6 2.1 KELAPA SAWIT
Pohon kelapa sawit terdiri dari 2 spesies yaitu Elaeis guineensis dan Elaeis
oleifera. Spesies pertama adalah Elaeis guineensis yang berasal dari Angola dan
Gambia dan merupakan spesies yang pertama kali dan terbanyak dibudidayakan
orang. Spesies Elaeis oleifera berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan
dan sekarang mulai banyak dibudidayakan untuk menambah kekurangan sumber
genetik. Kelapa sawit termasuk tumbuhan pohon, tingginya mencapai 24 meter,
bunga dan buahnya berupa tandan, serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan
apabila masak, berwarna merah kehitaman, dan daging buahnya padat, daging dan
kulit buahnya mengandung minyak. Minyak ini digunakan sebagai bahan minyak
goreng, sabun, dan lilin. Ampas dimanfaatkan untuk makanan ternak, khususnya
sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan
sebagai bahan bakar dan arang [8]. Gambar Kelapa sawit dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Di Indonesia tanaman ini tersebar di daerah Aceh, pantai timur Sumatera,
Jawa, dan Sulawesi. Taksonomi Tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut: [8]
Kingdom : Plantae
Perkebunan kelapa sawit berkembang dengan sangat pesat di Indonesia,
telah menyebar di 22 provinsi pada tahun 2011. Luasnya mencapai 8,3 juta Ha,
yang mana sekitar 41 ha merupakan perkebunan rakyat [5]. Semakin luasnya
perkebunan kelapa sawit akan diikuti dengan peningkatan produksi dan jumlah
limbah kelapa sawit. Dalam produksi minyak sawit, TKKS merupakan limbah
terbesar yaitu sekitar 23% dari Tandan Buah Segar (TBS). TKKS merupakan
bagian dari kelapa sawit yang berfungsi sebagai tempat untuk buah kelapa sawit.
TKKS merupakan limbah padat terbesar yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa
sawit. Setiap pengolahan 1 ton TBS TKKS sebanyak 22 – 23 % atau sebanyak
220 – 230 Kg TKKS [21].
Limbah kelapa sawit kaya akan selulosa dan hemiselulosa. TKKS
mengandung 45-50% selulosa dan 26-30% hemiselullosa. Pengolahan TBS di
Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) disamping menghasilkan minyak
dihasilkan juga limbah organik [21]. Dari setiap ton TBS yang diolah dihasilkan
2.2 TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)
TKKS merupakan limbah utama berlignoselulosa yang belum
termanfaatkan secara optimal dari industri pengolahan kelapa sawit. Basis satu ton
tandan buah segar akan dihasilkan minyak sawit kasar sebanyak 0,21 ton (21%),
minyak inti sawit sebanyak 0,05 ton (0,5%) dan sisanya merupakan limbah dalam
bentuk TKKS, serat dan cangkang biji yang masing–masing sebanyak 0,23 ton
(23%), 0,135 ton (13,5%) dan 0,055 ton (5,5%) [8].
TKKS berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk yang lebih
berguna, salah satunya menjadi bahan baku bioetanol, karena TKKS banyak
mengandung selulosa yang dapat dihirolisis menjadi glukosa kemudian
difermentasi menjadi bioetanol. Kandungan selulosa yang cukup tinggi pada
TKKS yaitu sebesar 45-50%, menjadikan TKKS sebagai prioritas untuk
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol [8]. Gambar TKKS dapat
dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit [4]
Selama ini pengolahan/pemanfaatan TKKS oleh PKS masih sangat
terbatas yaitu dibakar dalam insinerator, ditimbun atau diolah menjadi kompos.
Namun ada beberapa kendala seperti waktu pengomposan yang cukup lama (6–
12) bulan, fasilitas yang harus disediakan, dan biaya pengolahan TKKS tersebut,
maka cara–cara tersebut kurang diminati oleh PKS [5]. Selain jumlah yang
melimpah, TKKS cocok dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.
cukup besar sehingga harga jual bioetanol yang dihasilkan dapat lebih murah.
