• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Berbahasa Penderita Rhotacism Pada Pembelajar Bahasa Jerman: Tinjauan Psikolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gangguan Berbahasa Penderita Rhotacism Pada Pembelajar Bahasa Jerman: Tinjauan Psikolinguistik"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep yang mendasari penelitian ini yakni Rhotacism atau cadel merupakan gangguan berbahasa yang termasuk gangguan penyakit organik. Pada anak usia balita, hal ini dianggap wajar karena perkembangan organ artikulasinya belum sempurna. Lain halnya pada orang dewasa yang seluruh organ tubuhnya termasuk organ artikulasinya juga telah mengalami tahap sempurna dalam perkembangannya (Sidabutar, 1994:25).

Dysarthria refers to a disturbance in the execution of motor patterns for speech due to paralysis, weakness, or discoordination of the speech musculature. (Weiss, 1987: 86). Artinya ‗Disartria mengacu pada gangguan di dalam pelaksanaan pola – pola motorik wicara yang mengarah kepada kelumpuhan, kelemahan, atau kesalahan dalam mengorganisasikan otot – otot wicara‘. Dapat dikatakan bahwa cadel adalah salah satu bentuk disartria yang disebabkan oleh gangguan pola – pola motorik wicara. Pola-pola motorik wicara tersebut disebabkan oleh gangguan struktur kelainan pada otot yang terdapat di bawah lidah (frenulum lingualis). Adanya kelainan pada otot tersebut dapat menyebabkan gerakan lidah menjadi kurang baik.

(2)

berdampak pada ketidakpercayaan diri dalam berbahasa Jerman, dalam hal ini contoh pelafalan kata-kata dari penderita Rhotacism akan dianalisis secara fonologi dalam kajian ilmu bahasa mengenai perubahan fonetis yang dilafalkan oleh penderita Rhotacism.

2.1.1 Gangguan Berbahasa

Berbahasa adalah proses mengeluarkan pikiran dan perasaan (dari otak) secara lisan, dalam bentuk kata-kata atau kalimat-kalimat. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasanya terganggu (Chaer, 2009: 148).

Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara, sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya (Chaer, 2009: 148).

(3)

itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak, tentu menjadi sukar atau sangat sukar.

2.1.2 Gangguan Berbicara

Perkembangan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan bicara. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan anak dibesarkan. Kelainan bicara merupakan salah satu jenis kelainan atau gangguan perilaku komunikasi yang ditandai dengan adanya kesalahan proses produksi bunyi bicara. Kelainan proses produksi menyebabkan kesalahan artikulasi bunyi, baik dalam titik artikulasi maupun cara pengucapannya, akibatnya terjadi kesalahan seperti penggantian/substitusi atau penghilangan (Chaer, 2009:149).

Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Salah satu faktor penyebab gangguan berbicara disebabkan pada gangguan mekanisme berbicara. Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan dan paru-paru. Sidarta (dalam Chaer, 2009:150) menjelaskan gangguan berbicara menurut mekanismenya ini dapat dirinci menjadi :

1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal

(4)

2. Gangguan Akibat Faktor Laringal

Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak dan hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.

3. Gangguan Akibat Faktor Lingual

Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah bunyi menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat ―Sudah barang tentu dia akan menyangkal‖ mungkin akan diucapkan menjadi ―Hu ah ba-ang ke-ku ia-an me-angkay‖. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya

pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti terganggunya artikulasi). Gejala terkena stroke banyak dikenali dari kepeloan ini.

4. Gangguan Akibat Faktor Resonantal

(5)

kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersenguau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.

2.1.3 Rhotacism atau Cadel

Rhotacism refers to the occurance of [ r ] in place of some other speech sound (Hartmann dan Stork 1971 : 198). Yang berarti Rhotacism mengacu pada terjadinya [r] di tempat beberapa bunyi ujaran lain.

Kemudian Garner (2009:66) menjelaskan bahwa Rhotacism denotes the imperfect sounding of [r] as by making it [l]. Yang berarti Rhotacism menunjukkan ketidaksempurnaan bunyi [r] sehingga menjadi bunyi [l].

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Rhotacism adalah ketidakmampuan mengucapkan bunyi [r] sehigga berubah menjadi bunyi [l]. Untuk mengucapkan bunyi [r] diperlukan manipulasi yang cukup kompleks antara lidah, langit-langit, dan bibir.

2.1.4 Penyebab Timbulnya Rhotacism a. Gangguan artikulasi (disartria)

(6)

neuromuscular. Gangguan bicara ini diakibatkan luka pada sistem saraf, yang pada gilirannya mempengaruhi bekerja baiknya satu atau beberapa otot yang diperlukan untuk berbicara. Cadel dapat disebabkan oleh gangguan struktur kelainan pada otot yang terdapat di bawah lidah. Adanya kelainan otot tadi dapat menyebabkan gerakan lidah menjadi kurang baik.

Diskoordinasi antara gerakan otot-otot pernapasan, otot-otot pita suara dan lidah bermanifestasi pada pengucapan kata-kata dalam kalimat yang tersendat-sendat, kurang jelas dan banyak kata-kata yang ditelan. Gangguan artikulasi kata-kata dan gangguan irama berbicara itu dinamakan disartria. Daerah seleblar (hemisferium serebri) berhubungan erat dengan korliks selebri, terutama mengenai gerakan tangkas otot-otot di kepala dan leher. Karenanya disartria akan timbul juga akibat kerusakan hemisferium serebeli (Sidharta, 1986:82). Scanning speech atau disartri ialah akibat inkordinasi otot-otot yang digunakan untuk berbicara (Munandar, 1986:65).

