Iredentisme Islamis di Asia Tenggara Pasca 9/11: Identifikasi, Karakteristik dan Respon Pemerintah1
Baiq L.S.W.Wardhani
Departemen Hubungan Internasional FISIP Unversitas Airlangga
Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara dikenal sebagai salah satu kawasan yang paling bergolak akibat konflik etnis separatis2. Salah satu konfik etnis yang belum berakhir adalah upaya pemisahan diri karena keinginan bergabung dengan negara lain (iredentisme)3. Hal yang menarik dari fenomena ini adalah perjuangan sejumlah gerakangerakan iredentis yang berdasarkan Islam yang kelompokkelompok tersebut tersebar di beberapa negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Tujuan utama gerakan iredentis tersebut adalah bersatu dan membentuk negara Islam di Asia Tenggara. Perlu digarisbawahi bahwa gerakangerakan iredentis islamis di Asia Tenggara menjelma dalam berbagai bentuk organisasi, mulai dari gerakangerakan (yang dianggap) memisahkan diri maupun partaipartai politik dan gerakan massa. Gerakan teroris yang beroperasi di Asia Tenggara, terutama Jamaah Islamiyah (JI) berupaya memanfaatkan kelompokkelompok ini untuk menyebarkan pengaruhnya.
Beberapa kelompokkelompok islamis dengan elemen iredentis yang terdapat di Asia Tenggara tersebut diantaranya adalah Gerakan Aceh Merdeka – GAM, Laskar Jihad
1 Disajikan dalam International Seminar IndonesiaMalaysia Update 2008. Kerjasama UGM dengan Malaya University yang diselenggarakan di Yogyakarta, 2729 Mei 2008.
2 Separatis (me) merupakan istilah generik yang digunakan untuk menjelaskan gejala pemisahan diri (sececcionism), iredentisme maupun tuntutan otonomi.
(Indonesia), Pattani United Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro Islamic Liberation Front – MILF (Filipina), PAS, KMM (Malaysia). Perjuangan mereka sudah berlangsung sejak sebelum negara mendapat kemerdekaan dari pemerintah kolonial. Gerakan yang sudah berlangsung lama ini seringkali tidak mendapat respon yang memadai dari negara karena sifat gerakannya yang laten dan sporadis. Ancaman yang ditimbulkan dari gerakan iredentis di Asia Tenggara kerap ditengarai sematamata sebagai gerakan pemisahan diri yang menuntut kemerdekaan (sessesisecession) dan negara tidak pernah memandang kelompokkelompok tersebut sebagai kelompok iredentis islamis. Hal ini menunjukkan Islam sebagai faktor yang “tidak diakui” (denied factor) oleh kebanyakan pemerintah negaranegara Asia Tenggara (Permata, 2007: 74). Sesungguhnya tujuan akhir gerakan iredentisme di Asia Tenggara adalah berdirinya sebuah pemerintahan yang berdasar pada sendisendi keislaman (daulah islamiyah), bukan sekedar menuntut pemisahan diri dan berdiri sebagai entitias politik yang terpisah dari negara. Sementara itu daulah islamiyah merupakan citacita yang belum pernah terwujud dan akan selalu diperjuangkan oleh para peyakinnnya. Akibat perlakuan yang tidak tepat atas gerakangerakan iredentis tersebut, pemerintah sering salah mengambil kebijakan dalam menghadapinya.
Sebelum tragedi 9/11 gerakangerakan iredentis ini diperlakukan sebagai gerakan pemisahan diri yang berjuang melawan pemerintah. Pendekatan pemerintah yang pada umumnya menggunakan caracara kekerasan/militeristik tidak berhasil memadamkan hasrat memberontak kelompokkelompok tersebut. Sebaliknya, secara diamdiam mereka memperkuat diri dengan bantuan pihak luar negeri.
Akan tetapi setelah peristiwa serangan 9/11 gerakangerakan iredentis ini mendapat julukan baru sebagai teroris yang mendasarkan perjuangannya pada revivalisme ideologi islamis. Perjuangan mereka dikaitkan dengan tujuan perjuangan para pelaku serangan menara kembar WTC di Amerika. Dampaknya, pengawasan pemerintah pada mereka semakin ketat, yang berkonsekuensi pada meningkatnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah.
Tulisan ini bertujuan untuk mengamati respon yang diberikan oleh pemerintah beberapa negara Asia Tenggara dalam menanggapi gerakan iredentisme di kawasan tersebut. Penulis berargumen bahwa respon pemerintah yang mengutamakan pendekatan kekerasan tersebut merupakan respon reaksioner kebijakan AS dalam menjalankan strategi globalnya melawan terorisme. Pendekatan tersebut kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk memadamkan aspirasi para kelompok iredentis. Respon tersebut mengembalikan sifat otoritarian dan konservatif pada beberapa negara Asia Tenggara yang tidak kondusif bagi pengembangan demokrasi yang baru dirintis oleh negaranegara tersebut. Keberadaan iredentisme Islamis menimbulkan dilemma keamanan bagi negaranegara terkait, yang penanganannya memerlukan kerjasama di antara negaranegara tersebut.
Identifikasi
Kelompokkelompok iredentis yang bermaksud bergabung mendirikan daulah islamiyah di Asia Tenggara diwakili oleh beberapa organisasi, yang paling dominan di antaranya adalah Gerakan Aceh Merdeka – GAM, Laskar Jihad (Indonesia), Pattani United Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro National Liberation Front – MILF (Filipina), KMM (Malaysia). Tujuan pendirian daulah islamiyah ini sejalan dengan tujuan Jamaah Islamiyah, sebuah sel gerakan Al Qaeda di Asia Tenggara.
GAM merupakan kelompok pemberontak yang berbasis di Aceh yang didirikan pada tahun 1976 oleh Hassan Tiro. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Tujuan perjuangan kelompok ini adalah untuk melepaskan diri dari NKRI dan membentuk negara merdeka. Tuntutan merdeka kelompok ini disebabkan kekecewaan para pemimpinnya atas berbagai harapan yang tidak pernah terwujud. Sebagian tujuan gerakan ini diilhami oleh pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pada tahun 19531962 pimpinan Daud Beureuh yang bertujuan mendirikan negara islam Indonesia. Secara historis hubungan antara JI dan Aceh diawali dengan pemberontakan Darul Islam tersebut. Rakyat Aceh menganggap Daud Beurueh sebagai pahlawan dan GAM menganggapnya sebagai pionir kemerdekaan Aceh, semenatar JI menganggapnya sebagai pejuang sejati berdirinya Negara Islam (ICG Report no. 43, 2002: 7). Namun keterkaitan GAM dengan JI disangkal oleh Muzakir Manaf, salah seorang pimpinan GAM. (http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html)
GAM) digerakkan oleh pihak asing, tidak terlibat dalam aktivitas terorisme, kegiatan organisasi tersebut tidak mengancam keselamatan warga AS dan pemerintah AS. Akan tetapi Dillon berpendapat bahwa ada bukti nyata keterlibatan GAM dalam beberapa tindak kejahatan terorisme. Aksiaksi yang dilakukan GAM dalam upaya mencapai tujuannya untuk melepaskan diri dari NKRI telah ditunggangi oleh, maupun memanfaatkan kepentingan kelompok teroris.
Di Thailand terdapat PULO (The Pattani United Liberation Organization) identik dengan gerakan separatis yang meggunakan aksi terorisme di Thailand Selatan. Organisasi ini didirikan pada 22 Maret 1968. Pada tahun 1992 organisasi ini mengalami perpecahan. Faksi pertama membentuk sayap militer yang bernama “Caddan Army”. Faksi kedua juga memiliki sayap militer yang disebut PULO Army Command Council. PULO merupakan organisasi yang mewakili rakyat Melayu yang berdiam di Thailand Selatan. Pemberontakan PULO didasari oleh anggapan bahwa pemerintah Thai melakukan penjajahan sehingga konstitusi Thai tidak diakui oleh PULO. Pemerintah Thai bukanlah merupakan pemerintahan yang absah di hadapan PULO. Keterikatan historis dan kedekatan geografis menyebabkan markas besar kedua faksi tersebut terletak di Malaysia (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm).
Secara sosiologiskultural masyarakat Muslim Thai merupakan kelompok minoritas yang berbeda dengan penduduk Thai pada umumnya. Keterikatan historis yang kuat dengan Kedah dan Kelantan (wilayah Malaysia) menyebabkan mereka tidak mau meninggalkan bahasa Melayu. Bahasa ini menjadi lingua franca yang mempersatukan mereka dan menjadi simbol identitas persatuan mereka. Bahasa Melayu tidak saja identik dengan bangsa Melayu tetapi dengan agama Islam.
Terdapat beberapa wilayah di Thailand Selatan yang beragama Islam dan secara rasial Melayu, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat, Setun dan Songkhla. Selain PULO terdapat beberapa organaisasi serupa, seperti Barisan Revolusi National (BRN), Gerakan Mujahideen Islam Pattani (GMIP), United Front for the Independence of Pattani – Bersatu, Mujahideen Pattani Movement (BNP), Barisan National PemberBasab Pattani (BNPP), Mujahideen Islam Pattani (Dulyakasem, 1984). Di antara organisasiorganisasi tersebut, PULO merupakan salah satu yang relatif paling aktif sehingga dapat dianggap mewakili aspirasi iredentis kaum muslim Thailand. Perjuangan PULO mencapai keberhasilannya telah menjadikan kelompok ini sebagai faktor pengganggu utama dalam upaya nation building dan mengancam integritas teritorial Thailand.
dengan truk menuju tempat tahahan. Tragedi tersebut dikecam dunia internasional, bukan saja karena menyangkut pelanggaan HAM tetapi juga terjadi pada bulan suci Ramadhan (Roberts, 2004). Pemerintah Thailand dan Barat mulai khawatir ketidakstabilan di Thailand Selatan dimanfaatkan jaringan Al Qaeda. Apalagi setelah beberapa tokoh JI ditangkap setelah terjadi pertemuan tokoh JI di Sungai Kolok, kota kecil di perbatasan Thailand dengan Malaysia. Pada pertemuan itu hadir Hambali, Mukhlas, Dr Azahari, Noordin M Top, Zulkarnaen, dan tokoh lainnya (Kompas, 20/12/2004. http://64.203.71.11/kompascetak/0412/20/sorotan/1445598.htm). Sekali pun PULO menyatakan sebagai pihak yang berada di balik berbagai aksi kekerasan di Thailand Selatan dalam kurun waktu tersebut, gerakan yang dilakukan PULO yang merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan suku Melayu itu mengaku sama sekali tak memiliki hubungan dengan kelompokkelompok internasional seperti Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden atau Kelompok Jamaah Islamiyah (Kompas, 29/08/2005. http://www2.kompas.com/kompascetak/0508/29/ln/2006896.htm).
MNLF (Moro National Liberation Front) yang didirikan pada akhir 1960an, menuntut kemerdekaan diri dari pemerintah Filipina dan mendirikan negara islam Moro. Pada tahun 1981 beberapa anggota MNLF mendirikan MILF (Moro Islamic Liberation Front). Perpecahan ini disebabkan karena keediaan MNLF melakukan perundingan perdamaian dengan pemerintah Filipina, yang berakhir dengan diterimanya tawaran semiotonomi bagi MNLF (WrightNeville, 2004). MILF berkembang menjadi organisasi perjuangan yang bersifat jihadis dengan menjalin hubungan dengan Abu Sayyaf dan Al Qaeda. Sekalipun menyangkal mengakitkan diri dengan Jemaah Islamiyah, MILF menerima bantuan berupa fasilitas latihan dan persenjataan (BBC News Online, 2003). MILF juga menyangkal keterlibatannya dengan JI sekalipun mengakui telah mengiri sekitar 600 pasukannya ke tempat pelatihan Al Qaeda di Afganistan dan Osama bin Laden member bantuan logistik dan uang ke Moro (Abuza, 2002).
Tidak lama setelah naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Gloria Arroyo mengumumkan perang semesta (all out war) dengan pemberontak MILF yang telah melakukan aksi kriminalitas penculikan terhadap orang asing dan warga setempat. MILF melanjutkan pemberontakannya dengan melakukan aksi pemboman di Zamboangan pada tahun 2002. Perlawanan yang lebih serius terjadi di Cotabato pada tahun Februari 2003 degan
tewasnya sekitar 200 tentara pemberontak
(http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm).
Kecurigan pemerintah Malaysia direalisasikan dengan pemberlakuan Internal Security Act (ISA) (http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm).
Rencana peledakan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Singapura, Malaysia, dan Indonesia mengungkap beberapa kecurigaan mengenai keterkaitan KMM dengan JI. Kelompok lain yang dicurigai oleh Pemerintah Malaysia memiliki keterkaitan dsengan JI adalah PAS, sebuah partai Islam di Malaysia4. Kepala Polisi Diraja Malaysia, Tan Sri Norian Mai, menyatakan bahwa beberapa anggota KMM yang ditahan memang punya hubungan dengan Jamaah Islamiyah di Singapura (Wiyana, dan Albintani, 2002).
Indonesia menempati posisi penting bagi gerakangerakan iredentis islamis. Karenanya Indonesia merupakan negara target pertama terwujudnya daulah islamiyah berdasar fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Salah seorang anggota amah Islamiah (JI), Wan Min bin Wan Mat mengakui bahwa jika negara islam Indonesia sudah terbentuk, maka terwujudnya daulah islamiyah nusantara akan segera terbentuk pula. Negara islam tersebut akan meliputi/menggabungkan Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura dan Filipina. Setelah daulah islamiyah terbentuk maka segera diikuti dengan terbentuknya sebuah kekhalifaan Islam (ICG Asia Report no. 63, 2003: 1), yang bernama Daulah Islamiyah Nusantara.
Karakteristik
Terdapat beberapa karakteristik gerakan iredentis daulah islamiyah dalam mecapai tujuan perjuangannya. Pertama, kelompokkelompok ini menggunakan caracara kekerasan sebagai strategi utama perjuangan mencapai tujuannya. Cara kekerasan bahkan menjadi cara yang paling sering digunakan oleh kelompokkelompok tersebut. Caracara seperti pemboman, termasuk bom bunuh diri, penculikan, ancaman, pemerasan dianggap paling ampuh untuk menarik perhatian umum. Metoda violence ini menjadi ciri penting bagi gerakangerakan tersebut yang memberi warna pada militanisme “jihadis” kelompokkelompok milenarian.
