• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESIMPULAN DAN SARAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

8.1. Kesimpulan

Hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan yang berkaitan dengan arah perubahan struktur, perilaku perusahaan peneriman IUPHHK dan pemerintah, pengaruh struktur perilaku terhadap kinerja, dan masalah institusional yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam produksi.

8.1.1. Arah Perubahan Institusi Pengelolaan Hutan Produksi Alam

Arah perubahan yang dikendaki berdasarkan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terdiri dari dua aspek yaitu pemanfaatan dan pengelolaan. Pemanfaatan yang berorientasi kayu dan hasil hutan bukan kayu diperluas dengan pemanfaatan lainnya termasuk hasil hutan nabati, hasil hutan hewani, benda-benda non-hayati yang merupakan satu kesatuan ekosistem hutan dan jasa hutan sehingga manfaat hutan lebih optimal. Sedangkan pengelolaan hutan yang hanya berorientasi kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan masyarakat diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pemberdayaan mayarakat. Untuk menjalankan perubahan tersebut dibangun hirarki organisasi kehutanan yang terdiri dari Pengurusan Hutan yang merupakan institusi tingkat makro dan mengemban tugas kebijakan publik, Pengelolaan Hutan yang terdiri dari Pengelolaan Hutan Wilayah Provinsi sebagai organisasi makro dengan tugas publik, Pengelolaan Hutan Wilayah Kabupaten/Kota sebagai organisasi meso

(2)

dengan tugas kebijakan publik, Pengelolaan Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan sebagai organisasi mikro dan quasi publik, dan Pemanfaatan Hutan sebagai organisasi mikro dan privat.

Optimasi pengelolaan hutan yang dikehendaki belum dapat diaktualisasikan, tidak tersedia aturan main yang mengarahkan tujuan dan langkah-langkah optimalisasi, demikian pula dengan hirarki organisasi kehutanan yang memisahkan peran pemerintah dalam kebijakan publik dan privat belum dapat diwujudkan. Pemerintah banyak terlibat dalam urusan-urusan mikro, dan kurang memperhatikan fungsi-fungsi publik pengelolaan wilayah. Pemerintah terperangkap oleh PP.34/2002 sebagai peraturan yang lahir pertama dan premature, sebelum rancangan baru hubungan transaksional pemanfaatan hutan dan peraturan tentang prakondisi diterbitkan. PP. 34/2002 hanya melanjutkan konsep HPH dengan mengganti nama menjadi IUPHHK menjadi faktor utama penghambat perubahan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Sebagai peraturan yang terbit pertama, memberikan implikasi menjadi rujukan bagi peraturan yang lahir kemudian. PP. 34/2002 mengingkari hirarki organisasi kehutanan dengan meniadakan peran pengelola hutan tingkat unit manajemen, dan menarik urusan mikro kedalam kewenangan tingkat messo dan makro, sementara konsep pengelolaan tingkat wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan wilayah kebijakan publik belum disiapkan. Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 yang mengandung bias pada hutan negara dan mengabaikan urutan logika yang diawali dari penetapan status kepemilikan hutan dan pengelolanya, kemudian diikuti dengan penetapan fungsi pokok, pembentukan/penetapan unit pengelolaan, pemanfaatan dan perijinan. Akibat

(3)

dari bias ini pemerintah lebih banyak mengurus dirinya sendiri, dan kurang memperhatikan pengembangan hutan hak termasuk mekanisme kompensasi yang diatur dalam pasal 36 UU. 41/1999.

Pilihan kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam urusan mikro tidak dikuti secara konsisten dengan melengkapi dengan instumen-instrumen yang diperlukan untuk menjalankan kewenangannya. Unit-unit pengelolaan tidak disiapkan, penguasaan informasi dan mekanisme pengawasan yang kuat, adalah prasyarat utama dan penting untuk menjalankan kewenangan yang telah dipilih. Keterlibatan pemerintah sebagai regulator, wasit dan sebagai ‘pemain’ menimbulkan banyak kerumitan, sehingga pemerintah kehilangan kendali atas sistem yang dibangun, dan akhirnya gagal mencapai tujuan pengelolaan hutan untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Pengalaman Brazil dan China bagian selatan yang menempatkan pemerintah terlibat dalam urusan mikro berujung kepada kegagalan dalam mengelola hutan lestari. Sebaliknya model yang di pakai di Swedia dan China bagian utara yang memisahkan fungsi pemerintah sebagai lembaga publik dengan pengelolaan hutan (unit) sebagai entitas individual menunjukkan kinerja pengelolaan hutan yang lebih baik.

Undang-undang tidak menyatakan secara jelas status kepemilikan atas hutan negara yang tidak dibebani hak-hak atas tanah berdasarkan UU. 5/1960, dan status asset atas tegakan dan isi hutan. Ketidak jelasan atas dua hal ini menyebabkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak mampu mengindentifikasikan dirinya (selves identification) dan menentukan perannya sesuai dengan strata hak yang dimilikinya.

