• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN KEASAMAN REFLUXAT LARINGOFARINGEAL PASIEN PASCA BEDAH ELEKTIF DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN KEASAMAN REFLUXAT LARINGOFARINGEAL PASIEN PASCA BEDAH ELEKTIF DI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KEASAMAN REFLUXAT LARINGOFARINGEAL PASIEN PASCA BEDAH ELEKTIF DI RUMAH SAKIT WAHIDIN

SUDIROHUSODO MAKASSAR

DIFFERENCE OF LARYNGOPHARYNGEAL REFLUXAT ACIDITY AMONG THE POST ELECTIVE SURGERY PATIENT AT WAHIDIN

SUDIROHUSODO HOSPITAL MAKASSAR

Hilmiyah Syam1, Abdul Qadar Punagi1, Riskiana Djamin1, Arifin Seweng2, Ramli Ahmad3

1Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher, Fakultas

Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar

2Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar

3Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas

Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar

Alamat korespondensi: dr. Hilmiyah Syam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085255539633 E-mail: hilmiyahsyam@gmail.com

(2)

Abstrak

Reflux Gastroesophageal dan aspirasi umum terjadi pada pasien-pasien dengan kondisi kritis akibatnya paparan berulang cairan asam lambung pada struktur laring menyebabkan iritasi kimiawi yang mempermudah cedera lokal akibat kanul endotrakeal. Demikian halnya pada pasien-pasien yang menjalani prosedur operasi dengan anestesi general. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek premedikasi ranitidine dan omeprazole pada refluxat yang terkumpul di laringofaring. Data diperoleh dari 97 pasien bedah elektif yang dipilih secara semi acak kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok, yang selanjutnya akan diberi premedikasi pada malam sebelum operasi dan pagi hari sebelum tindakan operasi yaitu ranitidin oral 150 mg dan injeksi 50 mg, atau omeprazole oral 20 mg dan injeksi 40 mg, atau tanpa keduanya. Setelah operasi dilakukan aspirasi cairan pada laringofaring lalu diperiksa keasamannya. Data dasar karakteristik pasien pada ketiga kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p≥ 0,05). Terdapat perbedaan bermakna pada keasaman/pH (p= 0.009). Premedikasi dengan omeprazole menunjukkan pH yang lebih tinggi dibandingkan ranitidin.

Kata kunci: omeprazole, ranitidin, cairan laringofaring, refluxat, keasaman, pH. Abstract

Gastroesophageal reflux and aspiration are common in critically ill patients,therefore this repetitive bathing of the laryngeal structures with gastric acid causes a chemical irritation that adds to the local injury from the endotracheal tube. This same risk also found at patient undergoing elective surgery using general anaesthesia. This study was performed to compare the effect of ranitidine and omeprazole premedication on laryngopharyngeal content. Data were obtained from 97 elective surgical patients semi-randomly allocated to one of three groups, who received either omeprazole 20 mg orally then 40 mg injection, or ranitidine 150 mg orally then 50 mg injection, or neither, on the evening prior to and on the morning of surgery. Laryngopharyngeal pH was measured after direct aspiration. The patient’s characteristic baseline data shows there are no statistically significant difference among the three groups (p≥ 0,05). There were significant differences in pH among the three groups of subjects (p= 0.009). Premedication with omeprazole gave the higher pH than ranitidine.

(3)

PENDAHULUAN

Suara serak merupakan salah satu keluhan yang umum didapatkan pada periode pasca bedah dengan kejadian berkisar 14.4% hingga 50% dari seluruh pasien yang menggunakan kanul endotrakeal (ETT). Pada umumnya gejala ini berlangsung sementara dengan rerata durasi berkisar dua sampai tiga hari. Namun pada 10% kasus, suara serak ini menjadi fenomena yang menetap dan mengakibatkan perubahan pada kehidupan sehari-hari pasien yang sebelum operasi memiliki suara yang normal (Martins dkk, 2006, Mencke dkk 2003). Berbagai faktor resiko terjadinya komplikasi pasca intubasi telah diidentifikasi. Jejas fisik yang terjadi selama proses intubasi biasanya diakibatkan oleh abnormalitas anatomi, kesulitan laringoskopi, riwayat intubasi berulang serta kurangnya keterampilan operator. Laring yang abnormal lebih rentan terhadap cedera, misalnya pada acute laryngotracheobronchitis, respon inflamasi telah terjadi pada laring sehingga mukosa laring lebih rentan terhadap nekrosis akibat tekanan. Imobilitas pita suara sering ditemukan setelah intubasi preoperatif dengan insidens yang signifikan lebih tinggi pada pasien dengan riwayat intubasi sebelumnya serta riwayat perokok (Divatia dkk, 2005, Hagberg dkk, 2005)

