• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL SKALA HUSADA ISSN X Volume X No 1 April 2013 Halaman 1-112

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL SKALA HUSADA ISSN X Volume X No 1 April 2013 Halaman 1-112"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL SKALA HUSADA ISSN 1693-931X

Volume X No 1 April 2013 Halaman 1 - 112

KARAKTERISTIK PEROKOK DI INDONESIA (Kajian terhadap hasil RISKESDAS 2007 – 2010)

Mochammad Choirul Hadi 1 - 6

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN KELUARGA TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN IBU DALAM MERAWAT ANAK DIARE

Ni Luh Kompyang Sulisnadewi 7 - 12

PENGARUH PENDIDIKAN SEKSUALITAS REMAJA OLEH PENDIDIK SEBAYA TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG BAHAYA SEKS BEBAS

NGK Sriasih, NW Ariyani, Juliana Mauliku, AA Istri Dalem Cinthya Riris 13 - 19 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN PELAYANAN

KESEHATAN GIGI DAN MULUT DI POLIKLINIK GIGI RSUD KABUPATEN BADUNG

Ni Nyoman Dewi Supariani 20 -24

PROFIL LULUSAN DIPLOMA III KEPERAWATAN GIGI POLTEKKES DENPASAR DI PASAR KERJA

NK Ratmini, IM Budi Artawa, I GA Raiyanti 25 - 30

EFEKTIFITAS LAMA PEMAPARAN EKSTRAK DAUN ZODIA TERHADAP DAYA BUNUH JENTIK Aedes aegypti

IK Aryana, IW Sali, IW Suarta Asmara 31 - 38

EKSTRAK GAMBIR MEMILIKI DAYA HAMBAT TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus SECARA INVITRO

IW Merta, IN Nuidja, NM Marwati 39 - 43

KANDUNGAN POLIFENOL DAN PROTEIN TEPUNG KEDELE AKIBAT PERLAKUAN PENGOLAHAN

Badrut Tamam dan I Putu Gilang Aditia 44 - 46

PENGARUH INDEKS PRESTASI KUMULATIF, MASA KERJA DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA BIDAN LULUSAN POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN KEBIDANAN

NN Suindri, NW Ariyani, J Mauliku 47 - 53

PENGARUH METODE PEMBELAJARAN TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF MANAJEMEN ASUHAN PADA IBU NIFAS NORMAL

NLP Sri Erawati, NK Somoyani, NGK Sriasih 54 - 59

PENGARUH TERAPI LATIHAN TERHADAP KEMANDIRIAN MELAKUKAN AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI PASIEN STROKE ISKEMIK

IM Mertha dan Ade Laksmi 60 - 64

REVITALISASI PELAYANAN KESEHATAN DASAR “AKTIFKAN PERKESMAS”

I Ketut Suardana 65 - 69

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN PENGGUNAAN ALAT PARA SANGGING BERDASARKAN KARAKTERISTIK PARA SANGGING DI PROVINSI BALI 2010

S. A Putri Dwiastuti, I G A A Pt. Swastini, MM Nahak 70 - 73 PELATIHAN SENAM DINGKLIK DISERTAI DIET RENDAH ENERGI

MENURUNKAN BERAT BADAN PADA KEGEMUKAN

IW Juniarsana, NM Dewantari, NK Wiardani 74 - 80

HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN IBU HAMIL DENGAN UKURAN ANTROPOMETRI BAYI SAAT LAHIR DI DAERAH PENAMBANGAN EMAS DAN BUKAN DAERAH PENAMBANGAN

Yenny Moviana dan Indro Pamudjo 81 - 87

EFEKTIVITAS PELATIHAN TERHADAP KINERJA PETUGAS SURVEILANS DI KABUPATEN BADUNG

A. A. Gd Agung, IM Suarjana, R Larasati 88 - 93

SOSIODEMOGRAFI DAN PENGETAHUAN TENTANG METODE OPERASI PRIA (MOP) PADA PRIA DI PEDESAAN SERTA PERKOTAAN

Ni Wayan Armini 94 - 99

ANALISIS FAKTOR YANG MENDORONG MASYARAKAT MELAKUKAN PAP SMEAR DI KOTA DENPASAR

I GA Dewi Sarihati, I GAM Aryasih, A Elly Yulianti 100 - 104 PENGARUH KELAS ANTE NATAL TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN, KETRAMPILAN DAN KEBERHASILAN INISIASI MENYUSUI DINI PADA IBU BERSALIN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEMBANTU DAUH PURI DENPASAR

(2)

Dalam terminologi prevensi, masalah kesehatan berkaitan erat dengan perilaku. Itulah sebabnya pendidikan dalam format apapun selalu menjadi kegiatan utama dalam upaya mencegah timbulnya masalah kesehatan yang lebih gawat. Pendidikan Kesehatan mempunyai spektrum yang sangat luas. Ia mencakup pendidikan bagi petugas kesehatan itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh

Suindri dkk yang meneliti tentang kinerja bidan berdasarkan prestasi belajar dan pelatihan yang

diikuti; Sri Erawati dkk yang mengkaji pengaruh metode pembelajaran terhadap hasil belajar bidan; Putri Dwi Astuti dkk yang mengamati pengetahuan tentang kesehatan para sangging;

Ratmini dkk yang menggambarkan profil lulusan Diploma III Keperawatan Gigi; serta Gede Agung dkk yang mempelajari kinerja petugas surveilans DBD. Ia juga mencakup pendidikan

bagi kelompok sasaran yang dianggap rawan masalah kesehatan, seperti hasil penelitian

Sulisnadewi tentang pendidikan keluarga dalam perawatan diare anak; pendidikan seksualitas

oleh teman sebaya oleh Sriasih dkk; pelatihan kemandirian bagi pasien stroke oleh Mertha

dkk; Pelatihan senam dingklik bagi penderita kegemukan oleh Juniarsana dkk; serta pengaruh

kelas antenatal terhadap keberhasilan insiasi menyusui dini oleh Sumiasih.