(4)

Institusi formal pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam yang dibangun oleh pemerintah mengandung unsur-unsur perversi kekuasaan (perversion of power) , informasi yang tidak simetrik (assymmetric information), dan konflik kepentingan. Adanya unsur-unsur tersebut terbukti menimbulkan biaya transaksi tinggi (high transaction cost), kesalahan pemilihan (adverse selection), kejahatan moral (moral hazard) dan masalah induk-agen (principal-agent problems). Sehingga secara keseluruhan Institusi Kehutanan tidak efektif mengendalikan perilaku para pihak.

Implikasi dari keberadaan unsur-unsur tersebut di atas adalah bahwa aturan pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan tidak dapat ditegakkan, sehingga memberi insentif untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar aturan dan tidak berperilaku produkstif. Potensi masyarakat untuk mencapai penutupan hutan yang dipersyaratkan oleh undang-undang dan menjadi tanggung jawab pemerintah tidak dapat diberdayakan.

8.1.2. Pengaruh Perubahan Terhadap Perilaku Pemerintah dan Perusahaan Perubahan institusional kehutanan diharapkan dapat mempengaruhi perilaku para pihak yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Para pihak dalam penelitian ini terdiri dari pertama adalah pemerintah yang mempunyai peran utama sebagai regulator dan sebagai pihak yang menegakkan aturan, kedua adalah para pelaku usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam. Berdasarkan peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah dan hasil penilaian kinerja pengelolaan hutan serta data lainnya diperoleh pengetahuan tentang perilaku sebagai berikut :

(5)

Pemerintah tidak menterjemahkan tujuan pengelolaan hutan produksi yang dikehendaki oleh undang-undang yaitu perubahan orientasi dari kayu ke sumberdaya hutan untuk “menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dengan produksi multiproduk hasil hutan” kedalam institusi dan kebijakan publik. Sistem pengelolaan hutan produksi alam masih berorientasi pada produksi kayu dengan memberikan peran dominan kepada perusahaan penerima IUPHHK. Pemerintah masih terbatas mengakomodasi pemanfaatan multiproduk melalui pengaturan kewenangan pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu dan ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu kepada Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri, bukan kepada optimasi pengelolaan hutan untuk produksi multiproduk.

Sebagai regulator pemerintah tidak memperjelas status kepemilikan hutan negara, meskipun tersedia ruang untuk menterjemahkan penjelasan pasal 4 (1) Undang-undang nomor 41/1999, karena batasan pengertian “dikuasasi” oleh negara tidak berarti “dimiliki “ menurut pada pasal tersebut di maksudkan untuk melindungi status kepemilikan hutan hak agar tidak jatuh kepemilikannya menjadi milik negara. Sedangkan pada pasal 4 diakui adanya dua macam status hutan diseluruh Indonesia yaitu hutan negara dan hutan hak, jika hutan hak adalah hutan yang dimiliki oleh individu, kelompok atau perusahaan, maka hutan negara seharusnya juga jelas kepemilikannya.

Ketidak jelasan status kepemilikan hutan negara dan tidak adanya pengakuan secara eksplisit status asset tegakan hutan di hutan alam, mempengaruhi pengaturan hak properti atas hutan dan menghasilkan definisi hak properti yang tidak lengkap. Dengan batasan hak properti yang tidak lengkap menyebabkan sulit memposisikan

(6)

pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna hutan alam. Situasi ini tidak memberi insentif kepada pemerintah untuk membangun dan memberdayakan institusi pengelolaan hutan negara tingkat unit managemen (KPHP), akibatnya terjadi kekosongan pranata pengelolaan hutan negara tingkat manajemen unit.

Disisi lain pemerintah tidak memberdayakan dirinya untuk menguasai informasi tentang hutan negara secara maksimal, sehingga informasi yang dimiliki oleh pemerintah terbatas dari segi resolusi maupun kemutahirannya. Dalam situasi seperti ini pemerintah mengambil pilihan kebijakan memposisikan pengguna (penerima IUPHHK) sebagai pengelola hutan melalui pemberian kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan sebagai pelaksana pengelolaan hutan, sementara wewenang keputusan-keputusan tentang pilihan teknologi, perencanaan, dan alokasi sumberdaya hutan serta perijinan transaksi hasil hutan masih dipegang oleh pemerintah, disamping itu pemerintah menetapkan sanksi-sanksi administrasi atas pelanggaran kewajiban tersebut. Pilihan kebijakan ini memnuntut penguasaan informasi yang mutahir, cepat dan beresolusi tinggi.

