BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah disebabkan oleh karena adanya penurunan sekresi
insulin (Soegondo, 2009). Menurut WHO (2014) DM merupakan penyakit kronis
yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin, atau ketika
tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif sehingga
mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia).
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2014) DM merupakan kelompok gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik
tersebut berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi beberapa organ
tubuh terutama mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Jadi DM adalah sekumpulan
gejala yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah sebagai akibat defisiensi
insulin baik relatif maupun absolut (Soegondo, 2009).
2.2 Patogenesis Diabetes Melitus
Tubuh manusia memerlukan bahan bakar berupa energi untuk menjalankan
berbagai fungsi sel dengan baik. Bahan bakar tersebut bersumber dari sumber zat
menjadi zat yang sederhana dan proses pengolahan lebih lanjut untuk
menghasilkan energi. Proses pembentukan energi terutama yang bersumber dari
glukosa memerlukan proses metabolisme yang rumit. Dalam proses
metabolisme tersebut insulin memegang peranan yang sangat penting yang
bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya diubah enjadi energi
(Suiraoka, 2012).
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel. Untuk kemudian
di dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Dalam keadaan normal
artinya kadar insulin cukup dan sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin
yang ada pada permukaan sel otot, kemudian membuka pintu masuk sel
hingga glukosa dapat masuk sel untuk kemudian dibakar menjadi energi/tenaga.
Akibatnya kadar glukosa dalam darah normal. Pada DM dimana didapatkan jumlah
insulin yang kurang atau pada keadaan insulin tidak baik (resisten insulin), meskipun
insulin dan reseptor ada, tetapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu
masuk sel tetap tidak dapat terbuka hingga glukosa tidak dapat masuk ke sel untuk
dibakar (dimetabolisme) akibatnya glukosa tetap berada di luar sel, hingga kadar
glukosa dalam darah meningkat (Soegondo, 2009).
Menurut Soegondo (2009), patogenesis DM berbeda berdasarkan
a. DM Tipe 1
Insulin tidak ada dan hal ini disebabkan karena jenis penyakit ini ada reaksi
autoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap tipe 1, terdapat
adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang meningkat kadarnya oleh karena
beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus, diantaranya virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain, hingga timbul peradangan pada sel beta (insulitis) yang
akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Pada insulitis yang diserang
hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta tetap utuh. Pada studi populasi ditemukan
adanya hubungan antara DM tipe 1 dengan HLA DR3 dan DR4.
b. DM Tipe 2
Patogenesis pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan Hepatic Glucose Production (HGP), dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Pada stadium pradiabetes mula-
mula timbul resistensi insulin (disingkat RI) yang kemudian disusul oleh
peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi RI itu agar kadar glukosa darah
tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi mengkompensasi RI
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun. Saat
itulah diagnosis DM ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu
berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mengsekresi insulin, suatu keadaan menyerupai DM tipe 1, kadar glukosa darah
2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
WHO membagi DM menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :
a. DM tipe 1
DM tipe 1 dikenal sebagai insulin dependent atau childhood-onset diabetes yang ditandai dengan kurangnya produksi insulin dan memerlukan pemberian
insulin setiap hari. Gejala DM tipe 1 adalah banyak berkemih (poliuri), rasa haus
(polidipsia), merasa lapar secara terus-menerus (polifagia), berat badan menurun,
penglihatan berubah, sering merasa lelah. Gejala ini bisa terjadi secara tiba-tiba.
b. DM tipe 2
DM tipe 2 yang dikenal dengan non-insulin-dependent atau adult-onset diabetes disebabkan karena ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin secara efektif. DM tipe 2 sebagian besar diakibatkan oleh karena berat badan berlebih
dan aktivitas fisik yang kurang. Gejala sama dengan gejala DM tipe 1, tetapi DM
tipe 2 sering terjadi tanpa menunjukkan tanda atau gejala. Sebagai akibatnya
penyakit tersebut dapat diketahui beberapa tahun setelah onset dan sesudah komplikasi muncul.
c. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah hiperglikemia dengan kadar gula darah diatas
normal tetapi dibawah nilai diagnostik diabetes yang terjadi selama kehamilan.
Menurut Soegondo (2009), terkadang sukar untuk menetapkan seseorang
termasuk dalam klasifikasi DM tipe apa. Dibawah ini ada beberapa karakteristik
yang dapat digunakan untuk membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2, yaitu :
a. DM Tipe 1, yaitu mudah terjadi ketoasidosis, pengobatan harus dengan insulin,
onset akut, biasanya kurus, biasanya pada umur muda, riwayat keluarga diabetes (+) pada 10% dan didapat Islet Cell Antibody (ICA).
b. DM tipe 2, yaitu tidak mudah menjadi ketoasidosis, tidak harus dengan
insulin, onset lambat, gemuk atau tidak gemuk, biasanya pada umur diatas 45 tahun, riwayat keluarga diabetes (+) pada 30% dan tidak ada Islet Cell Antibody (ICA).
2.4 Epidemiologi Diabetes Melitus
Besarnya permasalahan penyakit DM dapat diukur dengan angka kejadian
DM dan komplikasi yang disebabkannya. Angka kejadian DM di masyarakat sangat
jarang ada di Indonesia mengingat mahalnya biaya yang diperlukan untuk
suatu survei epidemiologis, apalagi yang dilakukan untuk komplikasi kronik
DM adalah dalam skala besar. Dari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia
didapatkan angka kejadian DM berkisar antara 1,4% dengan 1,6% kecuali di dua
tempat yaitu Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, yaitu 2,3% dan di Manado 6%
(Sudoyo dkk,2009).
Penyakit DM bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin,
laki yaitu 11,8%, sedangkan penderita perempuan 10,8%. Menurut hasil
Riskesdas 2013 prevalensi penderita DM berdasarkan terdiagnosis lebih besar pada
perempuan (1,7%) dari pada laki-laki (1,4%) (Balitbangkes, 2013).