Kedua, pada dasarnya tidak ada keterkaitan langsung antara gerakan iredentisme daulah islamiyah dengan terorisme Asia Tenggara maupun terorisme global. Keterlibatan JI (dan Al Qaeda) di Asia Tenggara diawali pada tahun 1991 di Filipina melalui Mohammed Khalifa, kerabat Osama bin Laden. Kegiatan JI di Malaysia dimulai tahun 1994 dengan perantara Wali Khan Amin Shah, seorang anggota kunci yang dipercaya oleh Khalifa. Amin Shah dan Hambali membentuk Konsojaya SDN BHD, yang
bertanggungjawab atas dukungan finansial operasi Al Qaeda di Asia Tenggara (ICG Asia Report no. 63, 2003: 1). Sekalipun terdapat persamaan dalam hal ideologi perjuangan, iredentisme islamis telah tumbuh sejak sekitar awal abad 20, zaman ketika para kolonial Barat memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Sementara gerakan gerakan teroris islamis merupakan fenomena baru di Asia Tenggara yang keberadaannya tidak pernah terdengar sebelum tahun serangan 9/11. Dengan demikian hubungan dan keterkaitan gerakangerakan pemberontak muslim Asia Tenggara dengan jaringan teroris JI maupun Al Qaeda merupakan fenomena baru yang terjadi hanya beberapa tahun terakhir saja, khususnya setelah terjadinya konflik sektarian di Afghanistan. Para veteran perang Afganistan mempertahankan hubungan/jaringan yang telah dibinanya sejak perang di Afganistan melawan Uni Soviet dan kemudian kembali ke tanah air masingmasing dan membentuk gerakan baru, salah satunya adalah JI.
Ketiga, Jamaah Islamiyah merupakan gerakan yang bersandar pada gerakan Wahabi, aliran yang cukup berpengaruh secara politis maupun ekonomi di dunia Islam, yang aliran ini dianut oleh Osama. Gerakan Wahabi ingin mengembalikan ajaranajaran Islam kepada “kemurnian” dan kejayaan Islam masa lampau, yaitu pada masa kejayaan Islam yang menguasai dunia dengan inovasiinovasi saintifik sampai dengn sebelum runtuhnya kekaisaran Usmaniyah (Ottoman) pada abad ke 15. Berbagai interaksi faktor ekonomi, politik dan budaya seperti hegemoni Barat yang ditandai dengan meluasnya kapitalisme Amerika dan industrialisasi Eropa serta keterbatasan modernisasi pada Islam menjadi penanda bagi kemunduran dunia Islam (Langman dan Morris, 2002). Sementara itu masyarakat Islam dihadapkan pada tantangan berkembangnya peradaban lain, yaitu Nasrani, yang peradaban tersebut lebih sesuai dengan nilainilai dan kultur Barat. Perkembangan ini menjadi ancaman bagi masyarakat muslim, yang akhirnya melahirkan pemikiranpemikiran tentang revivalisme dunia Islam.
Beberapa kelompok merespon perkembangan ini dengan sikap pesimis dan bermusuhan yang menghasilkan gerakangerakan radikal. Menguatnya radikalisme bertransformasi kedalam bentuk islam fundamentalis yang berfaham ortodoksi anti modern. Secara empiris fundamentalisme agama bercirikan (a) gerakan agama konservatif radikal menolak nilainilai liberal dari institusi sekuler; (b) mereka menolak menerima batasbatas (kewilayahan) negara sekuler yang menjadikan agama sebagai urusan wilayah privat, bukan publik; (c) mereka berupaya menegakkan agama sebagai pusat pengatur kehidupan social. Di tengahtengah tantangan peradaban lain, kelompokkelompok fundamentalis menjadi dogmatik dan intoleran (Jurgensmeyer, 2001 dalam Langman dan Moris, 2002: 11).
warisan para penjajah yang membagi wilayah tidak mempertimbangan faktor rasial. Beberapa konflik etnis pasca kolonial disebabkan karena hal ini. Membagi wilayah berdasar pertimbangan etnis adalah hal yang absurd pada sejarah modern karena jika terjadi maka manusia akan hidup dalam segregasi rigid yang justru bisa membawa akibat fatal jika terjadi selisih faham antara satu etnis dengan etnis lain. Dengan kata lain, para kelompok iredentis tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara damai dengan kelompok ras/etnis dan agama lain dalam satu negara. Padahal hampir tidak ada negara yang murni berpenduduk homogen. Oleh karena itu harmoni rasial dalam multikulturalisme menjadi pilihan yang tak terelakkan. Kaum muslim Thailand Selatan merasa bahwa mereka seharusnya bergabung dengan sesama muslim di Kedah dan Kelantan karena di masa lalu mereka tergabung dalam satu kerajaan besar.
Rasa keterjebakan itu diperparah dengan kebijakankebijakan pemerintah yang terlalu asimilasionis dan bersifat menekan. Pemerintah cenderung melakukan pendekatan kepada kelompokkelompok “yang berbeda” tersebut dengan tangan besi. Sensitivitas kelompok semakin meruncing ketika pemerintah memberlakukan sistem pemerintahan sekuler. Salah satu alasan pemberontakan DI/TII pimpinan Daud Beureuh adalah karena pemerintahan Sukarno menggabungkan Aceh (yang berstatus Daerah Istimewa sehingga dapat menerapkan hukum Islam) dengan propinsi Sumatra Utara yang didominasi oleh penduduk nonmuslim.
Pemberontakan GAM yang merasa terjebak dalam sekularisme dan masih bercitacita menegakkan daulah islamiyah terlihat dari pernyataan salah satu tokoh GAM di Swedia bahwa,
“…sejak tahun 1924 sampai detik ini, itu Khilafah Islamiyah telah tiada, yang ada hanyalah sebagian besar Negaranegara yang ada di dunia adalah negara sekuler termasuk negara RI ini.…sekarang adalah perjuangan membangun dan mengembangkan kembali daulah islamiyah dan Khilafah Islamiyah (Sudirman,
http://www.dataphone.se/~ahmad/041231a.htm)
Kebijakan ini melambangkan perbedaan kepentingan yang mencolok antara pemerintah pusat dan rakyat dari kelompokkelompok “yang berbeda” tersebut. Kelompokkelompok tersebut merasa kehilangan jati diri ketika dalam sistem yang baru itu keberadaan agama dan etnis mereka terancam. Lebih jauh lagi, konflik antara negara dengan rakyat bisa menjadi lebih buruk jika pemerintah melakukan penggalian sumber daya alam wilayah yang bermasalah tersebut tanpa member imbalan yang sepadan. Pemberontakan di wilayah Mindanau (Filipina) dan Aceh, salah satunya disebabkan karena terdapat ketidakadilan pusat kepada daerah.
terutama pada saat Perang Dingin. Misalnya, sepanjang tahun 19861989 GAM diperkirakan menerima bantuan pelatihan sebanyak 5.000 orang kadernya di Libya, yang memungkinkan para pemberontak bertemu satu sama lain dan membentuk jaringan. Libya juga bertindak sebagai penyandang dana bagi Abu Sayyaf dan kelompok radikal muslim lainnya (Dillon, 2004; Byman et al, 2001: 10). Tanpa dukungan pihak luar gerakangerakan pemberontak dengan mudah dapat dihancurkan oleh pemerintah, bahkan sebelum sempat mengorganisasi diri dan mencapai target minimalnya (Byman et al). Dukungan pihak eksternal memegang peran kritis dalam mendukung keberhasilan perjuangan para pemberontak karena menambah redibilitas kelompok pemberontak di hadapan negara.
Pada masa Perang Dingin terdapat kecenderungan yang kuat bahwa bantuan pihak luar pada kelompokkelompok pemberontak diwarnai oleh motivasi ideologis, dalam konteks rivalitas ideologi ASUni Soviet. Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah perilaku negaranegara pendukung pemberontak. Negaranegara pendukung pemberontak seperti AS, Uni Soviet, Iran, Pakistan, dan Libya tidak lagi melanjutkan dukungan kepada Negara client mereka bersamaan dengan menurunnya kepentingan mereka atas kelompokkelompok tersebut. Berakhirnya Perang Dingin pula yang mengubah sifat, kepentingan dan motivasi bantuan eksternal kepada para pemberontak. Fenomena ini menarik dibahas dalam konteks bantuan kelompok teroris kepada kelompok jihadis militan di berbagai negara.
Kecenderngan baru yang terjadi adalah persaingan para kelompok teroris yang berhadapan dengan AS dan sekutunya dalam bentuk perang baru, yakni perang melawan terorisme (war on terror). Sejak perbaikan hubungan LibyaAS, Libya tidak lagi bertindak sebagai sponsor gerakangerakan pemberontak. Kecenderungan baru bergeser pada peran aktif organisasi teroris yang mendukung atau memanfaatkan kelompok pemberontak di negara lain. Al Qaeda merupakan kelompok teroris yang memiliki banyak sel teroris di Negara lain. Bentuk dukungan yang diberikan hampir sama dengan yang diberikan oleh Libya kepada kaum pemberontak di sebuah negara.
Respon Pemerintah
Terdapat kecenderungan yang sama, dalam fenomena meningkatnya penggunaan kekerasan di Asia Tenggara. Pertama, hal tersebut merupakan konsekuensi dari kebijakan AS untuk menyebarkan hegemoninya, dalam hal ini, strategi preemptive defence dalam memerangi terorisme. Asia Tenggara, seperti yang disinyalir oleh beberapa pengamat, sekali pun mendapat kritik dari pengamat yang lain, merupakan panggung kedua terorisme setelah Afghanistan (Abuza, 2003; Gunaratna, 2002; Wright Neville 2004).
