• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir QS. Ali Imran Ayat 190 191 (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tafsir QS. Ali Imran Ayat 190 191 (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

A. QS. Al-‘Imran Ayat 190-191

ل

ل ييلل ف

ٱ

ل لللتلخي ول ض

ٱ

ل

ريلي

ل ول تلوللمللسلل قلليخل ىفل نلإل

ٱ

ٱ

ب

ل بللليلي

ل ىلل للل يللاءللل رلاهلنلل ول

ٱ

وو ت تت

ٱ

ە

﴿

۱۹

ن

ل يذللل

ٱ

م

ي هلبلونلجل ى

ل للع

ل ول ا وعلقلول ا يللقل هلللل نلورلكلذييل

ددد

ددم

ٱ

امل انلبلرل ض

ل

ريلي

ل ول تلوللمللسلل قلليخل ىفل نلورلكلفلتليلول

ٱ

ٱ

رلانلل ب

ٱ

ل اذلع

ل انلقلفل ك

ل نلحللبيس

ل ا ط

ددل

ل بلل اذلهلل ت

ل قيللخل

﴿

۱۹۱

Artinya: “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191).1

B. Sebab-Sebab Turunnya Ayat

As-Suyuthi dalam kitabnya menyebutkan mengenai asbabun nuzul Surah Ali-‘Imran ayat 190 dengan mengutip hadits riwayat ath-Thabrani. Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Orang-orang Quraisy mendatangi orang-orang Yahudi dan bertanya kepada mereka, ‘Apa tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?’ Orang-orang Yahudi itu menjawab, ‘Tongkat dan tangan yang putih bagi orang-orang yang melihatnya.’

1 Al-Qur’an, Syaamil Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2009, hlm. 75

(2)

Lalu orang-orang Quraisy itu mendatangi orang-orang Nasrani, lalu bertanya kepada mereka, ‘Apa tanda-tanda yang diperlihatkan Isa?’ Mereka menjawab, ‘Dia dulu menyembuhkan orang yang buta, orang yang sakit kusta dan menghidupkan orang mati.’ Lalu mereka mendatangi Nabi saw. lalu mereka berkata kepada beliau, ‘Berdoalah kepada Tuhanmu untuk mengubah bukit Shafa dan Marwah menjadi emas untuk kami.’ Lalu beliau berdoa, maka turunlah firman Allah:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (HR. ath-Thabrani)2

Menurut Ibnu Kasir dalam tafsirnya mengatakan, riwayat ini sulit dimengerti, mengingat ayat ini adalah ayat Madaniyyah, sedangkan permintaan mereka yang menghendaki agar bukit Shafa dan Marwah menjadi emas adalah di Mekah.3 Namun demikian riwayat ini menjelaskan mengenai sebab turunnya

Surah Ali-‘Imran ayat 190 dan sebagai penjelas baginya.

Dan mengenai asbabun nuzulnya surah Ali-‘Imran ayat 191, pemakalah tidak menemukannya secara khusus. Namun berkenaan dengan hal tersebut, antara keduanya saling berkaitan dan akan dijelaskan selanjutnya. Insya Allah.

C. Tafsir QS. Ali-‘Imran Ayat 190-191

Pembahasan pada bagian ini akan dibahas dalam beberapa bagian, yaitu tafsir ayat menurut beberapa ahli tafsir yang kitab-kitabnya tetap menjadi rujukkan hingga sekarang.

1. Tafsir Al-Qurtubi4

2 Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat, penj., Tim Abdul Hayyie, cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 148-149

3 Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-‘azhim: Tafsir Ibnu Kasir, penj., Bahrun Abu Bakar, cet., 1, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, hlm. 358

(3)

Al-Qurtubi dalam tafsirnya merangkum ayat ini menjadi satu bagian, yaitu QS. Ali-‘Imran: 190-200 yang terdiri dari dua puluh lima pembahasan. Untuk surah Ali-‘Imran ayat 190-191 terdapat sembilan pembahasan. Dan pemakalah meringkasnya menjadi empat pembahasan agar pembaca lebih mudah memahami maksudnya. Insya Allah.