Distribusi usia penderita DM menunjukkan perbedaan pola antara
negara maju dan negara berkembang. Di negara maju dengan tingkat ekonomi dan
pelayanan kesehatan lebih baik, prevalensi DM lebih tinggi pada kelompok
umur tua. Sebaliknya, prevalensi DM umumnya pada kelompok umur 45-64 tahun
di negara berkembang. Pola ini diperkirakan akan sama pada tahun 2025-2030. Hasil
penelitian di Depok menunjukkan DM lebih tinggi prevalensinya pada kelompok
umur 46-55 tahun. Di Manado umumnya pasien DM tipe 2 yang berobat ke Rumah
Sakit PRDK tahun 2008 pada usia 51-60 (44%) dan rata-rata umur 57 tahun. Data
dari negara Asia menunjukkan prevalensi DM tertinggi pada kelompok umur 30-49
tahun. Ini menunjukkan bahwa DM terjadi pada usia produktif di Asia (Handayani,
2012). Penderita DM terdapat diseluruh dunia namun lebih sering (terutama DM
tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar terjadi di Asia
dan Afrika sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola
makan “western –style” yang tidak sehat. Penderita DM terbesar di dunia terdapat pada negara China dengan prevalensi sebesar 98,4%, di susul oleh negara india
yaitu sebesar 65,1%. Penderita DM di Indonesia lebih banyak tinggal
diperkotaan 2,0% sedangkan dipedesaan 1,0%.
Hasil penelitian epidemiologis di Jakarta (daerah urban) membuktikan
pada tahun 1993, kemudian pada tahun 2001 di Depok, sub-urban Jakarta menjadi
12,8%, sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Agusta Arifin di suatu daerah
di Jawa Barat angka itu hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja di
dapatkan prevalensi DM hanya 0,8%. Demikian pula prevalensi DM di Ujung
Pandang (daerah urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada
tahun 1998. Di sini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural, menunjukkan
bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian DM (Soegondo, 2009). Sedangkan
berdasarkan ras dan etnik prevalensi DM tahun 2011 terbanyak pada ras Indian
(15,9%) (ADA, 2014).
2.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus
DM utamanya disebabkan oleh dua hal, yaitu meningkatnya kadar gula darah
dan kurangnya produksi insulin. Peningkatan kadar gula darah disebabkan oleh
meningkatkan asupan zat gizi yang masuk ke dalam tubuh, terutama asupan
karbohidrat. Sementara itu, kurangnya produksi insulin dapat disebabkan oleh
dua hal, yaitu defisiensi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin disebabkan
oleh jaringan tubuh yang menjadi kurang sensitif terhadap dampak dari insulin. Hal
ini menyebabkan gula darah tidak meninggalkan darah dan memasuki sel-sel
tubuh. Sementara itu defisiensi insulin disebabkan oleh ketidakmampuan
insulin untuk memenuhi kadar yang dibutuhkan oleh tubuh. Ada beberapa faktor
adalah berat badan berlebih, peningkatan usia, gaya hidup yang kurang akivitas,
faktor genetik atau turunan (Nathan dan Linda, 2009).
Konsensus Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011, Dalam
hal pencegahan primer sebagai upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berisiko untuk mendapat DM
dan kelompok intoleransi glukosa. pengukuran faktor risiko DM menjadi dua faktor.
2.5.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi a. Ras dan Etnik
Merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki ciri fisik bawaan yang
sama, pada dasarnya ciri fisik manusia dikelompokkan atas tiga golongan yaitu ciri
fenotipe merupakan ciri-ciri yang tampak, ciri fenotipe terdiri atas ciri kualitatif dan kuantitatif, ciri kualitatif antara lain warna kulit, warna rambut, bentuk hidung,
bentuk dagu dan bentuk bibir sementara ciri kuantitatif antara lain tinggi badan dan
ukuran bentuk kepala, ciri filogenetif yaitu hubungan asal usul antara ras-ras dan perkembangan sedangkan ciri getif yaitu ciri yang didasarkan pada keturunan darah (Laning, 2009).
Etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang
mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya, anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal
sejarah (keturunan), bahasa, sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi, penelitian
yang dilakukan oleh NHANES (National Health And Nutrition Examinations
ras kulit hitam dan putih usia 20-70 tahun, wanita kulit hitam mempunyai 2 kali
menderita DM dibandingkan dengan wanita kulit putih (Lipton, 1993).dan Orang
Asia lebih berisiko terkena DM (Tandra, 2014).
b. Riwayat Keluarga dengan DM (Anak Penyandang DM)
Risiko seseorang anak mendapat DM Tipe II adalah 15% bila salah seorang
orang tuanya menderita DM dan kemungkinan 75% bila keduanya menderita DM.
Pada umumnya bila seorang menderita DM maka saudara kandungnya mempunyai
Risiko DM sebanyak 10%. (Depkes RI,2008). Bila ada anggota keluarga yang
terkena DM maka anda berisiko menjadi diabetes (Tandra, 2014)
DM Tipe II merupakan penyakit multifaktorial dengan komponen genetik
yang akan mempercepat fenotipe diabetes, riwayat penyakit untuk timbulnya DM
Tipe II terjadi interaksi antara predisposisi genetik dan lingkungan, pada penelitian
yang dilakukan oleh The Framingham offspring of Tipe II diabetes mendapatkan risiko DM Tipe II yaitu 3,5 kali lebih tinggi pada keturunan salah satu orang tua
diabetes, dan 6 kali lebih tinggi pada keturunan yang keduanya orang tua tersebut
menderita diabetes.
c. Umur
Risiko untuk Menderita Intoleransi Glukosa Meningkat Seiring Pertambahan
Usia. Usia > 45 Tahun Harus Dilakukan Pemeriksaan DM. Perubahan metabolisme
tubuh yang ditandai dengan penurunan produksi hormon tertosteron untuk laki-laki
dan oestrogen untuk perempuan biasanya memasuki usia 45 tahun keatas, kedua
metabolisme pengaturan proses metabolisme tubuh, salah satu fungsi dua hormon
tersebut adalah mendistribusikan lemak keseluruh tubuh akibatnya, lemak menumpuk
diperut, batasan lingkar perut normal untuk perempuan < 80cm dan untuk laki-laki <
90cm. Membesarnya lingkaran pinggang akan diikuti dengan peningkatan gula darah
dan kolesterol yang akan diikuti dengan sindroma metabolik yakni terganggunya
metabolisme tubuh dari sinilah mulai timbulnya penyakit degeneratif (Tjokroprawiro,
2007).
Prevalensi responden yang mempunyai riwayat DM cenderung meningkat
dengan bertambahnya usia, hal ini disebabkan semakin lanjut usia maka pengeluaran
insulin oleh pankreas juga semakin berkurang. Namun prevalensi pada usia 65 tahun
ke atas semakin menurun, kemungkinan pada kelompok tersebut responden DM
berkomplikasi berat sehingga tak bisa datang ketempat pemeriksaan atau
kemungkinan pada kelompok tersebut sebagian besar sudah meninggal, Usia >55
tahun memiliki risiko hiperglikemia 6,7 kali sedangkan usia 35–54 tahun 4,5 kali
dibanding usia 15–34 tahun. Jenis kelamin perempuan berisiko 2,5 kali dibanding
laki-laki, dan yang tidak minum/ injeksi obat anti diabetes berisiko 2,2 kali dibanding
yang minum/injeksi obat (Mihardja, 2009).
d. Riwayat Melahirkan Bayi dengan Berat Badan (BB) lahir >4000 gram atau
Riwayat Pernah Menderita Diabetes Gestational/Kehamilan (DMG)
Diabetes Melitus Gestational (DMG) adalah suatu bentuk diabetes yang
berkembang pada beberapa wanita selama kehamilan, Diabetes gestasional terjadi
mengkontrol gula darah (glukosa) wanita hamil tersebut pada tingkat yang aman bagi
dirinya maupun janin yang dikandungnya (Jhonson, 2008).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah yang menunjukkan
wanita hamil tersebut mempunyai kadar gula yang tinggi dalam darahnya dimana ia
tidak pernah menderita DM sebelum kehamilannya, DM Gestasional berbeda dengan
DM lainnya dimana gejala penyakit ini akan menghilang setelah bayi lahir di
Indonesia insiden DMG sekitar 1,9%-3,6% dan sekitar 40-60% wanita yang pernah
mengalami DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan akan mengidap DM atau
gangguan toleransi glukosa (Soewondo, 2006).
e. Riwayat Lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (<2,5 Kg)
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah tentunya memiliki organ yang
internal yang kecil. Organ internal akhirnya membuat si anak tidak mampu
memenuhi kebutuhan tubuhnya. Jika berat badan kecil maka pankreasnya juga kecil
dan tidak sempurna, sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan insulin tubuh.
Ketika anak ini bertumbuh dan dewasa anak yang lahirnya kecil untuk jadi bertambah
besar ketika sudah masuk usia anak-anak dan remaja. Ini semakin membuat organ
tidak mampu mencukupi kebutuhan tubuhnya, akhirnya akan berisiko
2.5.2 Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi
a. Berat Badan Lebih (Indek Massa Tubuh/IMT > 25 kg/m2)
Kelebihan Berat Badan (BB) merupakan salah satu faktor risiko DM. cara
sederhana untuk mengetahui kelebihan BB adalah dengan mengukur Indeks Masa
Tubuh (IMT). Penggunaan IMT disini hanya untuk orang dewasa >18 tahun,
PERKENI (2011), Berdasarkan WHO/WPR/IASO/IOTF dalam The
Asia-Pacific Perspective:Redefining Obesity and its Treatment IMT berat badan seseorang dibagi menjadi 6 kelompok yaitu BB Kurang, BB Normal, BB Lebih, BB dengan
Risiko, Obesitas I, dan Obesitas 2. dan obesitas menunjukkan adanya penumpukan
lemak yang berlebihan didalam tubuh, ditandai dengan peningkatan nilai masa indeks
tubuh diatas normal, orang yang mengalami penumpukan lemak yang lebih banyak
dalam jangka waktu yang lama akan menjadi risiko tinggi DM.
Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus :
Depkes RI (2008), Batas Ambang IMT untuk orang Indonesia dikategorikan
merujuk FAO/WHO yang telah dimodifikasi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil
penelitian di beberapa negara berkembang, sebagai berikut :
Tabel 2.1. Katagori Nilai IMT (Indeks Masa Tubuh) Indonesia
Katagori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat ringan 17,0 – 18,4
Normal 18,5 -25,0
Kegemukan Kelebihan BB tingkat ringan >25,0 – 27,0 Kelebihan BB tingkat berat >27,0
Penelitian oleh National Health and Nutrition haminations Surveys (NHANES)
tahun 1992-2002 didapatkan 80% dari responden dengan IMT ≥18,5 kg/m2 menderita
DM dibanding dengan responden dengan IMT <18,5 kg/m2 (ADA, 2011). DM Tipe
II cenderung meningkat seiring dengan peningkatan lemak yang diukur dengan IMT,
setiap peningkatan 1 kg berat badan meningkatkan risiko sebesar 4,5% untuk
menderita DM tipe 2 (Webber, 2004).
Penelitian Kaban, dkk (2005) hubungan obesitas dengan DM diperoleh nilai
(p;0,000) dengan nilai OR=4,6% yang artinya orang yang obesitas kemungkinan 4,6
kali menderita DM Tipe II dibandingkan dengan yang tidak.
b. Kurangnya Aktivitas Fisik
Kebugaran jasmani dapat mengambarkan kondisi fisik seseorang untuk
mampu melakukan kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, makin
tinggi kemampuan fisik seseorang maka makin tinggi pula produktifitasnya. Aktivitas
fisik mengakibatkan meningkatnya sensitivitas dari reseptor dan insulin semakin
meningkat sehingga glukosa darah yang dipakai untuk metabolisme energy semakin
baik. Setelah berolahraga selama 10 menit, kebutuhan glukosa darah akan meningkat
sampai 15 kali jumlah kebutuhan pada saat biasa, setelah berolahraga 60 menit
kebutuhan glukosa darah dapat meningkat sampai 35 kali (Depkes RI, 2008).
Menurut Chaveau dan kaufman dalam Depkes RI (2008), latihan
fisik/olahraga pada diabetesi dapat menyebabkan peningkatan pemakaian glukosa
darah oleh otot yang aktif sehingga latihan fisik/olahraga secara langsung dapat
memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan stress dan mencegah terjadinya DM
Tipe II pada penderita gangguan toleransi glukosa.
Tabel 2.2. Contoh Aktivitas Fisik dan Kalori yang Dikeluarkan
No Aktivitas Fisik Kalori yang dikeluarkan
1. Cuci Baju 3,58 Kcal/menit
7. Membersihkan jendela 3,7 Kcal/menit
8. Berkebun 5,6 Kcal/menit
9. Menyeterika pakaian 4,2 Kcal/menit
Sumber : Perkeni, 2011
Aktivitas Fisik yang dianjurkan :
1. Lakukan sekurang–kurangnya 30 menit perhari secara rutin dan teratur agar
bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh, misalnya :
a. Turun bus lebih awal menuju tempat kerja yang kira kira menghabiskan 20
menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di halte yang menghabiskan
kira-kira 10 menit berjalan kaki menuju rumah.
b. Membersihkan rumah selama 10 menit dua kali dalam sehari ditambah
bersepeda selama 10 menit.
2. Lakukan secara bertahap hingga mencapai 30 menit minimal setiap harinya.
3. Lakukan dimana saja, dengan memperhatikan lingkungan yang aman dan
nyaman, bebas polusi, tidak menimbulkan cedera, misalnya di sekolah, di rumah,
di tempat kerja, taman dan tempat rekreasi.
5. Olahraga sedang sebaiknya dilakukan 3-4 kali seminggu dengan durasi minimal
30 menit dan tidak berselang lebih dari 3 hari.