Kedua, kebijakan AS ini diwujudkan dalam pemberian bantuan militer yang semakin meningkat pada negaranegara Asia Tenggara yang dicurigai sebagai ‘sarang teroris’ karena keterkaitan gerakangerakan iredentis islamis dengan JI. Pemberian bantuan militer ini sejalan dengan sikap yang diambil pemerintah di negaranegara Asia Tenggara yang melihat bahwa masalah iredentisme islamis yang dicurigai terkait dengan terorisme diselesaikan dengan pendekatan militer tanpa mampu melihat lebih jauh akar utama permasalahan yang menimbulkan problem keamanan tersebut. AS tidak saja memberikan bantuan militer, tetapi juga bantuan informasi dan intelijen mengenai kelompokkelompok Islam radikal yang menerima dana dari, dan membuat jaringan dengan Al Qaeda (Bonner, 2002: pp1 dan 8).
Ketiga, tindakan unilateral AS dalam upayanya memerangi terorisme mengesampingkan peranan negara, PBB dan masyarakat internasional dalam menangani masalahmasalah yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Sikap unilateral AS juga melegitimasi intervensi AS yang terlalu jauh ke masalah dalam negeri negara negara Asia Tenggara, yang dengan demikian meremehkan kemampuan kekuatan kekuatan potensial lain.
Pendekatan kekerasan yang diterapkan oleh masingmasing negara Asia Tenggara beragam bentuknya, mulai pemberlakuan undangundang keamanan nasional (Internal Security Act) sampai dengan penyelidikan ke rumahrumah penduduk yang dicurigai menjadi tempat persembunyian teroris. Respon pemerintah yang mengutamakan pendekatan kekerasan dapat mengancam demokrasi. Secara politis, pemberlakuan undangundang keamanan nasional yang terlampau ketat dapat mengancam kebebasan warganegara. Bagi beberapa negara, pemberlakuan secara ketat undang undang keamanan nasional berarti pelembagaan langkahlangkah antiimigrasi (Democracy Action Project, tt).
dalam urusanurusan politik. Malaysia dan Singapura memberlakukan Internal Security Acts (ISA) sekalipun banyak kritik ditujukan bagi pemberlakuan undang undang tersebut.
Kehadiran pasukan khusus AS diFilipina tidak terlepas dari strategi global AS melawan terorisme. Hal tersebut dilakukan setelah intelijen Amerika berhasil mengungkap keterkaitan antara Al Qaeda dengan MILF. Pasukan AS juga membantu melatih tentara Filipina untuk memerangi tentara pemberontak sekaligus menumpas pemberontak Abu Sayyaf Group (ASG), salah satu jaringan Al Qaeda di Filipina. (Goodenough, 2002). Kehadiran AS ini menghasilkan dampak tertentu. Salah satunya adalah banyaknya pihak yang terlibat dalam “war on terror”, yang dengan cara ini justru perang tersebut menjadi kontraproduktif bagi tercapainya tujuan menumpas terorisme. Bahkan kehadiran pasukan khusus AS di Filipina bagian selatan diragukan akan bisa menyelesaikan persoalan separatis yang dihadapi pemerintah Filipina (Pattiradjawane, 2002). Kehadiran pasukan elit AS tersebut dapat menghambat berlangsungnya rencana pembicaraan damai antara pemerintah Filipina dengan pemberontak separatis yang sudah direncanakan sejak tahun 1996 (WrightNeville, 2004: 3).
Berbeda dengan kebijakan yang diambil Filipina yang secara fisik menghadirkan pasukan AS di negaranya, para ulama Malaysia dari PAS (partai oposisi berbasis Islam) mengingatkan Mahathir agar tidak mengijinkan negaranya dijadikan sebagai pangkalan dalam perang AS melawan terorisme, yang menurut para ulama itu sama artinya dengan melawan umat Islam (Hidayatullah. com, 2002). Kerjasama ASMalaysia mengambil bentuk lain yang tidak terlalu provokatif. Pemerintah Malaysia bekerjasama dengan Washington dalam hal penegakan hukum dan intelijen, memberi bantuan finansial pada langkahlangkah antiterorisme dan secara agresif melakukan kampanye antiterorisme kepada rakyat dengan tujuan menumpas kelompokkelompok ekstrimis yang dicurigai memiliki keterkaitan dengan Al Qaeda (Lopez, 2002: 13).