Adapun komposisi TKKS adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1. Komposisi Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) [5]
Komposisi Kadar ( % )
Bioetanol merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar
alternatif yang ramah lingkungan dan bersifat terbarukan [12]. TKKS memiliki
potensi yang besar menjadi bahan baku sumber biomassa selulosa dengan
kelimpahan cukup tingi dan sifatnya terbarukan, dibandingkan jagung dan tebu
yang berpotensi menimbulkan kontradiksi terhadap kebutuhan pangan bila
diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia [4].
2.3 DELIGNIFIKASI
Tahapan awal yang dilakukan dalam produksi bioetanol dari TKKS adalah
proses delignifikasi TKKS. Delignifikasi merupakan suatu proses pembebasan
lignin dari suatu senyawa kompleks atau material berlignoselulosa sehingga hasil
dari proses ini sudah berupa selulosa dengan kemurnian yang cukup besar [13].
Selulosa merupakan polisakarida yang didalamnya mengandung zat - zat gula.
Dalam pembuatan etanol dari kayu (TKKS) yang digunakan adalah selulosanya
sehingga lignin dalam kayu harus dihilangkan [8]. Proses pemisahan atau
penghilangan lignin dari serat — serat selulosa disebut delignifikasi atau pulping.
Delignifikasi selulosa dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu :
1. Ozonolysis Pretreatment, yaitu delignifikasi menggunakan ozon dilakukan
pada suhu ruangan dan tekanan atmosfer serta dapat menghancurkan
2. Delignifikasi Pulp menggunakan Hidrogen Peroksida ( dalam media
asam asetat.
3. Delignifikasi Oksigen, yaitu proses untuk mengurangi kandungan lignin
dari pulp coklat (yang belum mengalami proses pemutihan). Bahan kimia
yang dipakai adalah dan alkali.
4. Delignifikasi dengan larutan NaOH. Penggunaan NaOH sebagai
delignifikator dapat merusak struktur lignin pada bagian kristalin dan
amorf. Reaksi pemutusan ikatan lignoselulosa dengan NaOH dapat dilihat
pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Reaksi Pemutusan Ikatan Lignoselulosa Menggunakan NaOH [6]
Tujuan dari proses delignifikasi yaitu untuk menghilangkan lignin, juga
dapat mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan [12].
Selain lignin terdapat juga zat non selulosa lain seperti zat ekstraktif, tanin dan
resin yang melekat kuat pada selulosa. Lignin merupakan salah satu bagian yang
mengayu dari tanaman seperti janggel, kulit keras, biji, bagian serabut kasar, akar,
batang dan daun. Lignin mengandung substansi yang kompleks dan merupakan
suatu gabungan beberapa senyawa yaitu karbon, hidrogen dan oksigen. Selain
lignin, bagian yang lain dari TKKS adalah selulosa.
2.4 LIGNOSELULOSA
Bahan lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman
dengan komponen utama lignin (18-20 % berat), hemiselulosa (26-30 % berat),
dan selulosa (45-50 % /berat). Ketersediaannya yang cukup melimpah, terutama
berpotensi sebagai salah satu sumber energi melalui proses konversi baik proses
fisika, kimia maupun biologis [19].
Kandungan utama yang terdapat pada bahan lingoselulosa seperti lignin,
hemiselulosa, dan selulosa saling berikatan membentuk satu kesatuan yang utuh
[19]. Besarnya kandungan masing-masing komponen bergantung pada jenis
biomassa, umur, dan kondisi lingkungan tempat biomassa tersebut tumbuh dan
berkembang, ditunjukan oleh tabel 2.2
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Beberapa Biomassa [15]
Biomassa
terdapat juga bagian bagian yang berbentuk amorf. Tingkat kekristalan selulosa
mempengaruhi kemampuan hidrolisis baik secara enzimatik ataupun kimiawi.
