• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV LARANGAN NIKAH BAYO DALAM MASYARAKAT SIMPANG KALAM KABUPATEN PASAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV LARANGAN NIKAH BAYO DALAM MASYARAKAT SIMPANG KALAM KABUPATEN PASAMAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

69 1. Penyebab dilarangnya Nikah Bayo

Sumatera Barat mempunyai adat yang diistilahkan dengan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Ini merupakan suatu tiang yang dijadikan panduan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat dengan tanah Minangkabau yang religius. (Muslim, 2012: 3), diranah Minangkabau itu ada suatu keniscayaan bahwa “Mati Harimau tingga Balang, Mati Gajah Tingga Gadiang. Artinya adalah manusia mati hendaknya meningalkan jasa yang baik untuk anak keluarga dan masyarakat. (Muslim, 2012: 4)

Minangkabau dipimpin setidak-tidaknya oleh tiga unsur yang disebut dengan tali tigo sapilin yakni pertama unsur pemerintah yang diwakili oleh kepala nagari, kepala desa atau kepala laras (di zaman penjajahan), kedua unsur kaum adat yakni oleh para datuak dan niniak mamak, Syara’ mangato adat mamakai yakni ajaran agama dilaksanakan oleh adat, ketiga unsur pemimpin agama yang disebut dengan ulama suluh bendang dalam nagari, kapai tampek batanyo, kapulang tampek babarito yakni ulama menjadi pemberi cahaya ilmu dalam satu negeri dan tempat bertanya dari permasalahan kehidupan dalam masyarakat. (Muslim, 2012: 5)

Adat yang berlaku di Minangkabau diantaranya adalah adat nan sabana adat. Adat sebenar adat, sebenarnya berlaku bukan hanya di Minangkabau saja, melainkan juga diseluruh alam semesta ini. Oleh karena itu disepakati bahwa adat yang sebenarnya adat adalah hukum alam atau Sunnatullah, dan hukum Allah yang tertuang di dalam ajaran Islam. Untuk mengambil Alam Takambang Jadi Guru yakni alam semeta ini dijadikan sebagai guru. Adat minangkabau dapat menjamin kompatibilitasnya untuk

(2)

segala zaman dan demikian juga untuk menjaga kelangsungannya dihadapan budaya asing yang melanda masyarakat. Masuknya Agama Islam ke Minangkabau, juga telah melengkapi Adat Minang itu menjadi kesatuan yang mencakup unsur duniawi dan unsur transedental. (Muslim, 2012: 6)

Dalam masyarakat Minangkabau terdapat tiga unsur untuk menentukan arah serta menjaga kehidupan masyarakat agar tetap melestarikan adat yang disebut dengan Tungku Tigo Sajarangan yakni kongres segi tiga antara ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai, karena pepatah yang menyatakan kuaik rumah karano sandi, rusak sandi rumah binaso, kuaik bangso karano budi, rusak budi hancurlah bangso yakni kuatnya suatu bangsa akan ditentukan oleh kepribadian bangsa itu sendiri, kalau budi bangsanya telah hancur, berakibat kehancuran bangsa itu sendiri. (Muslim, 2012: 7)

Kecamatan Dua Koto mempunyai dua Kenagarian yaitu Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak. Simpang Kalam merupakan sebuah desa bagian dari Nagari Cubadak. Adat yang berlaku di Simpang Kalam ini adalah adat minangkabau dan uniknya bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Mandailing dan bermarga Mandailing. Sitem pernikahan yang di terapkan dalam masayarakat Simpang Kalam adalah adat sumando. Namun ada hal menurut penulis perlu penelitian yang terdapat di Simpang Kalam ini tentang pernikahan, karena ada adat yang menetapkan bahwa dilarang melangsungkan pernikahan antara keturunan Datuk Jalelo dengan keturunan Sutan Kebaikan yang diistilahkan dengan nikah bayo. Larangan pernikahan ini hanya terjadi di Simpang Kalam Jorong Sentosa Nagari Cubadak. (Hadimi, 2017)

Masyarakat Simpang Kalam Jorong Sentosa Nagari Cubadak Kecamatan Dua Koto Kabupaten Pasaman semuanya menganut agama Islam. Tradisi masyarakat Simpang Kalam yang menjadi syarat dari pernikahan adalah kedua calon mempelai harus beragama Islam, tidak sedarah, kedua

