• Tidak ada hasil yang ditemukan

T LIN 1202062 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T LIN 1202062 Chapter1"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN SYNDROME

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

Tesis ini membahas gejala perubahan bunyi konsonan bilabial dan apikoalveolar

yang terjadi ketika anak Down Syndrome bertutur. Pada bab pendahuluan ini

disajikan secara berurutan mulai dari latar belakang penelitian (1.1), batasan

penelitian (1.2), rumusan masalah (1.3), tujuan penelitian (1.4), manfaat penelitian

(1.5), dan terakhir definisi operasional (1.6).

1.1 Latar Belakang Penelitian

Perkembangan bahasa sering menjadi indikator tingkat kecerdasan anak karena

bahasa melibatkan kemampuan kognitif, sensorik, motorik, psikologis, dan emosi

(Pusponegoro, 1997:80). Setiap anak yang normal pertumbuhan pikirannya akan

belajar bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam

hidupnya dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Pembelajaran

bahasa berlanjut pada masa pubertas (sekitar 12-14 tahun) hingga menginjak

dewasa (sekitar 18-20 tahun). Sesudah pubertas keterampilan bahasa anak tidak

banyak kemajuannya, umpamanya dalam kosakata, ia belajar bahasa ibu terus

menerus selama hidupnya. Anak dikatakan mengalami keterlambatan atau

kesulitan berbahasa jika kemampuannya menyimpang dari standar tersebut. Salah

satu yang mengalami kesulitan berbahasa pada anak ditemui pada penderita Down

Syndrome (DS).

DS merupakan kelainan kromosom yang paling lazim dan juga merupakan

penyebab ketidakmampuan intelektual yang paling sering ditemukan pada anak.

Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini

pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. Jhon Langdon Down (Selikowitz,

2001:37). Anak DS memiliki ciri-ciri fisik seperti wajah yanglebih rata dari

(2)

2

Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN SYNDROME

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

terlihat adalah saat lahir, bayi DS memiliki telinga yang kecil, tengkorak kepala

yang pendek, kepala bagian belakang yang rata, leher yang pendek dengan

lipatan-lipatan yang banyak, bentuk tubuh yang pendek dan lidah yang kuat

(Mangunsong, 1998:120). Selain ciri fisik yang dapat dikenali dengan mudah,

penderita DS pun memiliki kemampuan intelektual yang sangat beragam dan

salah jika kita menganggap kemampuan berbahasa semua penderitanya sama.

Menurut Carrol (1986:95) tingkatannya terbagi atas ringan (IQ 53-68), sedang (IQ

36-52), berat (IQ 20-35) dan parah (IQ di bawah 20).

Perkembangan bahasa anak DS mengalami keterlambatan dalam

memproduksi kata dibanding dengan anak normal lainnya karena mereka

memiliki kerusakan pada organ tubuh yang menyebabkan keterlambatan proses

perkembangan baik fisik ataupun mental (Anderson, 2001 dalam Lewis, 2003:

193). Keterlambatan fisik dan mental inilah yang kerap menjadi kendala penderita

DS dalam berbahasa baik produktif maupun reseptif. Kendala utama penderita DS

dapat terlihat ketika mereka melafalkan bunyi dan berbicara. Dalam hal pelafalan

bunyi, penderita DS terkadang harus berhadapan dengan kesalahan-kesalahan

pengucapan. Bunyi-bunyi dan suara yang diproduksi oleh alat ucap manusia

dipelajari, dibahas, dan dianalisis oleh fonologi (Chaer, 2009:1). Perkembangan

kompetensi fonologis didefinisikan sebagai proses yang kompleks dan tergantung

pada beberapa hal seperti mengikuti urutan bunyi, memproduksi suara dan

mengkombinasikan keduanya sehingga menjadi suatu kata atau frasa yang dapat

dipahami (Berk, 2006: 368).

Stoel-Gammon (2001) memaparkan bahwa kendala perkembangan fonologi

anak DS dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu: 1) adanya gangguan pendengaran

(hearing loss); 2) perbedaan dalam anatomi dan fisiologi (differences in anatomy

and physiology); dan 3) lingkungan pembelajaran bahasa (language learning

environment). Kendala lain penderita DS adalah berbicara. Tidak seperti anak

normal lainnya yang memulai memproduksi kalimat ketika pemerolehan kosakata

(3)

3

Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN SYNDROME

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dapat memproduksi kalimat hingga kosakata yang diakuisisi sekitar 100 kata

(Buckley,1993). Namun karakteristik kalimat yang diproduksi cenderung pendek

dan telegrafis (Lewis, 2003: 231). Meskipun kemampuan berbahasa mereka

cenderung pendek dan telegrafis (tanpa imbuhan dan kata sambung, mirip bahasa

dalam telegram) namun ini tidak menjadi hambatan bagi penderita DS untuk

berprestasi. Salah satu penderita DS yang membuat bangga nama Indonesia

adalah Stephanie Handojo yang menjadi salah satu pembawa obor Olimpiade

London pada tahun 2012 (Kompas, 24 April 2014). Ini membuktikan bahwa

penderita DS pun bisa berprestasi asal didampingi oleh orang tua yang memiliki

kesabaran dan kasih sayang yang besar untuk membantu mereka dalam menekuni

bakat yang mereka minati.