Posisi pemerintah menjadi dilematis karena sekaligus memegang tiga peran sebagai regulator, wasit dan pemaian dengan memasuki urusan-urusan tingkat mikro dalam pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Peran pemegang kekuasaan yang mengandung konflik kepentingan melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengandung perversi yaitu kebijakan yang menguntungkan dirinya atau kelompok tertentu sementara bebannya ditanggung oleh pihak lain. Perannya yang konfik tersebut juga menghasilkan peraturan-peraturan yang konflik.

(7)

Sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam menjadi kompleks, disertai dengan peran pemerintah yang konflik dan penguasaan informasi yang lemah, pemerintah tidak mampu menegakkan peraturan-peraturan yang mengatur aspek-aspek teknis (mikro), kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi lemah. Kelemahan dan keterbatasan yang ada pada giliran selanjutnya akan melemahkan kapasitasnya sebagai regulator.

Dihadapkan pada struktur institusi pengelolaan hutan dan perilaku pemerintah seperti tersebut diatas, perusahaan penerima IUPHHK yang berkedudukan sebagai pengguna dan tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap hasil pengelolaan hutan merespon peraturan dan kewajiban-kewajiban tersebut tidak dengan motivasi yang bersungguh-sungguh untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Sesuai kedudukannya penerima IUPHHK adalah pengguna yang mempunyai kepentingan langsung untuk mengambil manfaat melalui kegiatan produksi jangka pendek, sehingga pilihannya untuk tidak mengambil peran sebagai pengelola adalah pilihan yang rasional. Berdasarkan analisa 40 perusahaan, sebagian besar perusahaan tidak menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan, kurang dari 10 persen dari perusahaan penerima IUPHHK yang mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan.

Perusahaan cenderung tidak menaati peraturan-peraturan yang diberlakukan, hanya sekitar 10 persen perusahaan yang mempunyai nilai verifier baik. Perilaku ini disamping sebagai respon atas aturan dan kewajiban-kewajiban yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan lagsungnya juga sebagai respon atas kapasitas penegakan yang lemah dan merupakan pilihan rasional. Kapasitas penegakan yang

(8)

lemah dan adanya konflik kepentingan pada pemerintah dan pada perusahaan memberikan ruang terjadinya moral hazard.

8.1.3. Kinerja Pengelolaan Hutan dan Usaha

Hasil uji korelasi antara 24 variabel-variabel dengan potensi hutan, kerusakan tegakan tinggal dan rentabilitas 40 perusahaan contoh menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

Tingkat kerusakan hutan yang terjadi cukup tinggi diindikasikan oleh besarnya jumlah perusahaan yang tidak berhasil mencapai nilai baik (87.5%) pada variable kerusakan tegakan tinggal, sedangkan yang mencapai nilai baik hanya 12,5% saja. Perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak sesuai aturan dan rencana sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat merupakan penyebab terjadinya hal ini.

Dari segi potensi terdapat 55% perusahaan yang melaporkan kondisi hutannya masih baik, tetapi hasil uji korelasi menunjukkan bahwa variabel-variabel terkait pengelolaan hutan mempunyai hubungan yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hutan yang baik tersebut terjadi karena faktor lain. Hasil uji korelasi memperlihatkan bahwa salah satu variabel yang berkorelasi nyata dengan potensi (stok) adalah EVA. Pada dasarnya EVA adalah sebuah sistem informasi yang tersedia dan dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan oleh perusahaan, dengan demikian variabel ini tidak berhubungan langsung dengan pembangunan potensi hutan, melainkan berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk mengenali potensi tegakan hutan. Berdasarkan data ada kecenderungan bahwa korelasi bersifat negatif, jumlah perusahaan yang sistem informasinya buruk tetapi mempunyai potensi hutan

(9)

baik sebanyak 13 perusahaan, sebaliknya tidak ada perusahaan yang mempunyai sistem informasi baik mempunyai potensi hutan yang baik, sedangkan perusahaan yang sistemnya buruk dan potensinya buruk berjumlah 4 perusahaan. Korelasi ini memperkuat argumen adanya moral hazard, dimana informasi tentang potensi hutan yang dilaporkan kepada pemerintah cenderung dibuat lebih besar dan didasarkan pada informasi yang berkualitas buruk. Perusahaan-perusahaan yang sistem informasinya baik tidak dapat menunjukkan bahwa potensi hutannya baik. Kemungkinan moral hazard didukung dengan data bahwa dengan potensi yang besar tersebut sebanyak 77,5 % perusahaan mempunyai rentabilitas yang tidak baik, ini berarti bahwa sebagian besar perusahaan melaporkan bahwa perusahaannya mengalami kerugian.

Diantara 24 variabel yang diuji, variabel-variabel yang terkait langsung dengan dengan produksi mempunyai hubungan positif nyata dengan potensi dan rentabilitas. Variabel-variabel tersebut adalah yang terkait dengan sumber keuangan untuk membiayai produksi, dan variabel yang terkait dengan persyaratan untuk mendapatkan pengesahan RKT. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa perusahaan tidak berkepentingan dengan pengelolaan hutan, melainkan berkepentingan pada produksi kayu jangka pendek, dan institusi yang berlaku tidak dapat mengarahkan perilaku perusahaan untuk melakukan tindakan-tindakan pengelolaan hutan.