Kecenderungan ini juga terjadi di negaranegara Asia Tenggara lainnya yang memiliki gerakangerakan separatis. Dalam upayanya mengikuti kecenderungan global memerangi terorisme, pemerintahan Megawati Sukarnoputri memberi prioritas pada penumpasan teroris. Terjadi perubahan sikap Megawati atas masalah terorisme, yang bersikap ‘keras’ pada AS atas kebijakan ‘war on terrism’, namun berubah setelah meledaknya bom Bali tahun 2002. Salah satu hal penting adalah mengusulkan GAM dalam daftar teroris PBB setelah terjadinya aksi peledakan bom di Bandara Sukarno Hatta yang dicurigai dilakukan oleh GAM. Namun niat Jakarta ini dibatalkan karena pemerintah menganggap tidak memiliki sejumlah bukti yang meyakinkan atas keterkaitan GAM dengan JI. Pada pertengahan tahun 2003, BAIS dan Kepala Kodam Iskandar Muda, Mayjend Djali Jusuf menyatakan tidak ada indikasi bahwa organisasi yang dipimpin oleh Osama bin Laden memiliki kegiatan di Aceh (Suara karya 05/06/2003).
Namun demikian, pembatalan tersebut tidak mengurangi niat AS untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam menaggulangi masalah terorisme. Dengan kondisi internal Indonesia yang laten atas bahaya terorisme yang dapat mengancam kepentingan dan keselamatan AS, pemerintah AS melihat bahwa Indonesia merupakan mitra yang sesuai dalam upaya AS memerangi terorisme. Untuk mewujudkan hal tersebut, Menteri Luar Negeri AS, Collin Powell, mengunjungi Jakarta pada bulan Agustus 2003. Dalam kesempatan tersebut AS menyatakan segera memulihkan segala bentuk pembatasan kerjasama militer ASIndonesia, termasuk pelatihan pasukan kontra terorisme kepada sejumlah anggota Polri dan memberikan bantuan sebesar US$ 400.000 kepada TNI. Perubahan mendadak kebijakan AS ini sangat bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya yang membatalkan segala bentuk kerjasama militer sejalan dengan sikap represif Suharto atas dan rekor HAM Indonesia di TimorTimur.
Langkahlangkah yang diambil oleh Presiden Megawati tersebut semakin mengintensifkan (kembali) pelanggaran HAM karena upayaupaya tersebut berpotensi meluasnya tindakan kekerasan pada kelompokkelompok yang yang dianggap ‘radikal’. Sikap konfrontatif Jakarta pada terorisme juga nampak pada sikap Megawati terhadap upayanya menyelesaikan konflik Papua. Gerakan pemisahan diri Papua secara langsung memang tidak terlibat dengan jaringan Al Qaeda namun pemerintahan Megawati mencurigai hadirnya Laskar Jihad, organisasi Islam radikal dengan sejarah kekerasan massal, yang kehadirannya dapat memperburuk ketegangan yang mendalam antara orang Papua asli dengan pendatang dari daerah lainnya di Indonesia yang jumlahnya cukup banyak (ICG Report no. 39, 2002: i).
meningkatkan kecenderungan penggunaan kekerasan. Hal ini berdampak pula pada menurunnya prospek penyelesaian secara damai konflikkonflik pemisahan diri di Indonesia.
Baik pemerintah AS maupun negaranegara ASEAN beranggapan bahwa terorisme merupakan masalah lintas negara yang perlu ditangani secara bersama oleh negara negara kawasan. Sejak tahun 2004 terdapat upayaupaya untuk mengatasi bersama masalah terorisme di kalangan negaranegara ASEAN. Misalnya, tentara angkatan darat ASEAN memiliki unitunit kecil, terutama untuk negaranegara yang berbatasan, baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral, guna mengantisipasi ancaman terorisme. (Tempo Interaktif, 2004) Terorisme menjadi agenda penting yang selalu dibicarakan di forumforum pertemuan para pemimpin ASEAN, yang diagendakan sebagai isu nontradisional yang menyangkut keamanan manusia.
Untuk mengokohkan komitmen itu, para pemimpin 10 negara ASEAN telah menandatangani pakta Konvensi KontraTerorisme ASEAN pada bulan Januari 2007 yang dilakukan pada pertemuan puncak tahunan ASEAN di Cebu, Filipina. Pakta itu adalah perjanjian pertama di kawasan Asia Tenggara untuk memerangi terorisme. Perjanjian itu akan mempersempit ruang gerak teroris, memudahkan negaranegara ASEAN melacak orangorang yang dicurigai sebagai teroris dan pergerakan/aliran uang mereka yang melintas perbatasan. Pakta tersebut juga memungkinkan Negara negara ASEAN membagi informasi intelejen dan mengekstradisi terdakwa dari satu negara ke negara ASEAN yang lain (VOA News, 2007).
Kesimpulan
Perang melawan terorisme yang terjadi Asia Tenggara telah menyebabkan berubahnya sikap pemerintah dalam menghadapi masalah separatisme di Asia Tenggara yang memiliki elemen iredentisme islamis. Pada umumnya pemerintah Negaranegara Asia Tenggara semakin memperketat pengawasan terhadap sejumlah kelompok yang diduga memikili keterkaitan dengan ikatan kerjasama dengan Al Qaeda, seperti Jamaah Islamiyah dan Abu Sayyaf Group. Perubahan sikap pemerintah ini tidak terlepas dari peran AS dalam menjalankan strategi globalnya melawan terorisme.
Daftar Bacaan
Abuza, Zachary, 2003. Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror. Boulder, Colorado, Lynne Rienner Publishers.
________________, 2002. Tentacles of Terror: Al Qaeda’s Southeast Asian Network.
Contemporary Southeast Asia 24(3).
Bakri, Zainal. 2003. GAM Bantah Terlibat jaringan Mujahidin.
http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html. Akses
13/05/2008
BBC News Online, 2003. The Philippines' MILF rebels.
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asiapacific/3003809.stm. Akses 15/05/2008.
Bonner, Raymond. ‘Qaeda’s Asia Cells Redirecting Attack’. International Herald Tribune, 29/10/2002, pp 1 and 8, in De Castro, Renato Cruz. 200. Addressing International Terrorism in Southeast Asia: A Matter of Strategic or Functional Approach. Singapore, ISEAS.
Byman, Daniel, et al. 2001. Trends in Outside Support for Insurgent Movements. Santa Monica, CA, RAND.
Democracy Action Project, tt. How the “War” on Terrorism Undermines Democracy. Washington, D.C., DAP c/o Institute for Policy Studies.
De Castro, Renato Cruz. 200. Addressing International Terrorism in Southeast Asia: A Matter of Strategic or Functional Approach. Singapore, ISEAS.
Dulyakasem, Uthai, 1984. MuslimMalay Separatism in Southern Thailand: Factors Underlying the Political Revolt. In JooJock, Lim and Vani S (eds.). Armed Separatism in Southeast Asia. Singapore, ISEAS.
ICG Asia Report no. 63. 2003. Jemaah Islamiyah in Southeast Asia: Damaged but Still Dangerous. Jakarta/Brussel, Agustus 2003.
Goodenough, Patrick. 2002. Links Between Al Qaeda And Filipino Militants Probed.
http://www.cnsnews.com/ForeignBureaus/Archive/200209/FOR20020919a.html.
Akses 14/05/2008.
Hidayatullah. com, 2002. Ulama Malaysia Ingatkan Mahathir Soal Latihan terorisme. hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=66. Akses 13/05/2008
Hidayatullah.com, 2002. Jemaah Islamiyah, Operasi Intelijen Rekaan Mahathir.
http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=69&Itemid=6129/10/2002. Akses 13/05/2008.
ICG Asia Report no. 39, 2002. Indonesia: Sumberdaya dan Konflik di Papua. Jakarta/Brussel, 2002.
Kompas, 20/12/2004. Thailand Selatan dalam Geostrategi. http://64.203.71.11/kompas cetak/0412/20/sorotan/1445598.htm
Akses 13/05/2008.
Kompas, 29/08/2005. PULO Dalangi Kekerasan. http://www2.kompas.com/kompas cetak/0508/29/ln/2006896.htm.
Akses 13/05/2008.
Kuppuswamy, C. S. 2004. Thailand: Troubled by Terrorist.
http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers10%5Cpaper925.html. Accessed
28/4/2006
Langman, Lauren dan Morris, Douglas, 2002. Islamic Terrorism: From Retrenchment to Ressentiment and Beyond. http://www.angelfire.com/or/sociologyshop/langbio.html
Akses 13/05/2006.
Lopez, Leslie, 2002. Suspected Asian Militatnts Allegedly Targeted Embassies. Asian Wall Street Journal, 07/01/2002.
Overview: The Challenge Facing Southeast Asia,
h ttp://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm
Pattani United Liberation Organization (PULO),
(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm; Akses 9/5/08)
Pattiradjawane, R. 2002. Berdampak Kritis bagi Kerjasama Kawasan.
http://www.pattiradjawane.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=147&Itemid=63. Akses 13/05/2008.
Permata, AhmadNorma, 2007. Muslim Insurgencis in Southeast Asia: Intractability, Security Dilemma, and the “Islamic Factor”. Jurnal Global&Strategis, tahun 1, No. 2, Juli Desember 2007, pp, 6282.
Roberts, John. 2004. Thaksin Stokes Further Conflict in Southern Thailand.
Suara Karya 5/6/2003. Thailand Dukung Penuh Upaya Polri Tangkap Menhan GAM. Sudirman, 2004. Sebagian Besar rakyat RI Terus Ditipu oleh Pemikiran Soekarno dalam Hal Acheh. http://www.dataphone.se/~ahmad/041231a.htm. Akses 13/05/2008
Tempo Interaktif, 2004. Tentara ASEAN Bentuk Unit Kecil Atasi Terorisme.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/09/07/brk,2004090744,id.html.
Akses 15/05/2008.
VOA News, 2007. Pemimpin ASEAN Tandatangani Pakta Konvensi KontraTerorisme ASEAN di Cebu. http://www.voanews.com/indonesian/archive/200701/20070113
voa8.cfm. Akses 15/05/2008.