• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN SENI RUPA BERBASIS PENDIDIKAN (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDIDIKAN SENI RUPA BERBASIS PENDIDIKAN (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN SENI RUPA BERBASIS PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) DENGAN PENDEKATAN EKSPRESI BEBAS

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah Negara Republik Indonesia tengah mengambil langkah strategis yang bersifat kondusif.Salah satunya diwujudkan dalam pelayanan pendidikan dengan skala prioritas utama. Bahkan lebih ditekankan bahwa pendidikan yang bernilai tinggi harus dimulai sejak anak masuk usia dini. Sebagai bukti otentik kepedulian pemerintah terhadap pendidikan anak usia dini dapat diamati pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang di dalamnya memuat tentang rumusan pendidikan anak usia dini yang tercakup dalam Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 14 yang dinyatakan bahwa:

“Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya peminaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk

membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Untuk memberikan layanan pendidikan seluas-luasnya kepada seluruh anak, pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.

Pendidikan usia dini jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau juga bentuk lain yang sederajat. Untuk jalur pendidikan nonformal, pendidikan anak usia dini diselenggarakan dalam kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan in-formal diselenggarakan dalam bentuk pendidikan keluarga. Dari bentuk-bentuk penyelenggaraan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa (a) layanan pendidikan perlu diberikan kepadaanak usia dini, (b) pendidikan formal dan non formal keduanya memberikan andil kesempatan anak usia dini memperoleh hak didik secara layak, (c) untuk mendukung berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini perlu melibatkan masyarakat.

Pada tahap berikutnya merupakan bentuk prabagan yang mendekati kesempurnaan. Masa in disebut masa bagan yang perkembangannya hingga usia 9 tahun, kira-kira anak SD kelas II dan kelas III. Perkembangan fase ini terdapat perkecualiannya bilamana ada perbedaan perkembangan anak sebayanya. Pada akhir tahap ini perkembangan akal sudah mulai mempengaruhi dunia ciptaan anak-anak. Sikap kritis mereka sudah mengarahkan gambar-gambar yang mereka buat ke arah bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan. Pada saat ini kewajaran dan spontasnitasanak sudah mulai menurun, karena pertimbangan akal sudah mulai menguasai dunia ciptaan mereka, umumnyaanak-anak kelas III hingga kelas IV berada pada fase ini (Garha 1991:30). Sejalan dengan tahap perkembangan anak, pada akhir tahap masa bagan anak telah berusia 9 tahun masuk ke usia 10 tahun. Sikap kritis dan realistis sudah mengarahkan gambar-gambar yang mereka buat, yakni bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan walaupun masih bersifat subjektif. Selain itu, sikap kritis dan realistis serta sikap sosial yang lebih

berkembang medorong anak ke pembuatan gambar yang didasari kenyataannya. Bentuk-bentuk bagan yang dulu mereka senangi kini mereka tinggalkan menuju ke bentuk realistis (Garha 1975:30). Pada masa awal realisme ini terdapat cara-cara dalam membuat kesan ruang dalam gambar. Berbeda dengan orang dewasa yang menggunakan alat bantu untuk mencapai kesan ruang. Dikemukakan ada beberapa cara anak dalam memberi kesan ruang pada gambar yang dibuatnya antara lain :

1) Cara penumpukan, sebagai cara lain untuk memperolehkesan ruang pada gambar yang dibuatnya dengan cara penumpukkan. Benda-benda dalam gambar disusun secara

(2)

2) Perseptif burung, kesan gambar seakan-akan di buat penggambarnya dari tempat yang sangat tinggi hingga bentuk yang dibuat tidak saling menghalangi.Seakan-akan burung terbang dan melihat pemandangan yang terletak dibawahnya, sehingga kesan ruang dapat dicapainya (Garha 1975:34).

3) Cara tutup menutup, cara pemecahan masalah kesan ruang yang lain lebih mendekati cara yang biasa dilakukan orang dewasa ialah dengan cara tutup-menutup. Benda yang

terletak di belakang benda lain, yang tidak penting akan terhalang oleh benda yang terletak di depannya.