Aktivitas fisik merupakan suatu kegiatan fisik yang dilakukan dengan
terencana dan terstruktur, berulang dan tujuannya memperbaiki atau menjaga
kesegaran jasmani, kesegaran jasmani berkaitan dengan kesehatan mengacu pada
beberapa aspek fungsi fisiologi dan psikologis yang dipercaya memberikan
perlindungan kepada seseorang dalam melawan beberapa tipe penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung koroner, obesitas dan kelainan muskuloskeletal (Ganlay,
2000).
Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter USA selama 5 tahun
(kohort study) menemukan bahwa kasus DM Tipe II lebih tinggi pada kelompok yang
melakukan aktivitas fisik kurang dari 1 kali perminggu dibanding dengan kelompok
yang melakukan olah raga 5 kali seminggu. Penelitian lain yang dilakukan selama 8
tahun pada 87.535 perawat wanita yang melakukan olah raga ditemukan penurunan
risiko penyakit DM Tipe II sebesar 3370 orang (Soegondo dkk, 2009).
Aktivitas fisik (olahraga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi
darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin,
sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah
terkendali maka akan mencegah komplikasi kronik DM (Niemann, 1995).
Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih sensitif
dengan lebih efektif, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa, keadaan ini dapat
berlanjut beberapa jam setelah melakukan olah raga.
Lamanya manfaat olahraga akan hilang bila berhenti 3 hari, hal ini
menekankan pentingnya olahraga secara teratur dan berkesinambungan, agar
benar-benar bermanfaat olahraga dilakukan 3-4 kali dalam seminggu, berkesinambungan
dan dalam jangka waktu yang panjang (Suhartono, 2004). Olahraga selama 30-40
menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa kedalam sel sebesar 7-20 kali lipat
dibandingkan tanpa olahraga, Olahraga yang tepat untuk diabetesi adalah jalan,
jogging, renang, bersepeda aerobik (Soewondo, 2006).
Hasil penelitian Wardani (2009), aktivitas fisik rendah memiliki risiko DM
Tipe II sebanyak 3,2 kali lebih besar dari yang melakukan aktivitas fisik yang baik.
c. Tekanan Darah Tinggi ≥ 140/90 mmhg)
Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding- dinding arteri ketika
darah tersebut dipompa dari jantung kejaringan, tekanan darah merupakan gaya yang
diberikan darah pada dinding pembuluh darah, tekanan ini paling tinggi ketika
ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah ketika ventrikel
berelaksasi (tekanan diastolik) (Hull, 1996).dan dapat diukur pada arteri brachialis di
lengan atas (Depkes RI, 2008).
Ketika jantung memompa darah melewati arteri, darah menekan dinding
pembuluh darah, mereka yang menderita hipertensi mempunyai tinggi tekanan darah
yang tidak normal, penyempitan pembuluh nadi atau aterosklerosis merupakan gejala
kolesterol dalam aterosklerosis, sirkulasi darah melewati pembuluh darah menjadi
sulit, ketika arteri-arteri mengeras dan mengerut dalam aterosklerosis darah memaksa
melewati jalan yang sempit, sebagai hasilnya tekanan darah menjadi tinggi (Hull,
1996).
Menurut JNC 7 (Joint National Commite) (2003) bila tekanan darah
≥140/90mmhg dinyatakan sebagai hipertensi, hipertensi atau darah tinggi adalah
keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal atau
kronis, hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri,
satu-satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan
darah kita secara teratur. JNC membuat kategori tekanan darah sebagai berikut:
Tabel 2.3. Klasilikasi Tekanan Darah pada Dewasa menurut JNC (Joint National Commite) VII
Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik Normal Sumber: JNC-VII 2003 dalam Depkes RI 2008
Disfungsi endotel bisa menjadi salah satu patofisiologi umum yang bisa
menjelaskan hubungan kuat antara hipertensi dengan kejadian penyakit DM.
beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh
hipertensi terhadap kejadian DM disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri
yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit yang menyebabkan
Penelitian Sunjaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami
hipertensi mempunyai resiko 1,5 kali lebih besar terkena DM disbanding individu
yang tidak hipertensi. Trisnawati (2012) menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara hipertensi dengan kejadian DM yaitu penderita hipertensi 6,85 kali
beresiko terkena DM dibanding yang tidak hipertensi.
d. Obesitas Abdominal/Sentral (Lingkar Perut untuk Pria >90 cm, Wanita >80cm)
Pada Obesitas sentral terjadi resistensi insulin di hati yang mengakibatkan
peningkatan asam lemak bebas (FFA/Free Fatty Acid) dan oksidasinya. FFA
menyebabkan ganguan metabolisme glukosa baik secara oksidatif maupun
non-oksidatif sehingga menggangu pemakaian glukosa oleh jaringan perifer. Peningkatan
jumlah lemak viseral (abdominal) mempunyai korelasi positif dengan hiperinsulin
dan berkorelasi negatif dengan sensitifitas insulin. Obesitas abdominal/sentral dapat
diketahui dengan pengukuran lingkar perut. Pada pria Asia dikatakan obesitas
abdominal bila hasil pengukuran >90 cm dan pada wanita >80 cm, Jenis obesitas ini
sangat berpengaruh terhadap kasus DM (Depkes RI, 2008).
Penelitian Kaban, dkk (2005) hubungan obesitas dengan DM diperoleh nilai
(p:0,000) dengan nilai OR= 4,6% yang artinya orang yang obesitas kemungkinan 4,6
kali menderita DM Tipe II dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas,
Peningkatan IMT adalah membuat pertambahan jaringan lemak ditubuh, hal ini akan
membuat pankreas akan bekerja lebih banyak untuk menghasilkan insulin yang akan
insulin yang dihasilkan pankreas dapat secara normal memberikan pada jaringan
tubuh tanpa harus bekerja keras untuk menghasilkan tambahan insulin.
e. Dislipidemia, Kadar Lipid (Kolesterol HDL = 35 mg/dl dan atau Trigliserida 250
mg/dl)
Merupakan suatu keadaan dimana kadar lemak dalam darah meningkat diatas
batas normal, lemak yang mengalami peningkatan ini meliputi kolesterol, trigliserida
salah satu partikel yang mengangkut lemak dari sekitar tubuh atau dapat keduanya,
berbagai penelitian membuktikan bahwa keadaan dislipidemia dan hiperglikemia yang berlangsung lama merupakan faktor penting dalam terjadinya komplikasi PJK
(Penyakit Jantung Koroner) pada DM Tipe II, studi Finnish membuktikan bahwa peningkatan kadar trigliserid dan rendahnya kolesterol HDL (High Density
Lypoprotein) merupakan faktor risiko PJK (Penyakit Jantung Koroner) pada DM Tipe II (Niemann, 2005).