Kini istilah DS sudah tidak asing lagi di masyarakat karena mereka sudah

menyadari akan keunikan DS. Hal ini diimbangi oleh jumlah kenaikan penderita

DS yang semakin bertambah dan penelitian-penelitian yang dilakukan dalam

mengamati fenomena-fenomena DS. Kajian terhadap fenomena penderita DS

yang telah banyak diteliti di antaranya mengenai bagaimana perkembangan anak

DS dengan perkembangan anak normal. Selain itu penelitian DS merambah pada

area pengajaran dan terapi (Lecas et al. 2010; Baylis &Margaret 2011; Burgoyne

et al. 2013). Akan tetapi penelitian mengenai aspek kebahasaan khususnya

pola-pola perubahan bunyi segmental yang diujarkan penderita DS belum banyak yang

meneliti dan buku literatur khusus membahas DS sulit ditemukan. Kesulitan inilah

yang menjadi latar belakang penulis untuk memberikan gambaran terkait

fenomena kelainan pelafalan bunyi anak DS ketika melafalkan sebuah kata dan

memberikan sudut pandang linguistik dalam meneliti anak berkebutuhan khusus

yang biasanya hanya dilihat dari segi kesehatan dan psikologi saja.

Penelitian ini mengusung judul perubahan fonologis konsonan bilabial dan

apikoalveolar pada anak DS. Hal ini didasari oleh penelitian Leddy (1999); Miller

and Leddy (1998) bahwa kesalahan pengucapan yang ditemukan pada beberapa

(4)

4

Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN SYNDROME

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dan [m]. Penelitian ini dikhususkan untuk melihat perubahan serta pola bunyi

konsonan apikoalveolar dan bilabial ketika penderita DS melafalkan kata.

Kata-kata yang dipakai adalah Kata-kata Indonesia karena bahasa ibu yang diakuisisi oleh

kedua informan adalah bahasa Indonesia. Kata Indonesia ini terdiri dari nomina,

verba, dan ajektifa yang merupakan kata utama dan memiliki suku kata yang

bervariasi yaitu satu, dua, dan tiga.

Pada akhirnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi studi

ilmu kebahasaan dalam mengembangkan konsep baru terhadap bunyi-bunyi

ujaran khususnya ujaran anak DS. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberi kontribusi bagi para ahli dalam ilmu kesehatan untuk mengembangkan

hasil penelitian ini sebagai dasar dalam melakukan terapi wicara terhadap anak

DS.

1.2 Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya mendeskripsikan tuturan dan merumuskan pola perubahan

bunyi yang dihasilkan ketika anak DS melafalkan kata bahasa Indonesia.

Perubahan bunyi yang diteliti adalah bunyi konsonan bilabial dan apikoalveolar.

Bunyi-bunyi konsonan ini dipilih karena ketidakmampuan informan dalam

melafalkan bunyi konsonan jenis ini sehingga terjadi pelafalan bunyi lain. Maka

pemilihan bunyi konsonan bilabial dan apikoalveolar ini bertujuan untuk

membuktikan bahwa anak DS membutuhkan upaya yang besar ketika melafalkan

bunyi-bunyi segmental yang tersusun dari konsonan bilabial dan apikoalveolar

sehingga sering terjadi perubahan bunyi segmental lain. Bunyi-bunyi konsonan ini

kemudian di transkripsi ke dalam transkripsi fonetis dari Chaer (2013) dan

dianalisis menggunakan teori perubahan bunyi Crowley (1992). Dengan

pembatasan masalah ini maka pembahasan penelitian tidak terlalu jauh yaitu

hanya meneliti ihwal perubahan fonologis dan pola perubahan fonologis konsonan

(5)

5

Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN SYNDROME

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1.3 Rumusan Masalah

Peneliti merumuskan permasalahan yang dikaji dalam beberapa pertanyaan

berikut.

1) Bagaimana tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan bilabial?

2) Bagaimana tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan apikoalveolar?

3) Bagaimana pola perubahan fonologis anak DS dalam melafalkan konsonan

bilabial dan apikoalveolar berdasarkan tipe perubahan bunyi?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menjawab beberapa pertanyaan yang telah dirumuskan

dalam rumusan masalah penelitian, yakni:

1) Mendeskripsikan tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan bilabial.

2) Mendeskripsikan tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan

apikoalveolar.

3) Mendeskripsikan pola perubahan fonologis anak DS dalam melafalkan

konsonan bilabial dan apikoalveolar berdasarkan tipe perubahan bunyi .

4) Mengungkap perwujudan perubahan fonologis konsonan bilabial dan

apikoalveolar anak DS seperti adanya penghilangan, penambahan serta

bunyi pengiring pada awal, tengah, dan akhir kata yang dilafalkan dan

memfokuskan penelitian ini hanya pada bidang fonologi.

1.5 Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian, setiap peneliti pasti mempunyai harapan agar hasil

penelitiannya bermanfaat bagi orang lain atau untuk kepentingan pengembangan

ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diperoleh dan penelitian adalah sebagai

berikut.

1) Memperkaya hasil penelitian dalam pengembangan ilmu kebahasaan pada

(6)

6

Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN SYNDROME

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2) Memberikan gambaran perubahan fonologis anak DS dalam memproduksi

kata.

3) Memperluas ruang lingkup kajian tentang DS yang sebelumnya lebih

banyak diungkap oleh kalangan psikologi untuk lebih menyentuh area

linguistik dalam ranah fonologi.

4) Memberikan informasi kepada masyarakat umumnya dan para linguis

khususnya untuk lebih bijaksana dalam menghadapi anak-anak DS.

5) Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan selain kebahasaan seperti

ilmu kesehatan sebagai dasar melakukan terapi wicara terhadap anak DS.

1.6 Definisi Operasional

1) Istilah perubahan fonologis identik dengan bidang ilmu linguistik historis

komparatif yang merupakan salah satu cakupan ilmu linguistik yang

mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan

unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf, 1984:22). Meskipun

demikian, istilah perubahan fonologis pun termasuk dalam salah satu teori

bidang fonologi yang dikenal dengan istilah natural processes (perubahan

alamiah) (Ariyanto, 2009:11).

Perubahan fonologis yang dimaksud dalam penelitian ini ialah perwujudan

bunyi bilabial dan apikoalveolar dalam pelafalan kata Indonesia yang

diproduksi oleh anak DS pada posisi kata di awal, tengah, dan akhir yang

tidak menimbulkan perubahan makna. Perubahan fonologis dalam

penelitian ini hanya terbatas pada tataran fonologi segmental dan peneliti

tidak membahas penyebab terjadinya perubahan bunyi seperti kelainan

artikulator anak DS.

2) Konsonan adalah klasifikasi bunyi yang terjadi setelah arus udara melewati

(7)

7

Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN SYNDROME

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi

tertentu.

Bunyi konsonan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bunyi konsonan

bilabial dan apikoalveolar. Ini didasarkan bahwa kedua informan tidak

mampu melafalkan bunyi-bunyi konsonan apikoalveolar seperti bunyi [t],

bunyi [d], bunyi [n], bunyi [l], dan bunyi [r]. Misalnya bunyi [t] pada kata

<tangan> dilafalkan menjadi bunyi [ŋ] yang diujarkan [ŋaŋan].

3) Menurut National Dissemination Center for Children with Disabilities

(2010) down syndrome adalah kondisi kromosom yang umum dan mudah

diidentifikasi yang berkaitan dengan cacat intelektual. Hal ini disebabkan

karena terjadi kegagalan dalam proses pembelahan sel sehingga menjadi

berjumlah 47 kromosom, dimana normalnya kromosom adalah 46

kromosom. Kelebihan kromosom ini mempengaruhi perkembangan tubuh

dan otak. Terdapat berbagai variasi dalam hal kemampuan mental, perilaku

dan kemajuan perkembangan pada anak DS. Tingkat hambatan intelektual

terjadi mulai dari tingkat ringan sampai berat dengan mayoritas berada

dikisaran ringan sampai sedang.

Jadi yang dimaksud anak DS dalam penelitian ini adalah anak DS yang

telah didiagnosa memiliki perubahan fonologis dalam produksi kata karena

dislogia dan memiliki tingkat intelektual sedang.

4) Kata adalah bentuk terkecil yang ditemukan dalam sebuah bahasa (Aronof

& Fudeman, 2005: 243). Kata ini merupakan gabungan dari struktur suku

dengan struktur lain (Dardjowidjojo, 2008: 41). Struktur suku kata ini terdiri

dari vokal dan konsonan.

Untuk aspek kata yang dikaji dalam penelitian ini hanya aspek fonologis

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui pola tidur pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera. Utara angkatan 2011, 2012

Hal ini akan meningkatkan popularitas produk keuangan syariah serta investasi yang besar dan kebutuhan pembiayaan di Asia dan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) “Saat ini

kebiasaan bermain game online pada anak usia sekolah terhadap kebutuhan. dasar dan hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat

Untuk itu perbankan syariah Indonesia harus melakukan inisiatif akselerasi luar biasa di bidang pengembangan pasar perbankan syariah// Saat ini terdapat 22 bank

[r]

Sindroma Hyper-IgE (HIEs) adalah suatu immunodefisiensi primer kompleks yang jarang dengan karakteristik eksim , abses kulit , infeksi paru , kadar eosinofil dan kadar

Jasa ( service ), seperti: konstruksi, pendidikan, pelatihan, dll Hanya saja menurut gaspersz (2002), para manajemen dari perusahaan yang berkompetisi dalam pasar global

[r]