BAB II
DASAR PENGATURAN KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
(TPPU)
A. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Republik Indonesia
1. Keberadaan Kepolisian Republik Indonesia
Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu penegak hukum yang
dikenal di Indonesia dimana selain sebagai penegak hukum posisi konkrit kepolisian
merupakan alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.36
“Kepolisian negara Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta
menegakkan hukum”.
Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 30 ayat (4), berbunyi:
Keberadaan kepolisian sudah sejak lama di Indonesia atau kepolisian memiliki
sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Artinya, kepolisian sudah sejak lama dikenal,
36
yakni sejak kemerdekaan Indonesia atau tepatnya sejak tanggal 21 Agustus 1945 (empat
hari setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945) dimana Pasukan
Polisi Republik Indonesia saat itu dipimpin oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi
Mochammad Jassin di Surabaya, langkah awal yang dilakukan selain mengadakan
pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga
membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan
bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.37
Kepolisian Indonesia yang merupakan salah satu lembaga penegak hukum
keberadaannya tidak hanya di atur dalam peraturan perundang-undang dasar.38
Tugas kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No.
2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
Posisi
polisi sebagai penegak hukum juga dipertegas dengan adanya aturan pelaksana dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik. Didalam peraturan
perudang-undang tersebut diatur secara lengkap tugas dan wewenang kepolisian Republik
Indonesia.
”a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
37
38
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Selanjutnya, tugas kepolisian secara terperinci diatur dalam Pasal 14 Ayat 1
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
“a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Wewenang kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
”a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
n. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
o. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
p. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
q. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
r. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
s. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
t. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
u. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
v. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
w. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
x. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian”.
Selain wewenang di atas secara yang bersifat umum, kepolisian memiliki
wewenang khusus, yakni terkait pelaksanaan pidana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1)
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
”a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan tenaga diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”.39
2. Kepolisian Republik Indonesia Dalam Sistem Peradilan Pidana
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia di atas telah menguraikan secara jelas mengenai kewenangan
39
Tindakan lain yang dimaksud dimaksud pada huruf l, yakni : a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
kepolisian dalam ruang hukum pidana. Kewenangan tersebut merupakan implementasi
polisi sebagai penyelidik dan penyidik terhadap sebuah tindak pidana.40
Polisi yang bertugas sebagai penyelidik melakukan proses penyelidikan dan
polisi yang bertugas sebagai penyidik melakukan penyidikan. Proses penyelidikan dan
penyidikan adalah hal yang sangat penting dalam hukum acara pidana, sebab dalam
pelaksanaannya sering kali harus menyinggung derajat dan/atau martabat individu yang
berada dalam persangkaan, oleh karena itu salah satu semboyan penting dalam hukum
acara pudana adalah hakekat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan
persoalan, untuk mengejar si pelaku kejahatan, sekaligus menghindarkan orang yang
tidak bersalah dari tindakan yang tidak seharusnya.41
Polisi yang bertugas sebagai penyelidik memiliki wewenang, meliputi :42
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
40
Penyelidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesiayang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan atau penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia jo Pasal 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 1 angka 5 KUHAP. Penyidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan atau pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 1 angka 1 KUHAP, Pasal 6 ayat (1) KUHAP jo Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
41
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013), hal. 87
42
3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan;
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Selanjutnya, Polisi yang bertugas sebagai penyidik memiliki wewenang sebagai
berikut :43
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung-jawab.
Proses penyidikan dikenal juga penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah
pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu
dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.44 Wewenang penyidik pembantu dalam proses penyidikan, sebagai berikut :45
a. Menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Wewenang penyidik pembantu sama dengan wewenang penyidik (Pasal 7
ayat (1) KUHAP), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik (Pasal 11 KUHAP). Demikian pula dalam
hal penyidik pembantu Penyidik telah melaksanakan wewenangnya, maka
penyidik pembantu segera membuat berita acara dan, menyerahkan berkas
perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang
dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum (Pasal 12 KUHAP).
46Tugas polisi sebagai penyidik dan penyelidik yang merupakan bagian dari
sebuah kegiatan hukum acara pidana tentu tidak dapat dilepaskan dari sistem peradilan
pidana.
47
46
Andi Sofyan, Op.Cit, hal. 94
Sistem peradilan pidana atau criminal justice system yang digariskan oleh
47
KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system). Sistem terpadu
tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat
penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan
undang-undang kepada masing-masing pihak penegak hukum secara khusus kepolisian.48
Posisi kepolisian dalam sistem peradilan pidana (maksudnya dalam aktivitas
peradilan pidana) merupakan fungsi gabungan (collection of function) dimana
keberadaan polisi dalam fungsi tersebut berada dalam posisi penegakan hukum (law
enforcement function). Fungsi penegakan hukum oleh polisi bertujuan secara objektif
jika ditinjau dari pendekatan tata tertib dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu :
Kewenangan kepolisian dalam sistem peradilan pidana diatur dalam KUHAP dan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
a. Penegakan hukum secara aktual, melipui :
1) Penyelidikan-penyidikan,
2) Penangkapan-penahanan,
Sedangkan untuk proses pengadilan dan pemidanaan merupakan wewenang jaksa
penuntut umum dan hakim.
48
b. Efek preventif, diharapkan mencegah orang atau masyarakat melakukan tindak
pidana.49
Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa sistem keterpatuan yang dianut
oleh peradilan pidana sangat bergantung pada kepolisian karena setelah regulasi atau
peraturan perundang-undang dibentuk maka pelaksana yang akan menentukan,
berjalan atau tidaknya aturan tersebut. Akibatnya, membawa arah kepada proses
persidangan pidana berhasil atau tidak berhasil (menyatakan terdakwa bersalah atau
meniadakannya) sangat bergantung pada penyidikan oleh pihak kepolisian.50
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Secara umum narkotika masuk kedalam bagian narkoba. Hal ini disebabkan
karena narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan berbahaya
lainnya. Narkotika secara umum dapat ditemukan pengertiannya dalam
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yakni Pasal 1 angka 1, berbunyi :
”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
49
Selain kepolisian fungsi gabungan (collection of function) juga dalam pelaksanaan aktivitas terlibat juga legislator sebagai fungsi pembuatan undang-undang, jaksa sebagai penegak hukum yang terlibat dalam persidangan, pengadilan melibatkan hakim dan jaksa dalam pemeriksaan persidangan dan fungsi memperbaiki terpidana, yakni penjara atau lembaga pemasyarakatan. Ibid, hal. 90-91
50
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.
Pengertian di atas merupakan bentuk yuridis dari apa yang dimaksud narkotika.
Pengertian narkotika tidak hanya dapat dilihat sebatas pengertian yuridis belaka akan
tetapi dapat pula dilihat dalam pendapat ahli maupun kamus. Beberapa pengertian
narkotika akan diuraikan sebagai berikut :
a. Edy Karsono mengatakan,”narkotik atau narkotika adalah zat/bahan aktif yang bekerja pada sistem saraf pusat (otak), yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnya kesadaran dari rasa sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan). Zat yang termasuk golongan ini antara lain : putau (heroin), morfin dan opiat serta lain sebagainya”.51
Pengertian di atas memeliki perbedaan dengan arti narkotika yang di atur didalam
undang-undang. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
menyebutkan asal dari narkotika termasuk kepada bentuk olahannya, yakni sinteis
maupun semisintetis sedangkan Edy Karsono tidak menyebutkan bentuk narkotika
termasuk olahannya, akan tetapi langsung kepada efek dari narkotika sebagai
perumusan pengertian. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengertian yang diberikan
oleh Edy Karsono kurang lengkap. Kesamaan kedua pengertian tersebut terletak
dari pengaruh yang ditimbulkan dan jenis-jenis narkotika.
51
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan,”narkotika adalah obat untuk
menenangkan saraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau
merangsang seperti opium, ganja dan lain sebagainya”.52
Pengertian yang diberikan oleh kamus besar bahasa Indonesia juga kurang lengkap
karena hanya menyebutkan kata ”obat” dan langsung kepada efek obat tersebut
jika digunakan oleh seseorang tanpa menjelaskan bentuk obat seperti yang
diuraikan di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Fungsi
kamus besar bahasa Indonesia sebagai rujukan yang andal dalam memahami makna
kata suatu bahasa53
c. Sudarsono, menyebutkan kata narkotika sebagai ”narkotik adalah obat atau zat yang
dapa digunakan untuk menenangkan saraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan jelas menjadi terganggu jika merujuk kepada Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika karena seharusnya terjadi kesesuaian dengan
kamus besar bahasa Indonesia. Perlu ada kesesuaian antara kamus dengan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika karena bahasa yang terdapat dalam
undang-undang tersebut disusun dalam bahasa Indonesia bukan bahasa asing maka
dalam perbaikan kedepan harus dilakukan penyesuaian agar bahasa Indonesia
dapat tesusun dengan lebih baik lagi.
52
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 952
53
rasa mengantuk, obat atau zat yang dapat menimbulkan rangsangan, seperti : ganja,
opium dan sebagainya”.54
Pengertian yang diuraikan Sudarsono tidak jauh berbeda dengan kamus besar
bahasa Indonesia sehingga dapat dikategorikan pengertian di atas kurang lengkap.
d. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, berbunyi: ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan”.
Pengertian yang diberikan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Perbedaan terlihat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 Tentang Narkotika terdapat antisipasi dari perkembangan nakotika yang mana
termuat dalam kalimat ”kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri
Kesehatan”. Keberadaan suatu undang-undang sudah dapat dipastikan selalu
ketinggalan dengan kebutuhan hukum yang terdapat didalam masyarakat. Artinya,
sebuah undang-undang harus memiliki antisipasi terhadap perubahan kebutuhan
hukum dalam masyarakat. Perkembangan narkotika juga jelas mengalami
perkembangan yang sangat pesat termasuk dalam jenis-jenis narkotika. Uraian yang
diberikan oleh dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang
54
Narkotika jelas telah memberikan sebuah tindakan antisipasi akan perkembangan
kebutuhan hukum dimasyarakat, jika terjadi jenis narkotika yang baru dan belum
diatur dalam undang-undang tidak perlu dilakukan perubahan atau perevisian
terhadap sebuah undang-undang karena akan memakan waktu yang cukup lama.
Keberadaan penetapan jenis narkotika yang baru jika muncul oleh Menteri
kesehatan merupakan langkah cepat dan dapat mengatasi kekosongan hukum
sehingga pengedar dan pemakai jenis narkotika yang baru dapat dijerat langsung
dengan menggunakan undang-undang yang lama tanpa melakukan perevisian atau
perdebatan oleh para ahli hukum yang akan menimbulkan kecenderungan
terhambatnya penegakan hukum.55
Berdasarkan segi ini maka pengertian narkotika yang terdapat dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika cukup lemah.
Seharusnya tetap mempertahankan pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
2. Narkotika Dan Indonesia
Narkotika menjadi wujud yang menakutkan di seluruh dunia secara khusus
Indonesia.56
55
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan penegakan hukum harus memperhatikan 3 (tiga) unsur, yaitu : kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 2008), hal. 160-161
Narkotika yang seharusnya dapat digunakan untuk obat-obatan medis
56
tetapi kecenderungan sekarang digunakan secara ilegal atau terjadi penyalanggunaan.
Bentuk penyalahgunaan yang sering terjadi ialah pengguna, pengedar, produsen, dan
kurir narkotika.
Narkotika di Indonesia sebenarnya telah dikenal sejak pemerintah Belanda
menjajah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan yang pernah berlaku
pada masa kolonial Belanda, yakni sejumlah 44 (empat puluh empat) buah.57 Salah satu peraturan yang pernah berlaku di Indonesia sebelum berlakunya undang-undang
narkotika milik Indonesia sendiri ialah Verdovende Midellen Ordonantie (stbl 1927 No.
278 jo No. 536) atau Undang-Undang Obat Bius yang berlaku sejak tanggal 1 Januari
1928.58
Peraturan perundang-undangan mengenai narkotika di Indonesia pasca
kemerdekaan telah mengalami beberapa kali pergantian, yaitu :
diperbincangkan di Indonesia. UNODC dan WHO memperkirakan 3,5%-7% penduduk dunia atau sekitar 162-324 juta orang paling tidak pernah menggunakan narkoba, sementara sekitar 16-39 juta orang mengalami ketergantungan Narkoba. Diperkirakan 12,7 juta jiwa menggunakan narkoba dengan jarum suntik, dan sebanyak 1,7 juta orang mengidap HIV. Untuk wilayah Asia (khususnya Asia Tenggara) dan Afrika pengguna ATS meningkat tajam. Secara global UNODC memperkirakan 183.000 per tahun angka kematian terkait narkoba. Badan Nasional Narkotika (I), Op.Cit, hal. 9-10
57
Konvensi internasional pertama yang mengatur tentang narkotika adalah The Hague Opium Convention 1912, dan selanjutnya berturut-turut adalah The Geneva Internasional Opium Convention 1925, The Geneva Convention for Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention for the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936, Single Convention on Narcotic Drugs 1961, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protokol 1972 dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988. Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1997), hal. 52 Dan Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana (Untuk Mahasiswa Dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba), (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 163
58
a. Pada tanggal 26 Juli 1976 dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37
dan tambahan Lembaran Negara Nomor 3086 lahir Undang-Undang No. 9 Tahun
1976 Tentang Narkotika.
b. Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika diganti dengan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika pada tanggal 1 September 1997 dan
dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67 serta Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3698.
c. Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika diganti dengan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang diundangkan dan dinyatakan
berlaku pada tanggal 12 Oktober 2009 dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2009
Nomor 143.
Undang-Undang Narkotika sebagai undang-undang yang paling baru dimiliki
Indonesia memiliki pengaturan yang tidak jauh bereda dari pendahulunya akan tetapi
terdapat beberapa penekanan, yakni:
a. Pembatasan terhadap kepemilikan narkotika
Narkotika di Indonesia hanya dapat dimiliki oleh lembaga penyedia pelayanan
kesehatan baik rumah sakit, apotek dan lain sebagainya dan hanya dapat
dipergunakan untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dimana lembaga
penyelenggara boleh swasta maupun pemerintah sesuai dengan izin kementerian
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, berbunyi :
”Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
b. Pengobatan Dan Rehabilitasi
Pengobatan mengandung pengertian bahwa dokter dapat melakukan pengobatan
menggunakan narkotika untuk pasien sesuai dengan undang-undang berlaku dan
pasien yang dimana narkotika merupakan obat baginya diperkenankan untuk
memiliki dan menyimpan. Selanjutnya yang dimaksud rehabilitasi ialah rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi medis hanya dapat dilakukan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi
yang ditunjuk oleh menteri dan rehabilitasi sosial dilakukan oleh instansi
pemerintah maupun masyarakat.
Uraian di atas didasarkan dari beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika, yaitu :
1) Pengobatan diatur dalam pasal 53, berbunyi :
”(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
2) Rehabilitasi
a) Pasal 54, berbunyi :
”Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
b) Pasal 56, berbunyi :
”(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri”.
c) Pasal 58, berbunyi :
”Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat”.
c. Keberadaan Badan Narkotika Nasional (BNN)
Lembaga non kementerian ini dibentuk untuk pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dimana
BNN memiliki tugas, sebagai berikut :59
1) Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2) Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3) Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
4) Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
5) Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6) Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
7) Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
8) Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
9) Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
10) Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Kewenangan dari BNN, sebagai berikut :60
59
Pasal 70 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 60
”Pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”.
d. Peran Serta Masyarakat
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga menitikberatkan atau
mengamanatkan peran masyarakat dalam pemberantasan dan penyalahgunaan
narkotika. Peran serta masyarakat yang dikehendaki undang-undang narkotika,
yaitu:61
1) Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2) Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3) Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
4) Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
5) Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
61
e. Tindakan Terhadap Penyalahguna Narkotika
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan penyalahguna
narkotika adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.62
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memuat persoalan
rehabilitasi terhadap pengguna atau penyalahguna narkotika akan tetapi
pengaturan itu tidak bersifat mutlak karena para pengguna atau penyalahguna
narkotika tetap dapat dikenakan sanksi pidana karena didalam aturan tersebut tidak
semua pengguna dipandang sebagai korban akan tetapi dapat dipandang sengaja
menggunakan narkotika. Sanksi pidana yang dikenakan kepada pengguna narkotika
diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
berbunyi :
Pengertian penyalahguna tersebut dapat disamakan dengan makna
pengguna narkotika atau pemakai narkotika.