Macam-macam artikulasi diuraikan dalam bagian pembentukan bunyi-bunyi ujar memberikan kriteria bagi penggolongan semua bunyi menjadi dua golongan yang besar, yaitu vokoid dan kontoid. Chaer (2009:38) menyatakan vokoid adalah jenis bunyi bahasa yang dihasilkan oleh arus ujar dan ke luar dari glotis tidak mendapat hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah. Sementara itu, kontoid diartikan sebagai bunyi yang dihambat ketika pengucapannya, sehingga menyebabkan bergetarnya salah satu alat-alat supra glotal (Samsuri, 1985:103).

(7)

maka mulut, lidah, bibir, plataum mol dan pita suara serta otot-otot pernafasan harus melakukan gerakan tangkas.

b. Ankyloglossia atau tongue tie

Ankyloglossia merupakan kelainan anatomi yang membuat lidah menjadi terganggu fungsinya sehingga sering disebut sebagai tongue-tie. Setiap orang memiliki frenulum lingualis yang terletak di bawah lidah. Frenulum ini merupakan membrana mukosa yang menghubungkan antara lidah dengan lantai dasar rongga mulut (Langlais dan Miller, 2001:45).

Menurut Laskaris (1986: 6) Ankyloglossia or tongue-tie is a rare developmental disturbance in which the lingual frenum isshort or is attached close to the tip of the tongue. Yang berarti ‗Ankiloglosia atau lidah dasi, adalah gangguan perkembangan yang langka dimana frenum lingual pendek atau terpasang dekat dengan ujung lidah‘.

Ankyloglossia atau tongue tie adalah suatu kondisi patologis dimana frenulum lingualis tidak melekat dengan tepat ke lidah. Keadaan kongenital ini ditandai oleh frenulum lingualis yang pendek dan salah posisi, serta lidah yang tidak dapat dijulurkan atau ditarik masuk. Ankiloglosia menyebabkan gangguan ketika berbicara, terutama pada saat pengucapan bunyi [r] karena pada saat pengucapan bunyi tersebut membutuhkan aktivitas lidah yang tinggi (Langlais dan Miller, 2001:46).

(8)

Gambar 2. Frenulum Lingualis Pendek

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://variasi-anatomis-frenulum-lin gualis-abnormal.png&imgrefurl.

Ankyloglossia atau tongue tie ini terjadi ketika frenulum lingualis pendek, ketat, tebal, fibrotik atau posisinya terlalu jauh ke depan sehingga pergerakan dan fungsi lidah menjadi terganggu. Lidah tidak mampu menjulur melampaui gusi dan bibir bawah serta gerakan lidah menjadi terbatas.

2.1.5 Bahasa Jerman

Pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia telah memiliki sejarah yang cukup panjang. Bahasa Jerman telah diajarkan di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda, terutama di dua sekolah menengah atas yaitu AMS (Algemeene Middelbaare School) ‗Sekolah Menengah Atas‘ pada tahun 1930-an dan HBS (Hohere Burgerschool) ‗Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah‘ pada tahun 1923-an. Guru-guru bahasa Jerman

(9)

Jerman tetap diajarkan di SMA hingga sekarang. Saat ini bahasa Jerman diajarkan di SMA, MA, SMK terutama pada jurusan Pariwisata, Perhotelan dan di Perguruan Tinggi. Dapat dikatakan bahwa bahasa Jerman pada saat ini banyak dipelajari di berbagai negara khususnya di Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Jerman terdapat empat keterampilan berbahasa yaitu keterampilan menyimak (Hörverstehen), keterampilan berbicara (Sprechfertigkeit), keterampilan membaca (Leseverstehen) dan keterampilan menulis (Schreibfertigkeit). Keempat keterampilan tersebut memiliki hubungan satu sama lain dalam pembelajaran bahasa dan keempat keterampilan tersebut bertujuan untuk menciptakan sebuah komunikasi yang baik.

Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Dari penjelasan wibowo dapat ditarik simpulan dari keempat keterampilan berbahasa tersebut, yang lebih penting dalam belajar bahasa adalah keterampilan berbicara dan membaca karena keterampilan keduanya memerlukan aktivitas alat ucap untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Pada bidang linguistik, kedua keterampilan tersebut tergolong pada tataran fonologi.

(10)

pada masyarakat Indonesia, pada umumnya menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Permasalahan tersebut tampak dari perbedaan sistem bunyi yang meliputi jumlah bunyi antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Pada sistem bahasa Jerman terdapat 15 variasi fonem vokal yang bersumber dari 7 bunyi vokal dan 22 fonem konsonan (Aloseviciene, 2009), sedangkan pada sistem bahasa Indonesia terdapat 6 fonem vokal dan 22 fonem konsonan (Alwi, 1993). Perbedaan bunyi ini dapat menimbulkan kesalahan pelafalan dalam berkomunikasi, sebagai akibat ketidaktepatan melafalkan kata-kata dalam bahasa Jerman. Meskipun bunyi tidak memiliki makna tetapi bunyi memiliki fungsi sebagai pembeda makna. Sebagai contoh, dalam bahasa Jerman perbedaan antara panjang dan pendek suatu bunyi vokal bersifat fonemis (distinctive), seperti bunyi vokal /i:/ dalam [i:n] ihn 'dia (lk) dan bunyi /i/ seperti dalam [in] in 'di', bunyi tersebut dapat membedakan makna apabila pelafalan tidak sesuai. Contoh lain adalah bunyi vokal /a:/ yang beroposisi dengan /a/, seperti pada kata [ma:lən] mahlen ‗menggiling‘ dan [malən] malen ‗melukis‘. Masalah ini akan menjadi

rumit, apabila pembelajar tidak memahami fonetik dalam bahasa Jerman.