Maronian, dkk., (2001) juga mengemukakan bahwa inflamasi pada jaringan laring faring akibat reflux laringofaringeal menyebabkan jaringan laringfaring tersebut sangat mudah cedera pada proses intubasi, sehingga meningkatkan resiko terjadinya granuloma kontak yang kemudian dapat berkembang menjadi stenosis subglotis. Kerusakan silia akibat paparan refluxat menyebabkan stasis mukus, merangsang batuk kronik dan mendehem, disusul gejala menetap dari iritasi dan inflamasi laring.

Pada kenyataannya reflux asam lambung hingga level faring, dapat saja terjadi baik pada populasi sehat maupun pada pasien. Lebih lanjut, melalui pemeriksaan laringoskopi, beberapa penanda iritasi laring yang dipertimbangkan sebagai penanda laryngopharyngeal reflux (LPR) didapatkan pula individu asimptomatik dengan persentasi kejadian yang tinggi (Milstein, dkk, 2005). Terdapat dua hipotesis yang berkembang mengenai bagaimana asam lambung menyebabkan respon patologis ekstraesofageal, yang pertama mengemukakan jejas langsung asam-pepsin pada jaringan laring dan sekitarnya, yang kedua mengatakan bahwa asam di distal esofagus merangsang reflex vagal yang mengakibatkan kontraksi bronkus, batuk dan mendehem yang kronik, akhirnya menyebabkan lesi mukosa. Kombinasi dua hipotesis ini dapat menjadi penyebab jejas yang terdapat pada LPR (Burton, dkk, 2006).

(4)

Telah disetujui secara umum, bahwa pasien dengan keasaman cairan lambung; pH <2.5 dan volume cairan > 25 ml memiliki resiko kerusakan pada paru-paru jika terjadi aspirasi (Power 1987). Pada populasi dewasa, 30-50% pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum, memiliki volume cairan lambung lebih dari 25 ml dan 64-82 % memiliki pH kurang dari 2.5. Karenanya, pemberian obat profilaksis yang dapat menurunkan volume isi lambung dan meningkatkan pH cukup menguntungkan pada pasien-pasien tersebut. H2 receptor blockers meningkatkan pH cairan lambung melalui penurunan produksi asam lambung; ranitidine dan famotidine merupakan dua preparat yang telah berhasil digunakan untuk indikasi ini. Omeprazole, subtitusi dari benzimidazole, merupakan preparat pertama dari kelas terbaru obat yang menghambat sekresi lambung dengan mengubah aktivitas H+/K+-ATPase, yang merupakan tahap akhir dari proses sekresi asam oleh sel parietal lambung(Boulay dkk, 1994).

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa proton pump inhibitors lebih superior dalam hal efektifitas klinis dibanding H2 receptor antagonists. Park et al (2005) yang menemukan bahwa dosis PPI dua kali sehari lebih efektif dalam mencapai respon klinis dibandingkan dosis tunggal PPI, pada pasien tersangka LPR. Respon positif juga lebih tinggi pada periode 4 bulan dibandingkan 2 bulan. Sehingga, penekanan produksi asam lambung dengan PPI dua kali sehari selama sekurang-kurangnya 4 bulan dikemukakan sebagai penatalaksanaan LPR. Namun metaanalisis yang dilakukan oleh Clark dkk (2009) justru mengemukakan bahwa premedikasi ranitidin lebih baik daripada PPI dalam menurunkan volume sekresi gaster dan meningkatkan pH lambung.

Peranan reflux gastroesofageal dalam memperburuk cedera laring, belum diketahui secara jelas. Selain itu, metode terbaik dalam mencegah dan meminimalisasi efek reflux tersebut perlu diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti mengenai perbandingan efek premedikasi ranitidin dan omeprazole pada pasien yang menjalani prosedur bedah elektif dengan anestesi general, terutama terhadap pH cairan yang didapatkan pada laringfaring pasca bedah.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, dari bulan Oktober sampai bulan November

2013 di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penelitian eksperimental dengan metode single blind semi randomized controlled clinical trial yang membandingkan efektifitas klinis premedikasi ranitidin dan omeprazole pada pasien bedah elektif.

(5)

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani operasi bedah elektif dengan anestesi umum dan intubasi endotrakeal pada RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah sebelumnya mendapatkan rekomendasi

persetujuan dari komisi etik penelitian biomedis pada manusia Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar. Pemberian premedikasi dilakukan oleh sejawat dari bagian anestesi sesuai dengan protap bagian anestesi dan pertimbangan kondisi pasien, subjek terbagi atas tiga kelompok yaitu kelompok dengan premedikasi ranitidin, kelompok premedikasi omeprazole dan kelompok premedikasi tanpa antiasam (non-premedikasi). Pengambilan sampel dilakukan pada saat operasi hampir selesai yaitu sesaat sebelum kanul endotrakeal di keluarkan/ ekstubasi oleh sejawat anestesi. Sampel berupa cairan yang terkumpul di area laringopharyngeal disedot dengan spoit 25cc yang dihubungkan dengan selang silikon, lalu diperiksa keasamannya dengan menggunakan pH strip test (Merck). Data hasil pemeriksaan dicatat dilembar pengamatan.

Metode Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk narasi, tabel atau grafik. Analisa statistik menggunakan program SPSS 17 for windows. Data yang diperoleh dianalisa statistik dengan menggunakan Anova test, Chi-Square test dan Kruskal-Wallis Test untuk Homogenitas Sampel. Sedangkan untuk keasaman dan sebaran pH digunakan Chi-Suare dan Kruskal-Wallis Test.

HASIL

Karakteristik Sampel

Dari Sembilan puluh tujuh pasien yang mengikuti penelitian ini, 5 di antaranya gugur/drop out karena tidak didapatkan cairan yang cukup pada laring faringnya (minimal 600mikrogram), 3 sample mengandung darah yang cukup banyak, dan 2 pasien memenuhi kriteria withdrawl. Sembilan puluh tujuh sampel (29 pasien untuk tiap kelompok) dikumpulkan untuk analisa keasaman.

Tabel 1 merangkum karakteristik dasar pasien dan homogenitasnya. Nilai p untuk semua data (umur, JK, durasi puasa dan waktu pengambilan sekret) menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna untuk ketiga kelompok, dengan kata lain data-data tersebut homogen (p≥ 0,05).

(6)

Keasaman(pH) cairan laringfaring

Distribusi nilai pH pada ketiga kelompok ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 3 menunjukkan hasil analisis perbandingan pH dari ketiga kelompok.

Tabel 4 selanjutnya menunjukkan distribusi pH yang dikelompokkan berdasarkan kategori asam, cenderung netral dan basa.

PEMBAHASAN

Dari penelitian ini menujukkan bahwa perbandingan pH pada ketiga grup premedikasi menunjukkan perbedaan yang bermakna (p= 0.009), pH terendah didapatkan pada kelompok ranitidin (rerata 4,8). Rerata pH kelompok omeprazole adalah 6,8 dan non premedikasi 5.5.

Dalam penelitian ini kami menilai efektifitas PPI (omeprazole) dibandingkan H2 reseptor antagonist (ranitidine) untuk meningkatkan nilai pH lambung, sehingga pada gilirannya, refluxat yang mencapai regio hipofaring memiliki pH yang lebih tinggi. Proton Pump Inhibitor (PPI) telah banyak digunakan dalam penatalaksanaan reflux laringofaringeal, dari telah pustaka mengenai penelitian yang menilai efektifitas obat ini, didapatkan bahwa metode paling umum yang digunakan untuk menilai adalah rekaman pH dan endoskopi laring. Hanya sedikit penelitian yang menggunakan pH monitoring esofagus 24 jam, pemeriksaan baku emas untuk LPR ini (Sen P dkk., 2006).

Pada penelitian ini Sampel/cairan laring dari 97 pasien bedah elektif dikumpulkan dan dilakukan pemeriksaan keasamannya. Karakteristik dasar pasien dan homogenitasnya dirangkum dalam tabel 1. Nilai p untuk semua data (umur, JK, durasi puasa dan waktu pengambilan sekret) menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna untuk ketiga kelompok, dengan kata lain data-data tersebut homogen (p≥ 0,05).

Penelitian sebelumnya oleh Tofil dkk., (2008)- yang menilai pH Lambung pada pasien kritis yang terintubasi- , melaporkan rerata pH 4.4 +/- 1.6 pada kelompok ranitidin, 4.9 +/- 1.8 pada kelompok proton pump inhibitor sekali sehari dan 5.0 +/- 1.2 pada PPI dua kali sehari. Penelitian kami menunjukkan nilai yang serupa untuk kelompok ranitidin dan berbeda untuk kelompok non dan kelompok omeprazole yang cenderung lebih tinggi nilai pHnya. Kenyataan bahwa pada orang normal nilai pH monitoring berkisar 4.0 – 5.5 (Chheda NN dkk., 2009) mejadikan hasil penelitian kami cukup bermakna untuk dipertimbangkan.

Jika pH dikategorikan menjadi kategori asam, cenderung normal dan basa (tabel 4) maka terdapat perbedaan distribusi yang bermakna antara ketiga kelompok (p<0,05). Persentase sample yang sangat asam (pH 1-5) tertinggi pada kelompok ranitidin (65,5%) dan terendah pada kelompok omeprazole (20,7%).

(7)

Pada penelitian kami ini terdapat keterbatasan yaitu kami tidak menelaah lebih jauh mengenai resiko dan adanya reflux asam, maupun gejala-gejala yang terkait sebelum operasi, sebelum penggunaan omerprazole atau ranitidin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Non premedikasi memberikan hasil yang lebih baik terhadap peningkatan pH dibandingkan premedikasi dengan ranitidin, namun jika kita mempertimbangkan untuk menggunakan premedikasi, omeprazole masih lebih efektif dibandingkan ranitidin dalam menurunkan keasaman cairan lambung. Oleh karena itu, pertimbangan yang bijaksana diperlukan dalam pemilihan obat premedikasi dalam upaya menurunkan efek asam lambung, efektifitas dan harga obat itu sendiri harus dipertimbangkan. Berdasarkan penelitian ini, penelitian lebih jauh dibutuhkan untuk menilai efek langsung paparan asam terhadap mukosa laring dan hubungannya dengan gejala laringfaring.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini; khususnya kepada orangtua dan guru-guru kami, para pembimbing, petugas rumah sakit, teman-teman sejawat peserta PPDS Anestesiologi dan THT-KL FK-UNHAS. Tak lupa kami haturkan banyak terimakasih kepada seluruh pasien yang dengan sukarela mengikuti penelitian ini.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Boulay K., et al.(1994). Effects of oral ranitidine, famotidine and omeprazole on gastric volume and pH at induction and recovery from general anaesthesia. British Journal of Anaesthesia. Br. J. Anaesth. doi: 10.1093/bja/73.4.475. 73 (4)Pp: 475-8.

Burton LK Jr, Murray JA, Thompson DM.(2005). Ear, nose, and throat manifestations of gastroesophageal reflux disease. Complaints can be tell tale signs. Postgrad Med. Feb 117(2) Pp:39-45.

Chheda NN, Seybt MW, Schade RR, Postma GN.(2009). Normal Values for Pharyngeal pH Monitoring, Annual Otology rhinology laryngology, Mar;118(3) Pp:166-71.

Clark K, Lam LT, Gibson S, Currow D. (2009). The Effect of Ranitidine versus Proton Pump Inhibitors on Gastric Secretions : a meta-analysis of randomised control trials. Anaesthesia. Jun;64(6) Pp: 652-7.

Divatia J. V., Bhowmick K. (2005). Complications Of Endotracheal Intubation And Other Airway Management Procedures. Indian Journal Of Anaesthesia, 49(4) Pp :308-18. Hagberg C, Georgi R, Krier C. (2005). Complications of Managing the Airway in Best

Practice and Research Clinical Anaesthesiology Vol.19 no.4, pp 641-59.

Maronian NC, Azadeh H, Waugh P, Hillel A. (2001). Association of laryngopharyngeal reflux disease and subglottic stenosis. Ann Otol Rhinol Laryngol. Jul 110(7 Pt 1) Pp:606-12.

Martins RHG, Braz JRC, Diaz NH.(2006). Hoarseness After Tracheal Intubation, Revista Brasileira de Anestesiologica, Vol 56 no. 2, Pp: 189-99.

Mencke T, Echternach M, Kleinschmidt S et al .(2003). Laryngeal Morbidity And Quality Of Tracheal Intubation. A Randomized Controlled Trial. Anesthesiology, 2003;98 Pp:1049-56.

Milstein CF, Charbel S, Hicks DM, Abelson TI, Richter JE, Vaezi MF. (2005). Prevalence of laryngeal irritation signs associated with reflux in asymptomatic volunteers: impact of endoscopic technique (rigid vs. flexible laryngoscope). Laryngoscope. Dec115(12) Pp:2256-61.

Sen P, C Georgalas, AK Bhattacharyya.(2006). A Systematic Review Of The Role Of Proton Pump Inhibitors For Symptoms Of Laryngopharyngeal Reflux, Clinical Otolaryngology Feb;31 (1) pp:20-4; discusssion 24.