Sumber karbohidrat lain yang terkandung dalam bahan lignoselulosa
adalah hemiselulosa atau yang dikenal juga dengan poliosa, karena terdiri atas
berbagai macam gula monomer, yaitu pentose (ksilosa, rhamnosa, dan arabinosa);
heksosa (glukosa, manosa, dan galaktosa); dan asam uronik (4-O-metilglukoronik,
D-glukoronik, dan Dgalaktoronik). Hemiselulosa mempunyai rantai polimer yang
pendek dan tak berbentuk, sehingga sebagian besar dapat larut dalam air [23].
Lignin dapat membentuk ikatan kovalen dengan beberapa komponen
carbohydrate complexes (LCC) yang terbentuk antara lignin dengan grup
arabinosa atau galaktosa dalam ksilan atau manan. Oleh karena itu lignin sangat
sulit untuk didegradasi. Sehingga keberadaannya memberikan bentuk
lignoselulosa yang kompleks dan menghambat degradasi selulosa oleh mikroba
ataupun bahan kimia lainnya [23].
2.5 Pretreatment Lignoselulosa
Struktur lignoselulosa yang tersusun atas matriks selulosa dan lignin yang
berikatan melalui rantai hemiselulosa, harus dipecah sehingga lebih mudah
dihancurkan oleh enzim selama proses hidrolisis. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan enzim menghidrolisis bahan lignoselulosa
diantaranya kandungan lignin dan hemiselulosa dan tingkat kekristalan selulosa.
Oleh karena itu pretreatment diperlukan untuk (1) menghilangkan lignin, (2)
menurunkan tingkat kekristalan selulosa sehingga meningkatkan fraksi amorf
selulosa, dan (3) meningkatkan porositas material [23]. Proses pretreatment
lignoselolosa dapat dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Proses pretreatment lignoselulosa [23]
Beberapa teknologi pretreatment yang telah banyak digunakan dan
dikembangkan antara lain (1) secara fisika (mekanik dan pirolisis) (2) fisika-kimia
(steam explosion, liquid hot water, dan explosion), (3) kimia (alkali, larutan
asam, pelarut organik), (4) biologi (jamur), dan (5) kombinasi dari proses-proses
di atas. Perkembangan teknologi pretreatment dewasa ini mengarah kepada
ditawarkan adalah perendaman dalam cairan ionik, merupakan pretreatment
secara kimia [23].
Penggunaan cairan ionik sebagai pelarut ternyata memiliki kemampuan
melarutkan yang berbeda-beda tergantung pada ukuran dan polaritas dari anion
yang digunakan dan juga tergantung pada kation yang digunakan [7]. Reaksi
pemutusan ikatan lignoselulosa dengan ChCl dapat dilihat pada Gambar 2.5
berikut.
2.6 SELULOSA
Selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan
melalui ikatan beta 1,4 atau 1,4 beta glukosidase. Molekul lurus dengan unit
glukosa rata- rata sebanyak 5000 ini beragregasi membentuk fibril yang terikat
melalui ikatan hidrogen di antara gugus hidroksil pada rantai di sebelahnya. Serat
selulosa yang mempunyai kekuatan fisik yang tinggi terbentuk dari fibril-fibril ini,
tergulung seperti spiral dengan arah-arah yang berlawan menurut satu sumbu.
Selulosa merupakan jenis polisakarida yang paling melimpah pada hampir setiap
struktur tanaman [8].
Selulosa cenderung membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan intra
molekuler sehingga memberikan struktur yang larut. Mikrofibril selulosa terdiri
dari 2 tipe, yaitu kristalin dan amorf [8]. Adapun struktur selulosa dapat dilihat
dibawah ini :
Gambar 2.5 Struktur Selulosa [8]
2.7 HEMISELULOSA
Hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang
dibentuk melalui biosintesis yang berbeda dari selulosa. Berbeda dengan selulosa
yang merupakan homopolisakarida, hemiselulosa merupakan heteropolisakarida.