(3)

calon mempelai harus saling menghargai satu sama lain, tidak ada halangan untuk melakukan pernikahan. (sabwan, 2017)

Pernikahan merupakan hal yang sakral, karena dapat membolehkan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sebelumnya tidak diperbolehkan dan juga dengan pernikahan bisa memberikan ketenangan dalam diri seseorang. Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan, pasal 1 menyebutkan bahwa tujuan pernikahan itu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Islam juga menghendaki umatnya untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Dengan demikian dalam melaksanakan pernikahan tersebut, tidak ada yang melarang untuk melangsungkan pernikahan itu kecuali halangan atau mahram yang telah diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun, masyarakat di Simpang Kalam Jorong Sentosa melakukan larangan pernikahan antara keturunan Datuk Jalelo dan keturunan Sutan Kebaikan. Pada masa dahulu yaitu ketika agama Islam mula-mula masuk ke tanah minangkabau yaitu kira-kira tahun 1338 M. Seorang Raja dari Pagaruyung namanya Sutan Sari Pada yang hendak pergi perang ke Aceh dan singgah di Negeri Huta Siantar dekat panyabungan sekarang, dan disitulah mulainya keturunan Sutan Sari Pada dan membuat kerajaan namanya Raja Huta Siantar. (Yusriman, 2017)

Raja Huta Siantar adalah asal muasal dari kerajaan Sontang yang di Pasaman dan sampai daerah Simpang Kalam sekarang yaitu selaku Bosar, perangkat adat Rajo sontang. Dahulu dalam masyarakat Simpang Kalam, sebelum dipimpin oleh pimpinan adat yang bernama Sutan Marajo Bosar, bahwa yang menjadikan sebuah desa Simpang Kalam itu adalah nenek moyang yang namanya Mujo. (Yusriman, 2017)

(4)

Mujo bersama kaumnya mendirikan sebuah desa Simpang Kalam yang datang dari Muara Mais menuju Cubadak. Pada awalnya Mujo tinggal di Banjar Tonga di seberang sungai Batang Pasaman/ Lubuk Kayuara namanya sekarang. Sebagai bukti awalnya Mujo datang ke Simpang Kalam sampai sekarang masih ada Batu lebih kurang satu meter yaitu batu landasan yang ia gunakan sebagai landasan membuat peralatan dari besi, karena ia adalah seorang ahli membuat alat-alat dari besi seperti: Parang, Pisau, Cangkul dan lain-lain sebagainya. (Yusriman, 2017)

Pada waktu untuk menjadikan sebuah kampung, ada beberapa faktor yang perlu disepakati atau sebagai syarat menjadi suatu desa. Pertama, adanya Rumah Gadang tempat bermusyawarah. Kedua, Batabuh balarangan. Ketiga, Batapian tempat mandi terpisah laki-laki dengan perempuan. Keempat, Basyuro tempat mengaji. Kelima, Bapandam Pekuburan. Semua persyaratan ini telah ada maka dibentuklah sebuah desa yang dinamakan dengan Simpang Kalam. Pada awalnya desa Simpang Kalam dipimpin oleh Marajo Bosar, kemudian ia mengangkat Sutan Kebaikan sebagai Ninik Mamak. Disamping itu juga Marajo Bosar menunjuk Datuk Jalelo yang merupakan saudara kandung dari Sutan Kebaikan itu sendiri sebagai pembantu Sutan Kebaikan dalam mengurus sanak kemenakannya. (Ramli, 2017)

Masyarakat Simpang Kalam tidak boleh nikah-menikahi antara cucu kemanakan Sutan Kebaikan dan Datuk jalelo yang diistilahkan dengan Marbayo. Dilarangnya menikah antara kedua keturunan ini adalah sebagai alasannya menurut Yusriman yang mengampu jabatannya selaku Sutan Marajo Bosar mulai dari tahun 1998 sampai sekarang yaitu suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang melibatkan dua individu (keluarga atau kaum) yang sudah menjadi perjanjian atau sumpah orang tua-tua dahulu yang tidak boleh nikah-menikahi diantara kedua cucu kemanakan tersebut. Terhadap orang yang melanggar sumpah atau mengingkari

(5)

perjanjian tersebut akan mendapat sumpahnya yaitu Kaateh Indak Bapucuak Kabawah Indak Baurek di Tangah-tangah di Ciriak Kumbang, artinya tidak boleh tinggal di desa itu dan tentang sanksi tidak akan pernah bisa terbayar kecuali kalau sudah cerai. (Ramli, 2017)