Cara mereka memecahkan kesan ruang tentu tidak salah dan seyogyanya tidak perlu

memaksakan cara pemecahan kesan ruang yang belum sejalan dengan tahap perkembangan anak, perspektif burung. Sebagaimanan cara pemecahan kesan ruang pada gambaranak terdapat juga pada lukisan orang dewasa terutama pada seni lukis tradisional di Bali

Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ditandai oleh timbulnya perhatian peneliti untuk memahami dunia anak. Hasil temuan mereka membuka mata para pendidik, termasuk pendidik seni rupa. Henry Turner Bailey (Efland, tanpa tahun), seorang tokoh pendidik seni rupa pada masa itu menulis: ”Paidology (ilmu tentang anak) mengungkapkan banyak hal, tentang jejek anak dalam pendidikan.” Uhlin (1975) menunjuk Corrado Ricci, seorang penyair Italia, sebagai pelopor peneliti terhadap karya seni rupa anak. LaporanCorrado Rocci tentang gambar anak yang diamatinya di bawah jembatan layang saat berteduh dari hujan dimusim dingin pada tahun 1882, merangsang minat peneliti untuk menelusuri makna ekspresi seni sebagai cerminan pengalaman anak.

Khusus menyangkut perkembangan anak dalam menggambar, studi awal yang dilakukan oleh Lichwark pada tahun 1887 dan Baldin pada tahun 1898mencoba untuk menemukan kesamaan antara perkembangan anak dalam menggambar dengan teori evolusi umat manusia yang populer pada masa itu. Perkembangan kemampuan anak selanjutnya akan mengikuti pola perkembangan seperti yang secara evolusioner terjadi pada umat manusia.

Pada tahun 1892, James Sully, seorang filosof dan psikolog Inggris, memulai

memperkenalkan istilah skema (bagan) untuk menamai pola gambar anak yang sederhana sebagai simbol dari sesuatu. Selanjutnya pada tahun 1893, Earl Barnes dalam laporannya tentang gambar anak mencatat adanya fase perkembangan anak dalam menggambar yang dikaitkan dengan usia. Namun, Herman Lukens juga pada tahun 1896 yang mula pertama menyusun fase perkembangan anak dalam menggambar berdasar perkembangan usia dengan uraian sebagai berikut: (1) hingga masa 4 tahun anak berada pada tahap coreng-moreng; (2) usia 4 hingga 8 tahun merupakan masa keemasan yang bercirikan menggambar sambil berceritera; (3) usia 9 hingga 14 tahun merupakan masa kritis yang ditandai oleh timbulnya kesadaran baru anak yang membuatnya tidak lagi puas dengan gambar yang dihasilkannya. Perkembanganmenggambarnya kemudian menjadi mandek; dan (4) usia 14 tahun yang merupakan masa kelahiran kembali oleh munculnya kemampuan kreatif dari beberapaorang anak yang berbakat (Uhlin 1972;19). Peneliti yang lain, juga mencoba untuk menggambarkan pola perkembangan menggambar anak dengan versi yang berbeda antara lain oleh Max Verwon pada tahun 1907 dan Cyril Burt pada tahun 1921.

(3)

Studi terhadap dunia seni rupa anak segera menyebarluas berkat terbitnya berbagai jurnal pendidikan seni rupa. Gagasan yang dimuat pada jurnal ini tentu saja merangsang terjadinya pertukaran pikiran di antara pendidik seni rupa yang kemudian menimbulkan kesadaran bahw metode pengajaran menggambar di sekolah seyogyanya memperhatikan temuan ilmiah seperti adanya keunikan serta pola perkembangan anak dalam berkarya seni rupa. Kegiatan

pembelajaran di sekolah hendaknya mempertimbangkan keunikan dan pola perkembangan tersebut. J.L Todd (dalam Logan 1955), seorang kepala sekolah seni rupa di Philadelphia,

Amerika Serikat, misalnya, mempertanyakan mengapa anak tidak bisa melakukannya? Mengapa mereka harus diikat dengan aturan harus menggambar kubus, bulatan atau berbagai entuk abstrak lainnya?

Pendekatan ekspresi bebas dalam Pendidikan Seni Rupa amat populer di Indonesia,

khususnya di kalangan pendidik seni rupa. Istilah ini mendominasi wacana pendidikan seni rupa terutama pada dekade 1970-an. Sejalan dengan digantinya nama mata pelajaran “menggambar” menjadi “seni rupa” pada kurikulumsekolah, dianggap perlu untuk diasosiasikan terutama menyangkut latar belakang penggantian nama itu. Salah satu alasan utama mengapa mata pelajaran menggambar digantikan namanya karena pada mata pelajaran menggambar melekat citra sebagai pelatihan teknik keterampilan belaka yang tidak peduli akan kebutuhan kejiwaan anak. Sesunguhnya ada upaya sebelumnya dari pendidik untuk menghilangkan citra pelajaran menggambar sebagai hanya sekadar pelatihan keterampilan seperti yang terungkap dalam buku Ekspresi dan Kemungkinannya di SRtetapi upaya ini kurang begitu berdampak terhadap praktik pengajaran mengambar di kelas. Dengan nama seni rupa, diharapkan lebih mudah untuk

memunculkan citra baru sebagai kegiatan pembelajran yang peduli akan kebutuhan kejiwaan anak. Hal ini dimungkinkan karena seni rupa menawarkan beragam kegiatan.

Pendekatan ekspresi bebas bercirikan pada pemberian kesempatan bagi anak untuk menyatakan dirinya secara tak terganggu melalui seni rupa dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan ini tidak lahirbegitu saja, melainkan ada keadaan yang melatarbelakanginya. Ketika seni rupa untuk pertama kalinya diajarkan di sekolah umum dalam bentuk mata pelajaran “menggambar” pada permulaan abad ke-19, tujuan yang ingin dicapai adalah menjadikan anak pandai menggambar yang tercermin pada kemampuannya untuk menirukan wujud apa yang terdapat di alam ini ke dalam bidangdatar. Itulah sebabnya, pelajaran menggambar di sekolah mengutamakan koordinasi mata dan tangan.

Apa yang diamati oleh mata dapat secara akurat diterjemahkan oleh tangan melalui goresan pensil atau pewarna lain. Semakin akurat citra yang digoreskan, semakin berhasillah gambar tersebut. Untuk itu, guru berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan anak terampilmenerjemahkan apa yang diamatinya ke atas bidang dambar yang melalui pemberian beragam latihan. Bagi anak yang duduk di kelas permulaan, latihanberupa pembuatan goresan sederhana dalam berbagai variasinya seperti garis lurus, garis lengkung, segitiga, segi empat, lingkaran, dan sebagainya. Bagi anak yang duduk di kelas lanjutan, diperkenalkan ilmu perspektif dan kegiatan

menggambar alam secara langsung. Diyakini secara meluas pada abad ke-19 bahwa sifat keluguan gambar anak disebabkan karena merekabelum mendapatkan latihan yang sesuai yang memungkinkan berkembangnya keterampilan serta ketajaman matanya dalam mengamati objek sehinga mampu melahirkan karya seni rupa yang bersifat naturalistis yang menjadi

kecenderungan pada masa itu (Efland, tanpa tahun).

(4)

digunakan pada dasarnya sama yakni bersifat direktif dengan latihan yang ketat bagi anak terampil menggambar.

Metode pengajaran menggambar seperti disebutkan di atas, lambat laun dianggap tidak layak untuk dilakukan. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicu lahirnya anggapan tersebut, antara lain temuan berbagai studi tentang anak, pengaruh pandangan Freud serta terjadinya gerakan pembaruan dalam dunia seni rupa.

Pembaruan dalam dunia seni rupa yang besar dampaknya dalam pendidikan seni rupa pada akhirnya abad ke-19 adalah gerakan ekspresionisme. Ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap seni rupa mimesis yang telah mentradisi didunia barat sejak zaman klasik Yunani. Seni rupa mimesis berpijak pada pandangan bahwa seni rupa merupakan tiruan alam. Ini berarti, kualitas suatu karya seni rupa ditentukan oleh kepersisannya dengan wujud yang ada di alam ini. Itulah sebabnya, karya seni rupa mimesis kemudian digolongkan sebagai karya

naturalism/realism.

Ekspresionisme menantang pandangan yang telah mentradisi ini dengan menyatakan bahwa seni rupa adalah wujud pernyataan perasaaan atau batin. Pada ekspresionime, isi batin

dinyatakan secara emosional melalui goresan yang “liar” serta warna yang mencolok

sebagaimana yang terlihat pada karya lukisan Vincent Van Gogh atau Henri Matisse. Warna yang digunakan untuk menyatakan suatu bentuk tidaklah mesti sesuai dengan warna alamiah bentuk tersebut. Sang seniman bebas untuk memilih warna sesuai dengan keinginan subjektifnya sebagai cerminan dari kecemasan atau suasana hatinya yang bergelora. Semangat “ kebebasan untuk menyatakan perasaan” yang digelorakan oleh kaum ekpresionis menyadarkan para pendidik seni rupa bahwa bila seniman dewasa dapat secara bebas menyalurkan perasaaan melalui goresan, warna, atau bentuk, mengapa anak dalam kegiatan menggambar atau

melukisnya harus diatur secara ketat? Mengapa guru di sekolah tidak berusaha untuk mengikuti perubahan orientasi dalam dunia seni rupa dari upaya meniru gejala alam ke pemberian

kebebasan untuk menyatakan perasaan secara subjektif? Bukankah masyarakat luas tampaknya juga dapat menerima perubahan ini? Akhirnya, karya seni rupa/gambar anak yang spontan dan naïf, diakui sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya orang dewasa (Wilson 1997). Sesunggguhnya, pengakuan terhadap karya seni rupa anak telah ada pada tahun 1830-an seperti yang terungkap pada tulisan Rodolpgo Topffer (dalam Leeds 1989) yang menyatakan bahwa anak menggambarkan alam bukanlah sebagai representasi dari alam yang dipandang sebagai keindahan tetapi sebagai cerminan dari keinginan yang meskipun kelihatannya kasar tetapi ia lahir dari kekuatan pikiran hanya saja pengakuan Topffer yang sangat maju pada zamannya ini relatif tidak memberi pengaruh terhadap dunia pendidikan seni rupa.

Ketiga faktor yang telah disebutkan di atas, secara bersama-sama melahirkan kesadaran baru di kalangan pendidik untuk mengadakan reformasi terhadap praktik pengajaran seni

rupa/menggambar yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi alamiah anak, maka lahirlah pendekatan baru kemudian popular dengan nama pendekatan ekspresi bebas.

(5)

Ketertarikan Cizek pada seni rupa anak erat hubungannya dengan pandangan pribadinya sebagai seniman yang mendapatkan pengaruh pandangan modernisasi yang memang mulai bangkit pada masa itu. Ia bersama kelompoknya melakukan perkembangan terhadap seni rupa yang bersifat akademik dan memperjuangkan kehadiran seni rupa no-realistis yang kreatif (Efland, tanpa tahun). Pada tahun 1897 ia berhasil mendapatkan izin untuk mendirikan lembaga pendidikan seni rupa untuk anak yang kemudian diintregrasikan pada Vienna School for Arts And Crafts(kunstgewerbeschule) pada tahun 1904. Ia mengajar di tempat ini hingga pensiun pada usia 73 (Efland 1990).

Franz Cizek dipandang sebagai ”bapak” dari pendekatan ekspresi bebas berkat pandangan dan apa yang dipraktikannya di tempat ia mengajar. Ia mengatakan (dalam Macdonald 1970) bahwa “seni rupa anak adalah seni rupa yang hanya bias diciptakan oleh anak” dan “gambar anak haruslah diberi kebebasan untuk tumbuh bagaikan kembang, bebas dari gangguan orang dewasa “pernyataan Franz Cizek yang mengatkan “metode adalah racun bagi seni rupa” merupakan tonggak bagi pendekatan ekspresi bebas. Di kelas yang dibinanya, ia tidak member petunjuk kepada anak kecuali mereka memintanya. Apa yang diberikannya hanyalah simpati danpengertian untuk merangsang imajinasi anak. Cizek (dalam Efland tanpa tahun) tidak setuju bila anak meniru bentuk alam atau pergi ke museum untuk mengamati karya seniman terkemuka oleh karena menurutnya, ekspresi kreatif haruslah berasal dari dalam diri anak sendiri.

Pandangan Franz Cizek tentang “kegiatan-sendiri” anak dalam berkarya seni rupa sangat berpengaruh di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun permulaan abad ke-20. Ide bahwa anak harus dibebaskan dari pengaruh orang dewasa dalam proses berkaryanya, kemudian menjadi popular dengan nama “pendekatan ekspresi bebas: atau “pendekatan ekspresi kreatif.” Dengan Pendekatan ekspresi bebas,tugas guru adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi sang anak. Cara yang ditempuh olehguru antara lain dengan memberikan beragam pengalaman atau membantu anak untuk mengingat pengalaman pribadinyayang tersembunyi.

Pendekatan ekspresi bebas yang diperkenalkan oleh Cizek kemudian dikembangkan dan lebih dipopulerkan oleh dua orang tokoh pendidik seni rupa yang juga memiliki reputasi internasional yakni Voktor Lowenfeld dan Herberd Read.

Amat sulit untuk meringkaskan pandangan tentang pendidikan seni rupa. Sowenfeld melalui bukunya yang terkenal The Nature of Creative Activitydan Creative and Mental Growth, pada dasarnya memusatkan Kerangka Dasar Pendekatan Ekspresi Bebas10 perhatiannya pada

pertumbuhan mental dan kreatif anak dan memandang bahwa seni rupa merupakan suatu wahana yang dapat digunakan untuk memudahkan pertumbuhan tersebut. Voktor Lowenfeld sangat dipengaruhi oleh pandangan Freud yang menempatkan seni rupa sebagai wujud ekspresi dari dorongan alam bawah sadar. Seni rupa berdasarkan pandangan ini dapat dipandang sebagai indikator kesehatan jiwa dan ekspresi seni rupa yang merupakan terapi pembersihan jiwa. Bagi lowenfeld, ekspresi seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi

perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan social anak. Pendidikan seni rupamenurut lowenfeld seyogyanya menjadi ajang pemberian pengalaman yang menarik yang menyadarkan anak akan lingkungannya.

Pendidikan seni rupa, sebagaimana dikatakannya hend aknya memperhatikan proses pembelajaran

(6)

dengan media seni rupa anak adalah yang utama sedan g seni rupa sendiri hanyalah suatu alat. Lowenfeld juga memandang bahwa lomba seni rupa selayaknya tid ak dilakukan (Eisner 1966:12). Dilontarkannya

gagasan yang menghubungkan antara seni dan kesehata n mental ini timbul oleh karena disadari bahwa

melalui kegiatan berolah seni rupa, seseorang dapat menyalurkan perasaan, keprihatinan, dan

kecemasannya melalui media lain. Lowenfeld (1972:8) mengatakan bahwan anak yang mengalami frustasi pada mata pelajaran lain seperti membaca, mengarang atau berhitung, dapat mengalihkan kegiatannya pada seni rupa untuk melepas frustasinya itu oleh karena pada seni rupa tidak dikenal jawaban yang benar at au

salah

Herberd Read terkenal dengan gagasan Education Through Art

yang menekankan bahwa naluri

berolah seni rupa bagi anak adalah suatu yang unive rsal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri anak dalam mengomunikasikan dirinya. Orang dewasa a tau pendidik, tidak seyogyanya menginvestasikan hal tersebut melalui berbagai dalih seperti demi “a dat-istiadat,” “persaingan kerja,” “pembentukan kar akter,”

atau “pendisiplin jiwa.” Menurutnya, semua itu akan secara nyata menggusur minat alamiah anak yang aka n

berarti merusak kebahagiaan dan kesenangan anak dal am menikamati kebebasan (Read 1978:10).

Pendeknya, ekspresi-diri tak bisa diajarkan dan per anan guru hanyalah sebagai fasilitator.

Pendekatan ekspresi bebas secara murni diimplementa sikan oleh pendidik seni rupa yang dalam

merancang kegiatan pembelajarannya menggunakan mode l

Emerging Curriculum , yakni kegiatan

pembelajaran yang tidak dirancang sebelumnya tetapi berkembang sesuai keinginan anak. Dengan cara ini, guru menanyakan kepada anak kegiatan apa yang ingin dilakukannya dan kemudian menyiapkan segala

(7)

iran, maka guru pun harus segera menyesuaikan diri dengan keinginan sang anak. Implementasi pendekatan ekspresi bebas semacam ini tentu saja cocok

Implementasi Pendidikan Seni Rupa B

erbasis Pendidikan Anak Usia Dini dengan Pendekatan Ekspresi Bebas

11

dilakukan di sanggar seni yang bersifat non-formal. Untuk sekolah formal yang memiliki kurikulum serta jadwal yang ketat akan sulit untuk dilakukan.

Karena menyadari sulitnya menerapkan pendekatan eks presi bebas secara murni di sekolah, maka

pendidik seni rupa mengembangkan pendekatan ekspres i bebas yang bersifat “terarah.” Dengan pendekatan yang terarah ini, guru melaksanakan kegiatan pembel ajaran sesuai dengan jadwal yang ditetapkan tetapi dengan siasat tertentu agar supaya anak dapat menge kspresikan dirinya sesuai dengan apa yang

diharapkan. Siasat tersebut berupa kegiatan “pemana san” untuk merangsang dan memberikan motif berekspresi kepada anak. Kegiatan pemanasan atau bi asa pula disebut pemberian motivasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: (1) berceritera a tau berdialog dengan anak untuk membangkitkan perha tian

dan merangsang lahirnya motif yang dapat dijadikan dasar dalam berkarya. Tema ceritera atau dialog ter tentu

saja yang menyentuh kehidupan anak. Ceritera atau d ialog akan menarik bila yang menyentuh kehidupan anak. Ceritera atau dialog akan menarik bila guru m emperhatikan foro, gambar, atau film; (2) memberika n

anak pengalaman kontak langsung dengan alam secara sadar, misalnya dengan mengajak anak untuk

mencermati keadaan sekelilingnya yagng mungkin sela ma ini diabaikan seperti detail bunga-bungaan yang tumbuh di sekeliling sekolah, kawat listrik dan tel epon yang simpang-siur, pejalan kaki serta kendaraa an yang

lalu-lalang. Untuk mengarahkan perhatian anak, guru dapat mengajukan pertanyaaan seperti: “berapa mete r

(8)

diameter kembang matahari yang ada di halaman sekol ah?” (3) mendemonstrasikan proses penciptaan karya seni rupa yang akan diajarkan. Pemberian motivasi k epada murid dapat dilaksanaka dalam waktu yang singkat (kurang dari 5 menit), tetapi dapat pula di laksanakan dalam waktu 10-15 menit. Pembangkitan motivasi dalam bentuk kontak langsung dengan alam m emerlukan waktu yang relatif lama. Namun, kegiatan ini dapat dirangkaikan dengan kegiatanlain (misalny a darmawisata) sehingga tidak perlu mengambil waktu yang tersedia untuk praktik di kelas. Pada saat men jelang praktik, guru tinggal memancing ingatan anak tentang apa yang telah diamatinya untuk membangkitk an motivasinya.

Setelah anak termotivasi, maka anak pun diminta unt uk mengekspresikan dirinya secara bebas. Peran guru pada saat berlangsungya ekspresi terebut adala h mendampingi anak untuk memberikan bantuan dan pujilah bila diperlukan. Dalam kaitannya dengan pen ilaian karya anak, maka tentu saja guru harus kemba li ke

filosofi pendekatan ekspresi bebas yakni “ ekspresi anak bersifat unik dan alamiah dan tidak ada istil ah benar

dan salah dalam mengekspresikan dirinya melalui sen i rupa”. Penilaian yang diberikan bersifat apresiat if,

yakni bersifat menerima dan menghargai apa yang diu ngkapkan atau diciptakan oleh anak dengan

menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari k arya yang diciptakannya.

Kelancaran maupun hambatan kegiatan pendidikan seni rupa anak sangat bergantung dari kuat

lemahnya motor penggerak/ motivasi dari anak. Tangg apan jiwa anak (motivasi) pada anak akan menentukan Penutup

12

(9)

ui aktivitas seni rupa.

Pendidikan seni rupa anak diharapkan dapat mengemba ngkan daya kesadaran, kepekaan, estetik

(apresiasi), daya cipta (kreativitas) dan memberika n kesempatan kepada subjek untuk berkreasi seni (Su topo

1999:5). Dalam rangka membentuk manusia ideal, pend idikan seni rupa ini juga diharapkan anak terampil, sadar budaya, peka rasa (dan menjadi bagian penting dari pendidikan seni di sekolah umum) serta kreati f.

Depdiknas. 2003.

Undang-Undang Sisdiknas . Jakarta: Depdiknas. Efland, A. D. 1990. History of Art Education

. New York/London: Teachers College. Eisner, E. W. and David W. Ecker. 1996. Reading in Art Education

. London: Blaisdel.

Garha, O. dan Martindo D. Bongsoe. 1975. Penuntun Pendidikan Seni Rupa untuk SD . BAndung: PT Pelita

Masa.

Graha, O. “Mata Pelajaran Menggambar dan Pelaksanaa nnya di Sekolah Dasar”,

Makalah Nasional Konsep dan Implementasi Pendidikan

, dalam rangka Lustrum VI IKIP Semarang. Semarang, 7 April 1995.

Graha, O. 1987.

Memahami Dunia Kesenirupaan Anak-Anak . Bandung : Bina Cipta.

Jalal, F. dan Dedi Supriadi. 2001.

Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah . Yogyakarta:

Adecitra Karya Nusa. Jalal, F. 2002.

Pentingnya Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Membangu n Masa Depan Bangsa Yang

Berkualitas

. Makalah dalam Seminar Membangun Masa Depan Jawa B arat melalui Peningkatan

Layanan Pendidikan Anak Usia Dini di UPI, 16 oktobe r 2002.

(10)

ing Art”. Art Education . 39 (4) (hal. 17-21). Logan, F. M. 1955.

Growht of Art in American Schools . New York: Harper & Brothers.

Lowenfeld, V. dan W. Lambert Brittain. 1982. Creative and Mental Growth

. New York: Macmillan. Macdonald, S. 1970. The

History and Philoshophy of Art Education . New York: American Elsevier.

Muharam. 1991.

Pendidikan Kesenian II Seni Rupa. Jakarta: Dirjen Dikti LPTK.

Munandar, S.C. Utami. 1987.

Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah . Jakarta : Depdikbud.

Read, H. 1974.

Educational Throught Art . New York: Mayflower Book. Salam, S. 2005.

Paradigma dan Masalah Pendidikan Seni . Semarang: PPs, UNNES.

Soeparwoto. 2004. Psikologi Perkembangan

. Semarang: UPT MKK UNNES. Daftar Pustaka

13

Sutopo. 1996. Peranan Pendidikan Seni Masa Kini. Semarang.

Wilson, R. A. (1996). Starting Earky:

Environment Educational During the Early Childhood Years

. ERIC Diges.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dianalisis data mengenai penerapan pembelajaran menggunakan pendekatan realistik yang dilakukan guru melalui proses pengamatan terhadap proses pembelajaran ternyata

Before turning to the proof, we remark that if ǫ > 1, one may run through the above argument and simply choose m = 1 at the end to produce the classical form of the large

[r]

Tujuan khusus dari pelakasanaan Praktik Pengalaman Lapanagn 2 bimbingan dan konseling adalah menyusun program-program dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling sesuai

Motivasi belajar instrinsik dan ekstrinsik siswa kelas VII.1 SMP Negeri 9 Siak Kecamatan Bungaraya Kabupaten siak pada mata pelajaran seni budaya tergolong sedang

Berdasarkan hasil penelitian yang berhasil diolah yang dilakukan dalam teknik vokal paduan suara di SMP Negeri1Toar Kecamatan Gunung Toar Kabupaten Kuantan

Bahwa dengan adanya bukti tertulis berupa bukti penolakan oleh Primajasa Bank yang dimiliki Penguggat / Pembanding / Pemohon Kasasi maka terbukti bahwa Tergugat / Terbanding

Penelitian menemukan model terapi senam otak yang sesuai untuk anak autis sebagai salah satu upaya meningkatkan kemampuan kognitif pada anak dengan autis yaitu hanya 12