(11)

2.2. Landasan Teori 2.2.1 Psikolinguistik

Secara etimologi psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan linguistik. Slobin (dalam Chaer, 2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia.

Menurut Dardjowidjojo (2003:21) Psikolinguistik adalah studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa, sebelum menggunakan bahasa seorang pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa. Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama yaitu (1) komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, (2) produksi, yakni proses mental pada diri kita yang membuat seseorang dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (3) landasan biologis dan neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (4) pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa.

(12)

praktiknya, psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran bahasa permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan multibahasa, gangguan berbahasa seperti cadel, gagap, latah dan sebagainya, serta masalah-masalah sosial lain yang menyangkut bahasa.

2.2.2 Teori Genetik Kognitif Chomsky

Teori genetik dan kognitif ini dipelopori oleh Avram Noam Chomsky, yang merupakan seorang ahli psikolinguistik Amerika Serikat. Chomsky membahas masalah-masalah bahasa dan psikologi, kemudian membingkainya menjadi satu bingkai dengan bentuk bahasa kognitif.

Menurut Chomsky (dalam Chaer, 2009: 108) teori genetik-kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani (the innateness hypothesist). Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Manusia memiliki bekal kodrati (innate properties) waktu yang lahir dan bekal inilah yang kemudian membuatnya mampu untuk mengembangkan bahasa, piranti pemerolehan bahasa tersebut menurut Chomsky dinamakan Language Acquisition Device (LAD).

(13)

merumuskan kaidah-kaidah bahasa dari data-data ujaran yang dikirimkan oleh LAD dan menghubungkannya dengan makna yang dikandungnya, sehingga terbentuklah kemampuan berbahasa. Pada tahap selanjutnya, pembelajar bahasa menggunakan kemampuan berbahasanya untuk mengkreasikan atau menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa yang dipelajarinya untuk mengungkapkan keinginan atau keperluannya sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah diketahuinya (Chomsky dalam Chaer, 2009: 108).

Chomsky melihat bahwa bahasa adalah kunci untuk mengetahui akal dan pikiran manusia. Manusia berbeda dengan hewan karena kemampuannya berfikir dan kecerdasannya, serta kemampuannya berbahasa.

Tampak teori linguistik Chomsky menyangkut adanya pasangan penutur-pendengar yang ideal di dalam sebuah masyarakat tutur yang betul-betul merata dan sama. Kedua penutur dan pendengar itu harus mengetahui dan menguasai bahasanya dengan baik. Terjadinya suatu tindak tutur memerlukan adanya interaksi dari berbagai faktor. Dalam hal ini komptensi atau kecakapan linguistik dari penutur-penutur yang menyokong terjadinya tuturan tadi, hanya merupakan satu faktor saja.

(14)

bahasa yang baik, sehingga dapat diterima dan dipahami baik bagi penutur atau pendengar dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa.

Dalam hal ini, Chomsky (dalam Syamsu 2000: 108) juga mengatakan bahwa kemampuan berbahasa manusia itu dipengaruhi juga oleh kemampuan kognitifnya, teorinya mengatakan bahwa ada intervensi dari kemampuan yang menyangkut ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang sangat berpengaruh ke dalam jiwa manusia. Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal, mental) sebagai landasan dalam proses pembelajaran bahasa. Dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan bahasa seseorang dipengaruhi oleh kemampuan kognitifnya, sebab semakin tinggi kemampuan kognitif seseorang maka semakin berkembang kemampuan bahasa seseorang tersebut.

2.2.3 Fonologi

Menurut Chaer (2003:102), secara etimologi istilah ―fonologi‖ ini dibentuk dari kata ―fon‖ yang bermakna ―bunyi‖ dan ―logi‖ yang berarti ―ilmu‖. Jadi, secara

(15)

Dapat dikatakan bahwa fonologi merupakan satu subdisiplin linguistik yang membicarakan tentang bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan teori-teori perubahan bunyi itu. Fonologi juga membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa dan cara menganalisisnya. Dengan demikian, kegiatan mempelajari bunyi bahasa idealnya tidak hanya sebatas upaya pengenalan bunyi-bunyi itu, tetapi juga harus diiringi dengan latihan menganalisis bunyi-bunyi bahasa tersebut dari segala segi.

Fonologi memiliki dua cabang kajian yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar fisik bunyi-bunyi bahasa (Verhaar : 2001: 19). Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Verhaar (1982: 12) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:

a) Fonetik Organis

Fonetik organis (artikulatoris, fisiologis) yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan mekanisme alat-alat ucap manusia dalam menghasikan bunyi bahasa (Gleason, 1955: 239). Jadi, fonetik organis ini mendeskripsikan cara membentuk dan mengucapkan bunyi bahasa, serta pembagian bunyi bahasa berdasarkan artikulasinya. Fonetik ini sebagian besar termasuk ke dalam bidang garapan linguistik. Oleh sebab itu, para linguis memasukkannya pada bidang linguistik teoretis.

b) Fonetik Akustis

(16)

akustis erat hubungannya dengan fisika, atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan fisika. Fonetik akustis berfungsi praktis seperti dalam pembuatan telepon, rekaman piringan hitam dan cassette recorder.

c) Fonetik Auditoris

Fonetik auditoris yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan cara mekanisme pendengaran penerimaan bunyi-bunyi bahasa sebagai getaran udara (Bronstein & Jacoby, 1967:70-72). Fonetik auditoris ini sebagian besar termasuk pada bidang neurologi (kedokteran), atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan kedokteran.

Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik organis atau artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia sekaligus yang menjadi bagian penelitian ini.

Sedangkan fonemik adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Chaer (2012:125) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

(17)

yang terdapat, misalnya, pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi bunyiik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu (Chaer, 1994: 102).

Dalam hal ini, kajian fonologi ini akan digunakan untuk menganalisis perubahan bunyi setiap pelafalan kata-kata yang diucapkan pendeita Rhotacism dalam berbahasa Jerman. Kajian fonetis tersebut berupa perubahan fonetis dan kekeliruan pembacaan. Kajian fonetis tersebut digunakan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan bunyi, yang tidak ada hubungannya dengan perubahan makna. Hal ini sesuai dengan defenisi dari fonetis organis atau artikulatoris yaitu yang berhubungan dengan bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh artikulator manusia dan perubahan bunyi yang terjadi karena ada gangguan Rhotacism.

2.2.3.1 Fonem dan Alofon

(18)

makna dan bersifat fonetis (Ibrahim, 1982: 105). Hanya saja jika diucapkan tidak sesuai, maka akan terdengar tidak harmoni.

2.2.3.2 Bunyi Segmental

Bunyi segmental yang dimaksudkan di sini ialah bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat-alat bicara yang mempunyai fungsi membedakan makna yang dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya seolah-olah menjadi segmen-segmen (Chaer, 2012: 129). Fonem-fonem bahasa Jerman ini digolongkan menjadi dua sistem, yaitu (1) sistem vokal, (2) sistem konsonan. Dalam bunyi segmental ini juga dijelaskan mengenai fonetik artikulatoris vokal dan konsonan bahasa Jerman yang tujuannya hanya sebagai informasi dan pelengkap dalam pemahaman pelafalan bunyi dalam bahasa Jerman.

2.2.3.2.1 Sistem Vokal

Maksan (1994:39) berpendapat bahwa vokal adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap tanpa adanya hambatan/gangguan terhadap udara yang mengalir keluar dari paru-paru. Kualitas vokal setidaknya ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (a) gerak vertikal lidah, (b) dimensi depan-belakang atau gerak horisontal lidah, dan (c) bentuk bibir (Féry, 2004:47). Pada situasi yang ideal, ketika pita suara menutup maka langit-langit lunak akan naik dan lidah di bagian tengah-depan dari mulut.

(19)

mulut menjadi semakin lebar. Misalnya bunyi [i] pada kata Sitz „duduk‘ dan, [e] pada sechs ‘enam‘.

Posisi lidah di depan atau di belakang juga memegang peranan penting dalam membentuk bunyi vokal. Vokal-vokal tertentu akan terbentuk ketika digabungkan dengan tinggi rendahnya lidah. Hal ini dapat digambarkan pada bunyi [u] pada Buch ‗buku‘ dan [o] pada Karo ‗belah ketupat‘.

Kriteria terakhir dari pembentukan bunyi vokal adalah bentuk bibir. Bunyi-bunyi vokal tertentu diucapkan dengan kedua bibir dibulatkan (rounded) atau dilebarkan (spread). Pada umumnya bunyi vokal depan diucapkan dengan bibir dilebarkan, seperti [i] pada Tisch ‗meja‘ dan [e] pada Feld ‗lapangan‘. Sedang bunyi dibulatkan tampak pada bunyi [u] Buch ‗buku‘ dan [o] Büro ‗kantor‘. Pada bahasa Jerman, vokal dibagi menjadi dua bagian yaitu monoftong dan diftong.

a. Monoftong

Monoftong disebut vokal murni dicirikan bahwa selama produksi kualitas vokal tidak berubah, yaitu posisi lidah dan tingkat pembukaan mulut tetap tidak berubah selama diucapkan. Dalam bahasa Jerman, didapati vokal umlaut yaitu ä, ö, dan ü. (Aloseviciene, 2009:12) menjelaskan kriteria klasifikasi vokal Jerman yaitu:

1) Kelisanan / Nasalitas

(20)

Beberapa kata-kata dari bahasa Perancis juga dituturkan dalam bahasa Jerman dengan vokal yang dinasalkan.

die Nuance ['nyã: s], die Balance [ba'lã: s] dialihkan ke bahasa Jerman [~aŋs] der Satin [zat'ɛ:], manekin [manə'kɛ:]dialihkan ke bahasa Jerman [~ ɛn] die Boullion [bʊl'jõ:], der Perron [pɛ'rõ:]dialihkan ke bahasa Jerman [~ ɔŋ] 2) Kualitas Vokal

Kualitas vokal ditentukan dengan memvariasikan mulut dan tenggorokan dengan lidah dan rahang bawah dan bibir. Kualitas vokal digambarkan oleh tiga parameter: tinggi lidah, posisi lidah horisontal dan posisi bibir.

a) tinggi lidah (derajat pembukaan sudut rahang)

Dalam bahasa Jerman, ada lima tingkat tinggi atau tingkat pembukaan sudut rahang:  Tinggi (vokal tertutup): [i:], [y:] [u:]

 Setengah tinggi (semi tertutup) vokal: [ɪ], [y], [ʊ]  vokal Medium [e:], [ø:], [o:]

 setengah kedalaman (semi terbuka) vokal [ɛ], [oe], [ɔ] dan [ə]  kedalaman (terbuka) vokal: [a:], [a] dan [ɐ]

b) Horizontal Posisi Lidah

Setelah posisi horizontal lidah di bagian depan atau belakang daerah mulut, perbedaan:  vokal depan

Lidah didorong ke depan: [i:], [ɪ], [y:], [y] [e:], [ɛ], [ɛ:], [ø:], [oe ].  vokal Central

(21)

 Vokal Belakang

Lidah ditarik kembali, dorsum belakang lidah dinaikkan: [u:], [ʊ], [o:], [ɔ].

c) Posisi Bibir

Bibir bisa bulat atau tidak bulat dalam artikulasi vokal. Vokal belakang selalu bulat dalam bahasa Jerman dan vokal depan tidak bulat:

 Vokal tidak bulat [i:], [ɪ], [e:], [ɛ], [ɛ:], [a:], [a], [ɐ].

Pada vokal tidak bulat disebabkan posisi bibir terbentang lebar dengan pengguan lidah belakang.

 Vokal bulat: [y:], [y], [ø:], [oe] [u:], [ʊ], [o:], [ɔ].

Pada vokal bulat terlihat aktivitas posisi bibir dalam keadaan bulat dengan posisi lidah vokal pusat.

3) Kuantitas Vokal

Selain kualitas vokal, kuantitas vokal juga penting dalam artikulasi vokal. Dalam banyak bahasa, termasuk vokal bahasa Jerman dibedakan menurut vokal pendek dan vokal panjang. Perbedaan:

 vokal pendek: [ɪ], [ɛ], [oe], [a], [ʊ], [ɔ].

(22)

Gambar 3. Posisi vokal Jerman

- vorn : Depan - hoch : tinggi - zentral : central - mittel : medium - hinten : belakang - tief : pendek b. Diftong

Diftong terdiri atas dua bunyi vokal tunggal berurutan yang terdapat dalam satu suku kata, contoh : meist ‗kebanyakan‘, Laus ‗kutu‘, neu ‗baru‘. Perubahan kualitas vokal berbeda dengan pengucapan pada monoftong. Posisi lidah dan pembulatan bibir berubah dari artikulasi vokal yang satu ke vokal lain: [aɪ] pada kata nein ‗tidak‘, [aʊ] pada kata blau ‗biru‘ dan [ɔɪ] pada kata neun ‗sembilan‘. Selain itu diftong bisa terbentuk dari vokalisasi ujung dalam ‗r‘, disebabkan pemusatan diftong seperti pada

pengucapan kata Ohr [oɐ] ‗telinga‘ atau mir [iɐ] ‗saya‘ (Aloseviciene, 2009:13).

2.2.3.2.2 Sistem Konsonan

(23)

Halangan yang dijumpai udara itu dapat besifat seluruhnya, dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu. Dengan memperhatikan bermacam-macam faktor untuk menghasilkan konsonan, maka kita dapat membagi konsonan-konsonan. Pertama, berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya. Kedua, berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar. Ketiga, berdasarkan turut tidaknya pita suara bergetar, dan keempat berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran. Untuk mengkaji sistem bunyi konsonan dan bunyi vokal dalam bahasa Jerman, Aloseviciene (2009) akan memaparkan fonem-fonem bahasa Jerman dalam bentuk peta konsonan.

Berikut daftar tempat-tempat artikulasi konsonan yang ditunjukkan pada Gambar 4. Lokasi organ artikulasi dari mulut atau tenggorokan, dimulai dengan bibir dengan berakhir di glotis (Aloseviciene, 2009:9).

(24)

Berikut daftar tempat-tempat artikulasi konsonan yang ditunjukkan pada Gambar 4.yaitu lokasi organ artikulasi dimulai dari bibir dan berakhir sampai glotis, sebagai berikut:

1. Labial

Labial adalah bunyi-bunyi yang dibuat dengan bibir. Ada dua versi yang berbeda:

a) bilabial - bunyi yang dibentuk melalui bibir atas dan bibir bawah. Dalam bahasa Jerman ada [b], [p] dan [m].

b) Labio - dental - bunyi dalam produksi bibir bawah menyentuh gigi seri rahang atas. Dalam bahasa Jerman, bunyi labio - dental pada bunyi [f] dan [v].

2. Dental

Dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh gigi atas dan gigi bawah. Dalam bahasa Jerman dental tidak tersedia.

3.Alveolar:

Bunyi alveolar dihasilkan melalui kontak ujung lidah menyentuh gusi atau daerah kaki gigi. Dalam bahasa Jerman ada [t], [d], [s], [z], [l].dan [r].

4. Postalveolar:

(25)

5. Palatal:

Suara palatal diartikulasikan oleh kontak lidah ke langit-langit keras (palatum), pada bahasa Jerman terdapat [ç] seperti pada kata mich‗saya‘, dan [j].

6. Velar:

Velar adalah bunyi yang dibentuk melalui pangkal lidah (dorsum) menyentuh langit-langit lunak (velar). Dalam bahasa Jerman pada bunyi [k], [g] dan [ŋ].

7. Uvular:

Uvular dihasilkan oleh gerakan dorsum lidah supositoria, yang disebut uvula. Uvular pada bahasa Jerman adalah [x] pada kata Dach ‗atap‘ dan [ʁ] seperti pada kata Ruhe ‗ketenangan‘.

8. Glottal:

Glotal juga disebut laryngal diproduksi dalam laring. Jika glotis menyempit, menciptakan frikatif glotal, dalam bahasa Jerman terdapat pada bunyi [h] seperti pada kata Haus ‗rumah‘, aliran udara pendek di daerah glotis dibendung, menciptakan hamzah, yang disebut glottal (berhenti) [ʔ], yang diproduksi di Jerman depan suku kata vokal dengan suara awal.

Selain kriteria klasifikasi yang mempengaruhi fonasi aliran udara atau tempat artikulasi, konsonan dibedakan dalam hal sifat / cara artikulasi:

1. Plosif:

(26)

hamzah atau glottal berhenti [ʔ], yang terjadi sebelum suara awal vokal dan bukan

merupakan perbedaan makna. 2. Frikatif:

Frikatif berbeda dengan plosif tidak dibentuk oleh penutupan lengkap. Dalam produksinya, kesenjangan antara artikulator yang terlibat, sehingga aliran udara dapat keluar dan menyebabkan suara menggosok. Frikatif dalam bahasaJerman adalah [f] seperti pada Fabrik‗pabrik‘, [v] seperti pada Wand‗dinding‘, [s] pada akhir Kuss ‗ciuman‘, [z] seperti pada Süden‗selatan‘, [ʃ] seperti pada Schale ‗mangkok‘, [ʒ] seperti

pada Garage ‗garasi‘, [ç ] pada kata freundlich ‗ramah‘, [x] seperti pada Krach [ʁ] pada kata Ruhe ‗ketenangan‘dan [h] seperti pada kata Haus‗rumah‘.

3. Nasal

Nasal diartikulasikan dengan menurunkan velum (langit-langit lunak). Ini memberikan penutupan lengkap dari rongga mulut, sehingga udara dapat keluar hanya melalui rongga hidung. Dalam bahasa Jerman pada bunyi [m], [n] dan [ŋ] pada kata lang‗panjang‘.

4. Lateral

(27)

5. Vibran

Vibran adalah suara yang dihasilkan oleh getaran artikulator yang terlibat di dalam produksi suara. Misalnya, yang disebut supositoria R [ʁ] dibentuk oleh getaran uvula.

6. Affrikatif

Affricates membentuk kelas konsonan tambahan. Ini adalah kombinasi dari plosif dan frikatif, yang terbentuk di tempat yang sama artikulasi. Dalam hal tersebut diartikulasikan dalam berbagai bibir dan gigi atau alveoli [pf] seperti pada Pflaume, [ts] seperti pada Zahn ‗gigi‘ dan Katze‗kucing‘, [tʃ] seperti pada Matsch‗lumpur‘, [dʒ] seperti pada Dschungel‗hutan belantara‘, [ks] pada kata Text ‗teks‘, links‗sebelah kiri‘. 7. Approximan

Dalam produksi approximan, satu artikulator dekat ke yang lain, tetapi saluran vokal tidak dipersempit sedemikian rupa sehingga aliran turbulansi terjadi. Dalam bahasa Jerman adalah [j] . Aproksiman [j] yang juga disebut sebagai semi vokal.

(28)

Tempat Artikulasi Cara Artikulasi

Bilabial Labiodental Alveolar Postalveolar Palatal Velar Uvular Glottal

Plosif p b t d k g ʔ

Linguistik, khususnya di bidang fonetik dan fonologi, karena pemutaran sistematis suara dalam sistem penulisan bahasa tanpa transkripsi fonetik. Sistem transkripsi fonetik yang paling umum adalah dari "International Phonetic Alphabet" (IPA). Pada Tabel 2 di bawah ini, akan memberikan gambaran hubungan fonem-grafem (hubungan pengucapan bunyi) dalam bahasa Jerman, transkripsi digunakan IPA. (Aloseviciene, 2009:17, : Mangold, 2005: 14, : Duden 6, 2005: 14).

Tabel 2. Pengucapan Bahasa Jerman dalam Alfabet Fonetik Internasional

Kelompok

Bunyi Bunyi Grapem Transkripsi Fonetis Gloss

(29)

[ɛ]

(30)

[z] s reisen [raizən] bepergian [ʃ] sch, s(t), s(p) Schule [ʃuːlə], stehen [ʃteːən]

spielen [ˈʃpiːlən]

sekolah, berdiri bermain

(31)

2.2.3.3 Teori Kekeliruan Pembacaan

William Scott Gray adalah seorang ahli linguistik Inggris, Gray (1996:45) mengemukakan teori yang menyatakan bahwa dalam suatu kekeliruan pembacaan, terdapat enam kategori kesalahan yang dilakukan oleh pembaca. Enam kategori tersebut adalah :

1. Penggantian (substitution). Yang dimaksud dengan penggantian adalah penggantian sebagian atau keseluruhan dari satuan bahasa yang dibaca, dengan bentuk-bentuk lain.

2. Penambahan (addition). Yang dimaksud dengan penambahan adalah penambahan bunyi pada satuan bahasa yang dibaca.

3. Penghilangan (omission). Yang dimaksud dengan penghilangan adalah penghilangan seluruh atau sebagian bunyi pada satuan bahasa yang dibaca.

4. Pengulangan (repetition). Yang dimaksud dengan pengulangan adalah pengulangan seluruh atau sebagian bunyi pada satuan bahasa yang dibaca.

5. Pembalikan (reversal). Yang dimaksud dengan pembalikan adalah pembalikan urutan pada satuan bahasa yang dibaca. Pembalikan ini dapat berupa pembalikan fonem, huruf, atau morfem.

(32)

2.2.4 Diksi atau Pilihan Kata

Menurut Enre (1988: 101) diksi atau pilihan kata adalah penggunaan kata-kata secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang ingin dinyatakan dalam pola suatu kalimat. Maksudnya, seseorang yang memilih kata secara tepat untuk menyatakan sesuatu. Dalam memilih kata yang setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, seseorang tidak dapat lari dari kamus. Kamus memberikan suatu ketepatan kepada seseorang tentang pemakaian kata-kata. Dalam hal ini, makna kata yang tepatlah yang diperlukan. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu. Keraf (2008; 24) menuliskan point-point penting tentang diksi, yaitu:

1. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.

2. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari suatu gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

(33)

dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah kata (Gorys Keraf, 2008: 24).

Dari pernyatan di atas tampak bahwa fungsi pilihan kata atau diksi adalah untuk menyampaikan sebuah kata agar lebih jelas, jika pilihan kata tersebut tepat dan sesuai, dan juga bertujuan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penutur atau pendengar, sehingga tercapai komunikasi yang harmoni. Dalam pembahasan ini yang berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian pemilihan kata dalam penelitian ini adalah sinonim, sinonim dijelaskan sebagai ungkapan (kata) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan (Verhaar, 1983: 132).

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang gangguan berbicara penderita Rhotacism pada pembelajar bahasa Jerman secara khusus belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Mereka cenderung meneliti gangguan berbicara secara umum.

Gustianingsih (2014) ―Gangguan Fonologis Bahasa Indonesia pada Anak

(34)

kategori usia 17—24 tahun, lebih cenderung hiperaktif. Hasil yang diperoleh adalah bunyi vokal [a], [e], [o] sudah diperoleh dengan baik dan sempurna untuk kasus ASD anak-anak dan ASD dewasa, tetapi [i], [ε] sudah diperoleh ASD dewasa, sedangkan ASD anak belum. Bunyi [u] dan [i] sama-sama belum diperoleh ASD anak-anakdan ASD dewasa. Hal ini terjadi karena menghasilkan bunyi [i] dan [u] harus mengangkat lidah setinggi-tingginya agar vokal tinggi ini sempurna dihasilkan, sedangkan ASD anak-anak dan ASD dewasa ini masih belum dapat menghasilkannya. Bunyi konsonan [p], [b], [t], [d], [k], [l], [m], [n], [y] sudah diperoleh ASD dewasa, sedangkan ASD anak-anak baru memperoleh [p], [t], [l], [m], [n] dan [y]. Bunyi konsonan [g] dihasilkan dengan berubah menjadi bunyi dental bersuara [d] untuk ASD dewasa, sedangkan ASD anak-anak berubah menjadi bunyi bilabial tak bersuara [t]. Semua bunyi konsonan bersuara belum diperoleh ASD anak-anak, sedangkan ASD dewasa sudah diperoleh beberapa seperti [d], [b], [l], [m], [n], dan [y].

(35)

menderita down syndrom, stroke, atau pada penderita penyakit yang berhubungan dengan syaraf. Adapun yang disebabkan oleh faktor herediter (menurun secara genetik dari orang tua kepada anak) belum diketahui secara pasti, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menentukan sifat cadel yang disebabkan oleh pengaruh herediter dan untuk menentukan pola pewarisan cadel. Penelitian ini dilakukan sejak tahun 1994 yang kemudian dilanjutkan lagi tahun 2012 di Propinsi Sulawesi Selatan tempat sampel berdomisili. Sebanyak tiga silsilah keluarga hasil penelitian yang telah disusun dari data yang memenuhi kriteria dianalisis untuk menentukan sifat cadel yang disebabkan oleh faktor herediter dan menentukan pola pewarisan sifat cadel. Pola-pola pewarisan sifat yang digunakan adalah yang umum ditemukan pada manusia. Dibuat suatu asumsi bahwa ― Karakter A diturunkan menurut pola b‖ dalam menentukan pola pewarisan

cadel, kemudian melalui fenotip(sifat organisme yang tampak atau yang dapat diamati oleh alat indera) yang terdapat pada silsilah keluarga dilihat kesesuaian dengan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cadel dapat disebabkan oleh faktor herediter dan diwariskan menurut pola resesif autosomal (sebuah kondisi genetik yang muncul hanya pada individu yang telah menerima dua salinan gen autosom, satu salinan dari setiap orangtua).

(36)

sedangkan 2 orang subjek penelitian yang lain menderita latah koprolalia. Kata-kata yang diucapkan para penderita latah menjadi bahan penelitian dan ditinjau secara sederhana dari teori fonologi yaitu perubahan bunyi dan sintaksis pada teori Frase yang dibagi atas frase endosentrik dan frase eksosentrik. Dari dua pendekatan tersebut dapat menentukan hubungan antara pola-pola bunyi bahasa itu dengan makna-maknanya. Kata-kata maupun kalimat-kalimat yang diucapkan oleh penderita latah murni hanyalah sebuah kegiatan membeo tanpa menyadari makna maupun kesempurnaan dari kata-kata yang diucapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan dan metode agih. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan jika orang yang mengagetkan penderita latah tersebut mengucapkan kata dengan pemenggalan frase yang benar maka penderita latah akan mengikutinya juga, begitu seterusnya.

Gustianingsih (2009) dalam disertasi yang berjudul ―Produksi dan Komprehensi

Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Autistic Spectrum Disorder: Kajian Neuropsikolinguistik‖. Penelitian ini menjelaskan bahwa produksi bunyi ujaran yang

dilisankan anak Autistic Spectrum Disorder tidak berjalan selaras dengan komprehensi anak tersebut. Produksi bunyi ujaran vokal yang berhasil diujarkan dengan tepat dan benar hanyalah bunyi [a], [o] dan [ε], sedangkan bunyi vokal [i] masih mengalami

(37)

diproduksi dan dikomprehensi dengan benar adalah [p], [t], [m], [n], [l], [y], sedangkan bunyi [b], [d], [g], [r], [s], [z], [c], [j] belum diproduksi dengan benar. ASD adalah berusia 7—10 tahun, tetapi usia pemerolehan bahasanya hanya selaras dengan usia 3—4 tahun saja. Usia kronologis ASD 7—10 tahun hanya selaras dengan usia 3—4 tahun anak normal. Perkembangan kognitif ASD juga sangat terbatas dan sangat rendah. Kreativitas bahasa dan tingkah laku anak sangat rendah dan tidak berkembang dengan baik dan stabil.

Nasution (2009) dalam tesis yang berjudul Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3—4 Tahun (Prasekolah) Di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik. Ini merupakan penelitian psikolinguistik yang menggunakan metode kualitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Pada dasarnya pemerolehan bahasa anak usia 3—4 tahun dimulai dengan pemerolehan fonologi, semantik dan sintaksis. Populasi penelitian ini adalah anak-anak usia 3-4 tahun yang berada di Play Group Tunas Mekar Medan. Penelitian ini mengamati kemampuan berbahasa diantara anak-anak itu sendiri, baik dengan teman maupun dengan guru mereka. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya anak-anak usia 3—4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan mampu berbahasa baik dari pemerolehan fonologi, sintaksis maupun semantik. Walaupun anak mampu namun dalam pemerolehan fonologi anak mengalami pergantian sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi yang tidak disuarakan, yaitu pada pelafalan kata ―mau‖ menjadi ―mo‖

(38)

memiliki dua buah suku kata, anak melakukan proses reduplikasi, kemudian melakukan reduksi atau penyederhanaan kelompok kata. Pada pemerolehan sintaksis anak telah mampu menggunakan kalimat-kalimat yang gramatikal dan pada pemerolehan semantik anak lebih cenderung menggunakan makna denotatif. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa anak dilahirkan dengan potensi mampu memperoleh bahasa apa saja termasuk bahasa Indonesia. Kemampuan itu membawa seorang anak mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap dari sederhana sampai kepada bentuk yang kompleks.

Fersiamayeni (2008) yang berjudul ―Interpretasi Lafal Fonem Penderita Bibir Sumbing‖. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kendala apa saja yang terjadi dalam menginterpretasikan lafal fonem penderita bibir sumbing berat (PBSB). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Penelitian ini menggunakan pendekatan fonologi pada teori perubahan fonem. Chaer mengemukakan pengertian fonem sebagai satuan bunyi terkecil pembeda makna. Chaer juga membedakan konsonan berdasarkan tempat artikulasi dan cara artikulasinya. Verhaar mengemukakan teori fonetik artikulatoris yang digunakan peneliti sebagai ukuran dalam melihat kerusakan artikulator yang diderita oleh PBSB (kendala artikulatoris). Kendala artikulatoris yang terjadi pada PBSB adalah bibir atas, rongga hidung, langit-langit, dan gigi. Fonem segmental yang terkendala pada PBSB yaitu semua vokal a, i, u, e, é o, dan konsonan b, c, d, f, g, j, k, p, r, s, t, z, Š, dan x.

(39)

Gambar

Gambar 2. Frenulum Lingualis Pendek
Gambar 3. Posisi vokal Jerman
Gambar 4. Tempat Artikulasi Konsonan
Tabel 2. Pengucapan Bahasa Jerman dalam Alfabet Fonetik Internasional

Referensi

Dokumen terkait

BAB III ANALISIS PENELITIAN 3.1 Bentukan Kata Anglisisme pada Bidang Fashion dalam Artikel Berbahasa Jerman pada Majalah Online “Stylebook” …………. RIWAYAT HIDUP

Adapun tujuan pembelajaran menyimak bahasa Jerman menurut Kurikulum 2013 adalah peserta didik mampu menyimak bunyi ujaran (kata, frasa, atau kalimat), peserta didik mampu

Dari data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yaitu bunyi apiko dental plosif tidak bersuara

terjadi perubahan bunyi pada suku kata kedua yakni bunyi getar apikoalveolar /r/ menjadi bunyi sampingan apikoalveolar /l/ serta terjadi penghilangan bunyi geseran bersuara

Iklan Jerman menggunakan kata-kata yang menyinggung karakteristik fisik perempuan, khususnya bagian dada, sedangkan dalam iklan Indonesia tidak sama sekali, melainkan hanya

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 bentuk kesulitan gramatikal bahasa Jerman pada tataran morfologi, meliputi kesalahan pengkonjugasian kata kerja berdasarkan jumlah

penghilangan bunyi /r/ pada posisi tengah kata dan pengganti fonem /r/ menjadi fonem /y/ namun tetap tidak merubah makna sebenarnya yaitu kata harga.. P : Yaudah aku kurangin 15ribu

Proses pelaksanaan pembelajaran pada siklus I dan siklus II dengan menggunakan media cerita pendek, telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kosakata bahasa Jerman siswa yang dapat