Orang yang melanggar aturan pernikahan tersebut juga akan mendapatkan dampak negatif yaitu berupa keluarga yang tidak akan kekal atau langgeng menurut hukum adat yang berlaku di Simpang Kalam, dan hal tersebut tidaklah sesuai dengan tujuan pernikahan. Disamping itu juga para pemangku adat membuat aturan bahwa siapa yang melakukan pelanggaran terhadap aturan itu dan dibuang dari adat (diusir dari kampung) yang diatur dalam aturan adat Simpang Kalam dengan cara diundang ke rumah gadang, dan pemangku adat yang bersangkutan akan menyampaikan kepada Sutan Kebaikan dan Datuak Jalelo bahwa mulai ketika itu sanak kemenakannya dibuang dari adat dan tidak boleh tinggal di Simpang Kalam tersebut, dan akan dimasukkan kembali ke dalam adat apabila tidak bersama lagi artinya sudah cerai dalam pernikahan orang yang melakukan aqad nikah tersebut. (Sabwan, 2017)

Masyarakat Simpang Kalam juga meyakini bahwa orang yang melanggar Sumpah tersebut, jika sudah dinyatakan di rumah gadang dan resmi keluar dari adat atau diusir dari kampung. Apabila pelanggar itu masih tinggal juga dikampung dan tidak mau pergi dari kampung tersebut, dalam selang beberapa bulan pasti ada yang akan menjemputnya yaitu binatang buas berupa Harimau atau diistilahkan masyarakat Simpang Kalam dengan Natoras. Artinya orang tua-tua yang telah meninggal itu yang akan menjemputnya ke kampung tersebut, dan ini masih diyakini oleh masyarakat Simpang Kalam hingga saat ini dan itu benar-benar terjadi adanya. (Ramli, 2017)

Menurut penjelasan dari Ramli salah satu perangkat adat yang mengampu jabatan sekarang dengan Datuk Jalelo bahwa baru saja terjadi

(6)

pada tahun 2008 yang silam. Orang yang melanggar pernikahan tersebut dan tidak mau diusir dari kampung itu, artinya ia tetap bertahan dikediamannya walaupun sudah resmi dinyatakan oleh pimpinan adat untuk keluar dari adat dan diusir dari kampung. Harimau atau yang disebut masyarakat Simpang Kalam dengan Natoras itu menjemputnya di Siang hari ketika ia hendak memberi makan anjingnya dibelakang rumah, setelah diketahui oleh istrinya bahwa ia melihat sudah ada cakaran dilehernya dan meninggal dunia. (Ramli, 2017)

Selama dibuang dari adat tersebut, tidak diizinkan masuk dalam kampung apalagi untuk duduk bersama dalam acara yang berbau adat dan apabila meninggal dunia tidak akan dipukulkan tabuah yang merupakan kebiasaan juga bagi masyarakat di Simpang Kalam Jorong Sentosa. Memukul tabuh sebagai pertanda kabar duka atau pertanda bahwa ada salah seorang dari masyarakat tersebut yang meninggal dunia. Bagi yang dibuang dari adat juga tidak boleh memangku jabatan sebagai tokoh adat di masyarakat Simpang Kalam Jorong Sentosa, baik menjadi Imam Adat, Ninik Mamak, Bundo Kandung dan sebagainya. (Sabwan, 2017)

Adanya larangan nikah tersebut dan alasan-alasan yang demikian itu, oleh masyarakat Simpang Kalam Jorong Sentosa dipegang teguh hingga sekarang ini, kecuali nikahnya itu dianggap terpaksa atau nikah karena sudah terlajur melakukan perbuatan terlarang (zina). Sebagai akibatnya berupa keluarga yang tidak bertahan lama dan cacat itu benar-benar terjadi dan begitu juga dengan yang dijemput oleh Natoras tersebut. (Ramli, 2017)

Larangan nikah bayo ini berlangsung semenjak dari dulu. Menurut keterangan yang didapatkan penulis dari Sabwan yang merupakan ninik mamak di Simpang Kalam mengatakan pelarangan ini mulai dari orang-orang tua dulu sekitar tahun 1676. Mulai dari ditetapkan larangan nikah bayo ini oleh para tokoh adat dimasa itu, sampai saat sekarang ini di pegang teguh oleh masyarakat Simpang Kalam. Seandainya ada yang melangsungkan nikah

(7)

bayo tersebut maka keluarganya tidak akan bertahan lama karena dianggap keramat oleh masyarakat Simpang Kalam. (Sabwan, 2017)

2. Respon Masyarakat terhadap Larangan Nikah Bayo

Seiring dengan perkembangan zaman, dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Pola fikir masyarakat tentunya sudah berbeda dalam menilai sesuatu, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari segi pendapat seseorang. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya pendapat masyarakat terhadap permasalahan nikah bayo yang terjadi di Simpang Kalam.

Melalui wawancara yang dilakukan penulis kepada masyarakat Simpang Kalam terhadap larangan nikah bayo, maka penulis menemukan tanggapan atau respon masyarakat, yaitu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Untuk lebih jelasnya lihat tabel dibawah ini:

Tabel 8

Respon masyarakat terhadap larangan nikah bayo

No Responden Setuju Tidak setuju

1 Miswatan (56 Tahun) Setuju -

2 Iyel (42 Tahun) Setuju -

3 Maddirin (53 Tahun) - Tidak setuju 4 Taidung (45 Tahun) - Tidak Setuju

5 Sabwan (53 Tahun) Setuju -

6 Ahmad Rijal (47 Tahun) Setuju - (Wawancara, 2017)

Adapun alasan masyarakat yang menyetujui itu adalah:

Pertama, penulis mewawancarai salah satu tokoh masyarakat, beliau mengatakan bahwa nikah itu dapat memelihara kemurnian adat yang ditetapkan oleh para leluhur. Adat yang ditetapkan oleh para leluhur selalu dijaga oleh masyarakat dengan alasan ketetapan itu ditetapkan untuk menjaga kemaslahatan. (Miswatan, 2017)

(8)

Kedua, pendapat dari Imam Khatib beliau berpandangan bahwa menyetujui larangan nikah bayo karena dianggap lebih besar mudharat dari pada manfaat. Kemudharatan nikah bayo itu tidak hanya ditanggung oleh orang yang melanggar saja, akan tetapi juga dirasakan oleh masyarakat Simpang Kalam serta keluarga dari orang yang melakukan nikah bayo itu bahkan sampai kepada anak cucunya akan terkucil ditengah-tengah masyarakat. (iyel, 2017)

Ketiga, Pendapat dari ninik mamak yaitu dengan adanya larangan nikah bayo, akan mengakibatkan hubungan kekeluargaan yang banyak dengan cara menikah dengan orang yang berasal dari desa lain atau diluar dari Simpang Kalam. Melalui pernikahan itu akan menjadikan secara otomatis keluarga yang berasal dari tempat lain itu menjadi bahagian keluarga orang Simpang Kalam, karena pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua hati akan tetapi menyatukan dua keluarga atau kaum. (Sabwan, 2017)

Keempat, Tanggapan dari salah satu tokoh masyarakat beliau mengatakan bahwa kalau yang namanya sudah persumpahan dan perjanjian, itu harus disetujui dan tidak bisa diganggu gugat, karena dampak dari larangan nikah bayo ini benar-benar nyata kejadiannya, makanya harus diikuti. (Rijal, 2017)

Adapun alasan masyarakat yang tidak setuju dengan larangan nikah bayo ini adalah:

Pertama, Dilihat dari segi pandangan agama tidak ada ayat dan hadis yang menyatakan adanya larangan nikah bayo, dengan demikian orang yang menyetujui adanya larangan nikah bayo berarti lebih mengedepankan para leluhur dibandingkan dengan agama. (Maddirin, 2017)

Kedua, larangan nikah bayo ini kalau untuk zaman sekarang menurut saya sudah tidak efektif lagi untuk dijalankan, memang pada awalnya antara

(9)

Sutan Kebaikan dan Datuk Jalelo bersaudara namun pada saat sekarang keturunannya itu sudah banyak dan berkembang, antara seorang telah boleh menikah dengan yang lain namun masih tetap dilarang oleh adat. (Taidung, 2017)

3. Dampak yang Terjadi Bagi Pihak Keturunan Sutan Kebaikan dan Keturunan Datuk jalelo

Dampak yang terjadi bagi pihak keturunan Sutan Kebaikan dan keturunan Datuk Jalelo terhadap larangan nikah bayo ini, dapat dilihat dari dua macam, yaitu:

3.1 Dampak Psikologis

Secara psikologis dampak yang timbul akibat dari larangan nikah bayo ini adalah akan memberikan kecacatan mental dan keterpurukan bagi pelaku, karena dengan adanya berupa sanksi dari pernikahan bayo tersebut. Akibat itu bukan hanya pelaku saja yang menerimanya akan tetapi keluarga atau anak cucu dari pasangan yang melakukan nikah bayo itu. Ulah nikah bayo yang telah dilakukan oleh orang tuanya maka anak yang menjadi sasaran.

