• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari Perspektif Konseling Lintas Budaya T1 752014016 BAB I"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Setiap orang mendambakan kedamaian dalam kehidupannya, namun konflik selalu

menjadi salah satu tantangan dalam pencapaian menuju perdamaian. Menurut penjabaran

Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2015, konflik didefinisikan sebagai suatu pertentangan,

perselisihan, ketegangan yang terjadi dalam diri sendiri dan atau melibatkan dua pihak, serta

pertentangan antara dua kekuatan.1 Melalui definisi tersebut, konflik pun dipahami menjadi

dua bagian, yaitu konflik batin dan konflik yang melibatkan masyarakat atau konflik sosial.2

Konflik batin yaitu suatu pertentangan, perselisihan yang dimulai dalam diri sendiri atau

dalam batin, dan konflik sosial yaitu pertentangan atau perselisihan antara anggota

masyarakat atau melibatkan orang lain.3 Definisi konflik oleh beberapa sumber seperti

Marxian, Simmel, dan Dahrendorf, adalah mengacu pada konflik sosial individu-individu

tertentu yang membentuk suatu komunitas yang bertikai. Konflik juga diakibatkan adanya

klas-klas dalam suatu tatanan struktur sosial, dan konflik yang mengandung unsur superior

dan inferior di dalamnya. Namun konflik yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah konflik

sosial seperti yang dimaksudkan oleh tokoh-tokoh tersebut. Lebih daripada itu konflik yang

dimaksud adalah teori konflik yang dikemukakan oleh Dean Pruitt dan Jeffrey Rubin dari segi

psikologi, yakni konflik antara dua belah pihak4. Jadi konflik dapat dipahami sebagai suatu

proses dan tantangan dalam pencapaian perdamaian karena konflik adalah pertentangan,

perselisihan, dan ketegangan serta dimulai dalam diri pribadi ssebagai konflik batin setelah

melihat dan mengalami keadaan hidup tertentu, jika konflik batin ini tidak dikendalikan

ataupun dikelola dengan baik dalam diri seseorang maka ia akan berkembang dan berubah

1

Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi terbaru Gita Gramedia Press 2015, p. 448

2

Ibid

3

Ibid

4

(2)

2 menjadi konflik antarpersonal.

Konflik antarpersonal dapat terjadi dimana saja, misalnya dalam lingkungan keluarga

antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, atau antara satu anak dengan anak lainnya.

Konflik antar personal yang terjadi dalam lingkup keluarga dapat terus berkembang di

lingkup komunitas-komunitas masyarakat, misalnya dalam hal konflik karena terancam

perceraian antara suami istri akan melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok dari pihak

suami maupun kelompok dari pihak istri.5 Konflik tersebut pun dapat berubah menjadi

konflik yang lebih bear jika tidak ditangani dan dikelola dengan baik mulai dari konflik

personal. Realitas konflik seperti ini sudah menjadi kenyataan hidup sehari-hari karena itu ia

bukanlah hal yang tabu untuk diperbincangkan. Dengan demikian konflik sesungguhnya

merupakan pernyataan terbuka dalam kehidupan bahwa masyarakat sedang berada dalam

proses perkembangan pencarian dan penemuan identitas diri setiap orang, keluarga dan

komunitas dimana mereka diharapkan saling menerima dalam hidup bersama di tengah

keperbedaan yang mendatangkan kedamaian, keadilan, dan ketertiban dalam kepelbagaian

dan keperbedaan itu sendiri sebagaimana yang diperjuangkan oleh masyarakat di Tanah

Papua.

Tanah Papua sebagai salah satu daerah di Indonesia yang dianggap sebagai Indonesia

mini.6 Tanah Papua yang terkenal sebagai Indonesia mini ini pun juga dikenal sebagai salah

satu daerah di Indonesia yang subur akan konflik. Konflik itu mencakup berbagai segi

kehidupan manusia, baik kehidupan berumat maupun kehidupan bermasyarakat karena

adanya perbedaan suku, budaya, agama, kehidupan keluarga, hingga konflik di lingkup

pekerjaan maupun pendidikan.7 Dikatakan demikian karena masyarakat Papua terdiri atas

dua kelompok komunitas besar, yaitu komunitas orang Papua dan komunitas kaum Pendatang

5

Pengamatan konteks pada bulan Desember 2015 di Polimak IV Jayapura dan Wamena.