”(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
62
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
f. Ketentuan Pidana
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memiliki kecenderungan
mengkriminalisasi orang baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat
dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal.63
1) Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam tindak pidana narkotika dimana
penggunaan kalimat ”setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam
beberapa pasal Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan
tidak mempedulikan unsur kesengajaan dapat menjerat orang-orang yang tidak
mempunyai niat melakukan tindak pidana narkotika baik karena adanya
paksaan, desakan maupun ketidakrahuan.
Untuk
menilai lebih jauh ketentuan pidana yang datur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika, sebagai berikut :
64
2) Penggunaan sistem pidana minimal dimana penggunaan sistem pidana minimal
pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memperkuat
63
Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 189 64
asumsi bahwa keberadaan undang-undang ini untuk memidanakan masyarakat
yang berhubungan erat dengan narkotika.65
3) Kriminalisasi bagi orang tua dan masyarakat dimana Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika mengancam masyarakat atau orang tua yang
mengetahui warga atau anggota keluarganya terlibat narkotika (yang mana
kedudukan orang tua atau masyarakat bersifat sengaja tidak melaporkan).66
4) Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai maksudnya
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyamakan hukuman
pidana bagi pelaku tindak pidana percobaan dengan tindak pidana selesai
dimana seharusnya untuk pemidaan antara pelaku tindak pidana percobaan dan
tindak pidana selesai harus dibedakan.
67
3. Pandangan Agama Terhadap Narkotika
Indonesia merupakan negara yang mengakui keberadaan agama. Hal tersebut
pertama sekali dapat dilihat dalam sila pertama pancasila, yaitu : Ketuhanan Yang Maha
Esa.68
65
Ibid, hal. 190
Selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
66 Ibid 67
Ibid, hal. 190-191 68
juga mengatur penjaminan hak setiap warga negara Indonesia untuk beragama dan
sekaligus penegasan mengenai negara Indonesia merupakan negara berdasar
Ketuhanan dimana diatur dalam Pasal 29, berbunyi :
”(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
Implementasi dari uraian di atas maka di Indonesia mengenal 6 (enam) jenis
agama yang terbesar, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan
Kong Hu Chu. Sebagaimana diketahui secara yuridis atau hukum maka penyalahgunaan
narkotika baik dalam bentuk pengedaran, pengguna, pengantaran dan lain sebagainya
dilarang oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Hal tersebut juga
sama dilarang dalam keenam agama besar yang terdapat di Indonesia.
Berikut bentuk pengaturan dari masing-masing keenam agama besar yang ada
di Indonesia, yaitu :
a. Pengaturan narkotika dalam agama Islam
Islam dalam Al-Quran yang merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam
didalamnya mengatur perihal pelarangan penyalahgunaan narkotika termasuk juga
dalam Hadis.69 Ayat Al-Alquran dan Hadis, sebagai berikut:
Moerdiono et.al, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan Bernegara, (Jakarta: BP-7 Pusat, 1990), hal.44
69
1) Al-Baqarah ayat 219, artinya:
”Mereka bertanya kepadamu tentang Khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir”.
2) Al-Maidah ayat 90-91, artinya:
”Hai orang-orang beriman, susungguhnya (meminum) khaamr berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan ermusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat, maka apakah kamu akan menghentikan diri dari perbuatan itu?”.
3) Hadis Riwayat Muslim, artinya:70
”Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram”.
4) Hadis Riwayat Tirmidzi, artinya:71
”Setiap yang memabukkan hukumnya haram, jika minum segelas itu memabukkan
maka setetes pun hukumnya haram”.
70
Abu Al-Ghifari, Generasi Narkoba, (Bandung: Mujahid Press, 2003), hal. 48 71
Masih banyak ayat-ayat Al-Quran maupun Hadis yang menerangkan narkotika,
uraian di atas merupakan sedikit diantara ayat Al-Quran dan Hadis yang menerangkan
narkotika. Narkotika dalam Islam dipandang sebagai khamr karena dapat
menghilangkan kesadaran atau memabukkan bahkan cenderung membahayakan akal
dan jiwa.72 Narkotika merupakan jenis khamr yang lain atau nama khamr yang lain sehingga penggunaannya pun semakin jelas pelaranggannya dalam Islam. Hal tersebut
sesuai dengan hadis Ibnu Majah, artinya:73
”Dari abi Umamah Al-Bahiliy ia berkata: Rasulullah saw bersabda tidak akan hilang malam dan siang (kiamat) sebelum umatku meminum khamr dengan menggunakan
nama lain”.
b. Narkotika dalam agama Kristen (Khatolik dan Protestan)
Narkotika dipandang oleh gereja baik oleh kristen Khatolik dan Protestan
merupakan suatu benda yang berbahaya bagi Indonesia. Akibatnya untuk membantu
pemerintah dalam menangulangi permasalah narkotika maka gereja membentuk Komisi
Pencegahan Dan Penanganan Narkotika yang mana bertujuan untuk mencegah dan
mebuat konsep serta jaringan yang luas dalam permasalahan narkotika yang berada di
jemaat gereja serta semua umat manusia harus ditangani tanpa ada perbedaan.74
c. Narkotika dalam pandangan agama Hindu
72
Ibid, hal. 49 73
Ibid 74
Agama Hindu memandang narkotika dapat menyesatkan hidup dan
menyebabkan malapetaka. Narkotika dalam agama Hindu disebut Surapanam sama
dengan miras, yaitu konsumsi yang memabukkan. Kitab Slokantara, Sloka 16
menyebutkan Setiap orang yang mengkonsumsi surapanam tergolong melakukan dosa
besar yang setara dengan perbuatan mencuri emas, membunuh pendeta maupun guru
dan memperkosa gadis dibawah umur.75
d. Narkotika dalam padangan agama Budha
Agama Budha juga melarang penggunaan narkotika karena hal tersebut
melanggar 4 (empat) faktor, yaitu:76
1) Ada sesuatu yang merupakan sura, meruya, atau majja (suramerayamajjabhavo),
2) Ada niat untuk meminum, mengunakannya (pivitukumata), 3) Meminum/mengunakan (pivanam),
4) Timbul gejala-gejala mabuk (maddanam).
e. Agama Kong Hu Chu memandang narkotika
Agama Kong Hu Chu memandang narkotika sama dengan hal-hal yang
memabukkan sehingga harus juga dilarang dalam penggunaannya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Megzi Jilid IV B Li Lo dimana Mengzi menjawab yang dianggap tidak
berbakti pada jawab ini ada 5 (lima) hal, yaitu :77
1) Malas keempat anggota tubuhnya dan tidak memperhatikan pemeliharaan terhadap orang tua,
75
Ibid, hal. 54 76
Ibid, hal. 63 77
2) Suka berjudi dan mabuk-mabukan serta tidak memperhatikan pemeliharaan terhadap orang tuanya,
3) Tamak akan harta benda hanya tahu istri dan anak sehingga tidak memperhatikan pemeliharaan terhadap orang tuanya,
4) Hanya menuruti keinginan mata dan telinga sehingga memalukan orang tua, 5) Suka akan keberanian dan sering berkelahi sehingga membahayakan orang tua.
C. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Di Indonesia
Tindak pidana pencucian uang atau money laundering merupakan tindak pidana
berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan
hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya
susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta
Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.78 Menurut Bismar Nasution money laundering sangat potensial mengganggu perekonomian baik nasional
maupun internasional karena membahayakan operasi yang efektif dari perekonomian dan
menimbulkan kebijakan ekonomi yang buruk.79 Artinya, money laundering akan menyebabkan fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga sehingga secara
perlahan-lahan dapat menghancurkan pasar finansial dan mengurangi kepercayaan publik
kepada sistem finansial yang dapat mendorong kenaikan resiko dan kestabilan dari sistem
tersebut dan berakibat pula pada berkurangnya angka pertumbuhan dari ekonomi dunia.80
78
Bagian umum penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
79
Bismar Nasution (I), Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: BooksTerrace & Library, 2007), hal. 217
Awal mula moneylaundering Pada 1980an, jutaan dollar uang hasil tindak kejahatan
disinyalir masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Praktek pencucian uang
tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky, pelaku awal tindak
pidana pecucian uang. Pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador, sempat
menghebohkan dunia tatkala dia menceritakan bagaimana pemindahtanganan uang hasil
kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi. Menurut Jurador transfer uang
dari sumber ilegal itu dilakukan antara lain dengan jalan melakukan jual-beli secara fiktif
asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak,
tidak hanya secara domestik namun juga antarnegara, dengan transaksi yang lebih rumit.81
Berkembangnya transaksi pencucian uang ternyata didukung lembaga-lembaga
finansial dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau nostro account
yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah
dengan nomor sandi yang digunakan untuk transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa
nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi. Kejahatan pencucian uang ini kemudian
berkembang dalam banyak rupa modifikasi tindak pidananya. Kejahatan ini tidak terjadi
sebatas pada satu negara, namun telah berlangsung secara sistematis dan tanpa mengenal
batas teritori negara. Dunia internasional menilai bahwa kejahatan ini kian mencemaskan,
terlebih dengan adanya perputaran dana dalam jumlah yang besar dari negara yang satu ke
negara lainnya yang potensial mengganggu stabilitas perekonomian internasional. Beberapa
81
negara kemudian mulai menaruh perhatian khusus dengan membentuk peraturan
perundangan untuk mengantisipasi terjadinya praktik pencucian uang.82
Di tingkat internasional terdapat satu lembaga yang fokus pada praktik
pencucian uang dan pendanaan terorisme, yakni the
Financial Action Task Force
(
FATF
). Pada 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7
melahirkan
FATF on Money Laundering
yang bertujuan mendorong negara-negara
agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang
hasil perdagangan narkotika, baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan
bank. Pada bulan April 1990 FATF memperluas pesertanya mencakup pusat
keuangan 15 (lima belas) negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang
paralel dengan UN
Drug
Convention
agar negara-negara menciptakan peraturan
perundang-undangan mengawasi pencucian uang
.
Kemudian pada 1998 terdapat juga
suatu kebijakan bank internasional yang dibuat untuk mencegah terjadinya praktek
pencucian uang, yaitu
Know Your Customer
(KYC) dan khusus untuk negara
berkembang melalui
Financial Intelligence Unit
(FIU) dimana tetap menggunakan
prinsip KYC.
83Tahun 2014 Indonesia sendiri sudah melakukan tiga kali perubahan undang-undang
tindak pidana pencucian uang. Terakhir ialah Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang inilah yang
82
Supriyadi Widodo Eddyono & Yonatan Iskandar Chandra, Mengurai Implementasi Dan Tantangan Anti Pencucian Uang Di Indonesia, (Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform, 2015), hal. 8
83
berlaku sampai saat ini. Bila dilacak sejarahnya, semangat pemberantasan tindak pidana
pencucian uang di Indonesia dimulai pada 1988 ketika United Nations Convention Against
Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs
Convention ditandatangani 106 negara.84
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang yang dimiliki Indonesia pernah dilakukan uji materiil di Mahkamah
Konstitusi sebanyak 2 (dua) kali dimana kedua putusan tersebut menolak permohonan
pemohon.
Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu :
1) Putusan No. 77/PUU-XII/2014 yang dijatuhkan pada 12 Februari 2015 dimana yang
dilakukan uji materiil ialah Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69,
Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), Pasal 95 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana
majelis hakim menolak seluruh permohonan pemohon.
2) Putusan No. 90/PUU-XIII/2015 yang dijatuhkan pada 14 Juli 2016 dimana yang dilakukan
uji materiil ialah Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana majelis hakim menolak
seluruh permohonan pemohon.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang belum ada perubahan isi
84
pasal atau penggantian pasal. Artinya, isi Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tetap sama seperti
pembentukaannya pertama sekali.
D. Pengaturan Kewenangan Kepolisian Dalam Memberantas Tindak Pidana Narkotika Yang Berhubungan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang didalam pengaturannya memuat beberapa hal yang baru
dibandingkan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Beberapa hal baru yang termuat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu :85
1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;
2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. Perluasan Pihak Pelapor;
6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
85
8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;
9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. Penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; dan
15. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
Tindak pidana pencucian uang yang dijangkau oleh Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian mampu
menjangkau setiap kegiatan pencucian uang. Kegiatan-kegiatan pencucian uang yang
dimaksud, sebagai berikut:86
1. Penempatan (placement) merupakan upaya menempatkan uang tunai uang berasal dari tindak pidana kedalam sistem keuangan (financial system) atau upayamenempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito dan lain-lain) kembali kedalam sistem keuangan terutama sistem perbankan. Dalam proses penempatan uang tunai ke dalam sistem keuangan ini terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, penggabungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kejahatan yang sah atau cara-cara lain, seperti pembukaan deposito, pembelian saham-saham atau juga mengkonversinya ke dalam mata uang negara lain.
2. Transfer (layering) merupakan upaya untuk mentransfer harta kekayaan berupa benda bergerak atau tidak bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan
86
(placement). Dalam proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil kejahatan dari sumernya melalui pengalihan dana hasil placement ke beberapa rekening atau lokasi tertentu lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana haram tersebut. Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan internasional baik melalui bisnis yang sah atau perusahaan-perusahaan shell (perusahaan mempunyai nama dan badan hukum namun tidak melakukan kegiatan usaha apapun).
3. Menggunakan harta kekayaan (integration) ialah suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui placement atau layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang halal. Proses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan dengan aman. Disini uang yang dicuci melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak seperti berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut.
Kegiatan-kegiatan pencucian uang atau tindak pidana pencucian uang di atas tidak
terlepas dari keberadaan kejatahatan asal (Predicate crime). Kejahatan asal yang dapat atau
dana hasil kejahatan tersebut berwujud harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana,
yaitu :87
1. Korupsi;
2. Penyuapan;
3. Narkotika;
4. Psikotropika;
5. Penyelundupan tenaga kerja;
6. Penyelundupan migran;
7. Di bidang perbankan;
8. Di bidang pasar modal;
87
9. Di bidang perasuransian;
10. Kepabeanan;
11. Cukai;
12. Perdagangan orang;
13. Perdagangan senjata gelap;
14. Terorisme;
15. Penculikan;
16. Pencurian;
17. Penggelapan;
18. Penipuan;
19. Pemalsuan uang;
20. Perjudian;
21. Prostitusi;
22. Di bidang perpajakan;
23. Di bidang kehutanan;
24. Di bidang lingkungan hidup;
25. Di bidang kelautan dan perikanan; atau
26. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
26 (kedua puluh enam) kejahatan asal di atas yang menyebabkan tindak pidana
pencucian uang di Indonesia menjadi perhatian penting ialah hasil dari narkotika. Sebelum
mengurai mengenai tindak pidana pencucian uang yang didasarkan atas tindak pidana asal
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Pencucian
Uang.
Pasal-pasal yang mengatur tindak pidana pencucian dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Pencucian Uang, yaitu :
1. Pelaku tindak pidana pencucian uang yang dapat dikategorikan aktif diatur dalam Pasal 3
dan 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Pencucian Uang88
a. Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Pencucian Uang, berbunyi : , yaitu :
”Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
b. Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Pencucian Uang, berbunyi :
”Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta
88
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Berdasarkan bunyi Pasal 3 dan 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Pencucian Uang frase kalimat yang menunjukkan keaktifan
seorang pelaku tindak pidana pencucian uang ialah Pasal 3 terdapat pada kalimat
”menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan” dan
Pasal 4 terdapat pada kalimat ”menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan”.
2. Pelaku tindak pidana pencucian uang yang dapat dikategorikan pasif diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Pencucian
Uang89
”(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
, berbunyi:
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
Kalimat yang tercantum di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Pencucian Uang yang menunjukkan kepasifan
seorang pelaku tindak pidana pencucian uang ialah ”menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan”.
3. Tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korperasi diatur dalam Pasal 6 dan 7
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Pencucian
Uang, yaitu :
a. Pasal 6, berbunyi :
” (1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi”.
b. Pasal 7, berbunyi :
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara”.
4. Tindak pidana lain yang diancam pidana didalam dengan Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Pencucian Uang diatur dalam Pasal 11
sampai Pasal 16, yaitu:
a. Pasal 11, berbunyi :
”(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
b. Pasal 12, berbunyi :
(1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
(2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.
(4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. Pasal 13, berbunyi :
”Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan”.
d. Pasal 14, berbunyi :
e. Pasal 15, berbunyi :
”Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
f. Pasal 16, berbunyi :
”Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun”.
Selanjutnya, narkotika sebagaimana telah diuraikan diawal merupakan kejahatan
yang sedang mengancam keutuhan bangsa Indonesia. Tidak sedikit penjatuhan sanksi
pidana yang didasari oleh hasil kekayaan yang diperoleh dari narkotika yang menyebabkan
pelaku tindak pidana narkotika juga dikenankan sanksi tindak pidana pencucian uang.
Sebagai contoh ialah Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 425/Pid.Sus/2016/PN Mdn
dimana dalam putusan tersebut terpidana yang bernama Yusnur Paizin alias Icang
sebelumnya merupakan hasil penangkapan oleh pihak polisi dan awalnya disangkakan
melakukan tindak pidana narkotika. Namun, dalam pemeriksaan lanjutan selain terpidana
melakukan tindak pidana narkotika dimana juga telah dijatuhkan hukuman terhadap tindak
pidana narkotika yang dilakukannya, yakni tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri
Medan No. 2053/Pid.Sus/2015/PN Mdn dimana terpidana yang bernama Yusnur Paizin alias
tindak pidana “tanpa hak dan melawan hukum menguasai, menyimpan Narkotika Golongan
I jenis shabu-shabu lebih dari 5 gram” sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) UURI
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pada proses penyidikan ternyata ditemukan
beberapa barang yang menurut terpidana (Yusnur Paizin alias Icang) merupakan hasil dari
penjualan narkotika yang dilakukannya sejak tahun 2006.90
Barang-barang yang menurut terpidana (Yusnur Paizin alias Icang) merupakan hasil
dari penjualan narkotika, yaitu:
1. 1 (satu) lembar sertifikat tanah dan bangunan dengan nomor register
02.01.03.03.1.01493 tertanggal 08 Nopember 2008 an. Yusnur Faizin yang terletak di Jl.
Sering Gg. Mesjid Kel. Siderejo Kec. Medan Tembung Kota Medan Provinsi Sumatera
Utara yang terdakwa beli seharga Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
2. 1 (satu) lembar sertifikat tanah dan bangunan dengan nomor register
02.01.03.03.1.01524 tertanggal 04 Juli 2011 an. Yusnur Faizin yang terletak di Jl. Sering
Gg. Mesjid Kel. Siderejo Kec. Medan Tembung Kota Medan Provinsi Sumatera Utara
yang terdakwa beli seharga Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
3. 1 (satu) lembar sertifikat tanah dan bangunan dengan nomor register 8237918 dengan
nomor hak milik 262 tertanggal 20 Maret 1986 yang diganti rugi oleh Yusnur Faizin
sesuai dengan Surat Notaris dan P.P.A.T SYAMSUL A. BISPO, SH tertanggal 23 Februari
2009 yang terletak di Jl. Sering Gg. Bandung Kel. Siderejo Kec. Medan Tembung Kota
90
Medan Provinsi Sumatera Utara yang terdakwa beli seharga Rp.150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah).
4. 1 (satu) lembar sertifikat tanah dan bangunan dengan nomor register
02.01.03.03.1.01552 tertanggal 19 April 2010 an. Yusnur Faizin yang terletak di Jl. Sering
Gg. Buntu Kel. Siderejo Kec. Medan Tembung Kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang
terdakwa beli seharga Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
5. 1 (satu) lembar sertifikat tanah dan bangunan dengan nomor register
02.01.03.03.1.01282 tertanggal 31 Desember 2008 an. Cerlina Sinaga yang terletak di Jl.
Karya Setuju Gg. Iklas Kel. Karang Berombak Kec. Medan Barat Kota Medan Provinsi
Sumatera Utara, dimana rumah dan tanah tersebut digadaikan oleh suami saksi Cerlina
Sinaga yaitu saksi Iskandar Zulkarnaen Als Kanen pada tahun 2010 dengan harga gadai
sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
6. 1 (satu) Surat Penyerahan Penguasaan atas tanah dan Ganti Rugi dengan nomor register
592.2/2053 tahun 2002 tanggal 28 Maret 2002 yang terletak di Dusun Lamtoro Desa
Bandar Klipa Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Sumatera Utara an. Marlan, yang
digadaikan kepada terdakwa pada tahun 2012 dengan harga gadai sebesar
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
7. 1 (satu) Surat Pelepasan Tanah dan Bangunan serta Tanaman dengan nomor register
593.83/1.303/SP TBT/M.M/X/2012 tertanggal 11 September2012 an. Abdul Latif Sag
yang terletak di Jl. Gg. Benteng Lik 28 Kel. Rengas Pulau Kec. Medan Marelan Kota
Medan Sumatera Utara, yang digadaikan kepada terdakwa pada tahun 2011 dengan
8. 1 (satu) Surat Pelepasan Tanah dan Bangunan serta Tanaman dengan nomor register
593.83/819/SPM TGR/MD/2011 tertanggal 21 Nopember 2011 an. Salimah yang
terletak di Lik V Kel. Kota Bangun Kec. Medan Deli Kota Medan Sumatera Utara, yang
digadaikan kepada terdakwa pada tahun 2009 dengan harga gadai sebesar
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
9. 1 (satu) Surat Penyerahan Penguasaan atas tanah dan Ganti Rugi dengan nomor register
592.2/4278 tanggal 18 Januari 2005 yang terletak di Dusun V Desa Sei Rotan Kec. Percut
Sei Tuan Kab. Deli Serdang Sumatera Utara an. Sofianto, yang digadaikan kepada
terdakwa pada tahun 2013 dengan harga gadai sebesar Rp.70.000.000,- (tujuh puluh
juta rupiah).
10. 1 (satu) lembar Surat Keterangan Tanah dengan nomor register 00559 tertanggal 02
Maret 2007 an. Paruhun Siregar yang terletak di Dusun III Desa Sampali Kec. Percut Sei
Tuan Kab Deli Serdang, yang digadaikan kepada terdakwa pada tahun 2010 dengan
harga gadai sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
11. 1 (satu) lembar Surat Pengakuan Tanah an. Aziz tertanggal 15 Nopember 2001 yang
terletak di Dusun XIX Desa Kelambir V Kec. Hamparan Peran Kab. Deli Serdang, yang
digadaikan kepada terdakwa dengan harga gadai sebesar Rp.80.000.000,- (delapan
puluh juta rupiah).
12. Kalung Emas sebanyak 8 (delapan) rante, yang terdiri dari :
a. 1 (satu) kalung putih dengan mainan emas berat 50,60 gram dan kadar emasnya 17
b. 3 (tiga) kalung putih yang kadar emas 17 karat berat 62,26 gram dengan harga
Rp.42.978.000,-
c. 3 (tiga) kalung putih dan kuning yang kadar emasnya 16 karat berat 22,79 gram
dengan harga Rp.6.238.000,-
13. Gelang emas sebanyak 12 gelang, yang terdiri dari :
a. 3 (tiga) gelang dengan kadar 17 karat berat 24,99 gram dengan harga Rp.8.856.000,-
b. 8 (delapan) gelas emas dengan kadar 16 karat berat 22,35 gram dengan harga
Rp.7.236.000,-
c. 1 (satu) gelang emas dengan kadar 10 karat berat 18,85 gram dengan harga
Rp.3.690.000,-
e. 3 (tiga) anting emas dengan kadar 10 karat berat 27,30 gram dengan harga
Rp.5.505.000,-
14. Mainan sebanyak 6 mainan, yang terdiri dari :
a. 4 mainan emas dengan kadar 16 karat seberat 10,87 gram dengan harga
Rp.3.290.000,-
b. 2 mainan emas dengan kadar 5 karat seberat 5 gram dengan harga Rp.1.500.000,-
15. Cincin sebanyak 21 yang terdiri dari :
a. 5 cincin dengan kadar 16 karat seberat 48,98 gram dengan harga Rp.15.892.000,-
c. 1 cincin berlian dengan kadar 12 karat seberat 6,97 gram dengan harga Rp.1.576.000,-
d. 5 cincin dengan kadar 10 karat seberat 37,20 gram dengan harga Rp.7.585.000,-
e. 1 cincin dengan kadar 20 karat seberat 16,20 gram dengan harga Rp.6.688.000,-
f. 1 cincin dengan kadar 8 karat seberat 4,73 gram dengan harga Rp.656.000,-
16. 2 (dua) unit mobil masing-masing :
a. 1 (satu) unit Toyota Rush BK 1888 XT yang digadaikan oleh saksi M. Aidil fitri kepada
terdakwa pada bulan Desember 2014 dengan harga gadai sebesar Rp.25.000.000,-
(dua puluh lima juta rupiah)
b. 1 (satu) unit mobil Hyundai BK 70 GR yang terdakwa beli pada tahun 2014 seharga
Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah)
17. Uang tunai sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang merupakan hasil
penjualan narkotika jenis shabu.
Penemuan barang bukti di atas yang kemudian disita pihak kepolisian dan hasil dari
pemeriksaan kepolisian yang didasarkan pengakuan dari Yusnur Paizin alias Icang tersangka
maka pada saat itu pihak kepolisan melangsungkan berkas terpidana ke dalam 2 (dua)
berkas, yaitu Pertama, berkas perkara pidana atas nama Yusnur Paizin alias Icang No. Pol.
BP/306/VI/2015 tanggal 20 Juni 2015 dan diterima tanggal 30 Juni 2015 yang dinyatakan
lengkap oleh pihak Kejaksaan Negeri Medan dimana tersangka diduga melangar Pasal 114
atau Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Kedua, berkas