8.1.4. Masalah Institusi

Berdasarkan kepada hal-hal tersebut diatas maka dapat dikenali masalah institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi yang dapat dikelompokkan

(10)

kedalam masalah mendasar (pokok), masalah utama dan masalah langsung sebagai berikut :

Masalah yang mendasar adalah tidak adanya kejelasan pengakuan status pemilik hutan negara yang timbul akibat penjelasan pasal 4 (1) Undang-Undang no 41/1999, dan adanya ketidak jelasan pengakuan status tegakan hutan alam sebagai asset seperti halnya pengakuan yang diberikan kepada tegakan hutan hasil penanaman. Kedua hal ini menyebabkan pengaturan tentang hak properti hutan tidak dapat didefinisikan secara lengkap sehingga tidak dapat dibangun hak properti yang efektif, dan dampak selanjutnya adalah timbulnya berbagai kompleksitas kebijakan dan pengaturan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang mengandung unsur-unsur penyebab institusi tidak efektif. Disamping itu tidak diikutinya urutan logika pengurusan hutan dan bias pemerintah pada hutan negara menyebabkan pemerintah berkonsentrasi pada dirinya sendiri dan kurang memperhatikan kebijakan publik. Peraturan Pemerintah no. 34/2002 yang lahir premature, menjadi rujukan peraturan-peraturan yang lahir kemudian, menempatkan pemerintah berhubungan langsung dengan urusan-urusan tingkat mikro dan kebijakan privat, sementara kebijakan publik kurang mendapat perhatian, dan melebarkan kesenjangan tujuan perubahan institusi, serta menjadi kendala bagi birokrasi untuk melakukan perubahan.

Masalah langsung berupa kekosongan pranata pengelolaan hutan negara pada tingkat unit manajemen. Kekosongan pranata ini menyeret pemerintah terlibat dalam urusan-urusan mikro, sehinga pemerintah menjalankan peran sebagai regulator, wasit dan sekaligus pemain. Pilihan peran ini membutuhkan informasi yang akurat dan cepat, namun pemerintah tidak cukup menguasai informasi untuk menjalankan

(11)

kewenangannya. Keterbatasan penguasaan informasi dan sumberdaya lainnya menyebabkan kapasitas penegakan aturan lemah.

Sumber masalah adalah perilaku pemerintah dan perusahaan penerima IUPHHK yang bertindak dengan cara-cara yang tidak mengutamakan kepentingan pencapaian tujuan pengelolaan hutan, melainkan lebih banyak berorientasi pada kepentingan produksi jangka pendek.

8.2. Implikasi Kebijakan

Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan hutan alam produksi yaitu menghasilkan hutan berkualitas tinggi guna memproduski multiproduk yang memberi manfaat lingkungan, sosial, dan manfaat ekonomi yang optimal sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang no. 41 tahun 1999, maka diperlukan koreksi berbagai kebijakan publik dalam bidang institusi kehutanan, sebagai jawaban atas masalah institusi yang ada. Sebagaimana kesimpulan hasil studi maka pada dasarnya penyelesaian tersebut memerlukan tiga hal (lihat gambar 27) yaitu: pertama adanya batasan tentang hak properti yang lebih lengkap sehingga dapat dibedakan siapa pemilik hutan, siapa pengelola, siapa penyewa dan siapa pemanfaat hutan, sehingga masing-masing pihak dapat mengidentifikasikan diri dan perannya secara tepat; kedua diperlukan pengakuan status asset atas tegakan hutan sebagai alat penyimpan kekayaan yang dapat ditransaksikan ; dan ketiga diperlukan devolusi kewenangan pengelolaan hutan kepada institusi tingkat mikro yang menjalankan pengelolaan hutan berupa alokasi sumberdaya manajemen dan penerapan teknik-teknik pengelolaan hutan pada unit

(12)

kelestarian hutan di lapangan. Dalam rangka melakukan koreksi kebijakan publik ini, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Setiap kebijakan publik harus mengarahkan agar pengelolaan hutan menghasilkan manfaat yang optimal dan lestari. Untuk itu perlu dipastikan bahwa setiap pengelola hutan negara melakukan tindakan optimasi agar manfaat-manfaat ekologi, sosial dan ekonomi yang dihasilkan dari pengelolaan hutan merupakan hasil kombinasi yang optimal. Agar dapat dilakukan tindakan optimasi yaitu menghasilkan nilai manfaat yang maksimal dalam situasi kendala-kendala (constranins) tertentu, terdapat beberapa syarat perlu (necessary conditions) yang harus dipenuhi, sebagaimana disajikan pada tabel 52.

