• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung. Angiotensin Receptor Blocker In Heart Failure

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung. Angiotensin Receptor Blocker In Heart Failure"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung

Mia Trihasna Asrizal

1

, Anggraeni Janar Wulan

2

1

Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

2

Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Abstrak

Gagal jantung menjadi penyakit yang umum diderita di dunia. Sekitar lima juta orang di Amerika Serikat (AS) menderita gagal jantung kronik, dimana jumlah tersebut didominasi oleh pasien di atas usia 65 tahun. Jumlah angka kematian yang disebabkan oleh gagal jantung kronik mendekati angka kematian yang disebabkan oleh penyakit keganasan sebesar 45-50%. Pemberian Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) menghambat sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA), menurunkan beban akhir, dan menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan rebound hypertension dan pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi profil lipid dan glukosa darah. Karena itu pemberian ARB dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti ACE-Inhibitor pada pasien yang tidak dapat menerima Inhibitor. Angiotensin Reseptor Blocker tidak menyebabkan batuk kering seperti ACE-Inhibitor. Tetapi sama hal nya dengan ACE-Inhibitor, ARB memiliki efek samping insufisiensi renal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Simpulan: pemberian ARB dapat memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan angka kematian pada penderita gagal jantung.

Kata kunci: angiotensin reseptor blocker, anti hipertensi, CHF, gagal jantung

Angiotensin Receptor Blocker In Heart Failure

Abstract

Heart failure is a common disease afflicting the world. About five million people in the United States (US) suffer from chronic heart failure, which amount was dominated by patients over the age of 65 years. The number of deaths caused by chronic heart failure approaching the number of deaths caused by malignant disease by 45-50%.Granting of Angiotensin Receptor Blocker (ARB) can hamper Renin-Angiotensin-Aldosteron system (RAAS), lower afterload, and lower blood pressure without affecting heart rate. The abrupt termination does not cause rebound hypertension and long-term administration does not affect lipid and blood glucose. Therefore granting of ARB can be considered as an alternative to ACE-Inhibitor in patients who can not tolerate ACE-Inhibitor. Angiotensin Receptor Blocker does not cause a dry cough like ACE-Inhibitor. But the same thing with ACE-Inhibitor, ARB can cause renal insufficiency, hiperkalemi, and orthostatic hypotension. Angiotensin Receptor Blocker can reduce mortality in patients with heart failure but should not be given to pregnant women. Conclusion: utilization of ARB can give a positive impact on patients with heart failure.

Keywords: angiotensin receptor blockers, antihypertensive, CHF, heart failure

Korespondensi: Mia Trihasna Asrizal, Alamat Jl. Sisingamangaraja No.4 Gedung Air, No. HP 081271111713, e-mail miatrihasnaasrizal@gmail.com

Pendahuluan

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian secara global. Pada tahun 2010, diperkirakan 17,3 juta penduduk

dunia meninggal akibat penyakit

kardiovaskular. Lebih dari 80% kematian akibat penyakit kardiovaskular terjadi di negara pendapatan rendah dan menengah.1 Menurut

Centre for Disease Control (CDC) sekitar 5,7 juta penduduk di Amerika Serikat memiliki penyakit gagal jantung. Penyakit gagal jantung merupakan penyebab utama dari 55.000 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat.2

Dari data kunjungan pasien rawat inap di bangsal perawatan penyakit jantung di RSUD Raden Mattaher Jambi pada tahun 2012 disebutkan bahwa gagal jantung merupakan penyakit ke-1 terbanyak. Data ini didasarkan

pada kunjungan pasien rawat inap di bangsal perawatan penyakit jantung pada tahun 2012.3

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada beberapa negara industri, maju, dan negara berkembang seperti Indonesia. Congestive Heart Failure (CHF) adalah penyakit kronis yang menimbulkan beban yang signifikan bagi klien dan keluarga penderita rawat jalan maupun bila dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang kompleks.4

Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler termasuk didalammya CHF masih menduduki peringkat yang tinggi. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika menderita CHF. American Heart Association (AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta

(2)

penduduk Amerika menderita gagal jantung. Asuransi kesehatan Medicare USA paling banyak mengeluarkan biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal jantung dan diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung setiap tahunnya di seluruh dunia.5

Dari hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit (SIRS, Sistem Informasi Rumah Sakit) menunjukkan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada gagal jantung yaitu sebesar 13,42%.6 Menurut ahli jantung Lukman

Hakim Makmun dari Divisi Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), di Indonesia data prevalensi gagal jantung secara nasional memang belum ada. Namun, sebagai gamba-ran, di ruang rawat jalan dan inap RSCM pada 2006 lalu didapati 3,23 % kasus gagal jantung dari total 11.711 pasien.6 Sedangkan pada

tahun 2005 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita CHF yang pada umumnya adalah lansia. Sebagian besar lansia yang didiagnosis CHF ini tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun.6

