• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA RENA YUNITA RAHMAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA RENA YUNITA RAHMAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013"

Copied!
325
0
0

Teks penuh

(1)

P R O S P E K P E R D A G A N G A N G U L A I N D O N E S I A

DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN

PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA

RENA YUNITA RAHMAN

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

PROS PE K PE RDAGANGAN GULA INDONESI A DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN

PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan oleh sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2013

Rena Yunita Rahman NRP H353100061

(3)

ABSTRACT

RENA YUNITA RAHMAN. Prospect of Indonesian Sugar Trade in the Implementation of ASEAN-China Free Trade Agreement Framework (BONAR M. SINAGA as the Chairman and SRI HERY SUSILOWATI as a Member of the Advisory Committee).

Sugar is an important and strategic commodity because it is one of the main foodstuff and sugar cane as a raw material of sugar produced by a large part of farmers in Indonesia. Globalization and unfair trade, including sugar trade, will affect the development of the sugar industry in Indonesia. Implementation of Asean-China Free Trade Agreement will reduce and eliminate tariff and non-tariff barriers. Domestic production of sugar has not been able to fulfill the high demand for sugar in Indonesia. The objectives of study are to analyze the factors which influence demand for and supply of sugar in domestic and world markets, to evaluate the impact of economic policy in agricultural sector on the performance of Indonesian sugar trade for the period 2004-2010, and to forecast the impact of economic policy in agricultural sector and external factor on the performance of Indonesian sugar trade for the period 2011-2014 and 2015-2020. Indonesian Sugar Trade Model was constructed as a simultaneous equations system and estimated by 2SLS method with SYSLIN procedure. Historical and forecasting were simulated using NEWTON method with SIMNLIN procedure. Indonesian sugar import from China is more responsive than Indonesian sugar import from Thailand to changes in sugar import tariff, but the share of Indonesian sugar import from Thailand larger than Indonesian sugar import from China so that reducing import tariff policy will increase sugar import from Thailand larger than China. Elimination of import tariff will increase consumer’s surplus higher than decreasing of producer’s surplus but net surplus decrease because government’s tariff revenue also decrease. This study suggest that to increase sugar consumer’s and producer’s welfare (net surplus) the combinations of reducing sugar import tariff, increasing price of sugar, expansion of sugar cane plantations and strengthening the role of State Logistics Agency could be an appropriate policy instruments.

Keywords : sugar industry, ACFTA, import tariff, producer’s and consumer’s surplus

(4)

RINGKASAN

RENA YUNITA RAHMAN. Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan SRI HERY SUSILOWATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Gula adalah komoditas penting dan strategis karena sebagai salah satu bahan makanan pokok dan bahan baku gula dihasilkan oleh sebagian besar petani di Indonesia. Globalisasi dan perdagangan yang tidak fair, termasuk perdagangan gula, akan mempengaruhi pengembangan industri gula di Indonesia. Implementasi Perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) diwujudkan dengan pengurangan dan penghapusan hambatan tarif dan non-tarif. Kebutuhan gula di Indonesia belum mampu dipenuhi oleh produksi gula dalam negeri sehingga kecenderungan impor gula di Indonesia semakin meningkat. Permasalahan yang terjadi dalam industri gula nasional tidak hanya on farm tetapi juga off farm. Di sisi on farm masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya produktivitas gula disamping masalah ketersediaan lahan, sedangkan masalah off farm terutama berkaitan dengan rendahnya inefisiensi pabrik gula (Kementerian Perindustrian, 2009).

Selama hampir setengah dekade penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat semakin memperkuat kekhawatiran dan ketidakberdayaan Indonesia yang tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Pemerintah melalui beberapa kementerian dan instansi telah melakukan usaha-usaha guna meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Dalam perjanjian ACFTA, komoditas gula dikategorikan sebagai komoditas High Sensitive List (HSL) sehingga masih diperbolehkan adanya intervensi pemerintah berupa tarif dan akan mengalami penurunan atau penghapusan tarif menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Ditjen KPI, 2005).

Penurunan atau penghapusan tarif impor dapat menjadi ancaman dengan semakin banyaknya gula impor yang akan memenuhi pasar dalam negeri. Untuk mengantisipasi terjadinya perubahan faktor lingkungan internal dan eksternal dalam membangkitkan kembali industri gula nasional dalam era perdagangan bebas ACFTA maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan-kebijakan periode historis dan strategi kebijakan antisipatif di masa mendatang sehingga pengembangan industri gula nasional lebih berdayaguna baik bagi kesejahteraan produsen, konsumen maupun perekonomian nasional.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2) mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2004-2010, dan (3) meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020.

(5)

Model Perdagangan Gula Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan yang terdiri dari dua blok, yaitu blok pasar gula Indonesia dan blok pasar gula dunia. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 30 persamaan dengan 20 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Model terdiri dari 30 variabel endogen dan 74 predetermined variable yang terdiri dari 15 lag variabel endogen dan 59 variabel eksogen, sehingga total variabel dalam model adalah 104 variabel. Jumlah variabel yang paling banyak dalam suatu persamaan adalah 7 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan bahwa setiap persamaan struktural yang terdapat dalam model adalah

over identified. Selanjutnya, model diestimasi menggunakan metode 2SLS dengan

prosedur SYSLIN. Simulasi historis dan peramalan menggunakan metode NEWTON dengan prosedur SIMNLIN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan rentang waktu tahun 1981–2010.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas gula hablur baik pada perkebunan tebu besar negara, swasta, dan rakyat kurang responsif terhadap peningkatan luas areal perkebunannya. Respon permintaan gula rumah tangga terhadap peningkatan harga riil gula eceran juga inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sedangkan penurunan permintaan gula industri tidak dipengaruhi secara nyata oleh peningkatan harga riil gula tingkat pedagang besar. Impor gula Indonesia dari China lebih responsif dibandingkan impor gula Indonesia dari Thailand terhadap perubahan tarif impor gula, tetapi pangsa impor gula Indonesia dari Thailand lebih besar daripada pangsa impor gula dari China. Ekspor gula Brazil lebih responsif dibanding ekspor gula Thailand terhadap perubahan produksi gula negara tersebut. Perilaku impor gula negara importir gula (India, Amerika, dan China) dipengaruhi secara nyata oleh harga riil gula dunia.

Evaluasi dampak kebijakan ekonomi disektor pertanian yang meliputi peningkatan harga gula sebesar 25 persen, peningkatan harga pupuk sebesar 33 persen, penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal 20 persen, dan penurunan kuota impor 50 persen meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kecuali pada kebijakan penurunan tarif impor gula 49 persen. Alternatif kebijakan yang memberikan kondisi terbaik adalah kebijakan peningkatan harga gula 25 persen karena memberikan peningkatan kesejahteraan konsumen dan produsen (net surplus) paling besar, terutama bagi petani perkebunan rakyat.

Peramalan penghapusan tarif impor gula akan meningkatkan surplus konsumen yang lebih besar dari penurunan surplus produsen tetapi kesejahteraan masyarakat (net surplus) menurun karena penerimaan pemerintah dari tarif impor juga menurun. Pemerintah sebaiknya memilih opsi menurunkan tarif sampai dengan 50 persen sesuai dengan ketentuan yang masih diperbolehkan dalam perjanjian ACFTA. Untuk meningkatan kesejahteraan konsumen dan produsen gula (net surplus) maka sebaiknya dilakukan kebijakan kombinasi penurunan tarif impor, peningkatan harga gula petani, peningkatan luas areal perkebunan tebu, dan penguatan peran BULOG.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

P R O S P E K P E R D A G A N G A N G U L A I N D O N E S I A

DALAM IMPLEMENTASI KERANGKA PERJANJIAN

PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA

RENA YUNITA RAHMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Pimpinan Ujian Tesis/Wakil PS.EPN : Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

(9)

Judul Tesis : Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China

Nama Mahasiswa : Rena Yunita Rahman Nomor Pokok : H353100061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua

Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, MS Anggota

Mengetahui : 2. Koordinator Mayor

Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China”. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, MS selaku anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan kepada penulis dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.

2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis yang telah memberikan banyak masukan bagi perbaikan tesis ini.

3. Kepala Sekretariat Dewan Gula Indonesia (DGI) beserta staf atas bantuan data dan informasi yang diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian tesis.

4. Dr. Ir. Evita Soliha Hani, M.P., Ir. Anik Suwandari, M.P., Dr. Ir Yuli Hariyati, M.S., dan seluruh staf pengajar Program Studi Agribisnis Universitas Jember atas perhatian dan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan studi.

5. Orang tua penulis, Saiful Rahman dan Indah Susilowati, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis selama menyelesaikan studi.

6. Seluruh saudara-saudariku tercinta (Novi Yulia Rahman, Kusnandar Hidayat, Dian Rosita Rahman dan Arif Rahman Hakim) atas doa, perhatian, dan kasih sayang yang tulus sehingga penulis mampu menyelesaikan studi.

(11)

7. Fajar Andika, S.E atas doa, perhatian, semangat, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis selama menyelesaikan studi. 8. Teman-teman mahasiswa di Program studi EPN Angkatan 2010 (Mba Erni,

Mba Fanny, Mba Kanti, Mas Danil, Mas Ardhiyan, dan Pak Ujang) atas kebersamaan, perhatian, dan dukungan hingga perjuangan ini dapat kita lalui tahap demi tahap.

9. Teman-teman Wisma Bintang (Mba Isra, Mba Lisda, Mba Reikha, Nana, Novita, Dea, Nining, Iip, Depta, Pia, Mitha, dan Mey) atas motivasi, semangat, dan bantuannya selama penyelesaian tesis ini.

10. Seluruh staf kependidikan di Mayor Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (Mba Ruby, Mba Yani, Pak Johan, Ibu Kokom, dan Pak Husen) yang membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi ini. 11. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat

disebutkan satu per satu.

Semoga segala doa, bantuan, semangat, perhatian, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari penelitian ini masih banyak keterbatasan dan kekurangan. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi para pengguna dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan inspirasi untuk penelitian berikutnya.

Bogor, Februari 2013 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 28 Februari 1988. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Saiful Rahman dan Indah Susilowati. Pada Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jember dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jember. Selama kuliah penulis aktif menjadi asisten pada Laboratorium Ekonomi Pertanian. Penulis menyelesaikan program sarjana pada tahun 2010 dengan predikat lulusan terbaik. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi Pascasarjana pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN). Pada tahun 2011 penulis memperoleh Bakrie Graduate

Fellowship dari Bakrie Center Foundation yang membantu penulis dalam

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ...xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia ... 13

2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia ... 16

2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia ... 19

2.4. Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free Trade Area ... 28

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu ... 32

III. KERANGKA TEORITIS ... 37

3.1. Fungsi Permintaan Gula ... 37

3.1.1. Permintaan Gula oleh Rumah Tangga ... 38

3.1.2. Permintaan Gula oleh Industri ... 40

3.2. Fungsi Impor Gula ... 41

3.3. Respon Bedakala Produksi Komoditas Pertanian ... 43

3.4. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Perdagangan Gula ... 44

3.4.1. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk ... 45

3.4.2. Kebijakan Harga Patokan Petani Gula... 46

3.4.3. Kebijakan Tarif Impor Gula ... 47

(14)

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS ... 53

4.1. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data ... 53

4.2. Spesifikasi Model Perdagangan Gula ... 53

4.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu Indonesia ... 55

4.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia ... 56

4.2.3. Produksi ... 58

4.2.3.1. Produksi Gula Kristal Putih ... 58

4.2.3.2. Produksi Gula Indonesia ... 58

4.2.4. Penawaran Gula Indonesia ... 59

4.2.5. Permintaan Gula Indonesia ... 59

4.2.5.1. Permintaan Gula Rumah Tangga ... 59

4.2.5.2. Permintaan Gula Industri ... 60

4.2.5.3. Permintaan Gula Indonesia ... 61

4.2.6. Harga Gula Indonesia ... 61

4.2.6.1. Harga Gula Tingkat Petani ... 61

4.2.6.2. Harga Gula Tingkat Pedagang Besar ... 62

4.2.6.3. Harga Eceran Gula Indonesia ... 63

4.2.6.4. Harga Impor Gula Indonesia ... 63

4.2.7. Impor Gula Indonesia ... 64

4.2.7.1. Impor Gula Indonesia dari Thailand ... 64

4.2.7.2. Impor Gula Indonesia dari China ... 64

4.2.7.3. Total Impor Gula Indonesia ... 65

4.2.8. Ekspor Impor Gula Dunia ... 65

4.2.8.1. Ekspor Gula Brazil ... 65

4.2.8.2. Ekspor Gula Thailand ... 66

4.2.8.3. Total Ekspor Gula Dunia ... 66

4.2.8.4. Impor Gula India ... 67

4.2.8.5. Impor Gula Amerika Serikat ... 67

4.2.8.6. Impor Gula China... 68

4.2.8.7. Total Impor Gula Dunia ... 68

4.2.9. Harga Gula Dunia ... 69

(15)

4.3.1. Identifikasi Model ... 69

4.3.2. Metode Estimasi Model ... 70

4.3.2.1. Uji Statistik F ... 71

4.3.2.2. Uji Statistik-t ... 71

4.3.2.3. Uji Statistik Durbin-h ... 72

4.3.3. Validasi Model ... 73

4.3.4. Simulasi Model ... 74

4.3.4.1. Simulasi Historis (Ex Post Simulation) ... 74

4.3.4.2. Simulasi Peramalan (Ex Ante Simulation) ... 76

4.3.5. Metode Peramalan ... 79

4.4. Analisis Perubahan Indikator Kesejahteraan ... 80

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA ... 83

5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia ... 83

5.2. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Impor, dan Stok Gula Indonesia ... 85

5.2.1. Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi ... 85

5.2.2. Konsumsi Gula Rumah Tangga dan Industri ... 86

5.2.3. Impor Gula Indonesia ... 87

5.2.4. Stok Gula Indonesia ... 89

5.3. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Gula Dunia ... 91

5.4. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia ... 92

5.4.1. Produksi Gula Dunia ... 92

5.4.2. Konsumsi Gula Dunia ... 94

5.5. Ekspor dan Impor Gula Dunia ... 95

5.5.1. Ekspor Gula Dunia ... 95

5.5.2. Impor Gula Dunia ... 97

5.6. Impor Gula Indonesia ... 98

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA 101 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model ... 101

(16)

6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran dan Permintaan

Gula di Pasar Domestik dan Dunia ... 102

6.2.1. Areal Perkebunan Tebu Indonesia ... 102

6.2.2. Produktivitas Gula Hablur Indonesia ... 106

6.2.3. Permintaan Gula Indonesia ... 111

6.2.3.1. Permintaan Gula Rumah Tangga ... 111

6.2.3.2. Permintaan Gula Industri ... 113

6.2.4. Harga Gula Indonesia ... 115

6.2.4.1. Harga Riil Gula Tingkat Petani ... 115

6.2.4.2. Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar ... 116

6.2.4.3. Harga Riil Gula Eceran ... 117

6.2.4.4. Harga Impor Riil Gula Indonesia ... 118

6.2.5. Impor Gula Indonesia ... 119

6.2.5.1. Impor Gula Indonesia dari Thailand ... 120

6.2.5.2. Impor Gula Indonesia dari China ... 121

6.2.6. Ekspor Impor Gula Dunia ... 123

6.2.6.1. Ekspor Gula Brazil ... 123

6.2.6.2. Ekspor Gula Thailand ... 124

6.2.6.3. Total Ekspor Gula Dunia ... 125

6.2.6.4. Impor Gula India ... 126

6.2.6.5. Impor Gula Amerika Serikat ... 127

6.2.6.6. Impor Gula China... 129

6.2.6.7. Total Impor Gula Dunia ... 131

6.2.7. Harga Riil Gula Dunia ... 131

VII. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2004-2010... 133

7.1. Evaluasi Daya Prediksi Model ... 133

7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia ... 133

7.2.1 Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani ... 134

7.2.2 Peningkatan Harga Pupuk ... 136

(17)

7.2.4 Penurunan Tarif Impor Gula ... 141

7.2.5 Penurunan Kuota Impor Gula ... 143

7.3. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2005-2010 ... 145

VIII. PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTANIAN DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TAHUN 2011-2014 dan 2015-2020... 151

8.1. Peramalan Dampak Kebijakan terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia ... 151

8.1.1. Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian ... 152

8.1.1.1. Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani ... 152

8.1.1.2. Penguatan Peran BULOG ... 154

8.1.1.3. Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu ... 156

8.1.1.4. Swasembada Absolut Gula ... 158

8.1.1.5. Penghapusan Tarif Impor Gula ... 161

8.1.1.6. Penurunan Tarif Impor Gula ... 163

8.1.2. Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal ... 168

8.1.2.1. Peningkatan Produksi Gula China ... 168

8.1.2.2. Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil ... 170

8.1.3. Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian 172 8.1.3.1. Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula Tingkat Petani ... 172

8.1.3.2. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Luas Areal Perkebunan ... 175

8.1.3.3. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula ... 178

8.1.3.4. Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, Luas Areal, dan Stok Gula ... 180

8.2. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia ... 183

8.2.1. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian ... 183

8.2.2. Peramalan Dampak Simulasi Tunggal Perubahan Faktor Eksternal ... 193

(18)

8.2.3. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi

di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Ekstrnal ... 196

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ... 203

9.1. Kesimpulan ... 203

9.2. Saran ... 205

9.2.1. Saran Kebijakan ... 205

9.2.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 206

DAFTAR PUSTAKA ... 209

(19)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China

Free Trade Area ... 14 2. Jumlah Impor Gula Mentah di Indonesia Tahun 2003-2009 ... 17 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional... 20 4. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan

Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir ... 49 5. Analisis Dampak Kebijakan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan

Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir ... 51 6. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia 83 7. Perkembangan produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi

di Indonesia Tahun 2003-2010 ... 85 8. Konsumsi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia

Tahun 2003-2010 ... 87 9. Impor Gula Kristal Putih, Gula Mentah, dan Gula Kristal Rafinasi

di Indonesia Tahun 2003-2010 ... 88 10. Stok Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun

2003-2010 ... 89 11. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik,

dan Harga Dunia Gula Tahun 2004-2011 ... 91 12. Produksi Gula di Beberapa Negara Produsen Terbesar Gula Dunia

Tahun 2008-2010 ... 93 13. Konsumsi Gula di Beberapa Negara Konsumen Terbesar Gula Dunia

Tahun 2007-2009 ... 94 14. Negara Eksportir Gula Dunia Tahun 2008-2010 ... 96 15. Negara Importir Gula Dunia Tahun 2008-2010 ... 97 16. Impor Gula Indonesia dari Thailand, China, Singapura, dan Australia

Tahun 2001-2010 ... 98 17. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Negara (APTN) 102 18. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Besar Swasta (APTS) 104 19. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Perkebunan Rakyat (APTR) ... 105 20. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Negara (YGHN) 107 21. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Swasta (YGHS) 108

(20)

22. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Gula Hablur Rakyat (YGHR) 110

23. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Rumah Tangga (DGRT) .. 112

24. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Gula Industri (DGIN) ... 114

25. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Petani (HRGP) ... 115

26. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Tingkat Pedagang Besar (HRGPB) ... 116

27. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Gula Eceran (HRGE) ... 118

28. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Riil Gula Indonesia (HRGINA) 118 29. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari Thailand (MGITH) 120 30. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Indonesia dari China (MGICN) 122 31. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Brazil (XGBR) ... 123

32. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Gula Thailand (XGTH) ... 125

33. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula India (MGIN) ... 126

34. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula Amerika Serikat (MGUS) ... 128

35. Hasil Estimasi Persamaan Impor Gula China (MGCN) ... 129

36. Hasil Estimasi Persamaan Harga Gula Dunia (HRGW) ... 131

37. Dampak Peningkatan Harga Gula sebesar 25 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 135

38. Dampak Peningkatan Harga Pupuk sebesar 33 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 137

39. Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010... 140

40. Dampak Penurunan Tarif Impor Gula 49 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 ... 142

41. Dampak Peningkatan Kuota Impor Gula 50 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula di Indonesia Tahun 2004-2010 ... 144

42. Evaluasi Dampak Berbagai Alternatif Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian Periode 2004-2010 ... 146

43. Peramalan Dampak Peningkatan Harga Gula Tingkat Petani 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ... 152

44. Peramalan Dampak Peningkatan Stok Gula Indonesia 20 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ... 155

45. Peramalan Dampak Peningkatan Luas Areal Perkebunan Tebu 30 Persen terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ... 157

(21)

46. Peramalan Dampak Swasembada Absolut Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ... 159 47. Peramalan Dampak Penghapusan Tarif Gula terhadap Permintaan dan

Penawaran Gula Indonesia ... 162 48. Peramalan Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Permintaan

dan Penawaran Gula Indonesia ... 166 49. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula China terhadap

Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ... 169 50. Peramalan Dampak Peningkatan Produksi Gula Thailand dan Brazil

terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia ... 171 51. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor dan Harga Gula

Tingkat Petani dan terhadap Permintaan dan Penawaran Gula Indonesia 174 52. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat

Petani, dan Luas Areal terhadap Permintaan dan Penawaran Gula

Indonesia ... 176 53. Peramalan Dampak Simulasi Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat

Petani, Produksi Gula China, dan Stok Gula terhadap Permintaan

dan Penawaran Gula Indonesia ... 179 54. Peramalan Dampak Kombinasi Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani,

Luas Areal, dan Stok Gula terhadap Permintaan dan Penawaran Gula

Indonesia ... 181 55. Peramalan Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap

Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan

2015-2020 ... 186 56. Peramalan Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Gula terhadap

Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan

2015-2020 ... 189 57. Peramalan Dampak Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula terhadap

Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan

2015-2020 ... 192 58. Peramalan Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan

Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan 2015-2020 ... 194 59. Peramalan Dampak Perubahan Simulasi Kombinasi Kebijakan Ekonomi

di Sektor Pertanian dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap

Kesejahteraan Pelaku Ekonomi Gula Indonesia Tahun 2011-2014 dan

(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia Tahun 2009 18 2. Mekanisme Terjadinya Ekspor-Impor ... 41 3. Dampak Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk ... 45 4. Dampak Kebijakan Harga Patokan Petani ... 46 5. Dampak Pengenaan Tarif Impor ... 48 6. Dampak Kuota Impor ... 50 7. Diagram Keterkaitan Variabel dalam Model Ekonomi Perdagangan

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data dan Sumber Data Model Perdagangan Gula Indonesia ... 216 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Perdagangan Gula Indonesia ... 224 3. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen dalam Model

Perdagangan Gula Indonesia ... 225 4. Program Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan

Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS

Versi 9.1 ... 228 5. Hasil Estimasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan

Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS

Versi 9.1 ... 233 6. Program Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan

Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 253 7. Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan

Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 260 8. Program Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan

Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 265 9. Hasil Simulasi Historis Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan

Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 272 10. Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2011-2020 Model

Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan

Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 274 11. Hasil Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2011-2020 Model

Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode STEPAR dan

Prosedur FORECAST dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 277 12. Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2020 Model

Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan

Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 281 13. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2020 Model

Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan

(24)

14. Program Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN

dengan Program SAS/ETS Versi 9.1... 287 15. Hasil Simulasi Peramalan Nilai Dasar Model Perdagangan Gula

Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN

dengan Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 291 16. Program Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan

Program SAS/ETS Versi 9.1 ... 293 17. Hasil Simulasi Peramalan Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan

(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar yaitu sekitar 15.3 persen pada tahun 2010 atau merupakan urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Akan tetapi, sekalipun sektor pertanian mempunyai kontribusi yang cukup besar laju pertumbuhan sektor pertanian merupakan yang terendah dibandingkan sektor lain, yaitu hanya 2.9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian mengalami kelesuan karena perhatian dibidang pertanian mulai menurun.

Sebagai pondasi kehidupan sebuah negara, sektor pertanian dewasa ini tengah menghadapi tantangan terberat yaitu era globalisasi. Salah satu ciri dari era globalisasi adalah perdagangan bebas yang ditandai dengan semakin meningkatnya arus perdagangan barang maupun jasa diantara negara-negara di dunia. Globalisasi dan perdagangan bebas memberikan peluang terbukanya ruang yang lebih besar untuk memperluas volume usaha pertanian. Menurut Departemen Pertanian (2010), arus perdagangan dalam mekanisme pasar yang murni adalah mengalir dari negara yang mempunyai comparative advantages ke negara yang tidak mempunyai comparative advantages (trade creation). Tumbuhnya trade

creation diantara bangsa-bangsa akan meningkatkan kesejahteraan semua bangsa

di dunia. Hal inilah yang menjadi spirit dari lahirnya isu globalisasi dan liberalisasi.

Perdagangan internasional menjadi suatu faktor utama yang dapat membawa masyarakat Indonesia kearah kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Masalah perdagangan bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga masalah politik. Masalah perdagangan bukan saja masalah menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan mitra dagang. Adanya perbedaan kekuatan politik dan militer merupakan godaan untuk mengubah hubungan yang semula bersifat sukarela dan saling menguntungkan dan bersifat paksaan. Karena itu, diperlukan kewaspadaan terhadap kemungkinan tersebut dan mengambil langkah persiapan

(26)

menghadapi hal tersebut. Iklim perdagangan yang terbuka dapat terus berjalan dengan melestarikan aturan main yang dapat menunjang keterbukaan dari sistem internasional. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan kewaspadaan terhadap godaan negara besar untuk menggunakan kekuatan ekonomi dan politik setiap kali ada sektor yang mengalami kemunduran dalam daya saing (Kartadjoemena, 2000).

Kesadaran akan manfaat peranan perdagangan internasional bagi kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara tetangga membentuk organisasi kerjasama ekonomi regional yang memiliki kepentingan untuk membangun kekuatan ekonomi bersama. Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka harus ikut melaksanakan perdagangan bebas. Pengalaman pertama kerjasama perdagangan bebas regional yang diikuti Indonesia adalah kerjasama pada kawasan perdagangan bebas ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Kerjasama ini diterapkan melalui skema Common Effective Preferential

Tariff (CEPT) yang diwujudkan dengan penurunan tarif hingga menjadi 0-5

persen, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Gula dalam skema CEPT-AFTA dimasukkan dalam kategori Sensitive

List yang harus telah diturunkan tarifnya pada tahun 2010 (Tim Tarif Depkeu,

2010). Implementasinya pemerintah berhasil mengupayakan tarif impor gula diatas 5 persen, yaitu 10 persen untuk gula putih dan 5 persen untuk gula mentah. Pengalaman kedua Indonesia mengikuti kelompok perdagangan regional adalah kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-China melalui skema ASEAN-China

Free Trade Area (ACFTA). Pelaksanaan ACFTA ini telah dimulai pada tahun

2004 yang diwujudkan dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif.

Kesepakatan perjanjian perdagangan ACFTA ini memberikan tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang diproduksi di Indonesia baik untuk tujuan ekspor maupun memenuhi kebutuhan nasional. Beberapa pihak menilai liberalisasi ACFTA hanya akan memberikan dampak negatif bagi kinerja perdagangan Indonesia. Ketakutan tersebut muncul mengingat daya saing produk asal China sangat tinggi terlebih bila dibandingkan dengan produk asal Indonesia. Oleh karena itu, banyak pihak yang menginginkan pemerintah melakukan

(27)

renegosiasi terhadap perjanjian perdagangan tersebut. Namun, sebagian pihak lainnya yang optimis yakin bahwa liberalisasi ACFTA akan membawa dampak positif bagi sektor pertanian. Keyakinan ini yang kemudian mendorong Indonesia untuk turut serta dalam liberalisasi awal ACFTA.

Early Harvest Programme (EHP) merupakan tahapan awal liberalisasi

ACFTA yang terdiri dari penghapusan tarif antara produk negara ASEAN dengan produk China dan sebaliknya untuk delapan jenis produk yang terdiri dari kelompok produk hewan hidup (live animals), daging, dan jeroan yang bisa dimakan (meat and edible meat & offal), ikan termasuk udang (fish), produk susu (dairy products), produk hewan lainnya (other animal products), tanaman hidup (live trees), sayur (edible vegetables), dan produk buah serta kacang-kacangan (edible fruits and nuts) dengan pengecualian untuk jagung manis. Komoditas pertanian seperti beras, gula, jagung, dan kedelai dimasukkan dalam kategori produk High Sensitive List (HSL) yang tarifnya baru akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Ditjen KPI, 2005).

Sejak kesepakatan ACFTA mulai diberlakukan, tren neraca perdagangan Indonesia dengan China semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 neraca perdagangan non migas Indonesia dengan China mengalami defisit sebesar US$ 1.293 miliar. Pada tahun 2008 menurun tajam sebesar US$ 7.160 miliar. Hingga tahun 2012 neraca perdagangan Indonesia dengan China masih mengalami defisit. Defisit perdagangan Indonesia China pada tahun 2012 sebesar US$ 5.875 miliar (Kementerian Perdagangan, 2012). Data ini menunjukkan semakin banyaknya komoditi non migas dari China yang masuk ke Indonesia. Semakin menurunnya surplus dalam neraca perdagangan Indonesia disebabkan semakin timpangnya neraca ekspor Indonesia dan China. Dalam beberapa tahun terakhir China juga telah melakukan lompatan ekonomi yang sangat besar dan menjadi penguasa ekonomi terbesar kedua di dunia. Terlebih lagi, pemerintah China mempunyai keeratan hubungan dengan masyarakat China perantauan yang berada di seluruh dunia terutama ASEAN. Hal ini memberikan peluang kepada China untuk mampu mengintegrasikan ASEAN dan menjadikannya mitra di bidang ekonomi.

(28)

Tidak hanya produk-produk impor dari China yang banyak memasuki pasar konsumsi Indonesia, tetapi juga produk-produk impor asal negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Impor produk pertanian dari Thailand mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, sehingga membuat neraca perdagangan Indonesia dengan Thailand juga terus mengalami defisit. Pada tahun 2010 defisit perdagangan Indonesia dengan Thailand mencapai US$ 3.4 miliar. Produk-produk pertanian dari negara ASEAN yang mendominasi pasar domestik adalah beras, gula, tepung dan olahannya, buah, sayuran dan olahannya serta produk makanan lain. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (2010), secara keseluruhan Singapura merupakan negara yang mendominasi ekspor ke negara-negara ASEAN yaitu sebesar 40.91 persen, diikuti oleh Malaysia sebesar 20.22 persen dan Thailand 16.28 persen, sedangkan Indonesia hanya mampu menguasai pasar ASEAN sebesar 12.34 persen. Meskipun dalam neraca perdagangan ASEAN Indonesia belum mengalami defisit, namun pertumbuhan impor lebih besar daripada ekspor sehingga tetap diperlukan upaya antisipatif.

Wacana penurunan tarif impor gula sebagai komoditas High Sensitive List yang akan mulai diturunkan tarifnya pada tahun 2015 menjadi isu menarik untuk diwaspadai. Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh penduduk di Indonesia bahkan juga di dunia. Berdasarkan catatan Dewan Gula Indonesia (2011) kebutuhan gula kristal putih untuk konsumsi langsung adalah 2.574 juta ton, sedangkan jumlah kebutuhan gula kristal rafinasi sebesar 2.058 juta ton. Jumlah tersebut sangat tinggi apabila dilihat dari kinerja produksi gula dalam negeri yang hanya mampu menghasilkan gula hablur sebesar 3.159 juta ton (Ditjenbun, 2011).

Tingginya kebutuhan gula nasional yang selama ini belum mampu dipenuhi oleh produksi lokal membuat pemerintah melakukan kebijakan impor. Beberapa impor gula Indonesia didatangkan dari negara ASEAN. Tren kenaikan konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat serta pertumbuhan industri makan dan minuman. Terkait dengan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dikhawatirkan akan

(29)

semakin mengancam industri gula domestik yang tengah bangkit dari keterpurukan.

Negara-negara anggota ASEAN memiliki kontribusi yang berbeda-beda terhadap perkembangan perjanjian perdagangan bebas ACFTA sekalipun jenis produk pertanian yang dihasilkan hampir sama karena adanya kesamaan kondisi iklim dan budaya. Manfaat perdagangan bebas ACFTA yang akan dipetik oleh negara ASEAN tergantung pada daya saing produk pertanian negara-negara ASEAN itu sendiri. Hal ini terlihat setelah perjanjian perdagangan bebas ACFTA diberlakukan, Thailand masih memimpin sebagai pengekspor gula terbesar di antara negara ASEAN yang lain, baik untuk gula mentah maupun gula kristal rafinasi. Untuk impor gula, jenis gula yang paling banyak diimpor oleh Indonesia adalah gula kristal rafinasi. Bahkan terjadi peningkatan melebihi dua kali lipat untuk impor gula kristal rafinasi ini dari tahun 2008 yang hanya sebesar 424.8 ribu ton menjadi 1.28 juta ton pada tahun 2009 (FAO Statistic Division, 2011), sedangkan Malaysia sebagai negara pengimpor gula terbesar di ASEAN lebih banyak mengimpor gula mentah daripada gula kristal rafinasi.

Sebagai komoditas khusus, gula merupakan salah satu dari kebutuhan pangan yang sangat penting bagi kebutuhan sehari-hari baik dalam rumah tangga maupun industri makanan dan minuman. Prospek utama pengembangan industri gula nasional adalah untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia berupaya meningkatkan produksi dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula. Akan tetapi, produksi gula yang dihasilkan oleh Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri, sehingga impor gula harus diadakan setiap tahunnya. Hal ini membuat target swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009 yang telah dicanangkan pemerintah tidak terealisasi. Saat ini pemerintah mencanangkan target swasembada gula akan tercapai pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut, sejak tahun 2004 pemerintah melakukan suatu Program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Tentunya keberhasilan program ini sangat berkaitan dengan kemampuan industri gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestiknya yang selama ini belum terbukti.

(30)

Ketidakmampuan produksi dalam negeri memenuhi kebutuhan nasional disebabkan oleh inefisiensi pengolahan yaitu kapasitas dan efisiensi teknis pabrik gula yang sangat rendah. Rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula disebabkan oleh tingginya biaya produksi dan umur mesin pabrik gula yang sudah tua. Hal ini menyebabkan rendemen tebu yang diterima petani rendah dan kualitas gula yang diproduksi juga menjadi kurang baik. Selain karena faktor inefisiensi, rendahnya rendemen tebu juga karena tidak diterapkannya teknologi penggunaan varietas bibit unggul pada budidaya tebu sehingga kualitas tebu giling yang dihasilkan petani juga rendah.

Data yang ada menunjukkan bahwa struktur produksi gula dan rendemen tebu cenderung mengalami penurunan. Rendemen Indonesa tidak pernah lagi mencapai 15 persen seperti yang pernah terjadi pada tahun 1929. Rendemen tertinggi hanya 8.1 persen pada 2008 dan turun kembali tahun 2009 menjadi 7.76 persen dan semakin menurun pada tahun 2010 menjadi 6.96 persen (Dewan Gula Indonesia, 2012). Hal ini menjadi pemicu langkah pemerintah melakukan impor gula yang terus mengalami peningkatan. Dampak dari membanjirnya impor gula adalah turunnya harga gula di pasar domestik. Penurunan ini tentunya akan menyebabkan harga gula domestik menjadi lebih rendah daripada harga pokok produksi gula. Kondisi ini yang selanjutnya menyebabkan gula dalam negeri Indonesia menjadi tidak kompetitif lagi dibandingkan gula impor sehingga Indonesia menjadi sasaran pasar impor gula dunia.