Park W, Hicks DM, Khandwala F, et al.(2005). Laryngopharyngeal Reflux: Prospective Cohort Study Evaluating Optimal Dose of Proton-Pump Inhibitor Therapy and Pretherapy Predictors of Response. Laryngoscope. Jul;115(7):1230-8

Power KJ. (1987). The Prevention of The Acid Aspiration (Mendelson’s) Syndrome. A Contribution to Reduced Maternal Mortality in Midwifery 1987; 3: 143-48.

Tofil NM, Benner KW, Fuller MP, Winkler MK. (2008). Histamine 2 receptor antagonists vs intravenous proton pump inhibitors in a pediatric intensive care unit: a comparison of gastric pH. Journal Critical Care, doi: 10.1016/j.jcrc.2007.10.038, Sep;23(3):416-21.

(9)

LAMPIRAN

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian dan Waktu Pengambilan Sampel

Karakteristik Pasien Non-premedikasi Ranitidin Omeprazole p-value

Usia 43,5 ± 18,9 39,0 ± 16,8 36,9 ± 14,8 0,320 Jenis Kelamin L P 16 (55,2%) 13 (44,8%) 14 (48,3%) 15 (51,7%) 10 (34,5%) 19 (65,5%) 0,274 Durasi Puasa (jam) 10,8 ± 2,1 10,7 ± 1,7 10,0 ± 1,3 0,168 Pengambilan cairan

(jam) 2,3 ± 1,0 2,4 ± 0,8 2,0 ± 0,4 0,054

Tabel 2. Distribusi pH Pada Ketiga Kelompok Premedikasi Group

Total None Ranitidine Omeprazole

pH 1 n 4 2 0 6 % 13,8% 6,9% 0,0% 6,9% 2 n 3 3 0 6 % 10,3% 10,3% 0,0% 6,9% 3 n 1 5 2 8 % 3,4% 17,2% 6,9% 9,2% 4 n 2 5 1 8 % 6,9% 17,2% 3,4% 9,2% 5 n 2 4 3 9 % 6,9% 13,8% 10,3% 10,3% 6 n 4 2 5 11 % 13,8% 6,9% 17,2% 12,6% 7 n 3 2 7 12 % 10,3% 6,9% 24,1% 13,8% 8 n 6 5 6 17 % 20,7% 17,2% 20,7% 19,5% 9 n 4 1 5 10 % 13,8% 3,4% 17,2% 11,5% Total n 29 29 29 87 % 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

(10)

Tabel 3. Perbandingan pH pada Ketiga Kelompok Premedikasi Kelompok n Mean SD p* None 29 5,5 2,8 0,009 Ranitidine 29 4,8 2,3 Omeprazole 29 6,8 1,7 *) Kruskal-Wallis test

Tabel 4. Distribusi Keasaman Kategorikal

Group

Total

None Ranitidine Omeprazole

pH 1-5 N 12 19 6 37 % 41,4% 65,5% 20,7% 42,5% 6-7 N 7 4 12 23 % 24,1% 13,8% 41,4% 26,4% >7 N 10 6 11 27 % 34,5% 20,7% 37,9% 31,0% Total N 29 29 29 87 % 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% Chi Square test (p=0,013)

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian dan Waktu Pengambilan Sampel
Tabel 3.  Perbandingan pH pada Ketiga Kelompok Premedikasi  Kelompok  n  Mean  SD  p* None  29  5,5  2,8  0,009 Ranitidine 29 4,8 2,3  Omeprazole  29  6,8  1,7  *) Kruskal-Wallis test

Referensi

Dokumen terkait

GAMBARAN KEHILANGAN DAN HARAPAN PADA LANJUT USIA DI POSYANDU LANSIA KELURAHAN PASIR KIDUL.. PURWOKERTO BARAT

web yang di buat yaitu hanya memberikan informasi dari Apotek Duta Esa Farma diantaranya pada bagian pengunjung terdapat menu Beranda, Tentang Kami, Daftar Obat, Artikel,

RPN terdiri dari skala dari 1 (paling penting) hingga 125 (paling tidak berbahaya). Fungsionalitas sistem yang RPN-nya yang memiliki angka yang kecil akan

[r]

Selain itu pembaca dapat mengenal istilah-istilah dalam programVisual Basic 6.0 seperti Toolbar, toolbox, Jendela Properties, Jendela Form Layout serta semua istilah istilah

Kompetensi Dasar Materi Pokok/ Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator Pencapaian Kompetensi Penilaian Alokasi Waktu Sumber Belajar Teknik Instrumen Bentuk Instrumen

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) pada Sekolah Pascasarjana).

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial antara masyarakat pendatang perumahan transmigrasi terhadap masyarakat lokal yaitu faktor pendorong