f. Diet Tidak Seimbang (Unhealthy Diet) dengan Tinggi Gula dan Rendah Serat
Depkes RI (2008), Konsumsi makanan yang tidak seimbang, tinggi gula dan
rendah serat juga merupakan faktor risiko DM, perencanaan makanan yang
dianjurkan seimbang dengan komposisi energi yang dihasilkan oleh karbohidrat,
protein, dan lemak adalah 45-65% : 10-20% : 20-25%. Secara sederhana dapat diukur
dengan food model atau makanan dalam piring. Dengan prinsipnya adalah makan
yang teratur dalam Jadwal, Jumlah dan Jenisnya (3J). Contoh ini dapat dilihat di
puskesmas sedangkan contoh proporsi makanan dalam bentuk tabel dan piramida
Tabel 2.4. Contoh Gizi Seimbang
Bahan Makanan Kebutuhan Keterangan 1 Porsi Makanan Pokok 3-4 porsi - ¾ gelas sedang nasi (100 gr), atau - 1 butir telur ayam kampung (55 gr), atau - 1 ekor sedang ikan segar ( 40 gr) - 1 buah sedang jeruk garut(115 gr), atau - 1 potong besar pepaya ( 190 gr)
Tingginya serat dalam makanan menimbulkan turunnya absorsi beberapa
elemen mineral (Mg, Ca, Zn dan Fe). Terdapat batasan pemberian serat maksimal
20-30 g per hari untuk meminimalkan reaksi samping, karena bila kelebihan atau
kekurangan serat dalam makanan yang dikonsumsi menyebabkan ganguan proses
pencernaan serta pembentukan feases (Departemen Gizi dan Kes Mas UI, 2012)
Penelitian Hartati (2004) yang dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang
menjelaskan ada pengaruh asupan serat makanan terhadap kadar gula darah DM Tipe
II dengan hasil nilai p value < 0,005, hasil penelitian Riskesdas (2007) faktor risiko
terhadap terjadinya DM mempunyai nilai odd rasio 1,04 kali dari yang tidak makan
buah dan sayur (Balitbang, Kemenkes RI, 2013).
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya gula darah adalah Indeks Glikemik
yaitu ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula darah, semakin tinggi indeks
glikemik suatu makanan, semakin cepat dampaknya terhadap kenaikan gula darah,
Indeks glikemik di atas 70 termasuk tinggi, antara 56 sampai dengan 69 sedang dan
55 ke bawah adalah rendah (Ostman, 2001).
Makanan yang sedikit atau tidak mengandung karbohidrat seperti daging, keju,
memiliki indeks glikemik mendekati nol. Selain GI dilihat juga Glycemic Load (GL)
berbeda dengan GI, GL tidak hanya menilai seberapa cepat glukosa dari suatu makan
memasuki peredaran darah tetapi juga menilai seberapa banyak glukosa yang
terkandung dari makanan tersebut sehingga GL lebih menilai secara keseluruhan (the
whole package), semakin rendah GL semakin kecil suatu makanan yang disajikan memicu peningkatan gula darah secara berlebih, berikut parameter dari GL: Tinggi
GL 20 atau lebih, sedang GL I l-19 dan rendah GL l0 atau kurang (Ostman, 2001).
GL dapat dihitung dengan cara mengkalikan GI dengan jumlah karbohidrat
yang terkandung dari suatu makanan lalu dibagi seratus, sebagai contoh kita ambil
wortel, wortel sebanyak 50 gram memiliki kandungan 5,3 gram karbohidrat (telah
diketahui di atas bahwa GI wortel adalah 7l), jadi nilai GL nya adalah: (71 x 5.3):100
=3,76 Jadi wortel yang dikatakan memiliki GI yang tinggi ternyata memiliki GL yang
Karbohidrat setiap gramnya menghasilkan 4 kalori, karbohidrat lebih banyak
dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan makanan pokok, satu porsi nasi setara dengan
¾ gelas atau 100 gram, 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal, kebutuhan kalori
berbeda dilihat dari jenis kelamin dan usia, untuk wanita usia 40-45 tahun 2.200 kkal,
usia 46-59 tahun 2.100 kkal, 60 tahun keatas 1.850 kkal sedangkan untuk jenis
kelamin pria usia 40-45 tahun 2.800 kkal, usia 46-59 tahun 2.500 kkal dan usia diatas
60 tahun 2.200 kkal, sedangkan kebutuhan karbohidrat adalah 60-70% dari energi
total (Almatsier, 2006).
Penelitian Nyoman (2009) di Tanaban Bali yang meneliti konsumsi
karbohidrat mendapatkan hasil p value 0.000 menyatakan ada pengaruh bermakna
konsumsi karbohidrat dengan kejadian DM Tipe II dengan hasil OR 10,8.
Penukar nasi umumnya digunakan sebagai makan pokok, satu porsi nasi
setara dengan ¾ gelas atau 100 gram, mengandung 175 kalori, 4 gram protein dan 40
gram karbohidrat, untuk menentukan berapa kebutuhan karbohidrat total perhari
dapat ditentukan dengan melihat kebutuhan energi sehari, jika energi sehari adalah
sebesar 2450 kkal, maka energi yang berasal dari karbohidrat adalah 1470-1838 kkal
atau sekitar 368-460 g karbohidrat, 1 gram karbohidrat setara dengan 4 kkal,
kebutuhan karbohidrat 60-70% total kkal (Almatsier, 2011).