6

Ibid

7

Tim KSP Jayapura, Membangun Budaya Damai dengan Rekonsiliasi dasar menangani konflik di Papua.

(3)

3 atau non Papua. Komunitas orang Papua sendiri terdiri atas 250 suku yang menggunakan 234

bahasa8 dengan cara dan budaya hidup masing-masing, ditambah lagi dengan adanya

perbedaan agama, status sosial, pendidikan, pekerjaan dan seterusnya. Hal inilah yang

menyebabkan masyarakat Papua selalu berada dalam kehidupan yang rawan konflik. Salah

satu bentuk konflik yang berpengaruh besar dalam kehidupan berumat dan bermasyarakat

adalah konflik suami-istri, khususnya pada pasangan yang berbeda budaya.

Budaya tersebut dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu : pada satu pihak, budaya

yang dipahami pada umumnya meliputi suku, adat istiadat, keluarga dan asal daerah9, dan di

pihak lain budaya dipahami sebagai subkultur yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan

dan agama, penggunaan bahasa, seni, hukum adat, dan cara atau gaya penyelesaian konflik.10

Bryan Strong dalam kaitan dengan konflik budaya keluarga menyatakan bahwa pernikahan

dan keluarga tersusun atas perbedaan budaya yang meliputi kepribadian, ide, nilai, rasa, dan

tujuan.11 Oleh sebab itu setiap individu tidak selalu cocok dengan individu lain dalam

keluarga karena setiap individu memiliki perbedaan-perbedaan yang memicu timbulnya

konflik. Inggoldsby dan Smith mengungkapkan bahwa keluarga merupakan struktur paling

kecil dalam masyarakat, dan berasal dari budaya yang berbeda-beda.12 Budaya yang

berbeda-beda misalnya dalam penggunaan bahasa, genetik, bersikap, dan sebagainya.13 Budaya juga

memiliki makna akal budi, pikiran, dan sesuatu yang berkenaan dengan hasil karya budi.14

Apabila perbedaan perbedaan budaya tersebut tidak dipahami dan tidak diatasi perbedaannya

maka akan memicu lahirnya konflik. Jika seseorang membentuk keluarga, apalagi keluarga

8

D.C. Ajamseba, Kebinekaan Bahasa Di Irian Jaya; Dalam : Koentjaraningrat dkk (eds), Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. (Jakarta : Djambatan, 1994), p.121.

9

J.D. Engel, Materi Kuliah Konseling Lintas Budaya, PPST Satya Wacana, Salatiga, Mei 2015

10

Pra penelitian, Desember 2015 di Wamena.

11

Bryan Strong, et all. The Marriage and Family Experience, (Canada: Wadsworth Cengange Learning, 2011), p. 41

12

Born B. Ingoldsby dan Suzana D. Smith, Famili in Global and Multicultural Perspective – Second Edition, (London: Sage Publications 2006), p. 3-5

13Lisa, M. Dillon, dkk. 2015. “Sources of Marital Conflict in Five Cultures”.

Evolutionary Psychology : epjournal.net, p.1-15 14

(4)

4 dengan latar belakang budaya dan asal daerah yang berbeda, maka ia sedang mengalami

perubahan dari budaya lama, yaitu budaya keluarga asalnya kepada budaya baru, yaitu

kebudayaan yang baru melalui keluarga yang dibentuknya, sebagai suatu proses penyesuaian.

Dalam proses penyesuaian ini konflik dapat terjadi kapan dan di mana saja, karena konflik

merupakan suatu situasi dan persimpangan di mana masing-masing pihak menginginkan

sesuatu yang dibutuhkannya tetapi jika tidak diberikan oleh pihak lain maka persimpangan itu

akan semakin melebar dan menutup kemungkinan penyatuannya. Sesuatu yang diinginkan itu

dapat berupa perhatian, waktu, uang, kekuasaan, tanah, pekerjaan, dan lain sebagainya.15 Itu

berarti bahwa setiap orang memerlukan penyesuaian dengan maksud untuk mendatangkan

perubahan dalam proses pengelolahan perbedaan budaya tersebut.

Thompskin menyebutnya sebagai kepekaan budaya atas kemampuan seseorang untuk

melihat keluar dari dirinya sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya individu lain.16

Selanjutnya ia memahami bahwa kepekaan budaya merupakan suatu proses menjadi sadar

terhadap nilai yang dimiliki, bias dan keterbatasan mengikuti eksplorasi diri pada budaya

sehingga seseorang belajar bahwa perspektifnya terbatas, memihak, dan relatif pada latar

belakang diri sendiri.17 Jika demikian betapa beratnya konflik suami-istri karena perbedaan

budaya, maka kepekaan budaya dari suami-istri perlu dibangun dan dikembangkan sebagai

suatu proses kemampuan seseorang untuk memahami, menyadari dan mengakui adanya

nilai-nilai budaya dan perilaku manusia diluar diri sendiri sehingga ia (suami-istri yang berkonflik)

belajar mengenal dirinya dan memahami bahwa perspektifnya terbatas, memihak dan relatif

pada latar belakang diri sendiri. 18

Pertanyaan publik dalam penanganan konflik suami-istri beda budaya adalah bagaimana

15

Totok S. Wiryasaputra, Menolong Keluarga Bermasalah, (Jakarta : Pelkesi, 2007). p, 10

(5)

5 caranya pendeta sebagai konselor dapat menolong konseli untuk memahami realitas kepekaan

budaya tersebut. Realitas dalam konteks pelayanan gereja memperlihatkan bahwa

kebanyakan para pelayan atau pendeta kurang memberi perhatian pada pelayanan konseling

maupun konseling lintas budaya, karena kurangnya kepekaan pelayan atau pendeta dalam

memahami konteks kemajemukan jemaat. Hal inilah yang menyebabkan konflik suami-istri

masih bergulir, sehingga menjadi keprihatinan penulis untuk mengangkat masalah konseling

lintas budaya supaya para pelayan jemaat sebagai konselor dapat menolong suami-istri untuk

mampu menjalani masa transisi dari budaya lama kepada budaya baru dan memahami

kehidupan yang sesungguhnya dalam konteks hidup berkeluarga. Berdasarkan latarbelakang

di atas, maka penulis hendak melakukan penelitian ini dengan judul: Konflik Budaya

Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roy Wamena dari Perspektif Konseling Lintas

Budaya

2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah adalah: Bagaimana konflik

budaya suami-istri di Jemaat GKI Lachairoy Wamena dari perspektif konseling lintas budaya.

Berdasarkan rumusan tersebut maka dijabarkan dalam dua pokok penelitian sebagai berikut.

(1) Bagaimana realitas konflik budaya suami-istri di Jemaat GKI Lachai Roy Wamena? dan

(2) Bagaimana penanganan konseling lintas budaya yang dapat dilakukan pendeta sebagai

konselor terhadap konflik budaya suami-istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena?

3. Tujuan Penelitian

(6)

6 adalah (1) mendeskripsikan dan menganalisis realitas konflik budaya suami istri di jemaat

GKI Lakhai Roi Wamena dan (2) mengkaji konseling lintas budaya yang dapat dilakukan

pendeta sebagai konselor terhadap konflik budaya suami-istri di Jemaat GKI Lachai Roi

Wamena.

4. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, sebagaimana dikemukakan

oleh M. Nazir, yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek,

suatu set kondisi, suatu sistim pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.

Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual

dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.19

Jenis penelitian yang dipilih dalam penulisan tesis ini adalah penelitian kualitatif, yaitu

suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,

peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual

maupun kelompok.20 Penelitian ini juga menekankan sifat penelitian yang mencari jawaban

atas pertanyaan-pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan

diberi makna.21

Penelitian kualitatif ini berangkat dari masalah konseling lintas budaya berdasarkan

konflik suami istri beda budaya dalam wilayah pelayanan Jemaat GKI Lachai Roi Wamena

sebagai satu situasi dalam konteks penelitian, yang hasilnya akan digunakan untuk kebutuhan

yang sama dalam konteks yang berbeda, karena itu data penelitian akan diperoleh dari

narasumber (partisipan) dan informan yang ditentukan oleh peneliti dengan tujuan untuk

19

Moh. Nasir, Metode penelitian, (Bogor : Ghalia Indonesia. 2014), p. 89

20

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), p. 60

21

(7)

7 menghasilkan teori baru yang kiranya dapat digunakan dalam konteks lain secara

kontekstual.22

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui cara observasi, yaitu melakukan

pengamatan terhadap realitas konflik suami istri dan pelayanan konseling oleh pelayan

jemaat. Pengamatan ini dilakukan secara partisipatif, dimana penulis terlibat langsung dengan

kehidupan suami istri maupun pelayan jemaat yang diteliti23 ; cara wawancara yang

dilakukan kepada mereka yang dipilih, yaitu pelayan jemaat (pendeta) setempat sebanyak

satu orang dan istrinya yang adalah juga seorang pendeta dan beberapa pelayan jemaat

(pendeta) dari jemaat terdekat sebanyak tiga orang serta kepada ketua klasis; kepada beberapa

keluarga, yaitu suami-istri beda budaya sebanyak satu pasang asal Papua (Raja Ampat) dan

Nusa Tenggara Timur (NTT-Kupang), maupun membandingkan dengan keluarga yang suami

istri satu daerah (sama budaya) dari Papua sebanyak satu pasang maupun suami istri sama

budaya non-Papua sebanyak satu pasang; cara studi kepustakaan untuk memperoleh data

teoritis yang mendukung penelitian ini.24

Penelitian kualitatif ini dimulai dengan tahap refleksi realitas penelitian, kemudian

pemilihan lokasi di Wamena dan selanjutnya menentukan strategi penelitian untuk

menetapkan rancangan penelitian yang akan dipakai,25 Selanjutnya melakukan deskripsi

terhadap masalah penelitian, lalu akhirnya penulis mendialogkan antara teori pada bab II

dengan realitas yang ditemukan pada bab III untuk menemukan teori yang dapat

ditransformasikan ke dalam konteks pelayanan gereja sebagaimana termuat dalam Bab IV.

Kebanyakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dengan tujuan untuk

menggambarkan, mengungkapkan dan menjelaskan satu atau lebih peristiwa sehingga data

yang terkumpul berbentuk kata-kata. Data-data tersebut berasal dari observasi dan

22

Bnd. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&G, (Bandung : CV. Alfabeta, 2015), p.216

23

Bnd. Ibid, p.145.

24

Bnd. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&G, p.216

25

(8)

8

wawancara.26 Dengan demikian dalam penelitian konflik budaya suami istri di Jemaat GKI

Lachai Roy Wamena dari perspektif konseling lintas budaya, penulis menggunakan teknik

observasi, wawancara dan studi kepustakaan dengan maksud untuk mendeskripsi dan

menganalisis perbedaan latar belakang budaya suami-istri dari perspektif konseling lintas

budaya di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena.

5. Urgensi Penelitian

Realitas sosial kehidupan manusia menunjukan bahwa keluarga adalah inti dari

pembentukan sebuah masyarakat dan gereja, karena itu jika kualitas kehidupan keluarga baik,

maka akan membentuk gereja yang berkualitas sebagai pilar pembentukan masyarakat yang

berkualitas. Berdasarkan fakta tersebut maka penelitian ini penting untuk dilakukan dalam

rangka mengimplementasikan konsep dan kajian konseling lintas budaya terhadap

permasalahan konflik suami-istri beda budaya di Jemaat GKI Lachai Roy Wamena.

6. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas lima bab yaitu: Bab satu berisikan latar belakang masalah,

rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, urgensi penelitian dan

sistematika penulisan; Bab dua merupakan studi pustaka tentang konflik budaya suami istri di

Jemaat GKI Lachai Roi Wamena dari perspektif konseling lintas budaya yang meliputi:

realitas konflik dan penyebabnya yang terdiri dari konflik pada umumnya, konflik budaya

suami-istri, budaya sebagai penyebab konflik yang terdiri dari pemaknaan budaya yang

dilihat dari perspektif antropologi, sosiologi, dan psikologi, selanjutnya kepekaan budaya,

bias budaya, dan konseling lintas budaya yang meliputi makna konseling lintas budaya,

strategi dan pola konseling lintas budaya. Bab tiga tentang temuan hasil penelitian konflik

26

(9)

9 budaya suami istri dan konseling lintas budaya terhadapnya di Jemaat GKI Lachai Roy

Wamena. Bab empat merupakan pembahasan dan hasil analisa terhadap hasil penelitian

terhadap konflik budaya suami-istri di Jemaat GKI Lachai Roy Wamena dari perspektif

konseling lintas budaya. Bab lima adalah bagian penutup yang merupakan kesimpulan dari

hasil penelitian dan saran sebagai kontribusi maupun rekomendasi untuk penelitian

Referensi

Dokumen terkait