Hukum adat yang berlaku di Simpang Kalam Jorong Sentosa Nagari Cubadak akan memandang dengan mata hukum adat terhadap anak-anak dari pelaku nikah bayo akan berbeda dengan anak-anak yang lain. Perbedaan itulah yang mengakibatkan cacat mental bagi anak pelaku nikah bayo dibandingkan dengan anak-anak lain. Tekanan mental ini membuat anak keturunannya tidak percaya diri dalam berbuat dan bertindak di tengah-tengah masyarakat. (Azizan, 2017)

3.2 Dampak Sosial

Dampak sosial dari adanya larangan nikah bayo di Simpang Kalam ini sangat berdampak sekali terhadap kehidupan bermasyarakat. Pasangan yang melakukan nikah bayo akan diberikan sanksi berupa diusir dari kampung

(10)

dan dikeluarkan dari adat serta tidak dibenarkan untuk ikut campur masalah adat. (Ramli, 2017)

Secara sosial hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lain sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri atau masih membutuhkan bantuan dari orang lain. Kehidupan sosial itulah yang hilang bagi pasangan suami isteri yang melakukan nikah bayo, apapun yang terjadi bagi keluarga mereka yang bersangkutan dengan adat baik dan buruknya masyarakat tidak ingin tahu. (Azizan, 2017)

Dampak sosial dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya pasangan yang melakukan nikah bayo saja yang merasakan melainkan sampai kepada anak cucunya. Andai saja anak keturunannya meninggal dunia, maka tidak akan dibunyikan tabuh yang merupakan kebiasaan adat masyarakat Simpang Kalam untuk memberitakan duka. Demikian juga anak keturunannya ingin melakukan pernikahan, maka tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan adat Simpang Kalam, karena orang tuanya telah dibuang dari adat. Adapun acara-acara yang lain seperti mangido ubat nieme (Doa bersama di mesjid kalau mau turun kesawah dan sampai dua kali dalam satu tahun), manjalang (penutupan hari raya atau bersimaaf-maafan antara mamak dengan mamak, ninik mamak dengan mamak-mamak dan cucu kemanakan sekampung) tidak boleh diikut sertakan keturunan dari pelaku nikah bayo tersebut. (Azizan, 2017)

Pasangan yang melakukan nikah bayo akan merasakan betul keterpurukan dan merasa dikucilkan, karena apapun bentuk acara adat yang ada di Simpang Kalam tidak bisa diikuti dan tidak diperkenankan untuk mengikutinya. (Azizan, 2017)

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan formil sebagaimana terurai di atas, dalam perkara aquo, disamping ada kepentingan hukum Para Pemohon, juga

Pada tahap implementasi Aplikasi Barbershop Berbasis Android, ditentukan batasan agar sesuai dengan hasil analisis dan perancangan perangkat lunak yang akan

Dari skala liekert di atas dapat disimpulkan bahwa responden merngakui bahwa Saya kesal jika pembawa acara MANTAP menggunakan kata- kata yang sulit dimengerti, karena

10 Minél hosszabb az ilyen felsorolás, annál inkább az az érzése az ügyfélnek, hogy ez éppen olyan, mint a gyógyszer mellett a tájékoztató; minden lehetséges

Masyarakat kampung Mahmud juga sangat kental dengan aturan dalam adat istiadat yang sangat di hormati oleh masyarakat sekitar (pantrangan), karena siapapun yang melanggar

Instrumen Asesment Aspek yang diukur Skala BB MB BSH BSB 4.3.1 Anak menggambar benda yang sesuai dengan warna yang disebutkan oleh guru Anak tidak melakukan

Hubungan yang positip antara risiko dan tingkat keuntungan dipertimbangkan dalam penilaian investasi (Husnan dan Suwarsono, 1994). Para investor akan memilih investasi

Buku Pedoman Standar Nasional Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) disusun sebagai acuan bagi penanggung jawab program PKPR di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota