• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Promosi Kesehatan terhadap Perilaku Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 dan Rumah Tahanan Kelas 1 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Promosi Kesehatan terhadap Perilaku Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 dan Rumah Tahanan Kelas 1 Medan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit menular merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia karena masih tinggi angka kesakitan dan kematian, khususnya penyakit HIV/AIDS, malaria dan tuberculosis paru. Penyakit ini menjadi agenda prioritas utama dalam tujuan Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2012, diketahui bahwa regional Asia Tenggara merupakan regional dengan kasus Tuberculosis (TB) paru tertinggi yaitu sebesar 40%, diikuti regional Afrika (26%), Pasifik Barat (19%), dan terendah pada regional Eropa (3%). Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi prevalensi TB Paru adalah Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti Bangladesh sebesar 411 per 100.000 penduduk, dan Indonesia menempati urutan ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000 penduduk.

(2)

lain dengan kisaran 348 per 100.000 penduduk, 943 per 100.000 penduduk. Angka-angka tersebut secara faktual memberikan gambaran bahwa prevalensi TB Paru di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan komposisi penduduk, diketahui prevalensi TB paru paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki 819 per 100.000 penduduk, penduduk yang bertempat tinggal di desa 750 per 100.000 penduduk, kelompok pendidikan yang tidak sekolah 1.041 per 100.000 penduduk), petani/nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk dan pada penduduk dengan tingkat pengeluaran kuintil 4 sebesar 607 per 100.000 penduduk.

(3)

Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012, diketahui penemuan kasus baru TB Paru (+) sebanyak 14.302 jiwa (68,86%), dan dari 33 Kabupaten/Kota tertinggi adalah kota Gunung Sitoli (163,41%), dan terendah Kabupaten Karo yaitu 39,75%, dan angka kesembuhan sebesar 75,32%. Angka tersebut menunjukkan kasus TB paru di Provinsi Sumatera Utara masih tinggi.

Kontribusi prevalensi TB paru juga bersumber penduduk pada tempat-tempat umum, khususnya pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), karena Lapas memiliki potensi yang besar dan memudahkan terjadinya penyebaran infeksi TB karena lamanya dan berulangnya paparan terhadap Mycobacterium, dan disebutkan juga bahwa faktor resiko mendapat infeksi baru TB atau reaktivitas dari infektor laten TB seperti status gizi yang buruk dan juga tekanan fisik dan emosional narapidana.

(4)

melalui staf penjara, pengunjung, dan kontak dekat dengan tahanan yang dibebaskan. Dinamika penularan antara tahanan dan masyarakat umum memainkan peran kunci dalam mendorong kejadian TB pada masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk mencagah dan mengendalikan TB di penjara (Niveau, 2006).

Menurut Depkes RI (2012), potensi penularan TB Paru di Lapas sangat tinggi, karena sebagian besar Lapas mempunyai penghuni melebihi kapasitas, hasil kajian menunjukkan prevalensi TB paru pada penghuni Lapas/rutan di wilayah Jabotabek adalah 7,5 kali lebih besar dari populasi umum.

Penelitian Manzoor, et.al. (2009) pada penghuni penjara di Pakistan, menjelaskan bahwa kasus TB paru juga terjadi pada penguni penjara, dari 261 sampel terdapat 9,2% penghuni penjara positif menderita TB paru, 5,7% diantaranya mempunya riwayat TB Paru dalam keluarga, 18,3% mempunyai gejala batuk lebih dari minggu.

Penelitian Firmanda (2007) di Lapas Jaya Pura menyebutkan bahwa jumlah penderita TB Paru semakin meningkat di Lapas ini oleh karena pengetahuan narapidana yang sangat rendah. Disamping itu sistem pemeliharaan kesehatan yang kurang baik di Lapas menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tempat meningkatnya kasus TB Paru di Lapas.

(5)

bahwa ada pengaruh yang cukup kuat antara sistem, kondisi fisik dan perilaku para narapidana dalam upaya pencegahan dan pengobatan TB Paru di Lapas.

Menyikapi fenomena masih tingginya angka morbiditas dan prevalensi TB Paru di lapas, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang strategis penanggulangan TB paru pada Lapas. Sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 565/MENKES/PER/III/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014, strategis tersebut antara penurunan angka prevalensi TB paru pada penguni lapas, pendidikan dan promosi kesehatan pada penghuni lapas. Adapun target yang diharapkan sampai tahun 2014 adalah penurunan angka prevalensi TB paru pada penghuni lapas/rutan sampai 80%, dan mewajibkan seluruh lapas dan rutan untuk melakukan skrining TB Paru bagi penghuni baru.

(6)

Tabel 1.1. Jumlah Penderita TB Paru di Lapas Kelas I Medan, Rutan Kelas I Medan , dan Lapas Kelas II Lubuk Pakam Tahun 2009-2011

Lokasi Lapas

Sumber: Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara, 2012

Berdasarkan data tabel 1.1 menunjukkan bahwa fenomena kasus baru TB paru pada penghuni Lapas/rutan cenderung meningkat setiap tahunnya, dan hal ini menjadi perhatian manajemen Lapas untuk dapat mencegah dan menanggulangi penularan TB paru pada penghuni lapas sesuai dengan kebijakan dan dan rencana aksi nasional penanggulangan pada public private mix Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sampai tahun 2013.

Fenomena kejadian TB paru pada Narapidana/Lapas/Rutan juga terjadi pada petugas lapas. Data menunjukkan pada Lapas Kelas I Medan terjadi kasus TB paru sebanyak 10 orang, pada Lapas Kelas II Pakam sebanyak 5 orang dan pada Rutan Kelas I Medan sebanyak 4 orang. Keadaan ini mendeskripsikan bahwa penularan TB paru di Lapas/Rutan sangat tinggi dan dapat menyerang semua kelompok, sehingga sangat dibutuhkan strategi yang efektif dan berkelanjutan untuk penanggulangannya.

(7)

keseluruhan faktor yang bersumber dari individu seperti umur, jenis kelamin, status gizi, kekebalan tubuh, sosial ekonomi, pengetahuan dan faktor lingkungan seperti kepadatan hunian, kelembaban rumah, sirkulasi udara, pencahayaan, dan kondisi fisik rumah lainnya. Determinan ini juga sinergis dengan Lapas/Rutan, karena umumnya kondisi fisik penghuni lapas bervariatif, dan faktor kondisi Lapas/Rutan yang berpotensi terhadap penularan TB paru. Selain itu peningkatan kasus TB paru juga dipengaruhi oleh faktor pelayanan kesehatan seperti ketersediaan obat anti TB paru, pendidikan kesehatan oleh petugas kesehatan, serta faktor dari keluarga penghuni lapas.

Fenomena baru terhadap tingginya kasus TB paru pada penghuni Lapas, disebabkan adanya resistensi faktor agent (mycobacterium tuberculosis) terhadap obat anti tuberkulosis, seperti penelitian Susi (2007) pada narapidana di Lapas Kelas I Tanjung Gusta Medan tahun 2007, yang menemukan kasus sebanyak 30 orang (10%) dari 300 penghuni lapas, dan hasil penelitian menunjukkan 40% resisten terhadap obat Rifampisin, 6,7% resisten terhadap Pirazinamid, dan 26% resisten terhadap Streptomisin. Hal ini menunjukkan penggunaan obat anti tuberkulosis ternyata masih belum efektif untuk penanggulangan TB paru pada penderita TB paru di Lapas, sehingga sangat perlu dilakukan strategi baru yang lebih efektif untuk penanggulangan TB paru pada penghuni Lapas.

(8)

individu. Menurut H.L Bloom (1974)) salah satu determinan terhadap terjadinya masalah kesehatan adalah faktor perilaku kesehatan meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan. Upaya peningkatan perilaku kesehatan dapat dilakukan dengan pendidikan dan promosi kesehatan sesuai dengan konsep Green (2005), yang menjelaskan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh multi faktor, baik faktor pendukung seperti karakteristik individu, faktor penguat yaitu ketersediaan sarana kesehatan, dan faktor pemungkin seperti dukungan petugas kesehatan.

Menurut WHO (2006) promosi kesehatan (health promotion) sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Peningkatan kesehatan yang dimaksud adalah pencapaian derajat kesehatan yang sempurna, yang meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial termasuk kesehatan lingkungan, dan setiap individu, keluarga dan kelompok masyarakat harus mampu meningkatkan derajat kesehatannya.

(9)

yang kurang diduga oleh karena kurangnya informasi menyangkut TB Paru. Keadaan pengetahuan yang kurang seiring dengan sikap penderita yang tidak mau tahu dan akhirnya sangat berpengaruh terhadap tindakan penderita terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan.

Penelitian Sukana (2003) menunjukkan bahwa hampir seluruh penderita TB paru mengetahui tanda dan gejala TB paru (94,05%), tetapi sebesar 78,57% penderita tidak mengetahui penyebab TB Paru. Pengetahuan mengenai cara penularan, sebagian besar (88,09%) penderita tidak mengetahuinya. Pengetahuan tentang hal yang mempengaruhi penularan TB Paru yang terbanyak tidak tahu (53,57%), sedangkan pengetahuan tentang hal-hal yang membantu pengobatan sebagian besar (60,05%) sudah mengetahuinya. Sejalan juga dengan penelitian Soejadi (2007) menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang tuberkulosis dan sanitasi perumahan terhadap kejadian tuberkulosis masih sangat rendah, dimana hasil penelitian menggambarkan pengetahuan dengan kategori rendah sebesar 65,9%, kategori sedang sebesar 27,5% dan kategori tinggi hanya 6,6%.

Berdasarkan hasil survei dan observasi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan September 2011, menunjukkan bahwa pada Lapas Kelas I dari 44 narapidana yang positif TB Paru mayoritas mempunyai perilaku berisiko terhadap penularan TB paru bagi penghuni lapas lainnya, seperti meludah sembarang tempat, serta perilaku memperparah terjadinya TB paru seperti merokok, serta mempunyai kebiasaan tidur larut malam.

(10)

dipersyaratkan bagi orang yang memiliki penyakit TB Paru, tidak ada pembedaan menyangkut pemenuhan gizi pada kelompok orang yang terinfeksi TB Paru dan yang tidak terinfeksi TB Paru (sehat). Untuk penanganan pada penderita TB Paru fase intensif, diet yang perlu diberikan adalah diet Tinggi Energi Tinggi Protein (TETP), dengan tujuan diet untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein yang sangat meningkat sehingga mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh dan menambah berat badan sehingga mencapai berat badan normal (Martony, 2006). Pemberian aturan diet sesuai dengan penyakit yang diderita penghuni Lapas perlu diperhatikan, karena makanan merupakan salah satu faktor yang membantu percepatan penyembuhan penyakit yang di derita.

(11)

penyebab sulitnya menurunkan angka penderita TB Paru di Lapas atau Rutan. Selain sirkulasi udara, maka pencahayaan di ruang tahanan masih kurang. Kuman TB Paru dapat bertahan hidup dalam kegelapan/kelembaban dalam beberapa jam, namun sinar matahari langsung dapat secara cepat membunuhnya

Berdasarkan aspek kuratif, diketahui strategi pengobatan bagi penderita TB paru pada narapidana cenderung belum berorientasi pada penyembuhan secara sempurna, hal ini diindikasikan dari adanya narapidana positif TB Paru yang drop out dari proses pengobatan dengan persentase sebesar 39,2%, dan tidak adanya upaya monitoring yang evaluatif terhadap sehingga tidak dapat diidentifikasi tingkat cakupan kesembuhan TB Paru pada narapidana. Wawancara singkat dengan 6 (enam) narapidana positif TB paru, mayoritas (78,2%) menyatakan tidak minum obat tepat pada waktunya, dan secara keseluruhan mengatakan tidak ada pengawasan dari petugas Lapas terhadap kesinambungan pengobatan. Secara umum keberhasilan pengobatan TB paru ditentukan oleh peran Pengawas Menelan Obat (PMO).

(12)

pengobatan TB Paru, karena pengobatan ini memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan karena umumnya kuman penyebab TB paru yaitu Mycobacterium tuberculosis bersifat intraseluler.

(13)

belum mampu mengubah masalah kesehatan individu penghuni Lapas/Rutan, untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang upaya promosi kesehatan yang lebih efesien dan efektif dalam peningkatan pengetahuan dan perilaku penghui Lapas/Rutan dalam penanggulangan TB paru di Lapas/Rutan Kelas I Medan.

1.2Permasalahan

1.2.1 Perumusan Masalah

Fenomena peningkatan kasus baru TB Paru di Lapas Kelas I dan Rutan I Medan menjadi perhatian dan sangat perlu dirumuskan strategi penanggulangan yang efektif dan berdayaguna. Peningkatan TB Paru meningkat dari tahun ke tahun dan sampai tahun 2012 berjumlah 44 orang. Jumlah ini meningkat sebanyak 20 persen dimana pada tahun sebelumnya berjumlah 36 orang.

Analisis situasi masalah yang dihadapi adalah masih belum ada perhatian serius dari individu penghuni Lapas untuk pencegahan TB paru, hal ini diasumsikan masih minimnya pengetahuan penghuni lapas untuk mencegah terjadinya penularan TB paru, dan proses pengobatan TB paru. Selain itu faktor risiko lain juga masih tinggi terhadap penularan TB paru seperti kondisi status gizi penghuni lapas, kondisi fisik lapas, serta kapasitas penghuni Lapas yang belum proporsional dengan luas ruangan.

(14)

peningkatan pendidikan dan pengetahuan penghuni Lapas tentang kesehatan, dan pencegahan TB Paru.

Fenomena fluktuasi kasus TB paru Positif, dan keberlangsungan pengobatan TB paru pada penghuni Lapas masih menjadi masalah kesehatan di Lapas, untuk itu sangat perlu dilakukan upaya pencegahan bagi narapidana penghuni Lapas yang belum terkena TB Paru, dan upaya efektifitas pengobatan bagi tahanan yang sudah menderita TB Paru. Untuk itulah maka penelitian ini berupaya untuk mengembangkan promosi kesehatan dan mengimplementasikannya di Lapas serta mengevaluasi sejauh mana pengaruh promosi kesehatan tersebut terhadap pencegahan TB Paru bagi narapidana yang sehat dan mengevaluasi sejauh mana promosi kesehatan tersebut dapat meningkatkan perilaku pengobatan bagi penderita TB Paru.

1.2.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah promosi kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan narapidana dalam pencegahan TB Paru di Lapas Kelas I Medan?

2. Apakah promosi kesehatan dapat meningkatkan sikap narapidana dalam pencegahan TB Paru di Lapas Kelas I Medan?

3. Apakah promosi kesehatan dapat meningkatkan tindakan narapidana dalam pencegahan TB Paru di Lapas Kelas I Medan?

(15)

5. Apakah promosi kesehatan dapat meningkatkan sikap narapidana dalam pengobatan TB Paru di Lapas Kelas 1 Medan?

6. Apakah promosi kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan narapidana dalam pengobatan TB Paru di Lapas Kelas 1 Medan?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh promosi kesehatan terhadap upaya pencegahan dan pengobatan TB Paru di Lapas Kelas I Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan pencegahan TB paru di Lapas Kelas I Medan. 2. Untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh promosi kesehatan terhadap

peningkatan sikap pencegahan TB paru di Lapas Kelas I Medan.

3. Untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan tindakan pencegahan TB paru di Lapas Kelas I Medan.

4. Untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan pengobatan TB paru di Lapas Kelas I Medan. 5. Untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh promosi kesehatan terhadap

peningkatan sikap pengobatan TB paru di Lapas Kelas I Medan.

(16)

1.4Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh promosi kesehatan terhadap perilaku pencegahan dan pengobatan TB Paru penghuni di Lapas Kelas 1 Medan. Adapun sub hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan pencegahan TB paru penghuni di Lapas Kelas 1 Medan.

2. Ada pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan sikap pencegahan TB paru penghuni di Lapas Kelas 1 Medan.

3. Ada pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan tindakan pencegahan TB paru penghuni di Lapas Kelas 1 Medan.

4. Ada pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan pengobatan TB paru penghuni di Lapas Kelas 1 Medan.

5. Ada pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan sikap pengobatan TB paru penghuni di Lapas Kelas 1 Medan.

6. Ada pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan tindakan pengobatan TB paru penghuni di Lapas Kelas 1 Medan.

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

(17)

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Lapas Kelas 1 Medan dan Rutan Kelas 1 Medan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam meningkatkan penanggulangan TB paru bagi yang sehat, meningkatkan kepatuhan narapidana yang sakit untuk minum obat, membuat program promosi kesehatan pencegahan dan pengobatan TB paru dan memperkuat program promosi kesehatan sehingga dapat meningkatkan pencegahan dan pengobatan TB paru di Lapas dan Rutan kelas 1 Medan

Gambar

Tabel 1.1.  Jumlah Penderita TB Paru di Lapas Kelas I Medan, Rutan Kelas I Medan , dan Lapas Kelas II Lubuk Pakam Tahun 2009-2011

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuat Modul ini penulis membuat struktur navigasi dan storyboard dengan menggunakan Macromedia Flash MX 2004 serta komponen-komponen lainnya yang mendukung proses

saling hapus dan nilai netonya disajikan dalam laporan posisi keuangan jika, dan hanya jika, terdapat hak yang berkekuatan hukum untuk melakukan saling hapus atas

Test of English as a Foreign Language disingkat TOEFL adalah ujian kemampuan berbahasa Inggris (logat Amerika) yang diperlukan untuk mendaftar masuk ke college atau universitas

Classroom action research is a research form which is used in this research to know the improvement of motivation in narrative text reading class when flash

semakin efektif, dimana fungsi roaming profile akan mengintergerasikan setiap lab komputer dalam jaringan, yang nantinya memberikan kemudahan dalam proses login

Keamanan dari data yang saling dipertukarkan tentunya harus dijaga kerahasiaannya. Kriptografi merupakan salah satu solusi dalam menyandikan data agar lebih

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah penetian pada pengkajian penerapan pendekatan saintifik menggunakan media audio visual untuk mengetahui kualitas proses

Tahapan penelitian dari Gambar 2, dapat dijelaskan sebagai berikut : Tahap pertama : Identifikasi masalah, yaitu mencari dan melihat kekurangan dari segi