• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYAKIT PADA SAPI DI PUSKESWAN GODEAN TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYAKIT PADA SAPI DI PUSKESWAN GODEAN TAHUN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENYAKIT PADA SAPI DI PUSKESWAN GODEAN

TAHUN 2006 – 2008

(Diseases of cattle at Godean Puskeswan during 2006 and 2008)

WIDODO SUWITO1danS.NURINI2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jl. Rajawali No 28 Demangan Baru, Yogyakarta 55281 2Puskeswan Godean, Sleman Yogyakarta

ABSTRACT

Many diseases are affecting cattle and their etiologies are generally complex. The case of diseases diagnosed by Godean Puskeswan, however has never been evaluated and published yet. Diseases are frequently occured clinically consisting Bovine Ephemeral Fever (BEF), myasis, diarrhoeae and indigestion. Therefore, it is the purpose of this study to investigate the trend of diseases in cattle at Godean Puskeswan betwen 2006 and 2008. The evaluation was carried out by time series analysis methode, after these

calculation of rolling (moving) average and show trand of the disease at the graphic. The case of Bovine

Ephemeral Fever was commonly occured in January and July and diarrhoea, indigestion, myasis in October. The case of BEF and myasis required mosquitoes and flies vector-borne disease and the population cause the wet season. However, indigestion and diarrhoea could not be predicted since its etiology is complex and relationship with feeding and breeding management.

Key Words: Puskeswan, Diseases, Cattle

ABSTRAK

Penyakit sapi banyak dijumpai dan sangat komplek penyebabnya. Meskipun berbagai jenis penyakit menyerang sapi, namun kasus penyakit pada sapi yang didiagnosa oleh Puskeswan Godean belum dikaji dan dipublikasikan. Data dari penyakit yang paling sering muncul berdasarkan gejala klinis ada empat macam yaitu Bovine Ephemeral Fever (BEF), myasis, diare dan indigesti. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui

trend kasus penyakit tersebut pada sapi di Puskeswan Godean dari tahun 2006 sampai 2008. Kajian ini

dilakukan dengan metode time series analysis dilanjutkan dengan calculation of rolling (moving) average sehingga diperoleh grafik trend dari penyakit tersebut. Kasus BEF paling banyak dijumpai pada bulan Januari dan Juli, sedangkan pada bulan Oktober lebih banyak dijumpai kasus diare, indigesti dan myasis. Kasus BEF dan myasis memerlukan vektor nyamuk dan lalat, dimana populasinya dipengaruhi oleh musim-musim tertentu yaitu pada awal sampai akhir musim hujan. Kasus diare dan indigesti sulit dipastikan karena penyebab kedua penyakit tersebut sangat komplek dan sangat terkait dengan sistem pemberian pakan maupun sistem tata laksana kandang.

Kata Kunci: Puskeswan, Penyakit, Sapi

PENDAHULUAN

Sapi merupakan ternak ruminansia yang dapat digunakan sebagai investasi, terutama di pedesaan yang masih banyak lahan pertaniannya. Adanya lahan pertanian dapat dihasilkan limbah pertanian untuk pakan ternak. Akan tetapi ternak sapi tidak luput dari serangan penyakit.

Penyakit sapi yang tercatat di Puskeswan Godean sangat bervariasi dan hampir setiap bulan beberapa penyakit tertentu selalu

muncul, namun data ini belum dipublikasikan. Berdasarkan data pasien yang masuk ke Puskeswan Godean terdapat empat jenis penyakit yang sering muncul yaitu Bovine

Ephemeral Fever (BEF), myasis atau

belatungan, diare dan indigesti.

Tulisan ini mengkaji penyakit pada sapi yang sering muncul di Puskeswan Godean dari tahun 2006 sampai tahun 2008, dengan demikian di Puskeswan Godean dapat diketahui gambaran atau trend dari beberapa penyakit pada sapi. Dengan diketahuinya trend

(2)

dari penyakit tersebut dapat digunakan untuk antisipasi penanganan dan pencegahan pada tahun-tahun berikutnya.

MATERI DAN METODE

Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat trend dari penyakit sapi di Puskeswan Godean menggunakan metode time series

analysis dan dilanjutkan dengan calculation of rolling (moving) average (THRUSFIELD, 1995). Data yang digunakan dalam kajian ini dengan menggunakan data pasien yang masuk ke Puskeswan Godean dari tahun 2006 sampai 2008. Data penyakit pada sapi berdasarkan pada gejala klinis dan dipilih penyakit yang sering muncul setiap bulannya dari tahun 2006 – 2008. Angka kasus penyakit dari tahun 2006 sampai 2008 ditabulasikan setiap bulannya, kemudian dibuat siklus ulangan setiap tiga bulan dalam masing-masing tahun selanjutnya diplotkan dalam bentuk grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data pasien sapi yang masuk ke Puskeswan Godean dari tahun 2006 sampai 2008 terdapat empat macam penyakit yang sering muncul pada setiap bulannya. Keempat penyakit tersebut antara lain Bovine Ephemeral

Fever (BEF), myasis atau belatungan, diare

dan indigesti. Kasus penyakit BEF dari tahun 2006-2008 terlihat pada (Tabel 1).

Dari Tabel 1 terlihat bahwa rerata kasus BEF dari tahun 2006 sampai 2008 paling tinggi dijumpai pada bulan Juli. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada bulan Juli merupakan musim kemarau dan perbedaan suhu yang mencolok antara siang dan malam. Perbedaan suhu yang mencolok tersebut dapat mengakibatkan telur-telur nyamuk menjadi cepat menetas sehingga populasi nyamuk bertambah banyak. Pada siang hari suhu sangat panas dan malam sangat dingin. Hal ini pada kondisi kesehatan sapi yang lemah akan menyebabkan penyakit mudah menyerang, dan salah satunya penyakit BEF.

Penyakit BEF disebabkan oleh virus dan termasuk dalam kelompok Arbovirus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk seperti

Anopheles bancroftic, Culicoides nipponensis

dan Culicoides oxystama (HSIEH et al., 2005). Pada lingkungan dan kandang sapi yang kotor menyebabkan nyamuk akan mudah untuk berkembang biak. Karena nyamuk merupakan salah satu vektor penyakit BEF, maka kebersihan lingkungan dan kandang sapi sangat berpengaruh. Virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk tersebut masuk ke dalam tubuh sapi atau kerbau selanjutnya menyebabkan viremia yang disertai dengan demam yang cukup tinggi bahkan dari kasus dilapangan dijumpai adanya sapi dengan gejala hypersalivasi dan pincang yang bukan disebabkan karena trauma (HSIEH et al., 2005).

Pada Tabel 1a rerata siklus kasus BEF setiap tiga bulan pada masing-masing tahun dan selanjutnya diplotkan dalam bentuk grafik akan terlihat seperti pada Gambar 1.

Tabel 1. Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Puskeswan Godean

Jumlah kasus bulan ke- Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rerata 2006 3 2 1 2 1 5 7 3 2 1 1 2 3 2007 6 2 2 3 2 4 12 7 1 1 1 1 4 2008 4 1 1 1 1 3 5 1 2 2 2 1 2 Rerata 4 2 1 2 1 4 8 4 2 1 1 1

Tabel 1a. Rerata siklus tiga bulan kasus BEF di Puskesman Godean

Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des

2006 2 2 1 3 4 5 4 2 1 1 3

2007 3 3 2 2 3 6 7 7 3 1 1 2

(3)

Gambar 1. Trend kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Puskesman Godean dari

tahun 2006 – 2008

Dari Gambar 1 terlihat bahwa trend kasus BEF di Puskeswan Godean hampir sama dari tahun 2006 sampai 2008. Pada bulan Januari dan Juli dari tahun 2006 sampai 2008 selalu merupakan titik puncak, sedangkan bulan Oktober merupakan titik terendah. Hal ini dapat disebabkan karena Januari merupakan musim penghujan sehingga akan menyebabkan kandang sapi menjadi becek, terutama bila sistem drainase kurang baik. Disamping itu pada musim penghujan menyebabkan air hujan menjadi tempat untuk betelur nyamuk terutama pada air yang mengenang. Sedangkan bulan Juli merupakan musim kemarau yang perbedaan suhu antara siang dan malam sangat mencolok. Adanya perbedaan suhu tersebut dapat mengakibatkan telur nyamuk maupun lalat mudah menetas, sehingga populasi nyamuk maupun lalat menjadi bertambah.

Bovine Ephemeral Fever (BEF) merupakan

penyakit yang disebabkan karena virus dengan gejala klinis demam tinggi selama tiga hari. Penyakit ini ditandai adanya demam selama 3 – 5 hari dengan suhu badan mencapai 39°C sampai 41°C (CFSPH, 2008). Kasus BEF di Puskewan Godean pada pedet kadang suhu tubuh dapat mencapai 43°C dan ternak yang rentan terserang diantaranya sapi dan kerbau. Penyakit ini disebabkan oleh virus golongan

Rhabdovirus atau Arbovirus yaitu virus-virus

yang penyebarannya melalui gigitan nyamuk (HSIEH et al., 2005). Material genetik dari virus tersebut mengandung material genetik Ribo

Nucleic Acid (RNA) (HSIEH et al., 2005). Tanda-tanda penyakit itu antara lain

gemetaran, kelemahan otot, pulsus meningkat, nafsu makan turun, produksi turun, suhu tubuh antara 40,5° – 41°C. Kejadian penyakit ini bersamaan dengan populasi serangga yang meningkat dan juga arah kekuatan angin. Kekebalan akan terjadi setelah 1 – 2 tahun setelah terjadinya infeksi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai di lapangan (LIM et al., 2007).

Kasus BEF di Taiwan pertama kali terjadi tahun 1983 pada sapi perah dan kerbau selanjutnya kasus tersebut muncul kembali pada tahun 1989, 1996 dan 1999. Dari kajian serologis terhadap sapi perah di Taiwan menunjukan bahwa bulan Maret kasus BEF lebih banyak bila dibandingkan dengan bulan lainnya (WANG et al., 2001). Pemberian vaksinasi terhadap penyakit BEF pada sapi perah di Taiwan dilakukan pada bulan Juni dan dilakukan booster pada bulan September. Sedangkan untuk penyakit BEF vaksinasi di Indonesia belum dilakukan karena secara ekonomis tidak efektif dan penyakit tersebut tingkat mortalitasnya rendah dengan angka morbiditasnya tinggi.

Di Puskeswan Godean, apabila dalam satu kandang sapi terserang BEF maka penyakit ini akan cepat menular. Jumlah ternak dalam satu kandang yang terlalu padat, serta kondisi kandang yang lembab dan kurang sirkulasi udara merupakan faktor predisposisi kejadian penyakit BEF. Kasus di Puskeswan Godean dapat diperkirakan dari 10 sapi, 7 sapi rata-rata telah terserang BEF dan biasanya berulang mencapai 40%. Biasanya kejadian penyakit BEF di Puskeswan Godean banyak terjadi pada 0 1 2 3 7 5 6 7 8

Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt

Bulan

Jum

lah kasus

(4)

sapi yang kondisi kandangnya kotor dan lembab. Disamping itu kasus BEF lebih sering terjadi pada sapi dengan ras Simetal dan Limosin bila dibandingkan dengan ras peranakan Ongole. Hal ini tidak diketahui penyebab secara pastinya.

Pada kasus BEF di Puskeswan Godean pengobatan yang dilakukan adalah dengan pengobatan simptomatis seperti pemberian preparat antipiretik. Sedangkan pada kondisi dimana sapi mengalami kekakuan otot suntikan vitamin B1 dapat diberikan. Suntikan antibiotika pada kasus BEF diberikan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder yang akan memperparah keadaan dari penyakit tersebut. Pada kondisi sapi bunting kasus BEF dapat menyebabkan keguguran yang salah satu faktor penyebabnya suhu yang tinggi 42°C (HSIEH et al., 2005). Di Puskeswan Godean menunjukan bahwa sapi dengan penampilan badan yang gemuk lebih rentan terhadap BEF. Sedangkan faktor penyebab pastinya belum diketahui secara pasti. Kondisi BEF dapat diperburuk apabila terjadi pada sapi yang terinfeksi cacing dan akan menyebabkan prognosa menjadi dubius.

Penyakit pada sapi di Puskeswan Godean yang kedua adalah diare. Kasus diare di Puskeswan Godean dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari Tabel 2 kajian kasus diare dari tahun 2006 sampai 2008 nampak bahwa rerata tertinggi terjadi pada bulan November bila dibandingkan dengan bulan lainnya. Pada bulan November kasus diare lebih banyak kemungkinan disebabkan karena faktor musim dimana pada bulan November sudah memasuki musim penghujan yang menyebabkan lingkungan jadi lembab, disamping itu pada

bulan tersebut diare dapat disebabkan karena rumput yang diberikan masih muda yang mengadung kadar air yang masih tinggi sehingga menyebabkan terjadinya diare karena faktor pakan. Disamping itu juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain yang tidak diketahui secara pastinya. Diare pada sapi dapat sebabkan oleh Clostridium perfringen,

Eimeria spp, Rotavirus dan E. coli. Sedangkan

kelompok parasit yang sering ditemukan adalah Toxocara vitulorum dan hal ini lebih sering pada anak sapi kurang dari 6 bulan (PRIADI DAN NATALIA, 2005).

Pada Tabel 2a rerata siklus kasus diare setiap tiga bulan pada masing-masing tahun dan selanjutnya diplotkan dalam bentuk grafik akan terlihat seperti pada Gambar 2.

Dari Gambar 2 terlihat bahwa trend kasus diare dari tahun 2006 sampai 2008 paling banyak pada bulan Juli sampai Oktober. Pada bulan Juli di daerah Puskeswan Godean memasuki musim kemarau dan pada saat tersebut pakan sapi berasal dari jerami yang kering, bekatul. Pada sapi ras Simental dan Limosin kadang diberi pakan jenis polar dan konsentrat. Pemberian pakan dari konsentrat kadang juga dapat menyebabkan diare yang disebabkan karena tingginya kadar protein. Di samping itu diare pada bulan Juli sulit untuk ditentukan penyebab secara pastinya karena penyebab diare sangat komplek. Pada bulan Oktober kasus diare di Puskeswan Godean cukup tinggi, kemungkinan pada bulan tersebut awal terjadinya musim hujan dan dapat mengakibatkan tanah menjadi lembab dan ada peluang untuk menetasnya telur-telur cacing yang terdapat di tanah.

Tabel 2. Kasus diare di Puskesman Godean

Jumlah kasus bulan ke- Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rerata 2006 5 6 4 2 4 3 2 4 5 4 8 2 4 2007 2 3 5 2 3 4 5 5 4 3 1 1 4 2008 4 4 2 1 2 1 0 3 2 2 6 0 2 Rerata 4 4 4 2 3 3 2 4 4 3 5 1

(5)

Tabel 2a. Rerata siklus tiga bulan kasus diare di Puskesman Godean

Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

2006 5 4 3 3 3 3 4 4 6 5 3

2007 3 3 3 3 3 4 5 5 4 3 2 2 2008 3 3 2 2 1 1 1 2 2 3 3

Gambar 2. Trend kasus diare di Puskesman Godean dari tahun 2006 – 2008

Tingkat kebersihan kandang yang kurang seperti drainase disekitar kandang akan menambah lama kesembuhan dari diare. Disamping itu juga sumber air yang digunakan dalam peternakan tersebut tidak memenuhi standar kesehatan. Standar air yang layak digunakan untuk peternakan adalah jumlah koliformnya MPN 10000 per 100ml dan E. coli 2000 per 100 ml (RIYADI 1981). Di Puskeswan Godean kasus diare dilapangan berdasarkan gejala klinis, sehingga sangat sulit untuk peneguhan diagnosa penyebab kasus diare secara pasti.

Diare merupkan kelainan dalam pencernaan yang ditandai dengan konsistensi dari feses yang encer. Penyebab dari diare ini banyak sekali, kadang di lapang kita tidak sampai mengetahui penyebab yang pasti dari diare tersebut. Karena diare dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit. Perubahan pakan yang mendadak dapat juga sebagai faktor pencetus terjadinya diare. Pengobatan diare yang dilakukan di lapangan dengan memberikan preparat sulfa. Pemberian injeksi antihistamin dan vitamin B1 dapat pula diberikan. Pada kondisi diare pemberian konsentrat dikurangi dahulu, cukup air dan

hijaun yang cukup. Untuk mengantikan elektrolit yang keluar pemberian minum ditambah NaCl dapat juga diberikan.

Penyakit pada sapi di Puskeswan Godean yang ketiga adalah myasis. Myasis merupakan penyakit yang disebabkan karena adanya infestasi larva lalat Chrysomya bezziana pada jaringan hewan dalam periode tertentu dengan memakan jaringan inangnya termasuk cairan tubuh (LEVINE, 1990). The old word screw

worm fly (OSNF) atau C. bezziana telah

diidentifikasi sebagai penyebab utama terjadinya penyakit myasis, baik pada ternak maupun binatang kesayangan.

Kajian terhadap kasus myasis dari tahun 2006 sampai 2008 di Puskeswan Godean terlihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa rerata kasus myasis paling banyak terjadi pada tahun 2006 dengan jumlah kasus empat. Sedangkan rerata kasus myasis dari tahun 2006 sampai 2008 paling banyak terjadi pada bulan November dengan sebanyak enam kasus. Kasus myasis di Puskeswan Godean lebih banyak terjadi pada pedet, sapi yang diikat dengan tali terlalu kuat dan sapi dengan kandang yang becek. Kasus myasis pada sapi yang diikat dengan tali terlalu 0 1 2 3 4 5 6 7

Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Bulan

Jum

lah kasus

(6)

kuat disebabkan karena sapi banyak bergerak sehingga menyebabkan luka pada leher dan lalat akan bertelur pada luka tersebut. Kondisi kandang yang becek menyebabkan permukaan kaki atau teracak mudah lecet sehingga lalat bertelur pada luka tersebut. Pada pedet di bawah satu bulan kejadian myasis lebih sering terjadi pada daerah sekitar umbilikus yang disebabkan karena umbilikus masih basah dan disertai dengan luka. Pada sapi dewasa kasus myasis lebih banyak di daerah ventral dari lipatan leher yang disebabkan karena tali keluh

atau pengikat terlalu kuat menyebabkan terjadinya luka. Pada sapi setelah melahirkan kasus myasis terjadi disebabkan karena darah yang keluar dari vulva meninggalkan bau yang menyengat dan mengundang lalat untuk bertelur di daerah sekitar vulva. Adanya trauma setelah melahirkan merupakan faktor predisposisi dari terjadinya myasis.

Pada Tabel 3a rerata siklus kasus myasis setiap tiga bulan pada masing-masing tahun dan selanjutnya diplotkan dalam bentuk grafik akan terlihat seperti pada Gambar 3.

Tabel 3. Kasus myasis di Puskesman Godean

Jumlah kasus bulan ke= Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rerata 2006 3 2 3 6 0 3 2 3 4 6 7 3 4 2007 1 2 2 7 2 4 0 1 2 2 4 2 3 2008 3 0 0 0 1 1 1 1 1 3 6 0 1 Rerata 3 1 2 4 1 3 1 2 2 4 6 2

Tabel 3a. Rerata siklus tiga bulan kasus myasis di Puskesman Godean

Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 2006 3 4 3 3 2 3 3 4 6 5 4

2007 2 2 4 4 4 2 2 1 2 3 3 3

2008 2 1 0 0 1 1 1 1 2 3 3

Gambar 3. Trend kasus myasis di Puskesman Godean dari tahun 2006 – 2008

-1 0 1 2 3 4 5 6 7

Jan Apr Jul

Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt

Bulan

Jum

lah kasus

(7)

Dari Gambar 3 terlihat bahwa trend kasus myasis dari tahun 2006 sampai 2008 kasus paling banyak terjadi pada bulan Oktober. Berdasarkan Tabel tiga rerata kasus paling tinggi terjadi pada bulan November, sehingga dapat dibuat kisaran bulan Oktober sampai November kasus myasis di Puskeswan Godean lebih sering terjadi. Pada bulan tersebut memasuki musim penghujan sehingga menyebabkan lalat akan berkembang biak dengan cepat. Menurut WARDHANA DAN MUHARSINI (2005) kasus myasis cukup tinggi saat menjelang hingga musim hujan, yaitu pada bulan Agustus sampai April, sedangkan kasus terendah terjadi pada bulan Mei sampai Juli hal ini kemungkinan disebabkan pada bulan tersebut curah hujan sudah mulai berkurang. Sedangkan di pulau Lombok dan Sumba Timur kasus myasis paling tinggi dijumpai pada musim hujan.

Patogenesis myasis diawali dengan adanya luka yang disebabkan karena berkelahi, tersayat benda tajam atau karena faktor lainnya. Bau darah segar yang mengalir akan menarik lalat betina untuk meletakkan telurnya ke luka tersebut. Dalam waktu 12-24 jam telur lalat akan menetas menjadi larva dan akan bergerak masuk ke dalam jaringan. Aktifitas larva di dalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang lalat yang lain untuk hinggap dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri (HUMPHREY et al., 1980, GUERRUNI, 1998, SPRADBERY, 1991, BARHOOM et al., 1998).

Kasus myasis masih menjadi ancaman yang serius pada daerah-daerah kantung ternak seperti di Sulawesi Selatan dan Sumba Timur (WARDHANA et al., 2003). Kasus lainnya juga

dilaporkan di pulau Sumbawa, Lombok dan Bali, bahkan angka prevalensinya di daerah Minahasa mencapai 20% (SUKARSIH et al., 1989). LEE (2002) menyatakan bahwa kejadian myasis di daerah endemik mencapai 95% yang menyerang semua jenis ternak.

Meskipun penyakit myasis jarang menyebabkan kematian tetapi kerugian ekonomi yang ditimbulkanya cukup besar. Infestasi larva pada kasus myasis tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik dan sangat bervariasi tergantung dari lokasi. Gejala klinis pada hewan antara lain berupa demam,

radang, peningkatan suhu tubuh, kurang nafsu makan, tidak tenang sehingga mengakibatkan ternak mengalami penurunan bobot badan dan penurunan produksi susu, kerusakan jaringan, infertilitas, hipereosinofilia serta anemia. Apabila tidak diobati myasis dapat menyebabkan kematian ternak sebagai akibat keracunan kronis amonia (HUMPHREY et al., 1980; GUERRUNI, 1988, SPRADBERY 1991; BAHROOM et al., 1998).

Di Puskeswan Godean pengobatan pada kasus myasis dilakukan secara manual dengan cara mengangkat larva yang terdapat pada jaringan dengan mengunakan pinset dan kemudian disemprot dengan mengunakan GusanekR. Injeksi antibiotika dapat pula diberikan sebagai pencegahan dalam infeksi sekunder. Dapat juga digunakan obat-obat tradisional seperti tembakau, batu baterai bekas yang dicampur dengan oli bekas selanjutnya dioleskan pada luka (WARDHANA, 2006). Pengobatan dengan cara ini ditujukan untuk mengeluarkan larva dari luka tetapi berakibat terjadinya iritasi. Pegobatan dengan

invermectin seperti ivomecR atau dectomecR juga efektif diberikan akan tetapi oabat tersebut harganya cukup mahal.

Penyakit pada sapi di Puskeswan Godean yang keempat adalah indigesti. Indigesti merupakan gangguan pencernaan pada lambung hewan ruminansia. Indigesti dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti perubahan pakan yang mendadak terutama pada hewan yang masih muda. Disamping itu hewan yang terlalu kenyang atau hewan banyak mengkonsumsi konsentrat dan pakan berjamur juga dapat menyebabkan terjadinya indigesti. Kajian kasus indigesti dari tahun 2006 sampai 2008 dapat dilihat pada Tabel 4.

Dari Tabel 4 terlihat bahwa rerata kasus indigesti paling banyak terjadi pada bulan Juli, September, November dan tahun 2006. Kasus Indigesti tidak ada hubungannya dengan bulan maupun musim, faktor terjadinya indigesti karena kesalahan dari manajemen. Panen padi di wilayah kecamatan Godean kemungkinan besar berpengaruh terhadap kasus indigesti. Sapi yang digunakan untuk membajak sawah tanpa diistirahatkan akan mengalami kelelahan, akibatnya otot-otot lambung tidak bisa bekerja dengan baik sehingga ingesta tertahan dirumen. Pada kasus di lapangan, sapi yang terus

(8)

menerus dikandangkan tanpa diberi exercise dapat sebagi faktor predisposisi kasus indigesti. Pada bulan tersebut di daerah Godean memasuki panen padi dan sapi diberikan pakan jerami.

Pada Tabel 4a rerata siklus kasus indigesti setiap tiga bulan pada masing-masing tahun dan selanjutnya diplotkan dalam bentuk grafik akan terlihat seperti pada Gambar 4.

Dari Gambar empat terlihat bahwa trend kasus indigesti dari tahun 2006 sampai 2008 paling banyak pada bulan Oktober. Hal ini dapat disebabkan Pada bulan Oktober sampai November di daerah Godean musim tanam padi dan sapi digunakan untuk membajak sawah tanpa disertai istirahat, sehingga sapi tersebut mengalami indigesti. Pada sapi yang

digunakan untuk membajak sawah apabila diberi pakan langsung dipekerjakan kemungkinan terjadinya indigesti semakin besar. Kejadian indigesti pada sapi di Puskeswan Godean penyebab pastinya tidak dapat ditentukan karena sangat komplek permasalahannya. Salah satu contoh ada kasus indigesti yang disebabkan sapi diberi pakan konsentrat tinggi protein tanpa disertai pemberian pakan hijauan. Menurut SUBRONTO (1989) patogenesis terjadinya indigesti diawali dengan hipermotilitas dari rumen untuk mengatasi timbunan ingesta yang terdapat pada lambung, sehingga terjadi kelemahan dari otot rumen dan tidak kuat untuk berkontraksi akibatnya tonus rumen menjadi hilang.

Tabel 4. Kasus indigesti di Puskesman Godean

Bulan ke- Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rerata 2006 1 2 3 3 2 6 7 1 5 3 6 5 4 2007 3 3 2 2 5 3 4 0 2 4 2 0 3 2008 0 0 2 1 1 0 0 2 6 1 3 2 2 Rerata 1 2 3 2 3 3 4 1 4 3 4 2

Tabel 4a. Rerata siklus tiga bulan kasus indigesti di Puskesman Godean

Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

2006 2 3 3 4 5 5 4 3 5 5 5

2007 4 3 2 3 3 4 2 2 2 3 2 1

2008 0 0 1 1 1 0 1 3 3 4 2

Gambar 4: Kejadian penyakit Indigesti dari tahun 2006-2008

-1 0 1 2 3 4 5 6

Jan Apr Jul Okt Bulan

Jum

lah kasus

Indigesti

(9)

KESIMPULAN

Dari hasil kajian dan diskusi dapat disimpulkan bahwa kasus penyakit yang dipengaruhi musim dan sering terjadi di wilayah Puskeswan Godean adalah BEF dan myasis. Trend kasus BEF tinggi pada bulan Januari dan Juli, sedangkan kasus myasis bulan Oktober. Kasus penyakit BEF dan myasis memerlukan vektor nyamuk dan lalat, dimana populasinya dipengaruhi oleh musim-musim tertentu yaitu pada awal sampai akhir musim hujan. Trend kasus diare dan indigesti tinggi bulan Oktober. Sedangkan kasus penyakit diare dan indigesti sulit dipastikan karena penyebab kedua penyakit tersebut sangat komplek dan sangat terkait dengan sistem pemberian pakan maupun sistem tata laksana kandang.

DAFTAR PUSTAKA

BARHOOM, S.S., A.M. KHALAF and F.S. KADMIN. 1998. Aetiological and clinical findings of cutaneous myasis in domestic animals in iraq. Iraq J. Vet. Sci. 11: 31 – 44.

CFSPH. 2008. Center for Food Security and Public health. Bovine Ephemeral Fever. July (24): 1 – 3.

GUERRINI,V.H. 1998. Amonia toxicity and alkalosis in sheep infested by Lucilia cuprina larvae. Int. J. Parasitol. 18: 79 – 81.

HUMPHREY, J.D.,J.P. SPRADBERY andR.S. TOZER. 1980. Chrysomya bezziana: Pathology of old world Screwworm fly infestations in cattle. Exp. Parasitol. 49: 381 – 397.

HSIEH, Y.C.,S.H.CHEN,C.C.CHOU,L.J.TING, C. UTAKURA and F.I. WANG. 2005. Bovine ephemeral fever in Taiwan 2001 – 2002. J. Vet. Sci. 67(4): 411 – 416.

LEVINE, D.N. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Sec edition. Gadjah Mada Press,Yogyakarta.

LEE, J. 2002. Hunting Sscrewworm Fly. Proc.of Screwworm Fly Emergency Preparadness Conference Canberra. Canberra, 12 – 15 November 2001. Departement of Agriculture Fisheries and Forestry Australia. pp. 85 – 91.

LIM, S.I.,H.C. KWEON,S.D. TARK, H.S.KIM, and K.D. YANG. 2007. Sero-survey on Aino, Alkabane, chuzan, bovine ephemeral fever and Japanese encephalitis virus of cattle and swine in Korea. J. Vet. Sci. 81(1): 45 – 49. PRIADI,A.danL.NATALIA. 2005. Bakteri penyebab

diare pada sapi dan kerbau di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 10 – 11 November 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 38 – 44.

RIYADI, S.A.L. 1981. Ekologi. Ilmu Lingkungan Dasar-Dasar dan Pengertian. Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia. 153.

SUBRONTO. 1989. Ilmu Penyakit Ternak. Sec edition. Gadjah Mada Press, Yogyakarta. SUKARSIH, R.S. TOZER and M.R. KNOX. 1989.

Colection and case incidence of the old world Screwworm fly, Chrysomya bezziana, in three localities in Indonesia. Penyakit Hewan 21(38): 111 – 117.

SPRADBERY,J.P. 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO Division of Entomology Canberra, Australia.

THRUSFIELD, M. 1995. Veterinary epidemiology. Departmen of veterinary clinical studies Royal (Dick) School of Veterinary Study University of Edinburgh. Sec ed. Blackwell Science. pp. 123 – 126.

WANG I.F., A.M. HSU and K.J. HUANG. 2001. Bovine ephemeral fever in Taiwan. J. Vet. Diagn. Invest. 13: 462 – 467.

WARDHANA A.H. 2006. Chrysomya bezziana penyebab myasis pada hewan dan

manusia:permasalahan dan penanggulangannya. Wartazoa 16(3): 146 –

159.

WARDHANA A.H dan S. MUHARSINI. 2005. Kasus myasis yang disebabkan Chrysomya bezziana di Pulau Jawa. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 1078 – 1084.

WARDHANA,A.H.,S.MUHARSINI dan SUHARDONO. 2003. Koleksi dan kejadian myasis yang disebabkan oleh old world Screwworm fly,

Chrysomya bezziana di daerah endemik di

Indonesia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitabng Peternakan, Bogor. hlm. 235 – 239.

(10)

DISKUSI Pertanyaan:

1. Apa penyebab timbulnya penyakit diare pada ternak?

2. Apa penyebab timbulnya penyakit Myasis dan kerugian yang ditimbulkan? Jawaban:

1. Penyakit diatas pada sapi dapat disebabkan oleh pemberian rumput yang masih muda terutama pada awal musim penghujan. Oleh karena itu, perlu diberikan penjelasan/sosialisasi tentang penyebab diare pada saat pertemuan kelompok ternak.

2. Myasis disebabkan oleh investasi larva lalat Chrysomya bezziana pada luka di tubuh ternak. Myasis tidak menyebabkan kematian tetapi penurunan nafsu makan dan berat badan, sehingga produksi susu, dengan demikian merugikan secara ekonomi.

Gambar

Tabel 1. Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Puskeswan Godean  Jumlah kasus bulan ke-  Tahun  1  2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12  Rerata  2006  3  2 1 2 1 5 7 3 2 1  1  2  3  2007  6  2 2 3 2 4 12 7 1 1  1  1  4  2008  4  1 1 1 1 3 5 1 2 2  2  1  2  Rerata  4
Gambar 1.  Trend kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Puskesman Godean dari  tahun 2006 – 2008
Tabel 2. Kasus diare di Puskesman Godean
Tabel 2a. Rerata siklus tiga bulan kasus diare di Puskesman Godean
+3

Referensi

Dokumen terkait

kredit dapat ditambahkan dari angka kredit subunsur proses belajar mengajar. Berdasarkan PAK guru yang bersangkutan, ijazah yang telah diperhitungkan angka kreditnya

Menyampaikan instrumen tanggal penerimaan kontra memori banding kepada petugas meja II untuk dicatat dalam register induk perkara gugatan dan register permohonan

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan mengkaji mengenai hubungan karakteristik balita, umur saat imunisasi campak dan riwayat ASI

Dari rata-rata penurunan ini maka dapat dihitung kumulatif nilai organoleptik ikan yang disimulasikan seperti pada tabel 3 dibawah berikut dengan menggunakan waktu

Dari beberapa batasan istilah tersebut di atas, dapat di jelaskan bahwa maksud dari judul penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan antara persepsi

Gereja didirikan oleh Kristus sehingga Gereja menerima kekudusannya dari Kristus atas doa-doaNya (lih Yoh 17:11). Gereja itu kudus karena tujuan ke mana ia diarahkan adalah

Bagi umat manusia, Alquran adalah pedoman dan rujukan hukum untuk setiap perbuatan manusia di bumi ini. oligarki ekonomi adalah system pemerintahan yang di mana kekuasaan

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: Pengaruh