Setiap pengelola harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis multiproduk atau manfaat yang akan diproduksi melalui praktek-praktek pengelolaan hutan, produk apa saja yang termasuk dalam kategori ekologi, sosial dan ekonomi, atau jenis-jenis hasil hutan nabati, hewani, benda non-nabati atau jasa hutan yang akan diproduksi untuk ditetapkan sebagai tujuan pengelolaan hutan. Selain itu pengelola perlu mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah produksi setiap jenis produk atau manfaat, oleh karena itu harus tersedia satuan-satuan jumlah produksi setiap jenis, dan tersedia teknologi untuk mengukur jumlah produksi jenis-jenis produk dimaksud. Selanjutnya identifikasi karakterisitik jenis-jenis produk dan mengklasifikasikannya ke dalam jenis yang dapat diperdagangkan dan jenis manfaat yang tidak dapat diperdagangkan.

Siapa sajakah pelanggan dari setiap produk dan manfaat yang dihasilkan perlu diketahui, bukan saja untuk keperluan strategi pemasaran melainkan juga

(13)

diperlukan untuk mengukur kebutuhan yang harus dilayani dan karakter hubungan transaksional yang sesuai. Pelanggan-pelanggan produk yang dapat diperdagangkan dapat melakukan transaksi jual-beli di pasar, sehingga hubungan-hubungan transaksional dapat dilakukan melalui mekanisme pasar. Sedangkan pelanggan-pelanggan yang memanfaatkan barang publik atau produk eksternalitas tidak melakukan transaksi jual beli di pasar, kelompok ini disebut sebagai kelompok penerima manfaat (beneficieries). Hubungan pertukaran (exchange) antara produsen dengan beneficieries memerlukan kebijakan publik yang menyediakan infrastruktur untuk memfasilitasi terjadinya pertukaran tersebut.

Manfaat optimal adalah sebuah nilai hasil yang maksimal yang dapat diperoleh dari alokasi sumberdaya pada suatu kondisi dengan kendala tertentu. Berbagai produk dan manfaat yang dihasilkan melalui pengelolaan hutan mempunyai satuan-satuan ukuran yang berbeda-beda, sedangkan optimasi memerlukan sebuah satuan yang dapat mencerminkan nilai dari keseluruhan produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan valuasi terhadap setiap jenis produk atau manfaat tersebut. Nilai produk-produk yang dapat diperdagangkan mempunyai nilai (harga) yang diterima oleh pasar, sehingga harga produk atau jasa dimaksud sudah dapat mencerminkan nilai dari produk atau jasa itu. Sedangkan terhadap produk atau jasa yang tidak diperdagangkan seperti barang publik atau manfaat eksternalitas diperlukan adanya nilai yang disepakati. Adanya kebijakan publik dalam bentuk standar atau tarif akan membantu mempermudah perhitungan-perhitungan dalam rangka optimasi.

(14)

Tabel 52. Syarat-syarat Perlu Optimasi Pengelolaan Hutan Alam Produks pada Unit Manajemen Lestari

Parameter Syarat Perlu

Jenis Produk / Manfaat

Identifikasi jenis-jenis produk/manfaat (ekologi, sosial dan ekonomi) yang akan diproduksi melalui praktek-praktek pengelolaan hutan.

Identifikasi karakteristik daya-jual (tradeability) dari setiap jenis dan manfaat yang diproduksi.

Tersedia satuan dan teknik pengukuran jumlah produksi atas setiap jenis produk/ manfaat

Pelanggan Identifikasi pasar yang dapat melakukan transaksi jual-beli produk/manfaat yang diperdagangkan (tradeable /marketable) dan penerima manfaat (beneficieries) atas manfaat-manfaat yang tidak diperdagangkan (non tradeable)

Valuasi Terdapat nilai atau harga atas setiap jenis produk/manfaat yang diproduksi dari kegiatan pengelolaan hutan, baik yang terbentuk melalui mekanisme pasar maupun kebijakan publik. Biaya

Produksi

Dikenali biaya produksi dan pemasaran atas setiap jenis produk /manfaat yang diproduksi dan dipertukarkan

Keuntungan maksimal yang diperoleh sebagai hasil optimasi dilakukan dengan memaksimumkan keuntungan dan / atau meminimumkan biaya. Oleh sebab itu struktur dan nilai biaya produksi dan biaya pemasaran setiap jenis produk / manfaat juga harus diketahui.

2. Pengakuan tegakan hutan sebagai asset merupakan kebijakan publik yang penting untuk mengarahkan perilaku para pihak agar mengelola hutan sesuai dengan perintah undang-undang. Akan tetapi kebijakan publik tunggal yang hanya mengakui status tegakan sebagai asset saja, mempunyai potensi timbulnya masalah-masalah baru, seperti hubungan-hubungan transaksional atas hutan negara, penilaian asset, kebijakan harga dan lain sebagainya. Oleh sebab itu

(15)

kebijakan publik tentang status asset tegakan hutan memerlukan kebijakan-kebijakan pendukung lainnya, yaitu :

Pertama, kejelasan siapa pemilik hutan negara karena hal ini akan berhubungan erat dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada kepemilikan atas asset tersebut. Sebagai gambaran dalam sistem pengusahaan hutan alam dalam bentuk HPH maupun IUPHHK, dimana pengelolaan hutan dilakukan melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan adanya ketentuan yang mengatur bahwa apabila ijin berakhir seluruh asset tidak bergerak menjadi milik negara, maka asset yang berupa tegakan tidak dapat dicatat sebagai asset perusahaan. Sementara pihak pemerintah tidak pernah membukukan nilai asset hutan kedalam neraca keuangannya, karena pemerintah dianggap bukan pemilik hutan. Oleh sebab itu kebijakan ini tidak dapat berlaku efektif. Siapapun yang ditetapkan sebagai pemilik hutan, maka menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan atas hak kepemilikan tersebut.

Kedua : asset hanya bisa diukur apabila ada ukuran nilainya dan ada cara mengukur yang disepakati. Satuan nalai dapat dalam bentuk satuan nilai moneter, tetapi bagaimana menilainya terdapat banyak pendekatan. Pendekatan yang umum dapat dipilih dari akumulasi biaya investasi atau penaksiran nilai asset. Kedua-duanya memerlukan aturan main yang menjadi pedoman semua pihak.

Ketiga : berkaitan dengan pencapaian tujuan optimasi dan pembentukan asset tegakan hutan, pengelola hutan memerlukan otoritas untuk menentukan pilihan manajemen yang efektif dan / atau efisien untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa kondisi obyektif dari setiap unit manajemen berbeda

(16)

antara yang satu dengan yang lainnya. Intervensi pemerintah sampai pada tingkat mikro seperti seperti yang telah dilakukan selama ini dalam bentuk pilihan teknologi, perencanaan usaha dan yang lainnya dapat menjadi kendala tersendiri bagi pengelola untuk mencapai tujuan.

Keempat : obyek yang dipertukarkan atau ditransaksikan harus teridentifikasi dengan jelas. Apakah obyek yang ditransaksikan tersebut berupa lahan, atau kekayaan alam, atau tegakan hutan, atau manfaat hutan, atau kombinasi sebagian atau keseluruhannya. Setiap model transaksi memerlukan aturan atau bentuk kontrak yang berbeda-beda. Sebagai contoh transaksi dalam bentuk IUPHHK adalah melakukan transaksi manfaat hasil hutan yang berupa kayu, obyek yang ditransaksikan adalah hasil produksi dari pengelolaan hutan yang berupa kayu, sehingga yang diperlukan hanya kontrak jual-beli yang bersifat umum antara lain mencakup kesepakatan harga, volume, kualitas dan pengiriman (delivery) serta jaminan yang disepakati. Transaksi dalam bentuk ijin pemanfaatan kawasan (IUPK) adalah melakukan pertukaran ruang sehingga model kontraktualnya dapat berupa sewa. Sedangkan alih-fungsi hutan, pinjam pakai, tukar guling adalah model transaksi yang mempertukarkan seluruh asset dan potensi manfaat yang ada pada hutan tersebut.

Kelima, batasan jangka waktu ijin tidak diberlakukan kepada pemilik asset agar dapat memberikan jaminan kepastian atas kepemilikan hak dan kepastian usaha. Penilaian dan sanksi hendaknya berdasarkan indikator kinerja yang mencerminkan bekerjanya fungsi-fungsi hutan yang memberi manfaat secara berkelanjutan.

(17)

Syarat-syarat perlu dalam menentukan pilihan kepemilikan atas hutan negara harus dipenuhi. Pada dasarnya terdapat tiga strata kepemilikan atas hutan, yaitu milik negara, milik komunal dan milik privat. Dalam hal ini kepemilikan komunal pada prinsipnya adalah bentuk lain dari kepemilikan privat dimana anggota komunitas tersebut menyatukan kehendaknya dan menyepakati aturan internal yang mengatur hubungan-hubungan antar anggota dalam berhubungan dengan kepemilikan atas hutan. Oleh karena itu opsi kepemilikan dapat disederhanakan menjadi milik negara dan milik privat. Tabel 53 menguraikan syarat-syarat perlu yang harus dipenuhi atas pilihan kebijakan publik tentang kepemilikan hutan negara, yaitu apakah akan dinyatakan sebagai milik negara atau dialihkan menjadi milik privat. Pada tingkat pengurusan pilihan untuk menjadikan kepemilikan atas hutan negara sebagai milik negara diperlukan penafsiran sebagai penegasan atas penjelasan pasal 4 (1) UU. No. 41/1999, dimana penjelasan yang ada masih bias pada perlindungan atas hutan hak, sementara status kepemilikan hutan negara tidak disinggung. Selain itu diperlukan aturan perwakilan yang menetapkan pelaksanaan kepemilikan hutan oleh negara dilaksanakan oleh pemerintah melalui wewenang pengurusan hutan. Kedudukannya sebagai pemilik melekat hak alienation yaitu hak untuk mempertukarkan/ mentransaksikan properti hutan, untuk itu harus tersedia mekanismenya, kebijakan-kebijakan alih fungsi dan pinjam pakai merupakan bentuk pelaksanaan hak alienation.