Harga gula dunia ini merupakan referensi bagi produsen dan importir ketika bertransaksi. Harga gula mentah pada Bursa Berjangka New York terbilang fluktuatif. Demikian juga dengan harga gula kristal rafinasi pada London

International Financial Futures and Options Exchange (LIFFE). Setelah naik

pada kisaran 32.04 cents per pound untuk gula kristal rafinasi dan 34.78 cents per

pound untuk gula mentah kembali menunjukkan gejala penurunan baik pada

kuartal I maupun ke II tahun 2011. Penurunan ini disebabkan stok gula dunia yang diperkirakan melimpah terkait dengan kenaikan produksi. Namun demikian harga gula dunia yang lebih murah ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi untuk lebih meningkatkan impor gula mentah (raw sugar). Harga gula mentah yang tinggi ini merupakan motivator bagi para petani untuk menanam tebu dan

(31)

perbaikan dalam praktek usaha pertaniannya. Soewandi (2012) menyatakan penurunan harga gula dunia perlu diwaspadai terkait dengan status Indonesia sebagai produsen sekaligus pengimpor gula. Dimana perubahan harga gula di pasar dunia akan berdampak terhadap terbentuknya harga di pasar domestik. Pencegahan masuknya gula kristal rafinasi yang notabene mendapat fasilitas keringanan tarif 0-5 persen ke pasar konsumen harus menjadi komitmen negara terkait dengan perlindungan produksi berbasis sumberdaya lokal.

Terlebih lagi saat ini pemerintah melakukan kesepakatan ACFTA, dimana selama hampir setengah dekade penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat semakin memperkuat kekhawatiran dan ketidakberdayaan Indonesia yang tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Pemerintah melalui beberapa kementerian dan instansi telah melakukan usaha-usaha guna meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Dalam perjanjian ACFTA, komoditas gula dikategorikan sebagai komoditas High Sensitive List (HSL) sehingga masih diperbolehkan adanya intervensi pemerintah berupa tarif dan akan mengalami penurunan tarif mulai tanggal 1 Januari 2015. Sehingga masih ada waktu bagi pemerintah untuk membangkitkan kembali industri gula nasional.

Implikasi jangka panjang yang perlu diwaspadai adalah berbaliknya neraca perdagangan sehingga Indonesia menjadi pasar produk China dan ASEAN lain. Cadangan devisa China pada tahun 2009 sebesar US$ 2.13 trilliun dan dalam jangka waktu enam bulan telah bertambah menjadi sebesar US$ 185.6 miliar. Hal ini menunjukan bahwa China dapat memborong sumber komoditas ekspor sektor pertanian di Malaysia, Thailand dan Indonesia (Irianto, 2009). Penghapusan tarif impor dapat menjadi ancaman dengan semakin banyaknya gula impor yang akan memenuhi pasar dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya perubahan faktor lingkungan internal dan eksternal dalam membangkitkan kembali industri gula nasional dalam era perdagangan bebas ACFTA maka menarik untuk dilakukan penelitian yang mampu mengevaluasi kebijakan-kebijakan periode historis dan strategi kebijakan-kebijakan antisipatif dimasa mendatang sehingga kebangkitan industri gula nasional lebih berdayaguna baik bagi kesejahteraan produsen, konsumen maupun perekonomian nasional.

(32)

1.2. Perumusan Masalah

Gula sebagai komoditas penting dan strategis bagi masyarakat tidak hanya dirasakan pentingnya bagi konsumen sebagai pengguna akhir tetapi juga bagi kalangan produsen yang mengolah komoditi ini dengan value added tersendiri. Sedangkan disisi lain, industri gula nasional menghadapi permasalahan yang cukup kompleks. Hal ini membuat semakin perlunya penelitian terkait dengan implementasi kebijakan perdagangan dalam skema ACFTA yang berhubungan dengan intervensi kebijakan industri gula negara eksportir dan importir gula pada negara-negara ASEAN dan China serta strategi kebijakan terkait dengan kebangkitan industri gula nasional.

Industri gula dalam negeri masih dihadapkan pada persoalan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan gula baik untuk konsumsi langsung (rumah tangga) maupun konsumsi tidak langsung (industri) yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Ketidakmampuan ini ditunjukkan pula dengan kegagalan realisasi program swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009. Rencana swasembada gula selanjutnya dicanangkan oleh pemerintah akan terealisasi pada tahun 2014, dimana tepat satu tahun sebelum gula terlibat dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA. Program Revitalisasi Industri Gula 2010-2014 menjadi salah satu program prioritas untuk terwujudnya target swasembada gula 2014 sekaligus menutup neraca perdagangan gula nasional. Melalui program revitalisasi ini pemerintah menargetkan produksi gula nasional dapat mencapai 5.70 juta ton pada tahun 2014 yang terdiri dari 2.96 juta ton gula konsumsi dan 2.75 juta ton gula kristal rafinasi (Renstrabun, 2010).

Swasembada gula dapat tercapai dan keterlibatan gula dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperoleh surplus dari perdagangan tersebut apabila pemerintah mengatasi permasalahan pada industri gula secara serius. Permasalahan pada industri gula nasional tidak hanya on farm tetapi juga off farm. Berdasarkan uraian sebelumnya maka secara rinci permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Ketidakmampuan produksi gula nasional memenuhi kebutuhan gula menyebabkan kecenderungan impor gula di Indonesia semakin meningkat. Inefisiensi ekonomis yang selama ini terjadi dalam struktur industri gula

(33)

domestik menyebabkan Indonesia tidak memiliki daya saing dalam menghadapi gula impor (Kementerian Perindustrian, 2009). Lebih jauh membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok pada kran impor ini sama artinya dengan membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran. 2. Masalah swasembada gula sudah sangat sering disebut sebagai salah satu

tujuan nasional yang mudah dicapai. Hal ini mengingat Indonesia pernah menjadi eksportir gula kedua di dunia. Akan tetapi, target peningkatan produksi yang seringkali dicanangkan pemerintah setiap tahunnya tidak dapat tercapai. Kementerian Pertanian (2012) menyatakan bahwa target produksi 5.7 juta ton gula yang terdiri dari 2.9 juta ton gula kristal putih dan 2.7 juta ton gula kristal rafinasi akan terpenuhi apabila penyediaan lahan minimal seluas 350 ribu hektar, investasi pembangunan pabrik gula baru dan revitalisasi pabrik gula berjalan sesuai dengan rencana. Namun karena penyediaan areal baru belum dapat dipenuhi, maka pemerintah melakukan revisi target pencapaian produksi untuk tahun 2011.

3. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih menganut dualisme gula, yaitu gula kristal putih (GKP) dan gula kristal rafinasi (GKR), sedangkan negara lain sudah menganut satu gula dimana hanya ada gula dan gula mentah saja. Natsir (2012) menyatakan, sebagai negara yang menganut dualisme gula mekanisme perdagangan, distribusi, dan produksi gula diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Namun, kenyataanya pemerintah kurang tegas dalam pengaturan dan pengawasannya. Hal ini yang menyebabkan gula kristal rafinasi yang notabene kualitasnya lebih putih dan diperuntukan bagi industri merembes ke pasar konsumsi.