Untuk melihat bahan makanan yang berasal dari karbohidrat dapat dilihat
Tabel 2.5. Bahan Makanan Karbohidrat
No Bahan Makanan Ukuran Rumah Tangga Berat (gr)
1. Bihun ¼ gelas 50
2. Biscuit 4 keping 40
3. Havermut 5 ½ sendok makan 45
4. Kentang 2 biji sedang 210
5. Crackers 5 keping 50
6. Macaroni ½ gelas 50
7. Mie Kering 1 gelas 50
8. Mie Basah 2 gelas 200
9. Nasi ¼ gelas 100
10. Talas 1 potong 125
11. Ubi 1 biji sedang 135
12. Roti Putih 3 potong sedang 70
Sumber : Almatsier; 2006
Sumber karbohidrat lain dapat diperoleh dari gula merupakan salah satu
sumber karbohidrat sederhana yang dicampur ke kopi, teh manis, susu dan minuman
lainnya yang banyak dikonsumsi masyarakat contohnya 1 (satu) sendok makan susu
kental manis : 71 kalori, gula termasuk dalam sumber karbohidrat tetapi bukan
sumber energi utama, Sumber energi utama adalah karbohidrat kompleks (nasi,
kentang, bihun, jagung, bihun, mie), penggunaan gula yang terlalu banyak tidak
dianjurkan gula jika dikonsumsi berlebihan bisa memicu berbagai masalah seperti
Diabetes dan kegemukan, satu sendok makan gula pasir sama dengan 10 gram
Sebagai pedoman , dipakai 8 macam diet DM sebagai berikut :
Tabel 2.6. Jenis Diet Diabetes Melitus menurut Kandungan Energi, Protein, Lemak dan Karbohidrat
g. Memiliki Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) setelah Pemeriksaan
TTGO didapatkan Glukosa Plasma 2 jam setelah Pembebanan Glukosa antara
140-199 mg/dl atau Gula Darah Puasa Terganggu (GDPT 100-125 mg/dl)
Seseorang dengan TGT atau GDPT juga disebut sebagai gangguan intoleransi
glukosa atau prediabetes yang merupakan tahapan sementara menuju DM. orang
dengan prediabetes mempunyai kadar glukosa darah puasa dan atau glukosa 2 jam
setelah pembebanan glukosa (TTGO standar) melebihi normal, namun belum masuk
kategori DM.
h. Merokok
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 faktor risiko seperti merokok,
polusi udara di dalam maupun di luar ruangan merupakan onset (awal terjadinya
penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan, Rerata
satu bungkus). Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30-34 tahun
sebesar 33,4 persen, umur 35-39 tahun 32,2 persen, sedangkan proporsi perokok
setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (47,5%
banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah proporsi
perokok aktif setiap hari yang terbesar (44,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan
lainnya. Proporsi perokok setiap hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks
kepemilikan yang lebih tinggi.
Konsumsi rokok dan tembakau merupakan salah satu faktor risiko utama
terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti kardiovaskuler, stroke, kanker,
kelainan kehamilan dan merupakan penyebab kematian utama didunia temasuk
negara kita Indonesia (Depkes RI, 2008).
Sebatang rokok dapat menurunkan khasiat insulin tubuh berkurang sampai
15% dan setelah 10-12 jam baru bisa pulih seperti semula (Tandra, 2014). Kebiasaan
merokok menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan peningkatan resistensi
insulin yang menyebabkan peningkatan risiko terkena DM (Wicaksono, 2011).
Nikotin merupakan komponen utama rokok, terbukti meningkatkan
Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak perhari,
terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu :
1. Perokok Ringan, apabila seorang menghisap kurang dari 10 batang rokok perhari
2. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10-20 batang rokok perhari
3. Perokok Berat, apabila seseorang merokok lebih dari 20 batang rokok perhari
(Bustan, 2007).
Depkes RI, (2008), Nikotin dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas
insulin dan meningkatkan terjadinya resistensi insulin, pada kondisi hiperglikemi
nikotin dan karbonmonoksida mempercepat terjadinya pengumpalan darah sebagai
faktor penyebab sumbatan pada pembuluh darah.
Merokok menyebabkan kekejangan dan penyempitan pembuluh darah. Para
peneliti menyatakan bahwa merokok juga dapat menyebabkan kondisi yang tahan
terhadap insulin. Orang yang merokok ≥ 20 batang/hari memiliki insidens DM lebih
tinggi dibandingkan yang tidak merokok dengan OR 2,66 (Gabrielle, Capri, et.al, dalam Widiastuty 2013), dan Penelitian yang dilakukan Widiastuty didapat hubungan
antara merokok dengan kejadian DM dengan OR 3,54. (Widiastuty, 2013).
2.6 Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi DM secara umum terdiri dari dua jenis komplikasi, yaitu
komplikasi jangka pendek (komplikasi akut) dan komplikasi jangka panjang
2.6.1 Komplikasi Akut a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea. Penyebab glikemia yaitu makan kurang
dari aturan yang telah ditentukan, berat badan menurun, pemberian suntikan
insulin yang tidak tepat, sesudah olahraga dan sesudah melahirkan (Soegondo,
2009).
Beberapa gejala seperti gugup, gemetar, lapar dan pusing dianggap
tanda-tanda peringatan awal. Hal itu dinamakan gejala autonomik karena gula darah
rendah memengaruhi sistem syaraf autonomik. Sebagian gejala hipoglikemia timbul
karena pengaruh glukosa darah rendah yang lama pada otak. Untuk mengetahui
dengan pasti sebaiknya segera melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah. Apabila
hipoglikemia ringan tidak diketahui dan diabaikan, penderita bisa mengalami
hipoglikemia berat. Apabila glukosa darah sangat rendah dalam jangka waktu
terlalu lama, otak tidak akan mendapatkan glukosa dan penderita dapat kehilangan
kesadaran (Waspadji, 2014).
Diabetesi yang mengalami reaksi hipoglikemia (masih sadar) atau koma
hipoglikemia biasanya disebabkan oleh obat anti diabetes yang diminum dengan
dosis terlalu tinggi atau penderita terlambat makan, atau bisa jadi karena latihan fisik
b. Hiperglikemia
Kelompok hiperglikemia secara anamnesis ditemukan adanya masukan
kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh
stres akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat
(Soegondo,2009). Hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya kurang
memproduksi keton seperti DM tipe 1, namun kadar glukosa darah dapat naik
sampai 600 mg/dl dan bahkan mencapai 1000 mg/dl (Waspadji, 2014).
Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut
dari suatu perjalanan penyakit DM. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian
bagi penyandang DM. Data mortalitas di negara maju menunjukkan angka antara
4,7 sampai dengan 10%. Faktor yang mempengaruhi angka kematian adalah
terlambat ditegakkan diagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah
koma, pasien belum tahu mengidap DM, sering ditemukan bersama-sama dengan
komplikasi lain yang berat (Soegondo, 2009).
c. Hiperglikemik Non Ketotik (HNK)
HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik dan
asidosis ringan. Pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hiperosmolar
hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemik berat,
hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai menurunnya kesadaran.
Beberapa tanda dari HNK yaitu : sering ditemukan pada usia lanjut, yaitu lebih
dari 60 tahun, semakin muda semakin berkurang, hampir separuh pasien tidak
dasar, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskuler,
sering disebabkan oleh obat-obatan, dan mempunyai faktor pencetus seperti infeksi,
CVD, pankreatitis (Soegondo, 2009).
2.6.2 Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik DM dapat menyerang semua sistem organ tubuh.