Pertama: Firman Allah swt., “Sesungguhnya dalam penciptaan langit

dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”5

Ayat ini merupakan awal ayat-ayat penutup surah Ali-‘Imran, dimana pada ayat ini Allah swt. memerintahkan kita untuk melihat, merenung, dan mengambil kesimpulan, pada tanda-tanda ke-Tuhanan. Karena tanda-tanda tersebut tidak mungkin ada kecuali diciptakan oleh Yang Hidup, Yang Mengurusinya, Yang Suci, Yang Menyelamatkan, Yang Maha Kaya, dan tidak membutuhkan apa pun yang ada di alam semesta ini. Dengan meyakini hal tersebut maka keimanan mereka bersandarkan atas keyakinan yang benar, dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan. Pada ayat ini menyebutkan “…terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Inilah salah satu fungsi akal yang diberikan kepada seluruh manusia, yaitu agar mereka dapat menggunakan akal tersebut untuk merenung tanda-tanda yang telah diberikan Allah swt.

Kedua: Jumhur ulama mengatakan bahwa disunnahkan bagi yang baru

bangun dari tidurnya agar mengusap wajahnya dan membuka harinya dengan membaca kesepuluh ayat ini, karena itulah yang ditauladani dan dicontohkan oleh nabi saw. Hal ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, imam Muslim, dan para imam hadits lainnya,6 insya allah akan

disebutkan sesaat lagi.

Kemudian setelah membaca kesepuluh ayat ini, ia bersegera melakukan shalat fardhunya. Dengan begitu ia telah menggabungkan antara bertafakkur

5 QS. Ali-‘Imran: 190

(4)

dan melakukannya secara bersamaan. Dan itulah yang disebut dengan perbuatan yang paling baik.

Diriwayatkan, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. selalu membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Ali-‘Imran pada setiap malamnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nashr Al Waili As-Sijistani Al Hafizh, dalam kitab Al Ibanah, yang diriwayatkannya dari Sulaiman bin Musa, dari Mazhahir bin Aslam Al Makhzumi, dari Al Maqbari, dari Abu Hurairah.

Ketiga: Firman Allah swt., “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”7

Pada ayat ini Allah swt. menyebutkan tiga keadaan yang sering dilakukan oleh manusia pada tiap-tiap waktunya, bahkan mungkin hanya tiga keadaan inilah yang mengisi setiap waktu kebanyakan orang.

Pengaplikasian Rasulullah saw. terhadap ayat ini terdapat pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: “Rasulullah saw. selalu berzkir kepada Allah pada setiap keadaannya.” (HR. Muslim).

Beberapa ulama tafsir menurut Al Qurtubi, diantaranya Hasan dan yang lainnya juga berpendapat bahwa ayat ini adalah ungkapan mengenai shalat, yaitu: jangan sampai meninggalkan shalat, dan apabila seseorang memiliki alasan untuk tidak melakukan shalat dengan cara berdiri maka ia boleh melakukannya dengan cara duduk, ataupun berbaring. Seperti yang disebutkan pula pada firman Allah swt. artinya “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.”8

Apabila maksud ayat tersebut mengenai tata cara shalat, maka sejalan dengan sebuah riwayat dari Imran bin Husain, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai tata cara shalat bagi orang yang menderita

(5)

penyakit ambeien, beliau menjawab: ”Shalatlah dengan cara berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah, apabila masih tidak mampu maka berbaringlah.” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, dan Imam Ahmad dalam Musnadnya).

Keempat: Firman Allah swt., artinya: “…dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”9

Pada ayat ini Allah swt. menggandengkan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, yaitu tafakkur (merenungkan) kekuasaan Allah swt., yaitu bertafakkur pada segala ciptaan Allah dan mengambil pelajaran dari apa yang terbayangkan, agar semua itu dapat menambah wawasan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta.

Makna dari tafakkur ini adalah hati seseorang yang merasa bimbang akan sesuatu. Oleh karena itu orang yang sering bimbang hatinya disebut dengan orang yang selalu berpikir akan sesuatu.

Diriwayatkan, pada suatu ketika nabi saw. berlalu dihadapan suatu kaum yang berpikir mengenai Allah, lalu Nabi saw. bersabda: “Merenunglah tentang ciptaan, dan jangan kamu merenung tentang Pencipta, karena kalian tidak akan mampu untuk mencapainya.”10

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ketika ia menginap dirumah bibinya Maimunah (ummul mukminin), di dalam hadits yang panjang itu disebutkan: Lalu pada tengah malam Rasulullah saw. terjaga dari tidurnya, dan segera menyeka wajahnya dengan tangannya dan membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Ali-‘Imran, lalu beliau berjalan menuju tempat air tua yang tergantung disana, kemudian beliau berwudhu dengan wudhu yang ringan (yang diwajibkan saja) kemudian beliau melakukan shalat sunnah sebanyak tiga belas rakaat….” (HR. Bukhari dan Muslim).

9 QS. Ali-‘Imran: 191

(6)

2. Tafsir Ath-Thabari11

Tafsir karya Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari adalah tafsir bil ma’tsur yang mu’tabar dan banyak dijadikan rujukan para ulama. Dan dalam bagian ini akan disebutkan tafsir surah Ali-’Imran ayat 190-191 menurut Ath-Thabari.

Pertama: Firman Allah swt. artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.12

Abu Ja’far berkata: Ayat tersebut merupakan bantahan dan argumentasi dari Allah swt. untuk orang yang mengatakan kata-kata tersebut,13 serta hujjah

bagi semua makhluk-Nya, bahwa Dialah yang mengatur segalanya sesuai kehendak-Nya, dan kemampuan menjadikan kaya dan miskin ada di tangan-Nya.

Allah swt. berfirman, “Wahai manusia, merenung dan ambillah pelajaran! Sungguh, apa yang Aku ciptakan di langit dan di bumi adalah untuk kehidupan, kebutuhan, dan rezeki kalian. Demikian pula siang dan malam, keduanya Aku jadikan bergantian; pada siang hari kalian bekerja, sementara pada malam hari kalian istirahat. Sungguh, pada semuanya ada pelajaran dan tanda kekuasaan-Ku. Siapa saja diantara kalian yang memiliki akal, pasti tahu bahwa menyatakan kefakiran kepada-Ku dan menyatakan yang lain sebagai yang kaya, adalah sebuah kedustaan yang nyata, karena semuanya ada di tangan-Ku. Akulah yang mengaturnya, dan seandainya Aku membatalkannya maka kalian pasti hancur.”

Bagaimana bisa kefakiran itu dituduhkan kepada Allah, Dzat Yang memiliki segala makhluk hidup, baik di langit maupun di bumi, bahkan semuanya ada di tangan-Nya dan kembali kepada-Nya? Bagaimana bisa seseorang dianggap kaya, sementara rezekinya ada di tangan Allah?

11 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an: Tafsir Ath-Thabari, penj., Akhmad Affandi, edit., Besus Hidayat Amin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 303-308

12 QS. Ali-‘Imran [3]: 190

(7)

Oleh karena itu, berpikirlah wahai orang-orang yang berakal!

Kedua: Firman Allah swt. artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”14

Abu Ja’far berkata: Mengingat Allah sambil berdiri atau duduk adalah sifat orang-orang yang berakal. Jadi, makna ayat tersebut adalah, “Sesunguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yakni orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau berbaring.”

Maksudnya, mereka berdiri dalam shalat, duduk ketika tasyahud, juga pada selain shalat, serta berbaring ketika tidur.

Firman Allah swt. “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” Maknanya adalah, “Mereka mengambil pelajaran dari semua penciptaan itu, lalu mereka tahu bahwa tidak ada yang membuatnya kecuali Dia Yang menguasai segala sesuatu dan Maha Memberikan rezeki, kecuali Yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu, dan kecuali Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Di tangan-Nya kemampuan untuk menjadikan kaya dan miskin, kemampuan untuk memuliakan dan menghinakan, kemampuan untuk menghidupkan dan mematikan, serta kemampuan untuk menyengsarakan dan membahagiakan.”

Firman Allah swt., “Tiadalah Engkau menciptakan ini sia-sia.” Abu Ja’far berkata, “Maknanya adalah, ‘Engkau tidak menciptakan penciptaan ini dengan sia-sia dan senda-gurau, dan Engkau tidak meciptakannya kecuali karena perkara besar, yakni pahala, siksa, perhitungan, dan pembalasan.”

Allah swt. lalu menyifati orang-orang tersebut dengan Ulul Albab (yang berakal), adalah karena jika mereka melihat orang-orang yang diperintah dan yang dilarang, maka ia berkata, “Wahai Rabb, Engkau tidak menciptakan

(8)

mereka dalam keadaan batil atau sebatas senda-gurau, akan tetapi Engkau menciptakan mereka karena perkara yang sangat besar, yakni neraka atau surga.”

Mereka kemudian memohon kepada Allah swt. agar diselamatkan dari api neraka dan tidak dijadikan sebagai orang yang bermaksiat kepada-Nya serta menentang perintah-Nya, sehingga menjadi ahli neraka.

3. Tafsir Ibnu Katsir

Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi atau lebih dikenal dengan Ibnu Katsir, adalah salah seorang ulama yang mahir di berbagai bidang ilmu agama di abad VIII H. Di antara bidang yang ditekuninya adalah tafsir al-Qur’an.

Tafsir Ibnu Katsir adalah kitab tafsir yang paling tersohor di dunia Islam. Ketersohorannya di dukung oleh penulisnya sendiri dan metode penulisannya, yaitu bil ma’tsur, sebuah metode penulisan tafsir yang diakui valid, shahih, tepat, dan lurus karena menyandarkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an kepada landasan yang kuat dan valid, yaitu penafsiran al-qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadits, serta penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para ulama tafsir Salafush Shalih dari kalangan para Sahabat dan Tabi’in. Selain itu, tafsir ini ditopang dengan ilmu-ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya yang lazim digunakan dalam penafsiran ayat al-Qur’an al-Karim.15

Selanjutnya di pembahasan ini pemakalah menggunakan terjemah kitab

Lubaabut tafsir min Ibni Katsiir yang disusun oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, guna mempermudah pemakalah dalam penyusunan makalah ini.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya

malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (QS. 3: 190). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk

(9)

atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah

Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa Neraka.” (QS. 3:191)

Makna ayat16Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi.

Artinya, yaitu pada ketinggian dan keluasan langit dan juga pada kerendahan bumi serta kepadatannya. Dan juga tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terdapat pada ciptaan-Nya yang dapat dijangkau oleh indera manusia pada keduanya (langit dan bumi), baik yang berupa; bintang-bintang, komet, daratan dan lautan, pegunungan, dan pepohonan, tumbuh-tumbuhan, tanaman, buah-buahan, binatang, barang tambang, serta berbagai macam warna dan aneka ragam makanan dan bebauan, “Dan silih bergantinya malam dan siang.” Yakni, silih bergantinya, susul menyusulnya, panjang dan pendeknya. Terkadang ada malam yang lebih panjang dan siang yang pendek. Lalu masing-masing menjadi seimbang. Setelah itu, salah satunya mengambil masa dari yang lainnya sehingga yang terjadi pendek menjadi lebih panjang, dan yang diambil menjadi pendek yang sebelumnya panjang.

Semuanya itu merupakan ketetapan Allah yang Mahaperkasa lagi Maha-mengetahui. Oleh karena itu Allah swt. berfirman “Terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab).” Yaitu mereka yang mempunyai akal yang sempurna lagi bersih, yang mengetahui hakikat banyak hal secara jelas dan nyata. Mereka bukan orang-orang tuli dan bisu yang tidak berakal. Allah swt. berfirman tentang mereka:

Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS. Yusuf: 105-106) kemudian Allah menyifati tentang Ulul Albab, firman-Nya

(10)

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari ‘Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil duduk, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil berbaring”

Maksudnya, mereka tidak putus-putus berdzikir dalam semua keadaan, baik dengan hati maupun dengan lisan mereka. “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” Maksudnya, mereka memahami apa yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari kandungan hikmah yang menunjukkan keagungan “al-Khaliq” (Allah), kekuasaan-Nya, keluasan ilmu-Nya, hikmah-ilmu-Nya, pilihan-ilmu-Nya, juga rahmat-Nya.

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Sesungguhnya aku keluar dari rumahku, lalu setiap sesuatu yang aku lihat, merupakan nikmat Allah dan ada pelajaran bagi diriku.” Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dalam Kitab at-Tawakkul wal I’tibar.

Al-Hasan al-Basri berkata: “Berfikir sejenak lebih baik dari bangun shalat malam.”

Al-Fudhail mengatakan bahwa al-Hasan berkata: “Berfikir adalah cermin yang menunjukkan kebaikan dan kejelekanmu.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Berfikir (tentang kekuasaan Allah-ed)

adalah cahaya yang masuk ke dalam hatimu.”

Nabi ‘Isa as. berkata: “Berbahagialah bagi orang yang lisannya selalu berdzikir, diamnya selalu berfikir (tentang kekuasaan Allah-ed), dan

pandangannya mempunyai ‘ibrah (pelajaran).”

Luqman al-Hakim berkata: “Sesungguhnya lama menyendiri akan mengilhamkan untuk berfikir dan lama berfikir (tentang kuasaan Allah-ed)

adalah jalan-jalan menuju pintu surga.”

(11)

Dan di sisi lain Allah swt. memuji hamba-hamba-Nya yang beriman:”(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” Yang mana mereka berkata: “Ya Rabb, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” Artinya, Engkau tidak menciptakan semuanya ini dengan sia-sia, tetapi dengan penuh kebenaran, agar Engkau memberikan balasan kepada orang-orang yang beramal buruk terhadap apa-apa yang telah mereka kerjakan dan juga memberikan balasan orang-orang yang beramal baik dengan balasan yang lebih baik (Surga). Kemudian mereka menyucikan Allah dari perbuatan sia-sia dan penciptaan yang bathil seraya berkata: “Mahasuci Engkau.” Yakni dari menciptakan sesuatu yang sia-sia. “Maka peliharalah kami dari siksa Neraka.” Maksudnya, wahai Rabb yang menciptakan makhluk ini dengan sungguh-sungguh dan adil. Wahai Dzat yang jauh dari kekurangan, aib dan kesia-siaan, peliharalah kami dari adzab Neraka dengan daya dan kekuatan-Mu. Dan berikanlah taufik kepada kami dalam menjalankan amal shalih yang dapat mengantarkan kami ke Surga serta menyelamatkan kami dari adzab-Mu yang sangat pedih.

D. Hubungan QS. Ali-‘Imran ayat 190-191 dengan Pendidikan

Dalam pandangan John Dewey, pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia.17 Dalam hubungan ini,

Al-Syaibani yang dikutip oleh Jalaluddin menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya.18

17 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,

(12)

Sementara itu menurut Abdul Mujib dan Ahmad Mudzakkir19 mendefinisikan

mengenai pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensi-potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Definisi ini memiliki lima unsur pokok pendidikan Islam, yaitu:

1. Proses transinternalisasi 2. Pengetahuan dan nilai Islam 3. Kepada peserta didik

4. Melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya

5. Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.

Dengan menghubungkan definisi ini, maka menurut pemakalah hubungan antara Al-Qur’an surah Ali-‘Imran ayat 190-191 dengan pendidikan terutama pendidikan Islam, diantaranya:

1. Sumber pendidikan Islam adalah Al-Quran. Seperti yang diungkapkan oleh Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip Abdul Mujib,20 bahwa sumber

pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, kata-kata sahabat, mashalil al-mursalah, ‘urf, dan ijtihad. Ayat ini21 tentu menjadi

sumber dalam pendidikan Islam karena ia adalah bagian dari Al-Qur’an. 2. Materi pendidikan. Materialisme adalah sebuah aliran filsafat pendidikan

yang menyatakan bahwa alam terdiri dari materi. Jadi, pendidikan itu mengajarkan tentang semua materi. Ibnu Katsir dalam tafsirnya telah menjelaskan hal ini dalam tafsirnya mengenai tafsir surah Ali-‘Imran ayat 190 di atas. Dengan merujuk pada tafsirnya, maka ayat ini membicarakan berbagai bidang ilmu seperti: Astronomi, Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, dan lain-lain.

19 Abdul Mujib dan Ahmad Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, cet., 2, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 27-29

20 Ibid.

(13)

3. Pengetahuan. Dalam aspek pendidikan ada tiga ranah yang dikembangkan dari peserta didik, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Kognitif merupakan salah satu kompetensi inti dalam Kurikulum 2013, yaitu memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.22 Pengetahuan tidak didapat kecuali dengan mengembangkan

potensi akal, dan ini telah tertuang dalam surah Ali-’Imran menurut Al-Qurthubi di atas.

4. Sikap dan keterampilan. Keduanya dalam pendidikan disebut afektif dan psikomotorik. Pendidikan tidak hanya menekankan pada ranah kognitif tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik, ketiganya (termasuk kognitif) tidak dapat dipisahkan bahkan harus seimbang. Dan kedua aspek ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. yang tertuang dalam haditsnya dalam menafsirkan dan merealisasikan ayat ini dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dikatakan bahwa tafakur adalah thinking (kognitif), shalat dan dzikir adalah (afektif dan psikomotorik). Inilah suri tauladan yang baik dan patut dicontoh bagi pendidik maupun peserta didik.

Referensi

Dokumen terkait

Dan, bahwa orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring itu saat merenung, adalah orang-orang yang mata hati mereka terbuka untuk melihat berbagai

Yaitu orang--orang yang mengingat Allah sambil orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan

"orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi: "Ya Tuhan kami, tiadalah

"orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi: "Ya Tuhan kami, tiadalah

Dari penelitian ini akan ditemukan tentang keseimbangan antara ranah kognitif dan ranah psikomotorik dalam pendidikan Islam yang terkandung dalam surat Ali-Imran

(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang

Konsep Ulul albāb yang ada pada surat Ali Imran ayat 190-191 adalah orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah swt dalam setiap keadaan baik itu dalam

Salah satu bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang Pemilik atas alam raya ini, dengan adanya undangan kepada manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni