• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Setiap orang dalam menentukan pasangan atau pendamping hidupnya untuk membentuk berumah tangga yang diawali dengan suatu perkawinan tentu tidak ada sedikitpun yang tersirat maupun yang tersurat dalam benak mereka bahwa tujuan berumah tangga adalah untuk melakukan tindak kekerasan. Jika diperhatikan dengan sekasama pada setiap pasangan pengantin yang bersanding di pelaminan, maka yang nampak adalah nada-nada kebahagiaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan membentuk rumah tangga adalah tidak lain untuk membina rumah tangga yang bahagia dan harmonis.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam membentuk rumah tangga. Untuk mewujudkan hal tersebut sangat tergantung dari setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Bagaimana untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan harmonis jelas setiap keluarga mempunyai cara dan strategi tersendiri, karena jelas bahwa perlu disadari keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dicari, diusahakan dan dibina oleh pihak keluarga itu sendiri.

(2)

sulit diduga kapan datangnya. Suatu hal yang sering dilupakan bahwa bersatunya dua insan yang berbeda jenis kelamin tentunya mempunyai karakter yang berbeda pula.

Perbedaan lainnya adalah latar belakang sosial budaya, bila perbedaan ini tidak dapat dikelola dengan baik jelas akan menimbulkan konflik yang bisa membawa petaka atau permalahan yang tidak diinginkan bersama. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan yang sifat kecil tidak bisa dibiarkan menjadi besar, karena tidak dapat menutup kemungkinan justru dapat menimbulkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Pada umumnya bila terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga, maka yang menjadi korbannya adalah mereka yang mempunyai posisi yang lemah baik secara fisik maupun psikis. Akibat lebih jauh munculnya tindakan kekerasan dalam rumah tangga ini bisa membawa dampak yang cukup serius dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Dalam arti bahwa sekalipun rumah tangga ini secara formal kelihatannya masih utuh, namun secara batiniah sebenarnya sudah tidak menyatu. Dalam kondisi yang demikian jelas bahwa makna rumah tangga sebagai tempat berteduhnya bagi seisi rumah telah kehilangan rohnya.

Dalam kondisi yang demikian tersebut, maka persoalan yang muncul adalah masih pantaskah para penghuni rumah tersebut adalah keluarga yang harmonis dan bahagia, bila yang terdengar dari anggota keluarga adalah keluh kesah adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang merasa mempunyai kekuasaan apa saja dalam rumah tangga tersebut.

(3)

membaca di berbagai media cetak dan elektronik atas berbagai peristiwa tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga hal demikian telah melanggar hak asasi yang paling mendasar yakni hak untuk hidup.

Persoalan yang muncul dengan adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah adakah pihak ketiga yang bisa atau berani masuk ke dalam urusan rumah tangga orang lain untuk menghentikan atau paling tidak meminimalisir terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini agak sulit dilakukan oleh pihak-pihak lain untuk masuk ke wilayah privasi seseorang. Namun dengan adanya Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah merupakan secercah harapan, bahwa rumah tangga yang merupakan pranata hukum, dan atau pranata sosial dapat dijadikan laboratorium hidup untuk berbagai pendidikan dasar bagi seisi rumah.

Hadirnya Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tersebut, dalam kenyataannya dilapangan atau dalam pergaulan hidup masyarakat masih kurang yang memahami atau masih banyak yang belum mengetahuinya. Sehingga masih banyak ditemukan beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak dilaporkan atau diproses secara hukum dan hanya diselesaikan di tataran lingkup pemerintah mulai dari Ketua RT, Kepala Lingkungan dan Kelurahan saja. Akan tetapi bagi mereka yang sudah mengetahui akan adanya jalur hukum, mereka akan melaporkan kepada pihak yang berwajib seperti Kepolisian, Komnas Perlindungan Perempuan atau Komnas Perlindungan Ibu dan Anak.

(4)

GMIM (Penatua, Syamas, Guru Agama dan Pendeta). Sehingga dengan keberadaan para pelayan khusus (Pelsus) GMIM tersebut dipandang dapat memberikan solusi damai yang terbaik dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Hal menarik dalam hal ini adalah adanya kecenderungan bagi warga masyarakat atau keluarga-keluarga yang mengalami KDRT tersebut untuk meminta para pelayan khusus (Pelsus) tersebut dapat memberikan jalan keluar terbaik. Walaupun juga dijumpai adanya kerja sama antara Ketua RT dan Kepala Lingkungan dengan para Pelayan Khusus (Pelsus) tersebut secara bersama-sama menganani KDRT yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

Hal ini menurut hemat penulis adalah penting untuk dilakukan kajian, karena bila dilihat dari aspek hukum, maka penanganan KDRT melalui para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM tersebut jelas kurang tepat, akan tetapi justru bagi warga masyarakat yang mengalami KDRT cenderung untuk meminta campur tangan permasalahan mereka kepada para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM. Sehingga apapun solusi yang dipandang baik bagi mereka yang berperkara, setelah bersama-sama mencari solusi dengan melibatkan peran serta para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM tersebut akan mereka laksanakan.

(5)

yang belum mengerti atau mengetahui dan memahami akan Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis merasa perlu dan tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan peran dari para Pelayan Khusus GMIM yang ada di Kelurahan Girian Indah, khususnya dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sehingga hal ini penting untuk diketahui dan dilakukan penelitian. Oleh karena itu dalam penelitian ini diusulkan judul yang diangkat adalah :

“Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga di Kelurahan Girian Indah.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Apakah Pelayan Khusus GMIM berperan dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah.

b. Seberapa besar Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah.

b. Untuk mengetahui seberapa besar Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah.

(6)

a. Sebagai bahan masukkan bagi pihak-pihak yang merasa berkepentingan dengan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, Pemerintah, Aparatur Penegak Hukum, Tokoh Agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, LSM, Organisasi Kemasyarakatan, Ibu-Ibu rumah Tangga, Suami, dan masyarakat pada umumnya. b. Sebagai bahan kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam

disiplin Sosiologi Keluarga atau Perkawinan, Sosiologi Gender dan Masalah Sosial Indonesia dan lebih khusus yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

1.4. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan dan penulisan karya tulis disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan, yang antara lain menguraikan tentang ; latar belakang; perumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitan; serta sistematika penulisan.

Bab II. Landasan Teoritis dan Hipotesa, yang antara lain menguraikan tentang; beberapa pengertian; Pelayan Khusus GMIM; Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); Perempuan dan kekerasan; Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; dan terakhir tentang Hipotesa Penelitian.

Bab III. Metodologi Penelitian, menguraikan tentang; Populasi dan Sampel; Variabel Penelitian; Teknik Pengumpulan Data; Teknik Analisa Data.

Bab IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan,

Bab V. Penutup, Bab terakhir ini menguraikan tentang ; Kesimpulan dan Saran.

(7)

LANDASAN TEORITIS DAN HIPOTESA

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1. Pelayan Khusus GMIM

Sebagaimana disebutkan dalam Tata Gereja GMIM tahun 2007 tentang Peraturan Dasar Bab VI Pasal 12 disebutkan sebagai berikut :

1. Yang dimaksud dengan Pelayan Khusus adalah anggota sidi jemaat yang menerima panggilan Yesus Kristus, untuk secara khusus melaksanakan pekerjaan pelayanan Gereja.

2. Penerimaan panggilan menjadi Pelayan Khusus adalah melalui pemilihan, penetapan, peneguhan, dan pemberian diri sepenuhnya untuk melengkapi seluruh anggota gereja guna pekerjaan pelayanan membangun Tubuh Kristus.

3. Pelayan khusus ialah Syamas, Penatua, Guru Agama dan Pendeta dengan tugas-tugas yang diatus dalam Peraturan Pelayan Khusus (BPS GMIM, 2007 ; 15).

2.1.2. Peran Pelayan Khusus GMIM

Sebagaimana diatur dalam Tata Gereja GMIM tahun 2007, Peraturan tentang Pelayan Khusus Bab II Pasal 3 tentang tugas Syamas :

1. bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan diakonia.

(8)

3. memberikan pertolongan rohani dan jasmani kepada anggota jemaat dan orang lain yang membutuhkannya, setelah berunding dengan rekan-rekan Syamas atau dengan Pelayan khusus lainnya.

4. membimbing dan memberi penyuluhan dengan perkataan maupun contoh kepada anggota jemaat dan masyarakat untuk hidup sehat secara fisik, psikis dan sosial. 5. membimbing dan melatih anggota jemaat bekerja sama dengan Pelayan Khusus

lainnya agar mereka mampu melaksanakan pelayanan diakonia karikatif dan pengembangan prakarsa masyarakat bagi perdamaian dan keadilan masyarakat dan untuk pengelolaan lingkungan hidup.

6. Bertanggung jawab atas pengelolaan, penerimaan, penggunaan dan pengeluaran segala sumber daya manusia dan alam yang dianugrahkan Tuhan untuk pelaksanaan tugas di bidang diakonia.

7. memberi pendapat untuk kerja sama dibidang pelaynan diakonia dengan jemaat GMIM dan jemaat Gereja lainnya, serta lembaga pemerintah dan masyarakat, dalam perundingan dengan rekan Pelayan Khusus (BPS GMIM, 2007 ; 102).

Sementara Tata Gereja GMIM tahun 2007, Peraturan tentang Pelayan Khusus Bab II Pasal 4 tentang tugas Penatua, adalah :

1. Memimpin pelayanan kesaksian, penggembalaan, penilikan dan disiplin gerejawi

(9)

3. Berkunjung kerumah-rumah tangga anggota jemaat untuk menggembalakan dan menilik agar tetap memelihara persekutuan dengan Tuhan Allah sambil memelihara rahasia jabatannya sebagai gembala.

4. Bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan pelayanan Firman Allah, ibadah-ibadah dan sakramen.

5. Bersama-sama dengan Guru Agama memimpin dan mengajarkan kepada anggota-anggota jemaat agar mereka dapat menggembalakan dan menyaklsikan imannya kepada masyarakat di sekitarnya.

6. Memberikan pendapat untuk kerja sama dibidang kesaksian dengan jemaat-jemaat GMIM lainnya maupun dengan Jemaat-jemaat Gereja lainnya dalam perundingan dengan rekan-rekan Penatua dan Pelayan Khusus lainnya (BPS GMIM, 2007 ; 103).

Dalam Tata Gereja GMIM tahun 2007 pada Bab II Pasal 5 disebutkan tugas Guru Agama adalah :

1. Bertanggungjawab atas pengajaran dan pendidikan mengenai ajaran, iman dan pengakuan gereja.

2. Bersama-sama dengan Komisi Pelayanan Kategorial Anak-anak melaksanakan pengajaran iman pada anak usia kanak-kanak sampai Sekolah Dasar melalui Sekolah Minggu.

3. Bersama-sama dengan Komisi Pelayanan Kategorial remaja melaksanakan pengajaran iman pada remaja.

4. Bersama-sama dengan Pendeta melaksanakan pelayanan katekisasi, dan memperlengkapi semua anggota jemaat.

(10)

6. Melaksanakan tugas pengajaran dan pendidikan mengenai ajaran, iman dan pengakuan gereja di sekolah-sekolah.

7. Bersama-sama Pendeta memberikan pendapat untuk kerjasama di bidang pengajaran dan pendidikan tentang ajaran, iman dan pengakuan dengan jemaat-jemaat GMIM lainnya dan Gereja-Gereja lainnya.

8. Tugas - tugas lainnya yang dipercayakan oleh Badan Pekerja Sinode, sebagaimana diatur dalam Peraturan tentang Pekerja Tetap (BPS GMIM, 2007 ; 104).

Untuk tugas Pendeta sebagaimana Tata Gereja GMIM Tahun 2007 Bab II Pasal 6 adalah :

1. Bertanggung jawab atas pengajaran dan pendidikan mengenai ajaran, iman dan pengakuan gereja serta melayani pemberitaan Firman Allah dan sakramen-sakramen.

2. Bersama-sama dengan Pelayan Khusus lainnya bertanggung jawab atas pelaksanaan semua ibadah dalam jemaat.

3. Mengadakan perkunjungan penggembalaan dan percakapan penggembalaan kepada anggota jemaat dan Pelayan Khusus lainnya, sambil memegang rahasia jabatan sebagai gembala.

4. Bersama-sama dengan Pelayan Khusus lainnya menyelenggarakan pelayanan penggembalaan, penilikan dan disiplin gerejawi.

(11)

6. Bersama – sama dengan Guru Agama dan Komisi Pelayanan Anak - anak melaksanakan pengajaran dan pendidikan Sekolah Minggu.

7. Bersama-sama dengan Guru Agama dan Komisi Pelayanan Remaja melaksanakan pelayanan kepada Remaja.

8. Melaksanakan pelayanan katekisasi.

9. Bersama-sama Pelayan Khusus lainnya merencanakan dan melaksanakan Pembinaan Warga Gereja secara menyeluruh.

10. Bersama-sama dengan Syamas melaksanakan diakonia dalam segala bentuknya. 11. Memberikan pendapat untuk kerja sama dibidang pengajaran dan pendidikan

tentang ajaran, iman, dan pengakuan dengan Jemat-Jemaat GMIM lainnya dan Gereja-Gereja lainnya.

12. Bersama – sama dengan Syamas dan Penatua membicarakan dan melaksanakan hubungan kerja dengan Jemaat-Jemaat GMIM, Gereja-Gereja, Pemerintah dan masyarakat yang meliputi segala bidang pelayanan gereja

13. Menjadi pelayan masyarakat.

14. Tugas-tugas lainnya yang dipercayakan oleh Sidang Sinode atau Badan Pekerja Tetap, Bab II Pasal 2 ayat 1 (BPS GMIM, 2007 ;104-105).

Dalam Bab II Pasal 7 juga disebutkan Tugas Pelayan Khusus dalam tugas umum, antara lain :

1. Pelayan Khusus dapat ditugaskan dalam pelayanan seluruh GMIM.

2. Pelayan Khusus Pendeta dapat menjalankan tugas pelayanan sebagai Tenaga Utusan Gereja (TUG) seperti dalam Peraturan tentang Sinode Bab VIII Pasal 24.

(12)

2.2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaran atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (UU RI No 23, 2004 ; 33).

Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam Bab III Pasal 5 bahwa “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau

d. Penelantaran rumah tangga (UU RI No 23, 2004 ; 15).

Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan seksual sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

(13)

Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Keberadaan dari pada Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah bertujuan sebagaimana dinyatakan pada Bab II Pasal 4 yang menyatakan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :

a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (UU NO 23, 2004; 14).

Tujuan sebagaimana tersebut diatas, maka dalam implementasinya adalah merupakan fungsi dari pada UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut.

a. Pencegahan

Pencegahan terhadap kekerasan dalam rumah tangga ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 pada penjelasan umum yang menyatakan bahwa pencegahan, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, maka Negara dan masyarakat wajib melaksanakannya sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD RI tahun 1945, dimana Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi (UU RI No 23, 2004 ; 33).

(14)

b. Perlindungan

Perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan (UU RI No 23, 2004 ; 13).

Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan(UU RI No 23, 2004 ; 13).

Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (UU RI No 23, 2004 ; 13).

Sebagaimana terdapat dalam Pasal 28H ayat 2 UUD RI tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Dalam pasal 28H ayat 2 disebutkan bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” (UU RI No 23, 2004 ; 33).

Bentuk perlindungan secara operasional sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 pada Bab VI Pasal 16 hingga Pasal 38.

c. Penindakan

(15)

Bentuk penindakkan terhadap kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dinyatakan pada Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 dalam Bab VIII Ketentuan Pidana mulai dari Pasal 44 hingga Pasal 53.

2.3. Perempuan dan Kekerasan

Kekerasan (Violence) adalah suatu serangan (assault) baik terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia bisa terjadi karena macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan perempuan. Kekerasan semacam itu disebut gender related violence, yang pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat. Banyak macam kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan perempuan yang dilakukan mulai dari tingkat rumah tangga sampai kepada tingkat negara, antara lain:

1. Perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa ada kerelaan dari yang bersangkutan. Meskipun ketidakrelaan ini acapkali tidak terekspresikan karena berbagai faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan ekonomi, sosial, dan kultural, bahkan tidak jarang karena adanya ancaman tertentu.

(16)

3. Penyiksaan organ alat kelamin (genital mutilation), seperti penyunatan terhadap anak perempuan, yang salah satu alasannya adalah untuk mengontrol perempuan.

4. Prostitusi atau pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan karena suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan. Masyarakat dan negara acapkali memandang pekerja seksual selalu menggunakan standar ganda, artinya di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkapi pekerja seksual, namun di sisi lain negara juga menarik pajak dari pekerja seksual. Selain itu, pekerja seksual dianggap rendah oleh masyarakat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja seksual selalu ramai dikunjungi orang.

5. Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Hal ini disebut pornografi.

(17)

7. Kekerasan terselubing (molestation). Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terselubung (molestation), misalnya memegang atau menyentuh bagian tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaannya. Jenis kekerasan terselubung ini dapat terjadi di tempat kerja, tempat umum seperti dalam bus dan sebagainya. Pelecehan seksual ini juga sering terjadi di tempat umum, seperti dalam bus kota dan lain sebagainya. 8. Kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dan sering terjadi dan

dilakukan dalam masyarakat adalah berupa pelecehan seksual ( sexual and emotional harassment). Jenis kekerasan semacam ini yang banyak terjadi adalah unwanted attention from men. Selain itu, pelecehan juga terjadi dalam bentuk lelucon jorok secara vulgar dan ofensif di hadapan kaum perempuan, menyakiti, atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya dalam struktur organisasi kerja, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh/menyenggol bagian tubuh tanpa serela atau tanpa seizin yang bersangkutan. Kasus pelecehan seksual yang terjadi terhadap buruh perempuan juga bukan rahasia lagi (Tempo,2010; 39).

(18)

Jika keluarga tidak dapat menjaga keutuhannya, maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami apa yang dinamakan broken home. Yang dimaksud dengan keutuhan keluarga, yaitu keutuhan struktur dalam keluarga di mana dalam keluarga, di samping adanya seorang ayah, juga adanya seorang ibu beserta anak-anaknya. Selain itu, juga adanya keharmonisan dalam keluarga di mana di antara anggota keluarga itu saling bertemu muka dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam keluarga yang broken home, di mana sering terjadi percekcokan di antara orang tua dan sikap saling bermusuhan disertai tindakan-tindakan yang agresif, maka dengan sendirinya keluarga yang bersangkutan akan mengalami kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga yang sebenarnya.

Kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga dapat disebabakan karena beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang menyebabakannya, antara lain: 1. Faktor pribadi, di mana suami-istri kurang menyadari akan arti dan fungsi

perkawinan yang sebenarnya. Misalnya, sifat egoisme, kurang adanya toleransi, kurang adanya kepercayaan satu sama lain.

2. Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa di antaranya adalah:

a. Kehadiran terus-menerus dari salah satu orang tua baik dari pihak suami atau istri mereka.

b. Karena istri bekerja dan mendambakan kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya.

c. Tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah.

d. Suami-istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar.

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas inilah yang menyebabakan fungsi-fungsi keluarga tidak dapat berjalan semestinya, antara lain:

(19)

2. Fungsi pemeliharaan, di mana orang tua kehilangan atau kurang menjadi kebutuhan psikologis anak;

3. Fungsi sosialisasi, di mana anak-anak menjadi terlantar akibat kurang mendapat perhatian orang tua; serta

4. Fungsi-fungsi keluarga lainnya yang tidak dapat dijalankan dangan baik.

Selain hal-hal di atas yang menyebabkan broken home, masih ada faktor-faktor yang dapat untuk menghindari terjadinya broken home terutama ialah kokohnya perkawinan dalam keluarga dan menghindari gangguan-gangguan dalam keluarga.

Sebagaimana fungsi keluarga antara lain disebutkan :

1. Fungsi biologis, dimana keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, tempat pembentukan manusia baru, yang merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat.

2. Fungsi Afeksi, dimana adanya hubungan social yang penuh dengan kemesraan dan kasih saying.

3. Fungsi proteksi, yakni perlindungan secara fisik, ekonomis, dan psikologis.

4. Fungsi pengaturan seksual, dimana keluarga merupakan lembaga utama yang merupakan wahana untuk mengatur dan mengorganisir kepuasan / keinginan melalui tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap perilaku seksual.

5. Fungsi sosialisasi (proses belajar), menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak (Ngenget, 2003 ;45-46).

Sebagaimana dalam buku membangun keluarga sejahtera dikemukakan 8 fungsi keluarga yaitu :

(1). Fungsi keagamaan, keluarga diharapkan mampu berfungsi sebagai wahana untuk menciptakan seluruh anggota menjadi insan-insan agamais yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(2). Fungsi Sosial Budaya, keberadaan keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan kekayaan sosial budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

(20)

setiap anggota keluarga, antar kekerabatan serta antar generasi merupakan dasar terciptanya keluarga yang harmonis.

(4). Fungsi melindungi, keluarga diharapkan berfungsi sebagai tempat perlindungan yang memberikan rasa aman, tentram, lahir dan batin sejak janin dalam kandungan sampai lanjut usia.

(5). Fungsi reproduksi, setiap pasangan suami-istri yang diikat dengan perkawinan yang sah diharapkan dapat memberikan keturunan yang berkualitas, sehingga dapat menjadi insan pembangunan yang handal dimasa yang akan datang.

(6). Fungsi mendidik dan sosialisasi, keluarga diharapkan mampu berfungsi menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak dalam menumbuh-kembangkan kekuatan fisik, mental, sosial dan spiritual secara serasi, selaras dan seimbang. (7). Fungsi ekonomi, keluarga diharapkan mampu berfungsi meningkatkan ketrampilan

dalam usaha ekonomis produktif, sehingga tercapainya upaya peningkatan pendapatan keluarga guna memenuhi kebutuhan keluarga.

(8). Fungsi Pelestarian Lingkungan, keluarga juga diharapkan mampu menempatkan diri dalam lingkungan sosial-budaya dan lingkungan alam yang dinamis secara serasi, selaras, dan seimbang (BKKBN, 1996 ; 6-9)

2.4. Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(21)

Dalam Pasal 14 disebutkan sebagai berikut : Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (UU No. 23 tahun 2004; 4).

Selanjutnya dalam Pasal 15 disebutkan sebagai berikut : Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan kepada korban; c. Memberikan pertolongan darurat; dan

d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (UU No. 23 tahun 2004; 4).

Sehingga peran yang dilakukan oleh para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM yang ada di GMIM Moria Kelurahan Girian Indah dalam kaitannya dengan penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) antara lain ; melakukan pencegahan, memberikan perlindungan; dan memberikan pertolongan darurat.

a. Melakukan pencegahan

Dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maka para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM Moria Kelurahan Girian Indah yang pertama-tama adalah melakukan pencegahan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, dengan melakukan pencegahan ini berarti para Pelayan Khusus berupaya agar permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak akan mengarah pada tindak pidana KDRT yang lebih parah lagi.

(22)

memberikan nasehat yang dapat dimengerti dan dipahami oleh anggotanya, termasuk yang mengalami permasalahan rumah tangganya.

Disamping itu para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM terpanggil untuk melakukan perannya dalam pencegahan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selain sebagai bentuk solidaritas terhadap anggota jemaatnya, tetapi juga didorong oleh factor lainnya bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan Perbuatan melanggar hak asasi manusia, Kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan Pembuatan yang merupakan bentuk diskriminasi, yang tindak harus terjadfi dalam kehidupan rumah tangga, terutama rumah tangga Kristen yang seharusnya mengedepankan akan kasih mengasihi antar sesama terlebih anggota keluarganya.

Pencegahan terhadap kekerasan dalam rumah tangga ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 pada penjelasan umum yang menyatakan bahwa pencegahan, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, maka Negara dan masyarakat wajib melaksanakannya sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD RI tahun 1945, dimana Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi (UU RI No 23, 2004 ; 33).

(23)

yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk melakukan pencegahan, perlindungan dan pertolongan. Karena tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk perbuatan yang melanggar hak asasi manusia, disamping itu juga merupakan bentuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan diskriminasi.

b. Memberikan perlindungan

Dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maka para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM Moria Kelurahan Girian Indah setelah melakukan pencegahan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, adalah dengan memberikan perlindungan terhadap korban atau kemungkinan adanya korban dari tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM dalam memberikan perlindungan terhadap korban atau pihak yang dirugikan dalam terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selalu berpatokan akan tugas dan tanggungjawabnya selaku warga masyarakat yang peduli terhadap masalah kemanusiaan. Perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan (UU RI No 23, 2004 ; 13).

(24)

Dalam perannya memberikan perlindungan terhadap korban tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maka para Pelayan Khusus terpanggil untuk melakukan sesuatu yang dirasakan positif dan penting bagi korban dan juga keutuhan keluarga agar jangan sampai terjadi hal yang lebih buruk lagi. Dan sedapat mungkin keluarga yang bermasalah ini dapat menyelesaikan permasalahannya dengan baik dan keluarganya dapat bersatu rukun kembali dalam kondisi yang selalu damai sejahtera.

c. Memberikan pertolongan dan doa

Peran pelayan khusus (Pelsus) GMIM dalam hal memberikan pertolongan dan doa kepada keluarga yang mengalami permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, dimaksudkan untuk memberikan solusi atau jalan keluar yang terbaik berdasarkan kesepakatan musyawarah bersama, sambil melakukan kunjungan, penilikan dan penggembalaan serta melakukan pelayanan doa.

Pada Bab VI Perlindungan Pasal 24 disebutkan bahwa dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban (UU RI No 23, 2004 ; 16).

(25)

(KDRT) merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia, disamping itu juga merupakan bentuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan diskriminasi.

2.5. Hipotesa

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel

3.1.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan karakteristik yang menjadi obyek dalam penelitian, yakni seluruh anggota masyarakat yang telah berumah tangga atau berkeluarga yang berada di Kelurahan Girian Indah. Berdasarkan data Kantor Kelurahan Girian Indah pada akhir Desember 2014 bahwa jumlah Kepala Keluarga adalah 764 KK. Sementara itu di Kelurahan Girian Indah terdapat 3 (tiga) Gereja GMIM yakni; GMIM Kharisma, GMIM Solafide dan GMIM Moria. Dalam penelitian ini penulis hanya mengambil di lingkup GMIM Moria, dengan 11 Kolom, sehingga jumlah Pelsus yang ada adalah 3 orang Pendeta, dan 22 Penatua dan Syamas, serta 5 Pnt BIPRA. Sehingga jumlah Pelasus GMIM yang ada di GMIM Moria adalah sebanyak 30 orang.

3.1.2. Sampel

(27)

mengalami kekerasan dalam rumah tangga, serta para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM Moria Kelurahan Girian Indah.

Alasan untuk menggunakan sampel bertujuan atau purposive sampling karena responden yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini cukup jelas karakteristiknya, yakni anggota masyarakat yang sudah berkeluarga atau berumah tangga dan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, dan para pelayan khusus GMIM. Adapun jumlah anggota sampel dalam penelitian ini yang diambil sebanyak 125 orang yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga di Kelurahan Girian Indah. 3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.2.1. Variabel Penelitian

3.2.1.1. Variabel bebas (X) : Peran Pelayan Khusus GMIM Dari variabel ini, maka indikatornya adalah :

a. Melakukan pencegahan b. Memberikan perlindungan

c. Memberikan pertolongan dan doa

3.2.1.2. Variabel terikat (Y) : Kekerasan Dalam Rumah Tangga Indikator dari variabel terikat ini adalah : Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM sebagai bentuk tugas dan tanggungjawabnya dalam hal ; Melakukan pencegahan; Memberikan perlindungan; Memberikan pertolongan dan doa

(28)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Angket (Quesioner), yakni daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden yakni para pelayan khusus GMIM dan anggota masyarakat yang sudah berkeluarga atau berumah tangga, baik laki-laki atau perempuan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini.

3.4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data dalam penelitian ini adalah analisa statistik dengan menggunakan teknik analisa Korelasi Produk Moment (Karl Pearsons), dan untuk mengetahui besarnya koefisien korelasi antara variabel X terhadap variabel Y, maka dalam perhitungannya digunakan rumus sebagai berikut :

n .  XY - ( X) ( Y)

rxy = _____________________________________  n. ( X² ) - ( X)² n. ( Y² ) - ( Y) ² 

(Sudjana, 1999 ; 36) Keterangan :

rxy = Besarnya pengaruh variabel X terhadap variabel Y n = Jumlah sampel atau responden dalam penelitian

X = Frekuensi Jawaban responden atas pertanyaan pada varaiabel X Y = Frekuensi Jawaban responden atas pertanyaan pada variabel Y.

(29)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang berhubungan dengan judul penelitian, yaitu “Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah”. Setelah data dan keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan penelitian ini diperoleh, kemudian peneliti mengadakan pengecekan, klasifikasi dan identifikasi atas semua data yang diperoleh, yang selanjutnya dilakukan suatu penilaian atau skoring atas data pada angket (Quesioner) yang diedarkan dan yang terkumpul.

Kemudian data tersebut diolah melalui tabulasi dan pembuatan tabel-tabel sebagaimana pada bab ini. Pada bab ini akan menguraikan tentang tabel kerja tentang hasil penelitian Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah, yang dapat dijelaskan serta disajikan sebagai berikut ini.

(30)

jumlah sampel atau responden, jadi kolom ini memuat tentang banyaknya sampel dalam penelitian adalah 150 orang responden.

Kolom kedua atau kolom X, merupakan kolom yang memuat hasil scoring atau perhitungan atas nilai pada tiap-tiap angket pada variable X yang telah diisi oleh para responden. Dimana setiap angket pada variabel X tersebut terdiri atas 9 pertanyaan dan responden tinggal memberi pilihan atas empat jawaban yang tersedia dan tinggal memberi tanda silang (X) pada huruf atau abjad di depan jawaban. Penilaian dilakukan berdasarkan nilai atau scor atas setiap jawaban yang diberikan responden. Dimana bila jawaban pada huruf a diberi nilai 4, huruf b dinilai 3, huruf c dinilai 2 dan huruf d dinilai 1 (untuk jawaban yang terdiri atas empat pilihan), tetapi bila pilihannya hanya tiga jawaban, misal a dinilai 3, b dinilai 2, dan c dinilai 1. Setiap nilai dari nomor 1 hingga 9 pertanyaan yang ada selanjutnya dijumlahkan dan akan diperoleh score akhir untuk setiap angket pada variabel X. Misalnya untuk angker pertama pada responden pertama atau n=1 diperoleh nilai 33, maka nilai tersebut dimasukkan pada tabel kerja untuk n =1 pada kolom X, demikian seterusnya hal ini dilakukan hingga pada n =150.

Kolom ketiga atau kolom Y, adalah kolom untuk data yang diperoleh dari penjumlahan pada setiap angket yang berhubungan dengan variabel Y, yang prinsipnya sama dengan pengisian pada kolom X. Pada angket untuk variabel Y ini jumlah pertannyaan juga 9. Misalnya pada angket pertama (n =1) diperoleh jumlah nilai atau scor 30, maka nilai ini dimasukkan pada kolom Y pada baris pertama, demikian seterusnya dilakukan hingga pada n =150.

(31)

kali antara X x X atau 33 x 33 = 1089. Hal ini juga dilakukan untuk semua nilai dari n = 1 sampai n = 150 pada data kolom keempat.

Kolom kelima atau kolom Y², pada kolom ini memuat angka yang merupakan jumlah dari hasil kali dari nilai pada kolom Y pada baris yang sama. Misalnya pada kolom Y pada baris pertama nilai Y = 34, maka kolom keempat ini diisi dengan Y² hasil kali antara Y x Y atau 30x 30 = 900. Hal ini juga dilakukan untuk semua nilai dari n = 1 sampai n = 150 pada data kolom kelima.

Kolom keenam atau kolom XY, pada kolom ini memuat angka yang merupakan jumlah dari hasil kali antara nilai pada kolom kedua atau kolom X dengan kolom ketiga atau kolom Y pada baris yang sama. Misalnya pada baris pertama nilai X = 27 dan nilai Y = 30, maka 33 x 30 = 990, niliai ini dimasukkan pada kolom XY pada baris pertama, demikian seterusnya dilakukan untuk kolom XY ini mulai dari baris pertama n = 1 sampai n = 150 pada data kolom keenam.

Selanjuynya penulis perlu menjelaskan bahwa pada tabel kerja tersebut pada baris teakhir akan diperoleh jumlah nilai kumulatif dari tiap-tiap kolom yang ada (kolom 2 s/d kolom 6), yang merupakan hasil penjumlahan seluruh nilai pada tiap-tiap kolom. Nilai kumulatif ini dipergunakan untuk memecahkan rumus Korelasi produk Moment, guna mendapatkan besarnya nilai r dan r², berikut ini :

TABEL 1

Hasil Perhitungan Skor Pendapat Responden Atas Variabel X dan Variabel Y

N X Y XY

1 36 34 1296 1156 1224

2 34 32 1156 1024 1088

(32)
(33)
(34)
(35)

119 32 31 1024 961 992

Sumber Data : Hasil Pengolahan Data Hasil Penelitian, Agustus-September 2014

(36)

n = 150 ∑ X² = 171025

∑ X = 5045 ∑ Y² = 172762

∑ Y = 5084 ∑ XY = 171527

Dengan data tersebut maka diperoleh perhitungan untuk analisa korelasi produk momen sebagai berikut :

n . ∑ XY - ( ∑ X ) ( ∑ Y ) rxy =

√ { n (∑ X²) - ( ∑ X )² }{n ( ∑ Y²) - (∑ Y)² }

150 . 171527 - 5045 . 5084 rxy =

√ { 150 . 171025 - (5045 )² }{150 .172762 - (5084)² }

25729050 - 25648780 rxy =

√ {25653750 - 25555405}{25914300 - 25847056)

80270 rxy =

√ ( 98345 ) ( 67244 )

80270 =

√ 6613111180

80270 =

81321,0377

(37)

rxy = 0,987

Untuk mengetahui besarnya daya penentu (determinasi) dari variabel X terhadap variabel Y, maka diperoleh perhitungan untuk besarnya r² adalah sebagai berikut : r² = rxy x rxy x 100 % = 0,987 x 0,987 x 100 % = 0,97416

r² = 0,974 atau 97,4 %.

Dari hasil pengolahan data tersebut diatas, maka untuk mengetahui bahwa “Pelayan Khusus GMIM berperan dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah”, dan besarnya daya penentu (determinasi) yang meyakinkan dari “Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah”.

Berdasarkan hipotesa yang telah dirumuskan, yaitu : Pelayan Khusus GMIM berperan dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah”.

Dengan taraf signifikansi () = 0,05 dan () = 0,01 maka dengan kreteria pengujian signifikasi korelasi, yaitu :

Ha : Signifikan Ho : Tidak signifikan

Jika - r tabel  r hitung r tabel, maka Ho ditolak atau korelasinya tidak signifikan.

Dengan dk = n – 2 = 150 – 2 = 148, maka diperoleh besarnya r tabel untuk  = 0,05 adalah 0,134 dan untuk () = 0,01 adalah 0,189 (Usman, 1995; 318)

(38)

Sehingga dapat dikatakan bahwa Hipotesa yang menyatakan “Pelayan Khusus GMIM berperan dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah” adalah dapat diterima dan terbukti.

Selanjutnya berdasarkan perhitungan besarnya daya determinasi / r² = 0,9741 atau 97,41 % hal ini juga menunjukkan bahwa besarnya daya penentu (determinasi) dari “Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah” adalah sebesar 0,9741 atau 97,41 %. Sedangkan sisanya 2,59 % ditentukan oleh faktor lainnya yang diluar dari penelitian ini.

Sehingga hipotesa yang menyatakan “Terdapat daya penentu (determinasi) yang meyakinkan dari Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah adalah dapat terbukti dan diterima.

4. 2. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis data hasil penelitian tersebut, dengan menggunakan analisa korelasi produk momen, diperoleh hasil dimana hipotesa yang sebagaimana telah dirumuskan adalah dapat terbukti dan diterima, baik mengenai besarnya koefisien korelasi rxy dari “Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah”. Maupun tentang besarnya koefisien determinasi (daya penentu) atau r²xy dari Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah.

(39)

merupakan suatu dambaan setiap keluarga kristen. Sehingga peran dari Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM, khususnya di Jemaat GMIM Moria di Kelurahan Girian Indah merupakan bentuk kepedulian dan pelayanannya kepada anggota jemaat, khususnya keluarga-keluarga yang mengalami permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh besarnya koefisien korelasi rxy = 0,987 atau 98,7 % serta besarnya nilai koefisien determinasi (daya penentu) r²xy = 0,9741 atau 97,41 %. Maka hasil tersebut bila dikonsultasikan dengan tabel interprestasi untuk nilai r adalah sebagai berikut :

Sehingga berdasarkan tabel interpretasi nilai r dapat dikatakan bahwa dengan hasil penelitian diperoleh besarnya koefisien korelasi rxy = 0,987 yang berarti besarnya korelasi antara Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah adalah tinggi. Sedangkan untuk besarnya daya determinasi (koefisien korelasi) r²xy = 0,9741 atau 97,41 % adalah tinggi.

(40)

di Kelurahan Girian Indah, terutama bagi warga atau anggota jemaatnya, adalah wujud dari rasa tanggung jawab dan solidaritas terhadap kemanusiaan. Baik secara langsung maupun tidak langsung para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM tersebut datang pada keluarga yang bermasalah atau didatangi oleh keluarga tersebut untuk dapat memberikan jalan keluar permasalahan yang mereka alami, sambil melakukan pelayanan penggembalaan, penilikan dan pembinaan warga gereja.

Selain itu kehadiran para Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM dalam memberikan perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga ini juga dilandasi oleh adanya pemahaman bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk perbuatan melanggar hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta pembuatan yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap sesama manusia. Sehingga dengan adanya upaya memberikan perlindungan terutama terhadap korban dari tindak kekerasan dalam rumah tangga, juga untuk menyelamatkan kehidupan rumah tangga atau keluarga mereka.

(41)

BAB V P E N U T U P 5.1. Kesimpulan

Dengan memperhatikan uraian dan pembahasan hasil penelitian tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

(42)

Khusus GMIM – melalukan pencegahan, perlindungan dan pertolongan serta doa) terhadap variabel Y (Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah sebesar

r

xy = 0,987 atau 98,7% adalah tinggi. Sedangkan sisanya yang 1,3 % ditentukan

oleh faktor lainnya yang diluar dari penelitian ini.

b. Dari hasil penelitian diperoleh besarnya daya penentu (determinasi) antara variabel X (Peran Pelayan Khusus GMIM) terhadap variabel Y (Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah sebesar r²xy = 0,9741 atau 97,41 % adalah tinggi. Artinya bahwa penanganan kekerasan dalam rumah tangga anggota jemaat GMIM Moria di Kelurahan Girian Indah oleh karena peran yang dilakukan oleh Pelayan Khusus (Pelsus) GMIM melalui kegiatan seperti; pencegahan, perlindungan dan pertolongan serta doa. Sedangkan sisanya yang 2,59 % ditentukan oleh faktor lain diluar dari penelitian ini.

5.2. Saran-saran

Dari hasil penelitian di lapangan yang berkaitan dengan Peran Pelayan Khusus GMIM dalam Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kelurahan Girian Indah , maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut :

a. Perlu lebih dilakukan sosialisasi atas Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang lebih giat lagi, melalui kerja sama dengan pihak-pihak terkait yang secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, terutama tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan LSM serta organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

BPS GMIM 1999, Tata Gereja (Gereja Masehi Injili di Minahasa), BPS GMIM, Cetakan Pertama, Tomohon.

BKKBN 1996, Membangun Keluarga Sejahtera, Jakarta.

……… 1996, Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan KB dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Jakarta.

Johnson.Doyle Paul, 1989, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, jilid 2, PT. Gramedia, Jakarta.

(44)

Poerwadarminta, W.J.S. 2000, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Cetakan 2, Jakarta.

Soekanto, Soerjono 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-43 Jakarta

Sudjana, 1999, Teknik Analisa Regresi dan Korelasi, Tarsito, Bandung. Tempo, 2010, Merebaknya Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

PT. Tempo Group, Jakarta.

Usman, Husaini, 1995, Pengantar Statistika, Aksara, Cetakan Keempat, Jakarta. UU RI No 23 2004, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, CV.

Nuansa Aulia, Bandung.

CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap : RIA KAROLINA MAILOOR

NPM : 11 01 1220

Tempat tanggal Lahir : Bitung, 26 Januari 1990 Agama : Kristen Protestan Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Nama Anak : CLARA ELSA LENGKONG Nama Ayah : BENNY E. MAILOOR. S.ST Nama Ibu : DEETJE E. ROTTIE

(45)

Alamat : Kelurahan Girian Indah, Lingk III, Kecamatan Girian, Kota Bitung.

Pendidikan Formal : 1. SD Katholik di Bitung, tamat tahun 2001 2. SMP Negeri 2 di Bitung, tamat tahun 2004

3. SMA Negeri 2 Bitung di Bitung, tamat tahun 2007. 4. Tahun 2011 Kuliah di STISIP Merdeka Manado

Pendidikan Nonformal : Kursus Komputer di Visikom Bitung, Tahun 2008

2.2 Perempuan dan Kekerasan

(46)

1. Perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa ada kerelaan dari yang bersangkutan. Meskipun ketidakrelaan ini acapkali tidak terekspresikan karena berbagai faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan ekonomi, sosial, dan kultural, bahkan tidak jarang karena adanya ancaman tertentu.

2. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk kekerasan dalam rumah tangga ini adalah kekerasan atau penyiksaan terhadap anak (child abuse).

3. Penyiksaan organ alat kelamin (genital mutilation), seperti penyunatan terhadap anak perempuan, yang salah satu alasannya adalah untuk mengontrol perempuan.

4. Prostitusi atau pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan karena suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan. Masyarakat dan negara acapkali memandang pekerja seksual selalu menggunakan standar ganda, artinya di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkapi pekerja seksual, namun di sisi lain negara juga menarik pajak dari pekerja seksual. Selain itu, pekerja seksual dianggap rendah oleh masyarakat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja seksual selalu ramai dikunjungi orang.

(47)

6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Keluarga Berencana di banyak masyarakat menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Karena untuk memenuhi target dalam mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan acapkali dijadikan korban demi suksesnya program tersebut, meskipun kita semua tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan juga berasal dari kaum lelaki. Namun karena telah terjadi bias gender, maka perempuan yang dipaksa untuk melakukan sterilisasi, meskipun sering kali membahayakan perempuan baik seca fisik maupun kejiwaan.

7. Kekerasan terselubing (molestation). Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terselubung (molestation), misalnya memegang atau menyentuh bagian tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaannya. Jenis kekerasan terselubung ini dapat terjadi di tempat kerja, tempat umum seperti dalam bus dan sebagainya. Pelecehan seksual ini juga sering terjadi di tempat umum, seperti dalam bus kota dan lain sebagainya. 8. Kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dan sering terjadi dan

(48)

bagian tubuh tanpa serela atau tanpa seizin yang bersangkutan. Kasus pelecehan seksual yang terjadi terhadap buruh perempuan juga bukan rahasia lagi.

Semua orang menganggap bahwa perkawinan itu merupakan hal yang sakral dan diberkati oleh kaum ulama, biasanya perkawinan ini hanya dapat berakhir karena kematian. Berdasarkan anggapan inilah maka setiap keluarga berusaha untuk menjaga keutuhan keluarganya, karena salah satu faktor yang mempengaruhi jalannya fungsi-fungsi keluarga adalah kebutuhan dari keluarga.

Jika keluarga tidak dapat menjaga keutuhannya, maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami apa yang dinamakan broken home. Yang dimaksud dengan keutuhan keluarga, yaitu keutuhan struktur dalam keluarga di mana dalam keluarga, di samping adanya seorang ayah, juga adanya seorang ibu beserta anak-anaknya. Selain itu, juga adanya keharmonisan dalam keluarga di mana di antara anggota keluarga itu saling bertemu muka dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam keluarga yang broken home, di mana sering terjadi percekcokan di antara orang tua dan sikap saling bermusuhan disertai tindakan-tindakan yang agresif, maka dengan sendirinya keluarga yang bersangkutan akan mengalami kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga yang sebenarnya.

Kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga dapat disebabakan karena beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang menyebabakannya, antara lain: 3. Faktor pribadi, di mana suami-istri kurang menyadari akan arti dan fungsi

perkawinan yang sebenarnya. Misalnya, sifat egoisme, kurang adanya toleransi, kurang adanya kepercayaan satu sama lain.

4. Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa di antaranya adalah:

(49)

f. Karena istri bekerja dan mendambakan kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya.

g. Tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah.

h. Suami-istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar.

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas inilah yang menyebabakan fungsi-fungsi keluarga tidak dapat berjalan semestinya, antara lain:

5. Fungsi kebutuhan seks dan reproduksi, yaitu suami-istri tidak kerasan tinggal di rumah serta timbul sikap dingin dan masa bodoh dari pihak istri dalam memenuhi kebutuhan seksual;

6. Fungsi pemeliharaan, di mana orang tua kehilangan atau kurang menjadi kebutuhan psikologis anak;

7. Fungsi sosialisasi, di mana anak-anak menjadi terlantar akibat kurang mendapat perhatian orang tua; serta

8. Fungsi-fungsi keluarga lainnya yang tidak dapat dijalankan dangan baik.

Selain hal-hal di atas yang menyebabkan broken home, masih ada faktor-faktor yang dapat untuk menghindari terjadinya broken home terutama ialah kokohnya perkawinan dalam keluarga dan menghindari gangguan-gangguan dalam keluarga.

Sebagaimana fungsi keluarga antara lain disebutkan :

6. Fungsi biologis, dimana keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, tempat pembentukan manusia baru, yang merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat.

7. Fungsi Afeksi, dimana adanya hubungan social yang penuh dengan kemesraan dan kasih saying.

8. Fungsi proteksi, yakni perlindungan secara fisik, ekonomis, dan psikologis.

9. Fungsi pengaturan seksual, dimana keluarga merupakan lembaga utama yang merupakan wahana untuk mengatur dan mengorganisir kepuasan / keinginan melalui tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap perilaku seksual.

10. Fungsi sosialisasi (proses belajar), menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak (Ngenget, 2003 ;45-46).

(50)

(1). Fungsi keagamaan, keluarga diharapkan mampu berfungsi sebagai wahana untuk menciptakan seluruh anggota menjadi insan-insan agamais yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(2). Fungsi Sosial Budaya, keberadaan keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan kekayaan sosial budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

(3). Fungsi Cinta dan Kasih Sayang, keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal- balik rasa cinta dan kasih saying antara setiap anggota keluarga, antar kekerabatan serta antar generasi merupakan dasar terciptanya keluarga yang harmonis.

(4). Fungsi melindungi, keluarga diharapkan berfungsi sebagai tempat perlindungan yang memberikan rasa aman, tentram, lahir dan batin sejak janin dalam kandungan sampai lanjut usia.

(5). Fungsi reproduksi, setiap pasangan suami-istri yang diikat dengan perkawinan yang sah diharapkan dapat memberikan keturunan yang berkualitas, sehingga dapat menjadi insan pembangunan yang handal dimasa yang akan datang.

(6). Fungsi mendidik dan sosialisasi, keluarga diharapkan mampu berfungsi menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak dalam menumbuh-kembangkan kekuatan fisik, mental, sosial dan spiritual secara serasi, selaras dan seimbang. (7). Fungsi ekonomi, keluarga diharapkan mampu berfungsi meningkatkan ketrampilan

dalam usaha ekonomis produktif, sehingga tercapainya upaya peningkatan pendapatan keluarga guna memenuhi kebutuhan keluarga.

(8). Fungsi Pelestarian Lingkungan, keluarga juga diharapkan mampu menempatkan diri dalam lingkungan sosial-budaya dan lingkungan alam yang dinamis secara serasi, selaras, dan seimbang (BKKBN, 1996 ; 6-9)

(51)

Seperti diketahui bahwa putusnya satu perkawinan disebabkan karena salah satu meninggal dunia atau karena perceraian. Mengenai perceraian, ada masyarakat yang menizinkan berdasarkan kebudayaan, akan tetapi pada umumnya hampir semua masyarakat menentangnya, terutama dari mereka yang menganut agama kristen. Mereka beranggapan bahwa perkawinan hanya dapat diputuskan apabila salah satu dari suami-istri meninggal dunia. Pada umumnya kebudayaan primitif mengizinkan perceraian tanpa mengenal prosedur yang menyulitkan, akan tetapi ada juga kebudayaan primitif yang melarang sama sekali adanya perceraian.

Akibat dari perceraiansangat dirasakan oleh keluarga inti, sedangkan pada keluarga kerabat akibat dari suatu perceraian tidak begitu berat terasakan. Dalam keluarga kerabat, di mana kedudukan suami-istri tunduk pada garis keturunan, maka walaupun terjadi perceraian keluarganya masih tetap utuh. Sebaliknya dengan keluarga inti yang didasarkan pada perkawinan, maka bila terjadi perceraian akan berat sekali akibatnya, misalnya mengenai sosialisasi anak, pembagian harta warisan, pencari nafkah, dan sebagainya.

Dengan akibat-akibat ini meskipun perceraian diperbolehkan maka bukan berarti bahwa masyarakat membenarkan atau menyenangi adanya perceraian, oleh karena itu kemudian perceraian ini diatur oleh undang-undang. Adapun alasan-alasan perceraian yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah apabila salah satu pasangan baik suami maupun istri mengalami hal-hal berikut:

1. ditinggalkan dengan sengaja;

2. mendapatkan hukuman lebih dari lima tahun karena melakukan kejahatan; dan 3. mengalami penganiayaan yang berat.

(52)

Manusia pada dasarnya selalu hidup di dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala tindak tanduk atau perilaku manusia senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.

Apabila seseorang masuk di dalam lingkungan rumah tangga, maka ia akan dilayani sekaligus terikat oleh seperangkat aturan rumah tangga disebut pranata keluarga sesuai dengan kedudukan atau perannya di dalam rumah tangga tersebut. Seorang suami, misalnya ia tidak bisa berbuat seenaknya sendiri, seperti pulang larut malam setiap hari tanpa meminta izin kepada istrinya atau tidak menafkahi istri dan anaknya sesuai statusnya sebagai kepala keluarga sebab bukan saja si suami itu akan dipergunjingkan oleh tetangga dan keluarganya, tetapi ia juga bisa dituntut oleh istrinya sendiri karena tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata soaial yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Selain pranata keluarga seperti disebut di atas, masih banyak pranata sosial lain yang memiliki fungsi yang sama: mengatur cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang penting, seperti pranata ekonomi, pranata pendidikan, pranata politik, dan pranata agama. Menurut pakar Antropologi seperti S.F Nadel (1953) dan Koentjaraningrat (1979) di luar empat pranata utama itu sesungguhnya masih ada beberapa pranata sosial lain, seperti pranata ilmiah, atau pranata keindahan dan rekreasi.

Pengertian Pranata Sosial

(53)

kemasyarakatan, karena di dalam masing-masing istilah tersebut tersirat adanya unsur-unsur yang mengatur setiap perilaku warga masyarakat.

Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial atau dalam istilah mereka lembaga sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial adalah:

1. Nilai dan norma;

2. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum; dan

3. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.

Menurut Koentjaraningrat (1979) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.

Pranata sosial pada hakikatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnya selalu dapatdilihat dan diamat-amati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.

(54)

hubungan dengan sesamanya selalu dapat dilihat atau diamati. Benar tidaknya anggapan konseptual yang demikian ini terlebih dahulu harus diingat bahwa manusia-manusia di dalam kelompok atau pranata sosial itu hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari unsur saja. Sehingga dalam kenyataannya mereka itu bisa datang atau pergu dan diganti oleh orang lain tanpa mengganggu eksistensi dan kelestarian dari pranata sosial. Oleh karena itu sesungguhnya di dalam pranata sosial yang menjadi unsur-unsurnya bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang di tempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya.Dengan demikian pranata sosial adalah merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yant terorganisir. Uturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosilogi sering disebut dengan istilah norma-norma sosial.

Tujuan dan Fungsi Pranata Sosial

Diciptaka pranata sosial pada dasarnya mempunyai maksud serta tujuan yang secara prinsipil tidak berbeda dengan norma-norma sosial, karena pranata sosial sebenarnya memang produk dari norma sosial.

(55)

manusia relatif terbatas, sementara jumlah warga masyarakat yang membutuhkan justru semakin lama semakin banyak.

Untuk mewujudkan tujuannya, menurut Soerjono Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat dengan demikian harus dilaksanakan fungsi-fungsi berikut:

1. Memberi pedoman pada anggota mayarakat tentang bagaiman bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian pranata sosial telah siap dengan berbagai aturan atau kaidah-kaidah sosial yang dapat haris dipergunakan oleh setiap anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasimasyarakat. Hal ini mengingat bahwa sumber pemenuhan kebutuhan hidup yang dapat dikatakan tidak seimbang dengan jumlah manusia yang semakin bertambah baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga dimungkinkan pertentangan yang bersumber pada perebutan maupun ketidakadilan dalam usaha memenuhi kebutuhannya akan ancaman kesatuan dari warga masyarakat. Oleh karena itu, norma-norma sosial akan berfungsi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan hidup dari setiap warganya secara adil atau memadai, sehingga dapat terwujudnya kesatuan yang tertib.

(56)

Gambar

TABEL   1Hasil  Perhitungan  Skor  Pendapat Responden
TABEL  2Interpretasi dari Nilai r

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu dalam penelitian Anwer et al (2012) dengan pemberian ekstrak protein spirulina sebanyak 50 mg/kg berat badan tikus dan 50 µg/kg berat badan tikus

Persaingan dunia bisnis semakin ketat terutama bisnis ritel salah satunya adalah Matahari Department Store sebagai salah satu perusahaan ritel yang menjawab dan

[r]

Sedangkan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: tenaga kerja; koperasi dan usaha kecil dan menengah;

Sistem Bursa Usaha Santri dan Alumni memilikitiga entitas luar yang berhubungan dengan sistem yaitu pengguna umum, anggota dan administrator.Rancangan kerja sistem

Intisari--- Bengkel bubut adalah salah satu unit usaha jasa yang bergerak dalam bidang otomotif dan berkembang dengan baik. Sebagian besar pengusaha bengkel bubut masih

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “ Meningkatkan Kemampuan naturalis anak melalui pemanfaatan lingkungan alam sekitar “. B.

Berdasakan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 30 orang responden di instalasi rawat inap RSI Ibnu Sina Bukittinggi didapatkan hasil ada hubungan