Kerusakan organ tubuh disebabkan oleh menurunnya sirkulasi darah ke organ akibat
kerusakan pada pembuluh darah (Hotma, 2014).
a. Mata (Retinopati Diabetik)
Tiga masalah mata yang dapat terjadi pada penderita DM dan perlu
diwaspadai adalah katarak, glaukoma, dan retinopati. Dari ke tiga masalah ini yang
paling umum adalah retinopati. Penyakit DM mempengaruhi retina mata
dengan berbagai cara yaitu:
1. Perubahan kadar glukosa darah yang tidak normal karena DM dapat
mempengaruhi lensa di dalam mata. Terutama apabila DM tidak terkendali. Ini
dapat mengakibatkan mata kabur yang datang dan pergi tergantung kadar
glukosa darah.
2. Pengaruh jangka lama DM adalah lensa mata dapat menjadi berawan atau
katarak. Katarak pada diabetes adalah lensa mata yang berawan atau berkabut
yang seharusnya terang apabila tidak ada katarak. Gejala katarak, yaitu
penglihatan kabur atau tidak jelas, kacamata tidak membantu melihat dengan
baik, biji mata yang hitam kelihatan kelabu, kuning atau putih, warna kelihatan
tekanan bola mata meningkat apabila cairan di dalam mata tidak tersalurkan
dengan baik, terjadi penumpukan cairan yang mengakibatkan peningkatan
tekanan dalam optik. Tekanan ini merusak syaraf dan pembuluh darah pada
mata yang menyebabkan perubahan peradangan. Retinopati diabetik adalah
masalah mata diabetes yang disebabkan kerusakan pembuluh darah kecil.
Semakin lama seseorang penyandang diabetes semakin tinggi risiko
berkembangnya penyakit ini. Apabila retinopati tidak ditemukan dini atau
tidak diobati akan menjurus kepada kebutaan (Waspadji, 2014).
b. Nefropati diabetik
Bila kadar glukosa darah meninggi makan mekanisme filtrasi ginjal
akan mengalami stress yang mengakibatkan kerusakan pada membrane
filtrasi sehingga terjadi kebocoran protein darah ke dalam urin. Kondisi
ini mengakibatkan tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan
tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus dalam terjadinya
nefropati. Nefropati diabetik dapat menyebabkan gagal ginjal (Hotma, 2014).
Timbulnya gejala penyakit ginjal memerlukan waktu yang lama. Kerusakan
ginjal dapat mulai 5-10 tahun sebelum gejala dimulai. Penyandang diabetes yang
mengalami penyakit ginjal yang lebih berat dan kronik dapat mempunyai gejala
seperti : lelah, sakit kepala, mual dan muntah, kurang nafsu makan dan kaki
c. Neuropati diabetik
Kerusakan syaraf atau neuropati bisa terjadi pada penyandang DM.
Neuropati dapat mempengaruhi saraf mana saja diluar otak dan sumsum tulang
belakang, yaitu syaraf tepi Polineuropati distal simetrik adalah kerusakan syaraf
polineuropati menuju kaki dan kadang-kadang tangan. Penyandang DM dapat
mengalami baal atau kehilangan rasa, kelemahan otot, rasa tertusuk, nyeri tersentuh
alas tempat tidur atau baju. Neuropati fokal yaitu kerusakan pada satu atau
sekumpulan syaraf yang berkembang ketika suplai darah ke syaraf tertutup karena
blokade pembuluh darah yang mensuplai syaraf (Waspadji, 2014).
2.7 Pencegahan Diabetes Melitus 2.7.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi
sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat atau
mencegah orang normal atau pengidap prediabetes agar tidak menjadi diabetes
(Sudoyo dkk, 2010).
Upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan, yaitu :
a. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang
berhubungan dengan gaya hidup. Pencegahan DM tipe 2 pada orang-orang yang
berisiko atau orang dengan prediabetes pada prinsipnya adalah dengan mengubah
makan. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan
primer.Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial
lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran
terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu
memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program (Yulianti, 2009).
b. Penyuluhan dan pendidikan kesehatan
Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga
badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan
(Yulianti,2009).
c. Berolah raga teratur atau melakukan kegiatan fisik
Akitivitas fisik harus ditingkatkan dengan berolah raga rutin, minimal 150
menit perminggu, dibagi 3-4 kali seminggu. Olah raga dapat memperbaiki resistensi
insulin yang terjadi pada pasien prediabetes, meningkatkan kadar HDL
(kolesterol baik), dan membantu mencapai berat badan ideal. Selain olah raga,
dianjurkan juga lebih aktif saat beraktivitas sehari-hari, misalnya dengan memilih
menggunakan tangga dari pada elevator, berjalan kaki ke pasar daripada
menggunakan mobil (Regina, 2012).
d. Penurunan berat badan
Berdasarkan analisis terhadap sekelompok orang dengan perubahan gaya
berat badan. Menurut penelitian, penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau
memperlambat munculnya DM tipe 2 (Regina, 2012).
e. Pengaturan pola makan
Untuk mencegah DM sangat dianjurkan pula melakukan pola makan yang
sehat, yakni terdiri dari karbohidrat kompleks, mengandung sedikit lemak jenuh dan
tinggi serat larut. Asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal (Regina,
2012). Perencanaan makanan yang dianjurkan seimbang dengan komposisi energi
yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein dan lemak, seperti karbohidrat = 45-60%,
protein = 10-20% dan lemak = 20-25%. Prinsipnya adalah makan yang teratur dalam
Jadwal, Jumlah dan Jenis makanan (3J) Ditjen PP dan PL (2008).
Diet seimbang menurut Ditjen PP dan PL (2008), yaitu :
1. Penggunaan karbohidrat dibatasi, terutama menghindari penggunaan
karbohidrat sederhana (gula pasir, gula merah, madu, gula batu), protein
cukup menggunakan lemak tak jenuh dan tinggi serat.
2. Bahan makanan yang diperbolehkan mengandung protein hewani rendah lemak/
kolesterol (daging kurus, ayam tanpa telur rendah kolesterol, ikan dari laut
dalam) sedangkan protein nabati (tempe, tahu, kacang-kacangan) 2-3 porsi
sehari.
3. Menghindari makanan dan minuman yang diawetkan dan manis (abon, dendeng,
dodol, kurma, sirup, es krim, permen, coklat, bumbu-bumbu manis (kecap)
dan buah-buahan manis yang diawetkan (kurma, durian, manisan buah.
2.7.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya komplikasi.
Komplikasi DM banyak terjadi karena penderita DM tidak menyadari secara dini
bahwa mereka telah terkena penyakit DM. 46,8% kasus DM tidak terdiagnosis
terjadi di dunia. Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan gejala klinik utama dan
pemeriksaan glukosa darah. Gejala klinik utama berupa trias poli yaitu poli uri, poli
dipsi, dan poli phagia dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Disamping
itu keluhan lemas, gatal-gatal, penurunan libido, kesemutan dan mata kabur juga
menjadi keluhan lain yang dipertimbangkan (Hotma, 2014).
