.

b. Identity moratorium, yaitu individu yang tengah berada pada masa krisis tetapi belum memiliki komitmen atau kalaupun ada masih sangat kabur. c. Identity foreclosure, yaitu individu yang sudah membuat komitmen, tetapi

belum mengalami krisis. Hal ini paling sering terjadi ketika orangtua memaksa komitmen tertentu pada anak remaja mereka, biasanya dengan cara otoriter, sebelum remaja memiliki kesempatan mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologi, atau karir.

d. Identity achievement, yaitu individu yang sudah melalui masa krisis dan sudah sampai pada sebuah komitmen.

2.3.2 Tugas Perkembangan Masa Remaja

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2005) adalah berusaha :

a. Mampu menerima keadaan fisiknya;

b. Mampu menerima dan mamahami peran seks usia dewasa;

c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis;

d. Mencapai kemandirian emosional; e. Mencapai kemandirian ekonomi;

(17)

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat;

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua;

h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa;

i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan;

j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

Masa awal remaja adalah masa transisi perkembangan yang tidak hanya meliputi dimensi fisik, namun juga terjadi perubahan dalam dimensi kognitif dan kompetensi sosial, otonomi, self-esteem, dan intimacy (Papalia, 2008). Di masa ini seorang remaja mulai mengalami kesulitan dalam menghadapi sebuah perubahan dalam waktu bersamaan dan mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk melewati masa tersebut. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah masa yang beresiko.

Gunarsa S dan Gunarsa Y (2009) menyebutkan beberapa karakteristik remaja, yaitu: keadaan emosi yang labil, sikap menentang orang tua maupun orang dewasa lainnya, pertentangan dalam dirinya menjadi sebab pertentangan dengan orang tuanya, eksperimentasi atau keinginan yang besar dari remaja untuk melakukan kegiatan orang dewasa yang dapat ditampung melalui saluran ilmu pengetahuan, eksplorasi atau keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar yang sering disalurkan melalui penjelajahan atau petualangan, banyaknya fantasi atau khalayan dan bualan, dan kecenderungan membentuk kelompok dan melakukan kegiatan berkelompok.

(18)

2.3.3 Remaja dalam Perkembangan Sosial

Perkembangan kehidupan sosial remaja ditandai dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam hidup mereka. Sebagian besar waktu remaja dihabiskan untuk melakukan interaksi sosial dengan teman-teman sebayanya (Desmita 2009). Teman sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Fungsi utama dari teman sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga, sehingga hubungan dengan teman sebaya yang buruk dapat membawa anak ke perilaku yang buruk dan begitu sebaliknya (Santrock 2007).

Kelompok teman sebaya memiliki peranan yang sangat penting dalam penyesuaian diri remaja dan sebagai persiapan bagi kehidupan di masa yang akan datang, serta berpengaruh pula pada pandangan dan perilaku. Hal ini disebabkan remaja sedang berusaha untuk membebaskan diri dari keluarganya dan tidak tergantung kepada orang tuanya (Drajat dalam Ruhidawati 2005).

Remaja pada umumnya sudah mampu menunjukkan pergaulan yang sebenarnya dengan ditandai oleh pergaulan yang tidak hanya berjenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan yang berbeda jenis kelaminnya (heteroseksual). Pada fase ini, remaja sudah mulai keluar dari lingkungan keluarganya dan memasuki lingkungan pergaulan sosial dalam masyarakat yang lebih luas dan di dalam lingkungan yang baru inilah para remaja membentuk kelompok-kelompok (Gunarsa S & Gunasa Y 2003).

Studi-studi kontemporer tentang remaja juga menunjukkan bahwa interaksi yang positif dengan teman sebaya diasosiasikan dengan penyesuaian sosial yang positif (Santrock 2007). Hartup dalam Desmita (2009) mencatat bahwa pengaruh teman sebaya memberikan fungsi-fungsi sosial dan psikologis

(19)

yang penting bagi remaja. Kelly dan Hansen dalam Desmita (2009) menyebutkan enam fungsi positif dari teman sebaya, yaitu:

1. Mengontrol impuls-impuls agresif, yaitu melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara yang lain selain dengan tindakan agresi langsung.

2. Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Teman-teman dan kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh remaja dari teman-teman sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja pada dorongan keluarga mereka.

3. Meningkatkan keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang. Percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya akan membantu remaja untuk belajar mengekspresikan ide-ide dan perasaanperasaan serta mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah.

4. Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran berdasarkan jenis kelamin. Sikap-sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama dibentuk melalui interaksi dengan teman-teman sebaya.

5. Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Pergaulan dengan kelompok teman sebaya akan membantu remaja untuk mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi

(20)

nilai-nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki oleh teman sebayanya, serta memutuskan mana yang benar.

6. Meningkatkan harga diri (self-estem).

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki keterampilan sosial (social skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan sebagainya. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal (Murtadin, 2002).

2.4 Dinamika Psikologis Kecanduan Game Online (Game Online Addiction) dan Keterampilan Sosial pada Remaja Laki-laki

Perkembangan teknologi dalam bidang internet, khususnya game online, menjadi fenomena baru saat ini. Pengguna internet, khususnya game online tersebut, sebagian besar adalah kalangan remaja khususnya laki-laki, yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yee (2002), bahwa terdapat sebanyak 64,45% remaja laki-laki yang bermain game online menyatakan bahwa mereka menganggap diri mereka kecanduan terhadap game online (mengalami

(21)

game online addiction); dan sebanyak 25,3% remaja laki-laki yang bermain game online mencoba untuk berhenti main namun tidak berhasil (Yee, 2002).

Sesuai dengan hasil penelitian-penelitian yang dilakukan saat ini, dimana telah menemukan banyak hubungan antara game online dengan ketergantungan dan perilaku penurunan interaksi sosial, bermain yang berlebih (Fisher, Griffiths, Hunt, dalam Loton, 2007), penurunan tajam pada keterlibatan dalam hubungan sosial, dan peningkatan kesendirian dan depresi, serta mengalami kesulitan berinteraksi secara sosial dalam kehidupan nyata, dan juga berhubungan dengan kerusakan pada faktor sosial, psikologi, dan kehidupan (Young, 1996).

Pada masa remaja, perkembangan dalam aspek sosial merupakan hal yang sangat penting, khususnya dalam keterampilan sosialnya. Keterampilan sosial merupakan aspek yang sangat penting dalam proses penyesuaian diri remaja, agar bisa berkembang menjadi individu dengan pribadi yang sehat. Hal ini perlu diperhatikan mengingat masa remaja dapat dikatakan sebagai masa yang paling sulit dan masa yang rawan dalam tugas perkembangan manusia ini terjadi, karena masa remaja adalah masa pancaroba atau masa transisi, dan masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa (Indreswari, dkk., 2006).

Keterampilan sosial juga memiliki pengaruh terhadap masa selanjutnya selama berlangsungnya kehidupan seseorang (Kusumadewi, 2009). Untuk menghindari hal buruk dari kecanduan game online (game online addiction) pada remaja laki-laki terhadap keterampilan sosialnya yang merupakan aspek penting dalam penyesuaian diri remaja, maka kekurangan keterampilan sosial pada masa remaja perlu segera diidentifikasi agar tidak berlanjut dan memberikan efek negatif di masa selanjutnya.

(22)

2.5 Kerangka Pemikiran Game Online Internet Laki - Laki Keterampilan Sosial Emotional Expressivity Emotional Sensitivity Emotional Control Soacial Expressivity Social Sensitivity Social Control Kecanduan Perempuan Remaja

Gambar

Gambar 2.1 Resiprocal Determinism
Tabel 2.1. Kerangka Kerja Keterampilan Emosional dan Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan di Malang, dengan tujuan (1) untuk mengetahui tingkat penyesuaian sosial pada remaja di Malang, (2) untuk mengetahui tingkat kecanduan

Dari definisi tersebut dapat dirangkum bahwa kontrol diri terhadap kecenderungan kecanduan game online pada remaja adalah kemampuan remaja untuk membuat keputusan dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecanduan game online yang dialami remaja berawal tersedianya perangkat game sejak usia belia (±5-9 tahun). Alasan informan suka

Teknik manajemen diri diharapkan dapat mengurangi kecanduan online game pada siswa, karena tujuan dari tenik manajemen diri itu sendiri adalah membantu konseli

Hasil penelitian Maulidiyah menunjukkan bahwa gambaran profil kepribadian pada remaja yang kecanduan game online memiliki kepribadian yang dominan yaitu remaja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 88% remaja mengalami kecanduan bermain game online dan 90% remaja berada pada identitas aktif dan menunjukkan tidak ada hubungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 88% remaja mengalami kecanduan bermain game online dan 90% remaja berada pada identitas aktif dan menunjukkan tidak ada hubungan

HUBUNGAN KECANDUAN GAME ONLINE TERHADAP KECEMASAN AKADEMIK SISWA KELAS 2 SMP NEGERI 1 MUNTILAN CORELATION OF GAME ADDICTION TO ACADEMIC ANXIETY OF 2nd GRADE STUDENTS ON MUNTILAN