4. Tim Nasional Revitalisasi Gula (2010) menyatakan bahwa masalah kebijakan fiskal seperti tarif bea masuk, belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Pemberlakuan kebijakan keringanan tarif impor sebesar 0-5 persen yang selama ini diberlakukan pemerintah terhadap gula mentah (raw sugar) berpengaruh pada keragaan perdagangan gula secara simultan, dimana perubahan keragaan perdagangan gula ini berdampak pula terhadap perubahan kesejahteraan pelaku perekonomian gula. Hal ini muncul sehubungan dengan kecenderungan terus menurunnya harga gula dunia baik

(34)

untuk raw sugar maupun white sugar dikarenakan meningkatnya produksi di sejumlah negara produsen utama yang potensial menambah stok dunia. Pemberian fasilitas keringanan tarif ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi lebih memilih mengimpor gula mentah sehingga petani akan kembali masuk dalam perangkap liberalisasi perdagangan gula yang sarat akan distorsi.

5. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan harga patokan petani (HPP) dalam era liberalisasi perdagangan yang kini dijalankan merupakan salah satu bentuk ketidakefisienan kebijakan. HPP gula ditujukan pemerintah untuk melindungi kepentingan petani. Dimana apabila harga lelang berada dibawah HPP maka selisih harga akan dibayarkan pemerintah kepada petani yang disebut dana talangan. Namun yang terjadi adalah harga lelang tidak pernah berada dibawah HPP gula sehingga harga dasar gula tersebut yang menjadi patokan pabrik gula atau pedagang sebagai harga terendah (KPPU, 2010).

6. Lembaga keuangan atau perbankan belum optimal dalam mendukung Program Revitalisasi Industri gula Nasional yang direncanakan oleh pemerintah untuk mencapai Swasembada Gula 2014. Petani masih mengalami kesulitan dalam mengakses kredit karena rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi petani untuk mendapatkan kredit. Sehingga, permasalahan modal masih menjadi problematika bagi petani tebu rakyat untuk persiapan penanaman dan pemanenan tebu (Tim Nasional Revitalisasi Industri Gula, 2009).

Untuk menyederhanakan permasalahan industri gula nasional yang begitu kompleks maka penelitian ini memerlukan seperangkat model ekonometrika yang komprehensif sehingga mampu mengintegrasikan perubahan-perubahan internal maupun eksternal pada keterpaduan perdagangan komoditas gula serta dampaknya terhadap kesejahteraan konsumen, produsen serta penerimaan pemerintah dalam skema liberalisasi perdagangan ACFTA.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prospek perdagangan

(35)

gula Indonesia dalam kerangka implementasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada era pra liberalisasi ACFTA (2004-2010).

3. Meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020.

Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan merumuskan strategi industri gula domestik dalam implementasi kerangka perjanjian pasar bebas ASEAN-China.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji prospek perdagangan gula Indonesia pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini dibatasi pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA tahun 2015 dan tercapainya target swasembada gula yang dilakukan pemerintah melalui Program Revitalisasi Industri Gula Nasional, sehingga kebijakan-kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini berada dalam lingkup kedua hal tersebut.

2. Disagregasi pengusahaan perkebunan tebu dalam penelitian ini hanya dilakukan berdasarkan status pengusahaan perkebunan tebu yaitu perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Disagregasi berdasarkan provinsi ataupun kepulauan tidak dilakukan, sehingga kebijakan pemerintah yang akan dievaluasi tidak sampai pada tingkat tersebut.

(36)

3. Penelitian ini tidak mengkaji pasar input usahatani tebu dan produk industri tersiernya.

4. Kajian ini tidak melakukan analisis secara detail mengenai proses dalam setiap subsistem produksi, tetapi melihat bagaimana kemampuan pabrik gula dalam melakukan kegiatan produksi.

5. Karena ketiadaan data time series produksi tebu, maka data produksi yang digunakan dalam penelitian ini sudah dalam wujud gula hablur, sehingga produktivitas yang digunakan juga merupakan produktivitas gula hablur. 6. Dalam penelitian ini baik Gula Kristal Putih (GKP) maupun Gula Kristal

Rafinasi (GKR) dianggap sama atau homogen yang selanjutnya disebut sebagai gula, sedangkan untuk gula mentah dilakukan konversi setara gula. 7. Permintaan gula Indonesia hanya didisagregasi berdasarkan penggunanya

yaitu konsumen rumah tangga dan industri. Untuk konsumen industri tidak dibedakan berdasarkan penggunaan bahan bakunya, baik yang menggunakan gula kristal putih, gula kristal rafinasi maupun gula mentah dianggap sama. 8. Data impor gula yang digunakan merupakan data resmi. Data impor gula

yang tidak resmi, ilegal, dan tidak tercatat seperti penyelundupan tidak diakomodir dalam penelitian ini.

9. Data harga impor gula yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibeda-bedakan berdasarkan asal negara impornya. Data harga impor gula yang digunakan adalah data harga impor gula Indonesia.

10. Simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari (1) simulasi tunggal yang mencakup kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal, dan (2) simulasi kombinasi yang mencakup keduanya.

11. Simulasi kebijakan tarif impor yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan skema penghapusan dan penurunan tarif yang telah disepakati pemerintah dalam kerangka ACFTA, sehingga tidak dilakukan simulasi tarif diluar perjanjian tersebut.

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia

ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dengan negara China. Pada bulan November 2001 melalui ASEAN-China Summit di Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal ASEAN-China Free Trade Area untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Lima bidang kunci kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pengembangan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti pada bulan November 2002 dengan penandatanganan “The Framework Agreement on A Comprehensive Economic

Cooperation (CEC)” yang dihadiri oleh Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN

dan China. Naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA. Kesepakatan CEC dalam pertemuan tersebut juga mengandung tiga pilar yaitu liberalisasi, fasilitasi, dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi dalam kawasan ACFTA. Namun, dalam kesepakatan tersebut juga diberikan differential treatment and flexibility bagi negara-negara anggota ASEAN yang belum berkembang seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.

Peserta ASEAN-China Summit pada bulan November 2004 menandatangani naskah “The Framework Agreement on Trade in Good” yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan kesepakatan ini, enam negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan China) sepakat melakukan penurunan tarif secara bertahap dengan target penurunan tarif hingga nol persen. Untuk negara ASEAN yang diberikan

differential treatment and flexibility akan mengikuti kesepakatan ACFTA pada

tahun 2015.

Adapun secara rinci tahapan peristiwa yang akhirnya mencetuskan ACFTA dimana mempengaruhi kesepakatan pemerintah Indonesia terhadap perdagangan bebas dengan ASEAN-China disajikan pada Tabel 1.

(38)

Tabel 1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China

Free Trade Area

Waktu Peristiwa

1991 Kesepakatan AFTA (dipercepat menjadi tahun 2001)

1991 The People’s Republic of China (PRC) secara resmi menjadi mitra dialog ASEAN

1997 (Desember) Joint Statement kepala negara: ASEAN-PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya menyongsong abad 21

2000 (November) Pada KTT ASEAN-PRC para kepala negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA

2001 (Maret) Pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group

Pada KTT ASEAN-China para kepala negara menandatangani Framework Agreement on Comprehensive

Economic Cooperation between ASEAN and PRC

2003 Perundingan ACFTA dimulai dan selesai bulan Juni 2004 2003

Bali Concord (proposal Indonesia “ASEAN Community" diterima): AFTA menjadi bagian dari ASEAN Economic

Community (AEC)

2004 (November) Kesepakatan ACFTA untuk barang ditandatangani

2007 Kesepakatan ASEAN Charter dan AEC Blue Print ditandatangani 2008 (Desember) ASEAN Charter berlaku

Sumber : Basri (2010)

Perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia cukup lama yaitu dimulai pada tahun 1991. Ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan saing dalam perdagangan bebas, secara tidak langsung kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem ekonomi liberalis China. Tujuan dari Framework Agreement ACFTA ini adalah (1) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, (2) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa, dan investasi, (3) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak, dan (4) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (1) penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang, (2) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, dan (3) membangun rezim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ACFTA.

(39)

Penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang, telah disepakati melalui tiga skenario yaitu (1) Early Harvest Programme (EHP), (2) Normal

Track Programme, dan (3) Sensitive dan Highly Sensitive. EHP bertujuan untuk

mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai pada 1 Januari 2004 bagi produk EHP dan menjadi nol persen pada 1 Januari 2006. Cakupan produk yang masuk ke dalam EHP adalah produk yang masuk ke dalam Chapter 01 s/d 08 yaitu hewan hidup (01), daging dan produk daging dikonsumsi (02), ikan (03),

dairy product atau produk susu (04), produk hewan lainnya (05),tumbuhan (06),

sayuran dikonsumsi kecuali jagung manis (07), dan buah-buahan dikonsumsi (08). Jumlah kelompok EHP meliputi 530 pos tarif (HS 10 digit), sementara produk– produk spesifik yang ditentukan melalui kesepakatan bilateral antara lain kopi, minyak kelapa (CPO), bubuk kakao, barang dari karet, dan perabotan.

Penurunan tarif bea masuk pada Normal Track Programme dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi nol persen pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi nol persen pada tahun 2012. Adapun produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tarif bea masuk 20 persen pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5 persen mulai tahun 2018. Komoditas yang masuk daftar High Sensitive List (HSL) seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarif bea masuknya akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Kementerian Keuangan, 2011).

Preferensi penurunan tarif untuk ketiga skenario tersebut disepakati melalui Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dengan ketentuan kandungan lokal ACFTA sebesar 40 persen yang secara operasional menggunakan SKA Form E. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam skema ACFTA dilakukan secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kepentingan perlindungan terhadap produk Indonesia yang dianggap belum mampu untuk bersaing dengan produk negara peserta FTA.

Penurunan tarif di Indonesia telah dilakukan secara sepihak sejak era reformasi. Hal ini terjadi atas dorongan IMF sewaktu Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997 yang mengharuskan Indonesia untuk lebih terbuka pada

(40)

perdagangan. Pada prosesnya penurunan tarif di Indonesia dilakukan secara bertahap yaitu dari rata-rata 6 persen, 4 persen di tahun 2008 kemudian dari 4 persen ke 3 persen tahun 2009, dan memasuki tahun 2010 menjadi nol persen melalui Normal Track pada perdagangan ACFTA (Pasaribu, 2010).

2.2. Profil Struktur Industri Gula Indonesia

Gula terdiri dari beberapa jenis yang dilihat dari tingkat keputihannya melalui standar ICUMSA (Internatioal Commission for Uniform Methods of

Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam

skala internasional unit (IU) sebagai berikut :

Raw Sugar (Gula Mentah)

Raw sugar adalah gula mentah yang berbentuk kristal berwarna kecokelatan dengan bahan baku dari tebu. Gula mentah ini merupakan gula setengah jadi dari pabrik-pabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan. Jenis gula gula mentah ini yang paling banyak diimpor untuk diolah menjadi gula kristal putih ataupun gula kristal rafinasi. Untuk menghasilkan gula mentah diperlukan proses dari penilaian tebu → penggilingan → pemurnian nira → penguapan → pengkristalan merah (gula mentah).

Refined Sugar (Gula Kristal Rafinasi)

Gula kristal rafinasi ini merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah. Adapun tahapan produksi gula kristal rafinasi yaitu dari raw sugar

preparation affination → karbonasi → penyaringan → pertukaran ion →

evaporasi → sentrifugal → gula kristal rafinasi → pengemasan. Pemasaran gula kristal rafinasi dilakukan secara khusus oleh distributor gula khusus yang telah mendapat persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula kristal rafinasi yang disahkan oleh Departemen Perindustrian.

Pemenuhan gula kristal rafinasi dalam negeri sebelum tahun 2000 dilakukan melalui impor. Namun dengan ekspektasi harga yang terus meningkat dan produksi dula dalam negeri yang menurun, pada tahun 2003-2005 mulai terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Kemudian pada tahun 2006-2008 usaha industri gula kristal rafinasi bertambah menjadi 7 pelaku usaha, dan bertambah lagi di tahun 2009 menjadi 8 pelaku usaha yang mempu mempunyai

Gambar

Tabel 1. Tahapan  Perjalanan  ASEAN  Free  Trade  Area  dan  ASEAN-China  Free Trade Area
Gambar 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia  Tahun 2009  18.96% 18.72%15.64%9.16%8.61%6.24%6.16%5.59%4.15%1.78%1.42%1.36%0.98%0.84%0.38%(01) Sugar Grop(02) PTPN X(03) PTPN XI
Gambar 5. Dampak Pengenaan Tarif Impor
Gambar 6. Dampak Kuota Impor
+7

Referensi

Dokumen terkait

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when

Opera van java merupakan sebuah tayangan komedi yang banyak mengandung unsur – unsur kekerasan didalamnya, oleh karena itu Opera Van Java sering medapatkan

4.3 Penyelesaian Persamaan Linier Simultan dengan Eliminasi Gauss Metoda eliminasi Gauss mempergunakan operasi baris elementer untuk menghapuskan semua elemen-elemen

Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara kualitas jasa terhadap kepuasan konsumen yang makan di Restaurant CING

Artikel ini menggunakan Jaringan syaraf bobot tiga (JSBT) dengan sudut pandang pendekatan Pengenalan Pola Biomimetik (PPB) dan ekstrasi ciri Zernike aspect moment invariants

Untuk mengetahui kemampuan menulis puisi siswa kelas VII SMP Swasta Istiqlal Delitua Tahun Pembelajaran 2015/2016 setelah menggunakan kegiatan membaca kritis sastra.. Untuk

Perbedaan luas areal yang ditetapkan untuk kawasan sabuk hijau Seoul CapitalRegion ini dapat dilihat tidak hanya dalam besaran kontribusi suatu wilayah administrasi tertentu

Termasuk sebab penyimpangan dalam penafsiran al- Qur’an dan patut diperhatikan adalah ‘meletakkan ucapan atau ketetapan bukan pada tempatnya.’ Banyak sekali ketetapan yang benar