Menurut PERKENI (2006), diagnosis diabetes ditegakkan melalui cara,
yaitu :
a. Jika keluhan klasik (+), keluhan lainnya (+) dan kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dl
b. Jika keluhan klasik (+),keluhan lainnya (+) dan kadar glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl
c. Tes toleransi glukosa (TTG) dengan beban 75g glukosa, kadar glukosa darah ≥
200 mg/dl.
Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus
terkendali mendekati angka normal setiap hari setiap tahun. Beberapa
pencegahan sekunder, yaitu
a. Melakukan skrining untuk mencari penderita baru harus dilakukan
diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah. Skrinning direkomendasikan
untuk orang- orang yang mempunyai keluarga diabetes, orang-orang dengan
kadar glukosa abnormal pada saat hamil, orang-orang yang mempunyai
gangguan vaskuler, dan orang-orang yang gemuk (Yuliyanti, 2009).
b. Tidak Merokok. Walaupun tidak secara langsung menimbulkan
intoleransi glukosa, merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari
intoleransi glukosa dan DM tipe 2. Oleh karena itu, pasien juga
dianjurkan berhenti merokok. Sebuah universitas di Swiss membuat suatu
analisis 25 kajian yang menyelidiki hubungan antara merokok dan DM yang
disiarkan antara 1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta yang
ditelusuri selama 30 tahun. Mereka mendapati risiko bahkan lebih tinggi bagi
perokok berat. Mereka yang menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari
memiliki risiko terserang diabetes 62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang
yang tidak merokok. Merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan
terhadap insulin. Itu berarti merokok dapat mencampuri cara tubuh
memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin biasanya mengawali
terbentuknya DM tipe 2 (Yuliyanti, 2009)..
c. Tetap melakukan pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi diabetes
2.7.3 Pencegahan Tersier
Upaya pencegahan tersier menurut Regina (2012) ditujukan
kepada kelompok penderita DM yang telah mengalami komplikasi dalam upaya
mencegah kecacatan lebih lanjut. Beberapa upaya sekunder, yaitu :
a. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada
penyakit organ.
b. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ
atau jaringan.
c. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan
keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.
d. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal,
mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,
podiatris, penyuluh, dan lain-lain.) sangat diperlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier.
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali antara pasien
dengan tenaga kesehatan baik dokter maupun penyuluh diabetes.
2.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Secara umum pengendalian DM menurut Bustan (2007) dimaksudkan
lanjut dan komplikasi. Dengan demikian prinsip dasar manajemen
pengendalian atau penanganan DM meliputi :
a. Pengaturan makan
b. Latihan jasmani
c. Perubahan perilaku resiko
d. Obat anti diabetik
e. Intervensi bedah sebagai pilihan terakhir, kalau memungkinkan dan
cangkok pankreas.
2.9 Landasan Teori
Pendekatan akan timbulnya Kasus Diabetes Melitus dilakukan dengan
menggunakan bagan kerangka teori menurut PERKENI (2011), Depkes RI (2008),
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian Sumber: PERKENI, 2011; Depkes RI (2008)
Kerangka teori diatas mengambarkan 3 faktor risiko yang memengaruhi
terjadinya kasus DM yaitu :
1. Faktor Risiko yang tidak dapat di modifikasi, yaitu :
a. Ras/Suku/Etnik
5. Riwayat melahirkan bayi > 4 kg
6. Riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah < 2,5 kg
Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi:
1. Berat Badan Lebih (IMT >25kg/m2 2. Kurangnya aktivitas fisik/olahraga 3. Tekanan darah tinggi (>140/90mmhg)
4. Dislipidemia (<35 mg dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)
5. Diet yang tidak sehat (unhealthy Diet) 6. Prediabetes
7. Obesitas abdominal/sentral 8. Kebiasaan merokok
Faktor Lain yang Terkait dengan Risiko DM
1. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
4. Faktor sosial ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan seperti perkembangan pasar, kebijakan publik, sarana/prasarana yankes.
c. Umur, risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia.
d. Jenis kelamin
e. Riwayat melahirkan bayi >4 kg atau riwayat pernah menderita DM
Gestational (DMG)
f. Riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah <2,5 kg mempunyai risiko
lebih tinggi dibanding bayi lahir dengan BB normal.
2. Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi, yaitu :
a. Berat Badan Lebih (IMT >25 kg/m2), merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya DM yang diakibatkan oleh kelebihan cadangan lemak dalam tubuh
akibat dari ketidakseimbangan asupan dengan kebutuhan energi tubuh.
b. Aktivitas fisik/Olahraga memberikan efek peningkatan pemakaian glukosa
darah oleh otot yang aktif, sehingga secara langsung dapat mengontrol kadar
glukosa darah, penurunan kadar lemak tubuh dan peningkatan sensitifitas
insulin serta mencegah DM Tipe II.
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmhg).
d. Dislipidemia (<35 mg dan atau Trigliserida > 250 mg/dl).
e. Diet yang tidak sehat (unhealthy diet) diet dengan tinggi tinggi gula dan
rendah serat akan meningkatkan risiko menderita pradiabetes/intoleransi
glukosa dan DM Tipe II.
f. Obesitas abdominal/sentral menyebabkan terjadinya resistensi insulin di hati
menyebabkan gangguan metabolisme glukosa baik secara oksidatif maupun non oksidatif.
g. Kebiasaan merokok, kandungan nikotin dalam rokok menyebabkan
pengurangan sensitivitas insulin dan meningkatkan terjadinya resistensi
insulin.
3. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM, yaitu :
a. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau penderita resistensi
insulin.
b. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
c. Riwayat penyakit kardiovaskuler (stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial
Diseases).
d. Faktor sosial ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan seperti perkembangan
pasar, kebijakan publik, sarana/prasarana yankes.
Dalam penelitian ini dari faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi peneliti
hanya mengkaji variabel umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, dari faktor risiko
yang dapat dimodifikasi yaitu variable Indek Massa Tubuh (IMT), aktivitas fisik,
tekanan darah tinggi, pola makan dan kebiasaan merokok.
2.10. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori diatas, selanjutnya kerangka konsep dapat
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Risiko yang tidak dapat
Dimodifikasi : 1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Riwayat keluarga dengan DM
Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi: 1. Indek massa tubuh
2. Aktivitas fisik
3. Tekanan darah tinggi 4. Pola makan
5. Kebiasaan merokok
Kasus Diabetes Melitus