Gagal jantung menjadi penyakit yang umum diderita di dunia. Sekitar lima juta orang di Amerika Serikat menderita gagal jantung kronik, dimana jumlah tersebut didominasi oleh orang tua, dengan hampir 80% kasus terjadi pada pasien di atas usia 65 tahun. Namun demikian, beberapa studi telah menemukan bahwa gagal jantung kronik dikaitkan dengan angka kematian sekitar 45-50% selama kurun waktu dua tahun terakhir, jumlah ini mendekati angka kematian yang disebabkan oleh penyakit keganasan.7

Penyebab CHF secara pasti belum diketahui, meskipun demikian secara umum dikenal berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya gagal jantung. Kajian

epidemiologi menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang mendahului dan menyertai gagal jantung. Berdasarkan penelitian epidemiologis prospektif, misalnya penelitian Framingham memberikan gambaran yang jelas tentang gagal jantung. Pada studinya disebutkan bahwa kejadian gagal jantung per tahun pada orang berusia lebih dari 45 tahun adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan, dan ditemukan mortalitas pada gagal jantung selama lima tahun sebesar 62% pada laki-laki dan 42% pada perempuan.8

Gagal jantung adalah keadaan pada saat darah yang dipompakan dari jantung tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Gagal jantung juga dapat dikatakan sebagai gangguan proses biokimiawi dan biofisika jantung yang mengakibatkan rusaknya kontraktibilitas dan relaksasi miokard.9 Gagal jantung kronik

didefinisikan sebagai sindroma klinik komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, kelelahan, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema, dan tanda obyektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.10

Isi

Gejala terpenting dari gagal jantung berupa sesak napas (dyspnoe), yang semula pada waktu mengeluarkan tenaga, tetapi juga pada saat istirahat (berbaring) dalam kasus yang lebih berat. Gejala lain yang ditemukan antara lain edema yang disebabkan karena terlambatnya aliran darah kembali ke jantung.11

Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHA dan NYHA dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi Gagal Jantung Menurut AHA dan NYHA.12

Tahap ACC/AHA Kelas Fungsional NYHA

Tahap Deskripsi Kelas Deskripsi

A

Pasien mempunyai resiko tinggi

terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung

- -

B

Pasien yang telah mengalami penyakit jantung struktural, yang menyebabkan gangguan jantung tapi belum pernah menunjukkan tanda-tanda atau gejala gagal jantung

I (Ringan)

Tidak ada batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan rasa lelah, palpitasi atau sesak nafas yang tidak semestinya

C

Pasien yang memiliki atau sebelumnya pernah memiliki gejala-gejala gagal jantung yang disebabkan penyakit

II dan III (Sedang)

Ditandai keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat beristirahat, tapi aktivitas

(3)

struktural mengakibatkan rasa lelah, palpitasi, atau sesak nafas

D

Pasien dengan penyakit jantung

struktural tingkat lanjut dan gejala-gejala jantung pada istirahat, walaupun telah diberi terapi medis maksimal dan membutuhkan intervensi khusus

IV (Parah)

Tidak dapat melakukan aktivitas fisik

dengan nyaman. Gejala insufisiensi

kardiak pada istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan ketidaknyamanan bertambah

Penyembuhan beberapa penyakit

kardiovaskuler adalah dengan cara

pembedahan (surgery), sedangkan untuk penyakit jantung koroner dilakukan dengan cara melebarkan jantung dengan balon atau bedah pintas koroner.12

Pada umumnya tindakan dan

pengobatan gagal jantung ditujukan pada aspek pengurangan beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, serta tindakan/pengobatan khusus terhadap penyebab dan kelainan yang mendasari. Beban awal atau preload dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, atau vasodilator lain. Beban akhir atau afterload dapat dikurangi dengan vasodilator seperti Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin II Receptor Blocker (ARB), prazosin, hidralazin, dan lain-lain. Kontraktilitas miokard dapat ditingkatkan dengan inotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin.13

Angiotensin receptor blocker merupakan pendekatan lain untuk menghambat sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA). Penggunaan obat ini akan menghambat atau menurunkan sebagian besar efek kerja pada sistem tersebut. Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek penghambatan ACE pada jalur potensial lain yang memproduksi peningkatan bradikinin, prostaglandin, dan nitrit oksida (NO) dalam jantung, pembuluh darah, dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti ACE-Inhibitor pada pasien yang tidak dapat mentoleransi kerja dari ACE-Inhibitor.14

Golongan ARB yang digunakan dalam terapi gagal jantung adalah losartan, valsartan, dan kandesartan. Ketiga obat tersebut tidak memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain.15 Terdapat beberapa obat yang

termasuk golongan antagonis reseptor angiotensinogen II (AT II) antara lain kandesartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, dan valsartan.16

Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak

menimbulkan rebound hypertension.

Pemberian jangka panjang tidak

mempengaruhi lipid dan glukosa darah.17

Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin

Angiotensin Aldosterone System) yang

melibatkan ACE-inhibitor, dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACE-inhibitor hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui

RAAS, dimana ARB menghambat

angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaan ini, ACE-inhibitor hanya

menghambat sebagian dari efek

angiotensinogen II.

Angiotensin receptor blocker

menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe I (AT I) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia antara lain vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. Obat ini tidak memblok reseptor AT II. Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT II (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Efek samping pada ARB juga paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, obat ini tidak menyebabkan batuk kering seperti ACE-inhibitor. Sama halnya dengan ACE-inhibitor, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada penggunaan ACE-inhibitor. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. Angiotensin receptor blocker tidak boleh digunakan pada perempuan hamil.18 Karena berpotensi untuk

menimbulkan cacat fetus (intrauterine growth retardation) dan harus dihindari pada

(4)

perempuan yang diduga hamil atau berencana hamil.19

Data untuk metaanalisis ini didapatkan dari pencarian artikel pada MEDLINE (1966-2012), EMBASE (1988-2013), the Cochrane central register of controlled trials, bahan simposium, dan literatur lain. Data yang dimasukkan dalam metaanalisis ini adalah data uji klinik efek ACEI dan ARB pada pasien DM dan hubungannya dengan semua penyebab

kematian, kematian akibat masalah

kardiovaskuler, kejadian kardiovaskuler mayor dengan periode observasi minimal selama 12 bulan. Studi dengan desain crossover dieksklusi. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari 35 penelitian yang ada, 23 penelitian membandingkan ACEI dengan plasebo atau obat aktif, 13 penelitian sisanya membandingkan ARB dengan tanpa terapi pada 23.867 pasien. Ketika dibandingkan dengan kontrol, ACEI secara signifikan menurunkan risiko semua penyebab kemarian (risk of all-cause mortality) sebanyak 13% (RR, 0,87; 95% CI, 0,78-0,98), kematian kardiovaskuler sebesar 17% (0,83; 0,70-0,99), dan kejadian kardiovaskuler mayor sebesar 14% (0,86; 0,77-0,95), termasuk infark miokardium sebesar 21% (0,79; 0,65-0,95) dan gagal jantung sebesar 19% (0,81; 0,71-0,93). Sedangkan terapi ARB tidak mampu secara signifikan mempengaruhi penyebab seluruh kematian (all-cause mortality) (RR, 0,94; 95% CI, 0,82-1,08), angka kematian kardiovaskuler (1,21; 0,81-1,80), dan kejadian kardiovaskuler mayor (0,94; 0,85-1,01) kecuali pada gagal jantung (0,70; 0,59-0,82). Baik ACEI dan ARB tidak menurunkan risiko stroke pada pasien DM.20

Menurut PERKI, direkomendasikan untuk menurunkan risiko hospitalisasi gagal jantung dan kematian prematur pada pasien dengan fraksi ejeksi (EF) ≤ 40% dan pada pasien yang intoleran terhadap ACEI (pasien tetap harus mendapat penyekat beta dan Magnetic resonance angiography

(

MRA)). ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. Golongan ini direkomedasikan sebagai

alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.21

Indikasi pemberian ARB antara lain: fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI, ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACEI, namun tidak menyebabkan batuk. Sedangkan kontraindikasinya antara lain: sama seperti ACEI kecuali angioedema, pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI.21

Inisiasi pemberian angiotensin receptor blocker pada gagal jantung adalah sebagai berikut.

1. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 2. Dosis awal ( Candesartan 4/8 mg (1

x/hari), Valsartan (40 mg (2 x/hari) ). Naikan dosis secara titrasi

3. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia

4. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi ( dosis target: Candesartan 32 mg (1 x/hari), Valsartan 160 mg (2 x/hari) )

5. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali.21

Ringkasan

Pemberian ARB dapat memberikan dampak positif pada pasien gagal jantung. Obat ini akan bekerja pada jantung antara lain sebagai berikut: ARB dapat menurunkan afterload, menghambat sistem RAA yang tidak dapat dilakukan dengan pemberian ACEI, dan

menurunkan tekanan darah tanpa

mempengaruhi frekuensi denyut jantung.

Angiotensin Receptor Blocker dapat

dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti ACEI pada pasien yang tidak dapat mentoleransi kerja dari ACEI. Contoh obat

pada golongan ARB yang digunakan dalam terapi gagal jantung adalah losartan, valsartan, dan kandesartan. Ketiga obat tersebut tidak

(5)

memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain.

Terapi ARB tidak mampu secara signifikan mempengaruhi penyebab seluruh kematian (all-cause mortality), angka kematian kardiovaskuler, dan kejadian kardiovaskuler mayor kecuali pada gagal jantung. Baik ACEI dan ARB tidak menurunkan risiko stroke pada pasien DM.

Simpulan

Pemberian ARB dapat memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan angka kematian pada penderita.

Daftar Pustaka

1. WHO. The world health report 2012.

Ganeva: Mental Health New

Understanding; 2012.

2. Centre for Disease Control (CDC). Heart failure fact sheet; 2012. [diakses tanggal: 27 Januari 2016]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/dhdsp/data_statistics /fact_sheets/ fs_heart_failure.htm.

3. Desrina, Siska S. Karakteristik gambaran rontgen toraks konvensional pada pasien gagal jantung di rsud raden mattaher [tesis]. Jambi: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi; 2013. 4. Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL,

Jameson JL, Karper DL, Longo DL. et al. Harrison’s principles of internal medicine. Ed. 17. USA : McGrawHill; 2008.

5. American Heart Association. International cardiovascular disease statistics ; 2004. [diakses tanggal: 29 januari 2016].

Tersedia dari:

http://www.americanheart.org

6. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia. laporan nasional riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia; 2008.

7. Allen LA, O’Connor CM. Management of acute decompensated heart failure. Canadian Medical Association or its licensors. 2007; 176(6): 797-805.

8. Ihdaniyati, Atina I & Nur A. Hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif di rsu pandan arang boyolali. Berita Ilmu Keperawatan. 2008; 4(1): 163-8.

9. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M SS, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Pusat penerbitan ilmu penyakit dalam; 2010. Hlm. 1583-1584.

10. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD. ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The task force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 of the european society of cardiology. developed in collaboration with the heart. Eur Heart J [Internet]. 2013 [diakses tanggal: 29 januari 2016]; 32:641-61. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22 611136

11. Tjay TH, Raharja K. Obat-obat penting. Obat jantung. Jakarta: PT Elex Media Komputindo; 2007. Hlm. 585-606.

12. Siswanto, Bambang B. Accurate diagnoses, evidence based drugs, and new devices (3 ds) in heart failure. Med J Indonesia. 2012; 1(21):1-5.

13. Rilantono, Lily Ismudiati. Buku ajar kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. 14. Maggioni, AP. Review of the new esc

guidelines for the pharmacological management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplement. 2005; (Supplement J):J15-J20.

15. Muchid A, Umar F, Chusun, Masrul,

Wurjati R, Purnama NR, dkk.

Pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan; 2006.

16. Departemen kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia 2006. Jakarta: Depkes RI; 2006.

17. Nafrialdi, Setawati A. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. 18. Lonn E, McKelvie R. Drug treatment in

heart failure. BMJ. 2009; 320:1188-92. 19. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan. Pharmaceutical care untuk penyakit

(6)

hipertensi. Jakarta: Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 2006.

20. Majid, Abdul. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif di rumah sakit yogyakarta [tesis]. Jakarta: FIK

Universitas Indonesia; 2010.

21. Karo-Karo S, Rahajoe AU, Sulistyo S, Kosasih A. Buku panduan kursus bantuan hidup jantung lanjut indonesia. Jakarta:

Perhimpunan Dokter Spesialis

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi Gagal Jantung Menurut AHA dan NYHA. 12

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian analisis korelasi dengan menggunakan SPSS menunjukkan bahwa variabel yang memiliki hubungan dengan tingkat keberlanjutan Kawasan Konservasi Pantai Timur

Sedangkan factor manusia dapat berupa penebangan hutan yang disertai reboisasi,pengambilan tanah pada bukit- bukit yang terlalu berlebihan, pembangunan jalan yang

Dengan demikian, profesionalisme guru dalam penelitian ini adalah profesionalisme guru dalam bidang studi matematika, yaitu seorang guru yang memiliki kemampuan dan

Dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan diri, dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir (Shertzer & Stone

Pada pembuatan karakter manusia ke dalam 3D dengan menggunakan objek kotak pada software 3Ds max untuk memudahkan kita dalam pembuatan animasi 3D dengan parameter yang

TANGGAL PEMBANTU KODE DOKUMEN URAIAN AKUN DB AKUN KR DEBIT KAS..

Untuk pengawasan mutu proses produksi dilakukan untuk setiap tahapan proses, seperti dalam pengukusan kacang hijau tidak boleh sampai terlalu lunak, pada saat pemotongan

Kapten Rudi dari Adam Air, yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk menerima wawancara saya dalam menghimpun informasi dan data dalam penyusunan tesis ini;.. v