Hemiselulosa merupakan polisakarida dengan bobot molekul lebih kecil
dibandingkan selulosa. Molekul hemiselulosa lebih mudah menyerap air, bersifat
plastis, dan mempunyai permukaan kontak antar molekul lebih luas dibandingkan
dengan selulosa. Ikatan di dalam rantai hemiselulosa banyak bercabang karena
gugus β-glukosida di dalam molekul yang satu berkaitan dengan gugus hidroksil
, , dan dari molekul yang lain. Hemiselulosa berbentuk amorf, mempunyai
derajat polimerisasi lebih rendah dan mudah larut dalam alkali tetapi struktur larut
dalam asam, sedangkan selulosa sebaliknya [8]. Struktur hemiselulosa dapat
dilihat pada gambar 2.6, yaitu :
Gambar 2.6 Struktur Hemiselulosa [8]
2.8 LIGNIN
Lignin adalah polimer aromatik kompleks yang terbentuk melalui
polimerisasi tiga dimensi dari sinamil alkohol dengan bobot molekul 11.000.
Lignin terbentuk dari fenil propana, unit-unit fenil propana terikat satu dengan
lainnya dengan ikatan ester (C-O-C) maupun ikatan karbon-karbon. [8]
Lignin bersifat hidrofobik dan melindungi selulosa sehingga strukturnya
bersifat kaku (rigrid). Lignin dapat dioksidasi oleh larutan alkali dan oksidator
lain. Pada suhu tinggi, lignin dapat mengalami perubahan menjadi asam format,
metanol, asam asetat, aseton dan vanilin [8]. Rumus struktur molekul lignin dapat
;
Gambar 2.7 Struktur molekul lignin [8]
Mekanisme pemutusan senyawa lignin yaitu dimana gugus basa dari
larutan pemasak (NaOH) mendegradasi atau menyerang alfa dan beta lignin.
Lignoselulosa terdegradasi tersebut tidak stabil, sehingga memicu terjadinya
kondensasi yang menyebabkan putusnya ikatan lignin dari hemiselulosa dan
selulosa [22].
2.9 CAIRAN IONIK (IONIC LIQUID)
Cairan ionik (ionic liquid) adalah garam yang berwujud cair pada suhu
kamar atau di bawah suhu kamar dan bentuk lelehannya secara keseluruhan
tersusun dari ion-ion, terdiri dari kation organik dan anion organik atau anorganik
[8]. Sebagai spesi ionik (kation dan anion), cairan ionik tidak mengandung
molekul atau spesi netral dan memiliki titik leleh relatif rendah, umumnya pada
suhu kamar. Cairan ionik memiliki kriteria yang diharapkan sebagai material yang
ramah lingkungan. Cairan ionik pada awalnya dikembangkan oleh para
elektrokimiawan untuk digunakan sebagai elektrolit pada baterai atau untuk
logam. Cairan ionik menjadi material penting dan menarik karena memiliki
karakteristik tertentu, seperti tekanan uap dapat diabaikan, tidak mudah terbakar,
stabilitas termal yang tinggi, titik leleh yang rendah, cairan yang memberikan
rentang temperatur yang luas, dapat mengontrol daya campur senyawa-senyawa
organik. Cairan ionik telah digunakan pada berbagai bidang diantaranya sebagai
Disebut cairan ionik karena didalamnya spesi ioniknya sangat dominan
dibandingkan spesi molekulernya. Cairan ini merupakan garam organik yang
memiliki derajat asimetri yang berbeda, itulah yang mencegahnya menjadi kristal.
Pilihan kation dan anion yang berbeda akan menghasilkan cairan ionik yang
bervariasi. Yang paling populer adalah garam alkilimidazolium, mungkin karena
kemudahan sintesis dan sifat fisiknya yang menarik. Garam amonium kuarterner
didapatkan secara komersil dan digunakan pada proses katalisis. [9]
2.9.1 Sifat fisika dan kimia
Sifat fisika dari cairan ionik dapat diatur dengan memvariasikan kation,
anion, dan subtituen gugus alkilnya. Contohnya, kelarutan dalam air bisa diatur
dengan gugus alkil R-nya. Memperpanjang gugus alkil (R) akan menurunkan
kelarutan dalam air dengan meningkatkan hidrofobisitas dari kationnya. Sifat
kimia dan fisikanya bisa diubah dengan mengatur anionnya, seperti halida, nitrat,
asetat, trifluoroasetat, tetrafluoroborat, triflat, heksafluorofosfat dan
bis(trifluorometilsulfonil)imida [18].
Cairan ionik lebih kental dari pelarut organik biasa. Contohnya, viskositas
dari kebanyakan imidazolium berada pada rentang 35 sampai 500 cP dalam suhu
ruang. Garam dengan anion bis(trifluorometilsulfonil)imida [(CF3SO2)2N-]
memiliki viskositas terendah dalam rentang tadi. Cairan ionik merupakan fluida
Newtonian [18]. Salah satu keuntungan dari cairan ionik ini adalah tidak mudah
menguap karena memiliki tekanan uap yang mendekati nol. Selain itu, cairan ini
juga stabil pada suhu tinggi sampai 400 °C sehingga bisa diaplikasikan pada
reaksi pada kondisi ekstrim. Pada suhu kamar, cairan ini sangat murni sehingga
bisa melarutkan dengan lebih baik [18].
Cairan ionik berbeda dengan garam cair (molten salts) yang memiliki titik
leleh dan viskositas tinggi, umumnya berwujud cair pada suhu kamar, mempunyai
viskositas relatif lebih rendah dan relatif tidak bersifat korosif. Seperti juga garam
cair, cairan ionik seluruhnya terdiri atas ion-ion (kation dan anion) dengan titik
leleh relatif rendah di bawah 100 °C, walaupun umumnya pada suhu kamar.
Cairan ionik mempunyai rentang cair sangat lebar; tidak menguap (non volatile);
(dalam bebarapa kasus mempunyai stabilitas termal sampai 400 °C); nilai tekanan
uap yang dapat diabaikan; kemampuan melarutkan senyawa organik dan
anorganik relatif tinggi [5].
2.9.2 Aplikasi Cairan Ionik
Aplikasi cairan ionik sangat luas di antaranya dalam bidang elektrokimia,
bidang teknik, dan sintesis senyawa kimia. Pada bidang teknik proses, cairan ionik
digunakan sebagai fluida teknik seperti sebagai cairan pengemban panas,
pelumas, surfaktan, dan kristal cair. Cairan ionik yang terdiri dari kation anion
juga berpotensi sebagai inhibitor korosi karena berpotensi sebagai penguat
adsorpsi dengan gaya elektrostatiknya. Salah satu penelitian yang telah dilakukan
adalah inhibisi korosi baja lunak oleh cairan ionik alkilimidazolium dalam media
HCl yang dilakukan oleh Zhang, dan Hua, pada tahun 2008 [5].
2.9.3 Kolin Klorida (Trimethyl(2- hydroxyethyl) ammonium chloride)
Kolin Klorida merupakan salah satu contoh cairan ionik yang berupa
garam organik dengan rumus molekul C5H14ClNO dan mempunyai titik leleh
302 °C (576 °F; 575 K). Dalam laboratorium kolin klorida dapat dibuat dengan
metilasi dimethylethanolamine dengan metil klorida [20]. Kolin Klorida adalah
cairan yang digunakan untuk menurunkan derajat kristalinitas dan meningkatkan
porositas sampel sehingga lebih mudah mendelegnifikasi selulosa. Keuntungan
kolin klorida dibandingkan pelarut lainnya yaitu lebih mudah larut, harganya
ekonomis, dan biodegradable [20]. Struktur kolin klorida dapat dilihat pada
gambar 2.9, yaitu :