(18)

Tabel 53. Syarat Perlu atas Pilihan Kebijakan Kepemilikan Hutan

Hirakhi Syarat Perlu Opsi Kepemilikan oleh :

Negara Privat Pengurusan dan Kepemilikan hutan Pemerintah membuat kebijakan publik, mengatur hal-hal yang menjadi urusan bersama dan menghindari

memasuki urusan privat

Pemerintah membuat kebijakan publik, mengatur hal-hal yang menjadi urusan bersama dan menghindari memasuki urusan privat

Diperlukan penafsiran pengertian “dikuasai tidak berarti dimiliki” pada UU 41/1999

Diperlukan penafsiran yang konstitusional atas makna dikuasai dalam “bumi dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara”

Pemerintah menjadi wakil bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik hutan negara

Diperlukan mekanisme transfer kepemilikan dari negara menjadi milik privat, apa saja yang ditransaksikan, kualifikasi penerima, dan syarat-syarat serta perjanjian lainya sebagai jaminan atas peruntukannya sebagai hutan Tersedia mekanisme

transfer atas hutan negara

Terdapat jaminan hak transfer atas hutan

Pengelolaan Hutan

Tersedia unit-unit pengelolaan hutan yang memenuhi syarat terjadinya kelestarian sumberdaya dan kelestarian hasil

Unit pengelolaannya memenuhi syarat kelestarian

Terdapat entitas yang ber-tanggung jawab secara ope-rasional mengelola hutan

Terdapat entitas yang bertanggung jawab secara operasional untuk mengelola hutan

Entitas pengelola hutan mempunyai hak-hak : to access dan withdrawal, to exclude, to manage dan hak untuk mengatur hubungan-hubungan transaksional atas produk dan manfaat hasil

pengelolaan

Entitas pengelola hutan

mempunyai hak-hak : to access dan withdrawal, to exclude, to manage dan hak untuk mengatur hubungan-hubungan

transaksional atas produk dan manfaat hasil pengelolaan

(19)

Pemanfaatan Hutan

Transaksi produk diperda-gangkan dapat dilakukan dengan mekanisme pasar

Transaksi produk yang dapat diperdagangkan dapat dilakukan dengan mekanisme pasar

Tersedia mekanisme transaksi atas jasa hutan yang tidak diperdagangkan

Pemerintah memfasilitasi pemberian kompensasi / insentif kepada pengelola hutan atas produk jasa manfaat

Jika kepemilikan akan diberikan kepada privat, diperlukan konfirmasi makna konstusi yang menyatakan bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Selain itu mekanisme transfer dari negara kepada privat harus disediakan, dan jaminan tentang penggunaan lahan sebagai hutan dapat terjaga, negara harus dapat menjamin hak transfer atas hutan-hutan tersebut kepada pihak lain.

Pada tingkat pengelolaan memerlukan kejelasan unit pengelolaan, keberadaan entitas atau lembaga yang bertanggung jawab mengelola, dan jaminan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikannya. Pada tingkat pemanfaatan, kepemilikan oleh pemerintah memerlukan mekanisme transaksi produk yang tidak diperdagangkan. Sedangkan pada opsi kepemilikan oleh privat diperlukan mekanisme insentif atau kompensasi terhadap produksi barang publik dan pengelolaan eksternalitas.

3. Devolusi atau penyerahan kewenangan pengelolaan dari pemerintah kepada entitas pengelola hutan diperlukan bukan saja karena pengelolaan hutan alam merupakan wilayah quasi publik, mempunyai kekhasan setempat (local spesifik) melainkan juga untuk memberikan fleksibilitas dalam memilih teknologi dan alokasi

(20)

sumberdaya sesuai dengan tujuan dan kondisi masing-masing lokasi. Kedudukannya sebagai pengelola maka perlu diberikan wewenang akses dan memanen, mengeksklusi dan mengelola. Dalam rangka melaksanakan wwewenang mengelola, ia harus dapat mengalokaikan sumberdaya dan menentukan pilihan teknologi yang paling tepat. Sedangkan kewenangan untuk mengekslusi memugkinkan pengelola menjalin hubungan-hubungan kontraktual pemanfaatan hasil hutan dengan pihak lain. Devolusi akan efektif dilaksanakan apabila dua masalah terdahulu sudah dapat diatasi.

Pemerintah membatasi diri pada fungsi-fungsi publik yaitu pengelolaan hutan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi, pengurusan hutan, dan penegakan aturan. Devolusi memerlukan kemampuan kontrol yang kuat, oleh sebab itu perintah undang-undang untuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan perlu diberdayakan. Terhadap hutan negara pengelolaan hutan tingkat unit dapat diberikan kepada Badan Usaha dalam bentuk persero dimana pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas, dan sisanya diberikan kepada publik. Pembentukan unit pengelolaan hutan hendaknya mempertimbangkan skala ekonomis, agar unit-unit ini dapat menjadi unit usaha yang mandiri. Kemandirian ini diperlukan guna menghindari terjadinya kooptasi pengelolaan hutan secara nasional oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat menyebabkan pengelolaan hutan tidak efektif mencapai tujuan optimasi manfaat.

(21)

8.3. Saran Penelitian Lanjutan

Untuk mendukung pelaksanaan perubahan orientasi pengelolaan hutan menuju pengelolaan sumberdaya hutan secara keseluruhan, diperlukan berbagai penenlitian antara lain :

1. Selama 10 tahun terakhir perubahan sulit dilaksanakan dengan sempurna, untuk memfasilitasi terjadinya perubahan selanjutnya perlu diketahui faktor-faktor penyebab resistensi atas perubahan selain masalah struktural yang telah diketahui dari penelitian ini, perlu pula di dalami motivasi dan hambatan lain yang menyebabkan para pihak sulit menjalankan perubahan.

2. Perubahan kebijakan harus pula mempertimbangkan kapasitas untuk menanggung beban atas perubahan itu sendiri, untuk itu perlu diketahui beban yang akan timbul sebagai ongkos dari perubahan disamping manfaat yang akan diperoleh. Penting pula untuk dapat diidentifikasi siapa yang akan menanggung ongkos perubahan, agar dapat diformulasikan strategi perubahan yang paling rasional.

3. Inti dari perubahan adalah optimasi pengelolaan hutan, untuk itu diperlukan model-model optimasi pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan (KPHP), model optimasi pengelolaan hutan tingkat wilayah kabupaten dan model optimasi pengelolaan hutan tingkat wilayah provinsi atau pulau. Model-model tersebut sampai dengan saat ini belum dimiliki oleh pemerintah maupun pemerintah daerah.

(22)

4. Optimasi juga memerlukan perhitungan nilai hutan, untuk itu model valuasi hutan produksi yang memberikan nilai pada seluruh kekayaan yang ada di dalam hutan produksi, nilai barang publik dan ekternalitasnya. Model-model ini diperlukan untuk menghasilkan standar valuasi pada tingkat nasional dan wilayah, sebagai bahan kebijakan standardisasi valuasi hutan.

5. Perubahan orientasi dari kayu ke sumberdaya hutan memerlukan teknologi pengelolaan hutan yang berbeda. Sistem silvikultur yang selama ini berlaku adalah teknologi yang dikembangkan untuk keperluan produksi kayu, untuk itu sistem ini perlu diperkaya dengan teknik konservasi tanah dan air dan konservasi alam.

6. Standar akuntansi kehutanan perlu disempurnakan, oleh sebab itu diperlukan pengetahuan-pengetahuan untuk memberikan justifikasi pada arah perubahan yang seharusnya.

Gambar

Tabel 52.  Syarat-syarat Perlu Optimasi Pengelolaan Hutan Alam Produks                       pada Unit Manajemen Lestari

Referensi

Dokumen terkait

Arena yang kita tahu Zona Cinta itu adalah wilayah yang luas tentang cinta, kitapun juga menyadarinya bahwa jika kita membahas wilayah cinta itu sendiri pasti tidak akan

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah,

Hasil yang didapatkan menggunakan metode ANN pada beban puncak siang Penyulang Renon adalah nilai drop tegangan terbesar yang didapatkan sebesar ∆V = 0,3568 kV memiliki

Pemberian fraksi air ekstrak etanol kulit buah salak secara oral pada dosis 100, 150 dan 200 mg/kgBB mempunyai efek penurunan kadar glukosa darah pada tikus putih

Sementara kategori sikap kemandirian belajar siswa terhadap mata pelajaran Fisika menunjukkan : kategori sikap siswa selalu sebanyak 22.53 % (16 dari 71 siswa) atau

Tujuan penilitian yaitu untuk menentukan dosis HCG yang dapat mempercepat waktu laten pemijahan, dan meningkatkan persentase telur yang menetas dan kelangsungan

Hja bekerja berawal dari ketidakmampuan orang tuanya memenuhi kebutuhan sekolahnya seperti buku-buku Lembar Kerja Sekolah (LKS) yang harus dimiliki siswa. Setiap

(b) Jumlah permesinan atau peralatan pra- sarana bengkel praktik mekanik otomotif, yang digunakan sangat kurang atau tidak memenuhi syarat sebagaimana tertunjuk dari temuan