Disamping pendidikan kesehatan, deskripsi kelompok risiko masalah kesehatan juga menjadi isu penting terutama dalam menentukan skala prioritas program kesehatan. Hal inilah yang coba diungkapkan oleh Choirul Hadi yang menulis artikel tentang karakteristik perokok di Indonesia;

Dewi Supariani yang menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan layanan

kesehatan gigi dan mulut; Suardana yang mengulas revitalisasi pelayanan kesehatan dasar; Armini yang meneliti faktor sosiodemografi dan pengetahuan tentang metode operasi pria; Moviana

dkk yang meneliti hubungan antara konsumsi makanan ibu hamil dan ukuran antropometri bayi di

daerah penambangan dan bukan penambangan; serta Sarihati dkk yang menganalisis faktor yang mendorong masyarakat melakukan pap smear.

Disamping mengkaji masalah kesehatan dari sudut tindakan prevensi, untuk memperkaya khazanah penelitian bagi dosen di Lingkungan Politeknik Kesehatan Denpasar, Jurnal Skala Husada edisi kali ini juga menampilkan beberapa penelitian eksploratif yaitu hasil penelitian Aryana dkk yang mengkaji efektifitas lama pemaparan ekstrak daun zodia terhadap daya bunuh jentik Aedes aegypti; Merta dkk yang meneliti Ekstrak Gambir memiliki daya hambat pertumbuhan Staphylococcus aureus secara in vitro; serta Badrut Tamam dkk yang meneliti Kandungan polifenol dan protein tepung kedele akibat proses pengolahan.

Harapan kami, semoga pemuatan artikel yang lebih menekankan tindakan prevensi ini serta penelitian eksploratif yang memperkaya khazanah penelitian ini dapat memicu bagi dosen di lingkungan Poltekkes Denpasar yang belum pernah mengisi artikel, untuk segera mengirim karya terbaiknya bagi penerbitan Jurnal Skala Husada pada edisi-edisi mendatang.

(3)

KARAKTERISTIK PEROKOK DI INDONESIA (Kajian terhadap hasil RISKESDAS 2007 – 2010)

Mochammad Choirul Hadi1

Abstract. During the years 2000-2010 the Ministry of Health should make efforts in order to meet the target lower total cigarette consumption in Indonesia at least one percent a year. Submission of data in this paper is the result of data collection activities Riskesdas of 2010 compared with the results of data collection Riskesdas 2007. Aim to help predict the burden of non-communicable diseases in the future. The study focused on the characteristics of smokers, such as age, gender, marital status, residence, education, and employment. This paper is expected to provide benefits to policy makers to implement preventive strategies to avoid the burden of tobacco. The result showed that the Health Ministry’s target to reduce the number of smokers one percent in one year still can’t be achieved, because there is a tendency even growing numbers. The comparison of Riskesdas 2007 and 2010 showed that the number of smokers rather than decreased, in fact there is tendency to increase the amount of cigarette consumption. Increased consumption, occurs both in terms of age group, education, and employment. The only decline was in the female sex, although the decline was not much.

Keywords: characteristics of smokers, cigarette consumption, Riskesdas

Bahaya rokok bagi kesehatan tubuh manusia dan lingkungannya sudah sejak lama dikumandangkan oleh masyarakat yang peduli kesehatan. Tak kurang dari Menteri Kesehatan1, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH. dalam pidatonya saat peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-48 mengingatkan kepada kita tentang tantangan yang dihadapi bangsa kita saat ini, yaitu meningkatnya angka kematian akibat penyakit tidak menular dan perubahan life style. Data Riskesdas 2010, menunjukkan bahwa akibat kematian yang mencapai 59% disebabkan oleh penyakit tidak menular dan life style yang dalam perawatannya menelan biaya yang tidak kecil. Penyakit-penyakit tersebut seperti stroke, gagal ginjal, diabetes, penyakit jantung dan AIDS. Namun demikian, penyakit-penyakit itu masih memungkinkan untuk dilakukan pencegahan dengan hal-hal yang tidak sulit untuk dilakukan, seperti mengendalikan gizi seimbang dan stress, olah raga secara teratur,

tidak merokok dan minum alkohol, serta melakukan hubungan seksual yang bertanggung jawab.

Sebagai salah satu anggota WHO SEARO (World Health Organization – South East

Asia Regional Office), Indonesia2 menargetkan selama tahun 2000-2010 harus melakukan berbagai upaya agar total konsumsi rokok di Indonesia turun setidaknya satu persen setahun.

Jumlah perokok pada anak-anak, wanita, dan kelompok miskin juga turun masing-masing satu persen setahun. Salah satu sasaran program perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat adalah menurunnya prevalensi perokok serta meningkatnya lingkungan sehat bebas rokok di sekolah, tempat kerja dan tempat umum.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk membantu memprediksi gambaran beban penyakit tidak menular yang akan datang. Kajian lebih difokuskan pada karakteristik

(4)

perokok, seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pembuat kebijakan untuk menerapkan strategi pencegahan menghindari beban akibat rokok tersebut.

Metode

Tulisan ini merupakan hasil kajian terhadap hasil Riskesdas 2010 yang diselenggarakan oleh Badan Litbangkes Kemenkes RI dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 yang dilakukan oleh institusi yang sama.

Hasil dan Pembahasan Riskesdas

Riskesdas2 adalah kegiatan penelitian yang berskala nasional yang dilakukan dengan tujuan agar bisa diperoleh data dasar untuk keperluan perencanaan di tingkat kabupaten/ kota, provinsi dan nasional. Secara khusus hal-hal yang diukur dalam Riskesdas adalah: 1) prevalensi penyakit menular dan tidak menular, riwayat penyakit dan data biomedisnya; 2) faktor risiko; 3) ketanggapan sistem kesehatan; 4) angka kematian dan menelusuri penyebabnya.

Sebagaimana Visi yang hendak dicapai oleh Kementerian Kesehatan2, yaitu: mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Dengan misi: 1) meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madan; 2) melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan; 3) menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; dan 4) menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.

Untuk pencapaian itu diperlukan perencanaan matang yang didasari oleh data kesehatan yang valid dan akurat, meliputi semua indikator kesehatan utamanya tentang status

kesehatan (angka kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabel, status gizi), kesehatan lingkungan (lingkungan fisik), pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan). Data kesehatan dasar tersebut bukan saja berskala nasional, tetapi harus dapat menggambarkan indikator kesehatan minimal sampai tingkat kabupaten.

Untuk menjembatani kebutuhan kabupaten/ kota terhadap data dasar kesehatan sebagai basis manajemen pembangunan kesehatan, diperlukan pendekatan dengan menggunakan prinsip sebagai berikut: 1) Riskesdas dilaksanakan untuk dapat menggambarkan profil kesehatan di tingkat kabupaten/kota yang saat dibutuhkan di era desentralisasi; 2) Riskesdas dilakukan secara serentak di seluruh provinsi Indonesia sehingga dapat memotret dalam waktu yang sama; 3) Pengumpulan data Riskesdas dilakukan oleh tenaga lulusan Poltekkes atau petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, dengan bimbingan teknis dari penanggung jawab tingkat Kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat pusat (Balitbangkes); 4) Riskesdas dapat memberikan indikator kesehatan secara berjenjang yang dapat digunakan untuk perencanaan di kabupaten/kota.

Penggunaan Tembakau

Hasil Riskesdas 20102 pada penduduk berumur 15 tahun ke atas sebanyak 177.926 responden menunjukkan bahwa secara nasional jumlah perokok di Indonesia mencapai 34,7%, sedangkan jumlah perokok di Bali masih di bawah rata-rata yaitu sebesar 31,0% dan masuk ke dalam kategori provinsi keempat dengan jumlah konsumen rokok terendah secara nasional, setelah Sulawesi Tenggara (28,3%), Kalimantan Selatan (30,5%) dan DKI Jakarta (30,8%).

(5)

Berbeda dengan penyajian data hasil Riskesdas 20073, penyajian data hasil Riskesdas 20102 penyajiannya dibedakan berdasarkan pada perokok dan bukan perokok. Pada perokok juga dibedakan pada perokok yang setiap hari dan perokok kadang-kadang.

Bila kita bandingkan perokok tiap hari pada 2010 dengan hasil Riskesdas 2007 kita dapatkan fakta sebagaimana nampak pada Tabel 1 sebagai berikut: 1) Jumlah perokok Indonesia mengalami penurunan dari 29,2% pada 2007 menjadi 28,2% pada 2010; 2) Provinsi Lampung pada 2007 yang menduduki peringkat 1 perokok terbanyak di Indonesia (34,3%), pada 2010 turun menjadi 31,4%; 3) Provinsi Bali pada 2007 sisi konsumsi. Rata-rata batang rokok yang

dihisap setiap hari secara nasional jumlah konsumsi rokok yang dihisap oleh 52,3% responden yang menghisap antara 1 – 10 batang rokok per hari. Sedangkan responden yang merokok lebih dari itu cenderung lebih sedikit, yakni 41,0% untuk perokok 11 – 20 batang per hari. Demikian halnya dengan para perokok di Bali yang memiliki kecenderungan mengkonsumsi rokok pada jumlah 1 – 10 batang. Jumlah perokok di Bali yang mengkonsumsi rokok 1 – 10 batang rokok per hari sebanyak 67,8% menduduki peringkat ketiga terendah setelah Maluku (69,0%) dan Nusa Tenggara Timur (68,7%). Sedangkan jumlah perokok berat (lebih 31 batang rokok per hari) terbanyak berada di Kepulauan Bangka Belitung yang mencapai (16,2%), dibandingkan jumlah perokok berat di Bali yang hanya 0,9%.

Penyajian hasil Riskesdas 20073 agak berbeda dengan penyajian hasil Riskesdas 2010, yakni penggunaan batasan umur perokok yang pada tahun 2007 digunakan umur 10 tahun ke atas, sedangkan pada tahun 2010 digunakan batasan usia 15 tahun ke atas. Perbedaan penyajian yang lain adalah pada data Riskesdas 2007 ditampilkan prosentase jumlah perokok dan rerata jumlah batang rokok/hari yang dikonsumsi oleh responden, sedangkan pada data Riskesdas 2010 ditampilkan secara kolektif jumlah konsumsi rokok per hari, yaitu kelompok 1 – 10; 11 – 20; 21 – 30; dan 31 batang lebih per hari.

Secara nasional pada 20073 (Tabel 2) jumlah perokok di Indonesia mencapai 29,2% dengan konsumsi rokok yang dihisap rata-rata per hari mencapai 12,0 batang per hari. Jumlah perokok Bali saat itu mencapai 24,9% dengan jumlah konsumsi rokok mencapai 8,5 batang per hari. Provinsi dengan jumlah perokok terbanyak adalah Lampung dengan jumlah perokok mencapai 34,3%, sedangkan konsumen rokok terbanyak adalah NAD dengan konsumsi rokok rata-rata perhari mencapai 18,5 batang.

(6)

peningkatan meskipun hanya sedikit, yakni dari 38,0% menjadi 38,2%. Pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa kelompok usia ini merupakan kelompok yang mengkonsumsi rokok dalam jumlah besar.

Jenis kelamin. Perokok laki-laki jauh lebih

banyak daripada perokok perempuan, dan perokok perempuan tidak banyak mengkonsumsi rokok. Perokok laki-laki yang mengalami peningkatan, dari 55,7% pada 2007 meningkat menjadi 65,9% pada 2010. Sedangkan pada perokok perempuan mengalami penurunan dari 4,4% pada 2007 menjadi 4,2% pada 2010.

Status perkawinan. Dilihat dari status

perkawinan perokok, data Riskesdas tidak bisa dibandingkan kedua periode tahun penelitian Riskesdas, karena pada tahun 2007 belum diambil data status perkawinan para perokok sehingga data yang bisa dilihat adalah data prevalensi perokok untuk tahun 2010 saja. Pada tahun 2010 nampak bahwa mereka yang berstatus kawin jumlah perokoknya mencapai 36,5%, sehingga bisa dikatakan mereka yang telah kawin lebih banyak yang merokok daripada mereka yang belum kawin (33,2%) dan cerai (20,9%). Dan kelompok ini merupakan kelompok pengkonsumsi rokok terbanyak dibandingkan dengan kelompok yang belum kawin atau kelompok yang bercerai.

Tempat tinggal. Dari sisi tempat tinggal,

perokok di perdesaan lebih banyak daripada di perkotaan, baik pada 2007 maupun pada 2010. Hal yang menarik untuk dikaji adalah terjadinya peningkatan jumlah perokok di keduanya tempat tinggal tersebut. Di perdesaan, terjadi peningkatan jumlah perokok dari 30,9% menjadi 37,4%. Sedangkan di perkotaan juga terjadi peningkatan jumlah perokok dari 26,6% menjadi 32,3% .

Pendidikan. Dari sudut pendidikannya, pada

2007 perokok banyak dari mereka yang tamat SMA (34,0%), namun pada 2010 perokok terbanyak bergeser pada mereka yang tidak tamat SD (37,8%).

jumlah perokoknya mencapai 24,9% meningkat menjadi 25,1% pada tahun 2010; 4) DI Yogyakarta merupakan provinsi yang memiliki mantan perokok terbanyak (10,4%); 5) Sulawesi Tenggara merupakan daerah dengan jumlah penduduk yang tidak merokok terbanyak (68,4%).

Karakteristik Perokok

Umur. Hasil Riskesdas 2007 dan 2010

(Tabel 1) menampilkan karakteristik perokok secara nasional yang menunjukkan bahwa kelompok umur 45 – 54 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak. Jumlah perokok pada kelompok usia tersebut tidak banyak berubah dari 2007 sampai 2010, malah ada kecenderungan mengalami

(7)

adanya Peraturan Pemerintah Provinsi Bali Nomor 10/2011 yang mengatur perihal yang sama. Di awal kegiatan memang ada petugas yang ditunjuk untuk menjadi pembina. Namun dalam kenyataannya pelaksanaan tugas di lapangan oleh petugas ternyata tidak membawa dampak yang signifikan. Para perokok berusaha keras untuk memperoleh areal dimana mereka bisa meloloskan diri dari pengenaan sanksi tersebut, di samping itu “petugas pengawas” itupun saat ini sudah tidak nampak lagi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada sidang Musyawarah Nasionalnya di Padang, Sumatera Barat di awal 2009 mengeluarkan fatwa yang sedikit “agak keras”, karena mengharamkan rokok bagi anak-anak, remaja, dan Ibu hamil, serta mengharamkan perokok untuk melakukan kebiasaan merokoknya di tempat-tempat umum dan angkutan umum.

Permasalahannya adalah semua keputusan-keputusan itu bisakah mengurangi kebiasaan merokok atau bahkan menghentikan kebiasaan merokok pada masyarakat kita di tengah-tengah stigma kepercayaan masyarakat bahwa kita ini masih baru pada taraf pandai membuat aturan, tapi belum pandai melaksanakannya.

Mungkin masyarakat sudah mengerti bahaya merokok, karena dalam setiap bungkus rokok ada peringatan: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganguan kehamilan dan janin. Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya menurut WHO, tetapi, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan hal itu. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker).

Data hasil Riskesdas seakan menunjukkan sulitnya kita melakukan penekanan terhadap perokok sepertinya tak membuat perokok untuk mengurangi konsumsi rokoknya, karena produsen rokok ternyata terus juga berupaya Secara umum yang menarik dari data

perokok berdasarkan pendidikan ini adalah adanya kecenderungan menurunnya jumlah perokok dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan. Namun demikian pada level pendidikan yang sama terjadi jumlah peningkatan pada tahun berjalan.

Pekerjaan. Dilihat dari sudut pekerjaan

perokok, Riskesdas 2007 belum melihat pekerjaan para perokok. Pada 2010 keterkaitan antara perokok dengan jenis pekerjaannya mulai diperhatikan. Nampak petani/nelayan/buruh sebagai kelompok perokok terbanyak (50,3%), baru kemudian disusul pekerja di sektor wiraswasta sebanyak 46,2%.

Mungkinkah kita menekan jumlah perokok di Indonesia?

Sebuah pertanyaan yang sering muncul di kalangan orang-orang kesehatan adalah apakah mungkin kita menghentikan kebiasaan merokok pada para penggemarnya? Atau setidaknya kita bisa mengurangi jumlah konsumsi rokok. Choirul4 (2009) dalam kesempatan menjadi pemakalah dalam sebuah simposium menyampaikan beberapa hal yang menjadi pertanyaannya. Yang pertama tentang sikap seorang remaja dalam workshop5 “Larangan Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok sebagai Upaya Perlindungan Anak Menjadi Perokok” (Tokoh, No. 530/ Tahun X, 8 – 14 Maret 2009) yang menyatakan kebingungannya karena begitu banyak orang menyatakan bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan, namun ternyata di Indonesia yang menyatakan sebaliknya lebih banyak lagi. Di sisi lain, kenapa rokok dijual dengan begitu bebasnya bahkan di kantin-kantin sekolah, dan kantor-kantor kesehatan. Bahkan iklan rokok dipasang besar-besaran dan mencolok di tempat-tempat strategis. Yang kedua tentang pemberlakuan Perda Nomor 2/2005 terhitung mulai 4 Pebruari 2006 di Jakarta dengan denda sebesar Rp 50 juta dan kurungan 6 bulan terhadap perokok di Kawasan Tanpa Rokok, serta

(8)

menyiasati berbagai aturan yang dibuat oleh Pemerintah yang terkesan setengah hati. Seolah-olah hasil yang diharapkan menunggu keajaiban yang diberikan oleh Tuhan, kapan perokok mau berhenti terpulang kepada kesadaran masing-masing perokok.

Kesimpulan dan saran

Secara nasional jumlah perokok telah turun dari 29,2% pada tahun 2007 menjadi 28,2% pada tahun 2010, namun jumlah perokok di Bali malahan mengalami peningkatan jumlahnya meski tidak banyak, yakni hanya 0,2%. Dilihat dari karakteristik para perokok, jumlah konsumsi rokok mengalami peningkatan, baik dari sisi umur, tempat tinggal, dan pendidikan. Penurunan jumlah perokok terjadi pada wanita meski penurunannya hanya 0,2%..

Melihat fakta yang ada, kita semua yang peduli dengan kesehatan masyarakat harus bekerja lebih keras lagi untuk mengurangi jumlah perokok di sekitar kita dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan, berpacu untuk bersaing dengan mereka yang memperoleh keuntungan dari makin banyaknya orang yang merokok di negeri ini. Misalnya dengan aktif melarang anggota keluarga merokok di dalam rumah, melarang teman merokok di dalam ruang kerja, menegur mahasiswa yang kedapatan merokok di sekolah/ kampus, menegur orang yang merokok di angkutan umum, dan lain-lain tindakan sederhana yang bisa kita lakukan. Kalau saja banyak orang melakukan hal tersebut, diperkirakan langkah kecil itu akan memberikan dampak yang besar.

Begitu halnya dengan pemerintah daerah diharapkan mampu menyelenggarakan pengawasan pelaksanaan peraturan larangan merokok di kawasan tanpa rokok, sehingga keberadaan aturan itu untuk dilaksanakan dan ditegakkan. Daftar Pustaka 1. http://sehatnegeriku.com/pidato-menkes- ri-memperingati-hari-kesehatan-nasional-hkn-ke-48-tahun-2012/, available at 12 Nopember 2012. 2. Badan Litbang Depkes RI, 2010, Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2010) Diunduh pada tanggal 20 Januari 2013 di http://www.riskesdas.litbang. depkes.go.id /latar. htm.

3. Badan Litbang Depkes RI, 2008, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2007), Laporan Nasional, Diunduh pada tanggal 20 Januari 2013 di http://www.riskesdas. litbang. depkes.go.id /latar. htm

4. Choirul, Hadi M. 2009, Prosiding Simposium SDM Kesehatan, Berhenti Merokok Mungkinkah? Dies Natalis VIII Poltekkes Denpasar

5. Tokoh, No. 530/Tahun X, 8 – 14 Maret 2009, Ketika Tak Ada lagi Ruang Bebas Iklan Rokok

(9)

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN KELUARGA TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN IBU DALAM MERAWAT ANAK DIARE

Ni Luh Kompyang Sulisnadewi1

Abstract. Diarrhea is one of the causes of high morbidity and mortality of children in Indonesia. One risk factor for diarrhea and increased risk for hospitalized children is the lack of maternal knowledge. The aims of this study was identify the effect of health education for maternal ability in caring the child diarrhea. This research was a study of quasi-experiment with the design group posttest only design. Study sample was 62 respondents in two hospitals in Denpasar. The results were describe the post-test scores of knowledge, attitudes and skills of each group different significantly (p = 0,000; á=0,05). Mothers in the intervention group capable of caring for child diarrhea, significantly different to the control group (p = 0.000; á = 0, 05). Health education about diarrhea in children should be given intensive to support the implementation of family centered care concept in pediatric nursing at hospital. Keywords: maternal ability, caring, diarrhea

1 Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Denpasar

Diare pada umumnya termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self

limiting disease)13. Penanganan yang tepat, akan menurunkan derajat keparahan penyakit sehingga anak tidak memerlukan rawat inap. Pada kenyataannya angka rawat inap pasien dengan diare akut masih cukup tinggi. Data surveilen terpadu berbasis rumah sakit Propinsi Bali tahun 2009, proporsi anak dengan diare yang dirawat sebesar 29%. Proporsi anak yang dirawat dengan diare sampai dengan bulan Oktober 2010 meningkat menjadi 32%. Salah satu faktor risiko yang menyebabkan pasien diare dirawat di rumah sakit di negara berkembang adalah tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua yang rendah tentang perawatan diare6. Hasil penelitian lain juga menggambarkan tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan diare sebagian besar berada pada katagori rendah sampai sedang1,5. Tingkat pengetahuan yang rendah akan berdampak pada ketidakmampuan ibu dalam mencegah maupun merawat anak dengan diare.

Diare masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas anak di Indonesia. Salah satu faktor yang telah teridentifikasi sebagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya diare dan meningkatkan risiko anak untuk dirawat inap karena diare adalah kurang pengetahuan orang tua khususnya ibu dalam mencegah maupun merawat anak dengan diare. Penelitian yang dilakukan di Iran 2006, menemukan peningkatan risiko rawat inap pasien diare akut disebabkan oleh adanya darah dalam tinja, dehidrasi, ASI yang diberikan kurang dari 6 bulan, riwayat rawat inap sebelumnya, kurangnya akses terhadap air bersih, mempunyai hewan peliharaan6. Khalili juga menjelaskan bahwa salah satu faktor risiko yang menyebabkan pasien diare dirawat di rumah sakit di negara berkembang adalah tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua yang rendah tentang perawatan diare. Hasil penelitian lain juga menggambarkan tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan diare sebagian besar berada pada katagori rendah sampai sedang1,5.

(10)

melakukan penanganan yang tepat ketika anak mengalami diare dan mampu terlibat dalam perawatan anak diare di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pendidikan kesehatan terhadap kemampuan ibu dalam merawat anak dengan diare.

Metode

Penelitian ini menggunakan

quasi-experimental design atau eksperimen semu

dengan jenis rancangan posttest only control

group design. Pendekatan terhadap subyek

dipakai adalah crosssectional. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang anaknya dirawat dengan diare di ruang anak RSUP Sanglah Denpasar dan RSUD Wangaya Denpasar, selama kegiatan penelitian yaitu 6 April sampai dengan 30 Mei 2011 dengan kriteria inklusi Ibu bisa membaca dan menulis, menunggui anaknya selama dirawat, anak usia 0-59 bulan, Kriteria eksklusinya yaitu ibu yang anaknya dirawat dengan diare, Ibu yang anaknya dalam kondisi kritis , ibu dalam kondisi tidak sehat, ibu yang anaknya diare dengan diagnosa penyakit lain.

Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan uji hipotesis beda proporsi2. Sampel minimal yang diperlukan sebanyak 33 orang untuk masing-masing kelompok. Adanya keterbatasan waktu dan pasien yang sedikit dalam pelaksanaan penelitian, maka pencapaian sampel hanya sebesar 31 orang pada masing-masing kelompok, sehingga total sampel adalah 62 orang. Penetapan kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan berdasarkan tempat penelitian, dengan tujuan menghindari bias akibat interaksi kedua kelompok. Pengumpulan data untuk kelompok kontrol dilakukan di RSUD Wangaya dan kelompok intervensi di RSUP Sanglah Denpasar. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner karakteristik responden, tes pengetahuan, kuisioner sikap dan lembar observasi keterampilan responden.

Warman (2008) menemukan bahwa pengetahuan ibu memberikan kontribusi paling kuat dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian diare akut pada balita. Bachrach & Gardner (2002) juga menemukan bahwa pengetahuan pengasuh yang kurang tentang rehidrasi oral, merupakan faktor yang meningkatkan risiko anak mengalami dehidrasi dan dirawat di rumah sakit. Tingkat pengetahuan ibu yang baik tentang diare, sangat menentukan upaya pencegahan yang dilakukan dan terhindarnya anak dari dampak buruk diare seperti dehidrasi, kekurangan gizi dan risiko kematian.

Pasien anak diare yang dirawat di rumah sakit membutuhkan kehadiran keluarga selama hospitalisasi. Sesuai dengan konsep pemberdayaan keluarga dan family centered

care keterlibatan orang tua dalam perawatan

anak adalah sangat penting. Untuk dapat terlibat dalam perawatan anak di rumah sakit, orang tua harus memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan anaknya. Pendidikan kesehatan sebagai intervensi keperawatan mandiri dapat direncanakan untuk meningkatkan kemampuan ibu merawat anak yang mengalami diare. Perencanaan pendidikan kesehatan yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan klien, akan mengurangi biaya pelayanan kesehatan, meningkatkan kualitas pelayanan, dan dapat membantu klien menjadi lebih sehat dan mandiri9. Hasil penelitian lain juga menemukan bahwa pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan ibu dalam merawat anak dengan dengue hemorragic

fever (DHF)15. Kutjleb & Reiner (2006) menemukan bahwa pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka rawat inap klien gagal jantung dibandingkan dengan yang tidak diberikan pendidikan kesehatan9. Metoda efektif perlu dikembangkan sehingga ibu dapat mencegah terjadinya diare pada anak, dapat

(11)

Analisis pada variabel- variabel dalam penelitian ini dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk menjelaskan variabel pengetahuan, sikap, keterampilan, dan karakteristik responden yang meliputi umur, tingkat pendidikan dan pengalaman merawat anak diare di rumah sakit, informasi yang pernah diperoleh tentang diare. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan, sikap dan keterampilan antar kelompok dengan menggunakan independen t test. Kemampuan ibu dinilai berdasarkan kriteria mempunyai dua katagori baik pada aspek pengetahuan, sikap atau keterampilan. Kemudian kemampuan ibu antar kelompok dianalisis dengan menggunakan Chi-square.

Hasil dan Pembahasan

Berikut ini akan dijelaskan hasil penelitian yang meliputi interpretasi dan diskusi hasil penelitian dari masing-masing variabel penelitian dikaitkan dengan teori dan hasil penelitian yang telah ada.

Karakteristik responden

Ibu yang merawat anak diare di RSUP Sanglah dan RSUD Wangaya Denpasar rata-rata berusia dibawah 30 tahun, rata-rata-rata-rata 28,74tahun pada kelompok kontrol dan 29,52 tahun pada kelompok intervensi. Tingkat pendidikan ibu sebesar 38,7% pendidikan dasar (SD, SLTA) dan 50% pendidikan SLTA. Sebagian besar ibu tidak mempunyai pengalaman merawat anak diare di rumah sakit yaitu sebesar 88,7% dan pernah mendapatkan informasi tentang diare sebesar 58,1%.

Peneliti menilai karakteristik responden pada kedua kelompok untuk menentukan apakah karakteristik ibu pada kedua kelompok berbeda. Hasil analisis pada uji homogenitas ditemukan tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) karakteristik dari responden pada kedua kelompok sehingga membantu memastikan validitas internal dari penelitian ini, bahwa kemampuan ibu dalam

merawat anak diare pada kelompok intervensi adalah efek dari paket pendidikan kesehatan yang diberikan.

Perbedaan Pengetahuan, Sikap, dan Ketrampilan

Hasil analisis pada tabel 1 menunjukkan skor pengetahuan ibu pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,000). Skor sikap ibu pada kelompok intervensi juga lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,000). Hasil observasi terhadap keterampilan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna skor keterampilan ibu di hari pertama pada kedua kelompok responden (p=0,732). Analisis lebih lanjut skor keterampilan di hari kedua dan ketiga menunjukkan skor yang lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan dengan (p=0,000).

Kemampuan ibu dinilai berdasarkan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Katagori dibuat berdasarkan kriteria: pengetahuan baik apabila skor yang diperoleh ≥75, sikap positif apabila skor yang diperoleh

(12)

≥ mean (75,48) dan keterampilan baik apabila skor ≥ 80. Ibu dikatakan mampu apabila memenuhi 2 katagori tersebut di atas. Skor pengetahuan yang diperoleh masing-masing kelompok ini menunjukkan skor pengetahuan ibu pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,000). Pengetahuan ibu tentang definisi diare, bahaya diare, kapan harus datang ke tempat pelayanan kesehatan dan peran ibu dalam manajemen diare di rumah meningkat sangat signifikan setelah diberikan pendidikan kesehatan yaitu dari 35 %, 28%, 13% and 29% sebelum intervensi, menjadi 91%, 94%, 92% and 93% setelah intervensi4. Hasil penelitian lain juga juga menemukan adanya perbedaan yang bermakna antara pengetahuan responden yang diberi pendidikan kesehatan dengan yang tidak diberikan pendidikan kesehatan (p=0,000)10. Rata-rata skor sikap ibu pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,000). Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang- tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya)8. Dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Pendidikan kesehatan perawatan anak diare merupakan salah satu sumber informasi untuk responden sehingga mengetahui tentang penyakit diare (penyebab, bahaya, pencegahan, perawatan selama di rumah sakit, dll). Pengetahuan ini akan membuat ibu berfikir dan berupaya agar anaknya cepat sembuh dan terhindar dari diare lagi dengan melakukan perawatan dan upaya-upaya pencegahan sesuai anjuran. Keterampilan responden diukur selama 3 hari pengamatan, dimana intervensi diberikan pada hari kedua. Skor yang dipakai untuk menentukan skor keterampilan post test adalah skor keterampilan pada hari ketiga.

Tidak ada perbedaan skor keterampilan responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan antara kelompok kontrol dan intervensi (p=0,366). Kondisi yang berbeda terlihat pada hari kedua dan ketiga, skor keterampilan kelompok yang mendapat pendidikan kesehatan meningkat dibanding dengan hari pertama. Skor keterampilan kelompok intervensi pada hari kedua dan ketiga lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,000).

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Yurika16, bahwa pendidikan kesehatan dapat meningkatkan keterampilan ibu dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan balita (p=0,019). Penelitian Muhadi7 menemukan bahwa tingkat pengetahuan yang baik secara signifikan berpengaruh terhadap tindakan pencegahan diare pada balita (p= 0,011), dan sikap ibu yang positif secara signifikan juga berpengaruh terhadap tindakan pencegahan diare pada balita (p= 0,003).

Hasil analisis pada tabel 2 menunjukkan sebagian besar (90,3%) ibu yang diberi pendidikan kesehatan mampu merawat anak diare, sedangkan sedangkan ibu yang tidak diberi pendidikan kesehatan hanya 19,4% yang mampu merawat anak dengan diare. Kemampuan ibu yang diberi intervensi pendidikan kesehatan lebih besar dibandingkan dengan yang tidak diberikan (p=0,000). Hasil analisis diperoleh pula nilai RR sebesar 4,667 artinya ibu yang diberi pendidikan kesehatan perawatan anak diare berpeluang sebesar 4,667 kali untuk mampu merawat anak diare dibanding ibu yang tidak diberikan pendidikan kesehatan.

(13)

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Redjeki11 yang mengidentifikasi kemampuan dan kepuasan ibu terhadap pendidikan kesehatan mengenai stimulasi perkembangan di Depok. Redjeki mendapatkan hasil bahwa adanya peningkatan yang bermakna pada kemampuan (pengetahuan, sikap dan keterampilan) ibu sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan. Hasil penelitian lain juga menemukan peningkatan yang signifikan pada pengetahuan, dan keterampilan ibu pada kelompok intervensi dalam merawat anak dengan ISPA. Paket pendidikan kesehatan anak diare efektif digunakan agar ibu mampu merawat anak diare di rumah sakit12. Apabila sudah memiliki kemampuan merawat anak diare, ibu akan mudah bekerjasama dalam perawatan anaknya, sehingga konsep family centered

care (FCC) dapat diterapkan dan mencapai

hasil asuhan keperawatan yang optimal. Responden dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang anaknya dirawat dengan diare dengan usia anak antara 0-59 bulan. Usia balita memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang tua sehingga kerjasama dengan orang tua selama perawatan anak sangat dibutuhkan. Keluarga khususnya ibu adalah orang yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak. Konsep yang mendasari asuhan yang berpusat pada keluarga adalah memfasilitasi keterlibatan orang tua dalam perawatan dan peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat anak. Orang tua diharapkan mempunyai kesempatan untuk meneruskan peran dan tugasnya merawat anak selama di rumah sakit14. Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat untuk memfasilitasi keterlibatan orang tua dalam perawatan anak adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan.

Kesimpulan dan Saran

Pendidikan kesehatan keluarga dengan topik perawatan anak diare terbukti efektif

meningkatkan kemampuan ibu dalam merawat anak diare di rumah sakit.

Pengetahuan, sikap dan keterampilan yang baik dalam perawatan anak diare, dapat mendukung terlaksananya konsep family

centered care dalam memberikan asuhan

keperawatan anak di rumah sakit. Kepada pemegang kebijakan di rumah sakit khususnya ruang perawatan anak, hendaknya membuat satu kebijakan untuk memberikan pendidikan kesehatan perawatan anak diare dengan lebih intensif dan terstruktur serta mempertimbang-kan media poster, leaflet atau audiovisual sehingga dapat lebih efektif dan efisien.

Daftar Pustaka

1. Assididdqi, M. H. (2010). Tingkat pengetahuan ibu terhadap penanganan diare pada balita di kelurahan padang bulan kecamatan medan baru; 2010 (accesed 28 Pebruari 2011) . Available from: http://repository.usu.ac.id. 2. Ariawan, I. 1998 Besar dan metode

sampel pada penelitian kesehatan. Jakarta: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; Tidak dipublikasikan.

3. Dinas Kesehatan Propinsi Bali. 2009. Laporan surveilen terpadu berbasis rumah sakit Propinsi Bali; Tidak dipublikasi.

4. Haroun, H.M, Mahfouz, M.S, Mukhtar, M.E, Salah, 2010. A. Assessment of the effect of health education on mothers in Al Maki area, Gezira state, to improve homecare for children under five with diarrhea. Journal of family & Community Medicine. 2010, 17(3), 141-146. 5. Handayani, Y. R. 2008. Gambaran

tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan balita diare di RSUD Dr. Hardjono Ponorogo; 2008. (accessed 28 Pebruari 2011). Available from : http:/ /library-ump.org.

(14)

11. Redjeki, G.S. Kemampuan dan kepuasan ibu terhadap pendidikan kesehatan mengenai stimulasi perkembangan anak usia toddler di Kelurahan Kemirimuka Depok. 2005(Accessed 17 Juni 2011). Available from : http://eprints.lib.ui.ac.id. 12. Santoso,E.J., Suyono. Pengaruh pendidikan kesehatan tentang penatalksanaan ISPA terhadap pengetahuan dan keterampilan ibu merawat balita ISPA di rumah. 2011. ( acceesed 21 Pebruari 2013). Available from : http://www.google.co.id

13. Subagyo, B dan Santoso, N.B. Diare akut. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Cetakan kedua. Jakarta: IDAI; 2011.

14. Supartini, Y . Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC; 2004.

15. Tram, et.al. The Impact of Health Education on Mother’s Knowledge, Attitude and Practice (KAP) of Dengue Haemorrhagic Fever. 2003. Dengue bulletin, 27, 174-180.

16. Yurika.Tesis. Efektifitas pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan, sikap dan ketrampilan ibu dalam pemantauan perkembangan balita. 2009. Tidak dipublikasikan.

6. Khalili, B, Gorbanali, S, Khalili, M, Mardani, M, & Cuevas, L.E. Risk factors for hospitalization of children with diarrhea in Shahrekord, Iran. Iranian Journal of Clinical Infectious Diseases. 2006,1(3), 131-136.

7. Muhadi, I. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap pencegahan penyakit diare Didesa Tumbang Manjul Kecamatan Seruyan Hulu Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah. 2009 ( Accessed 20 Juni 2011). Available from: http://eprints.undip.ac.id

8. Notoatmodjo, S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010 9. Potter, P.A., & Perry, A.G. Fudamental keperawatan (Edisi 7). Jakarta: Salemba Medika; 2009

10. Pranowo, A.E. Efektifitas pendidikan kesehatan tentang diare pada balita di Desa Pucangan wilayah kerja Puskesmas Kartasura I kabupaten Sukoharjo. 2009 (Accessed 16 Juni 2011). Available from: http:// etd.eprints.ums.ac.id.

(15)

PENGARUH PENDIDIKAN SEKSUALITAS REMAJA OLEH PENDIDIK SEBAYA TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG

BAHAYA SEKS BEBAS

NGK Sriasih1, NW Ariyani2, Juliana Mauliku3, AA Istri Dalem Cinthya Riris4

Abstract. Peer education is a group of teenager that already have learned by formal found about teenage reproduction health. This study aims to know the influence of sexual education by peer education to knowledge and attitude of teenager about harm of free sex. The methods in this study was an analytical observational study in time cross-sectional. The study was held in May 2011. Data in this research collected by question and statement in a questionnaire for 62 respondents that divided in two groups, 31 respondents have joined pear groupeducation and 31 other respondents have no joined peer group education.

The result showed the differences in two groups at all. There were significant differences in that two groups and its notice by t-independent test that showed p=0,00. I would highly recommend to all teenagers if want to know about right information must be going to right people that can be believes in and give right information as peer education it self. The researchers recommend the following research to be able to develop better methods and testing of the peer education should have done. Keywords : peer education; teenager; knowledge; attitude.

1,2,3 Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar 4 Staf Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar

Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa, tidak hanya dalam arti psikologis, tetapi juga dalam hal perubahan fisik. Sesuai dengan taraf perkembangannya, emosi yang masih labil dan hasrat untuk bereksperimen yang besar sering menghadapkan remaja dengan berbagai permasalahan baik dalam dirinya maupun dari lingkungannya1. Data Analisa Lanjut Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2003 dalam Kurikulum dan Modul Pelatihan Pemberian Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Pendidik Sebaya menemukan bahwa faktor yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual lebih besar (3x lebih besar) adalah teman sebaya yaitu mempunyai pacar, mempunyai teman yang setuju dengan hubungan seks pranikah, dan mempunyai teman yang mempengaruhi atau mendorong untuk melakukan seks pranikah2.

Akibat hubungan seks yang dilakukan secara bebas oleh remaja dapat menimbulkan dampak yang sangat membahayakan, merugikan kesehatan, dan merusak masa depan. Remaja yang melakukan seks bebas akan rentan mengalami penyakit menular seksual dan infeksi pada alat kelamin. Rasa ingin tahu mendorong remaja untuk mencari informasi tentang seksualitas. Dorongan rasa ingin tahu ini, jika tidak mendapatkan bimbingan dan penerangan yang tepat, maka para remaja dikhawatirkan akan memiliki anggapan yang salah mengenai masalah-masalah yang berkenaan dengan seks dan menimbulkan semakin tingginya seks bebas di kalangan remaja3.

Merespon permasalahan remaja yang sedang terjadi saat ini, pemerintah dalam hal ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah melaksanakan dan mengembangkan Program Kesehatan

(16)

Reproduksi Remaja (KRR) yang merupakan salah satu program pokok pembangunan nasional yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2004-2009). Program KRR yang diupayakan adalah pemberian pendidikan seksualitas bagi remaja oleh remaja atau disebut dengan pendidik sebaya. Melalui pendidik sebaya yang memberikan pendidikan seksualitas remaja sehingga remaja menerima informasi yang sudah tentu tepat dan benar4. Melalui hasil studi pendahuluan yang telah dilaksanakan pada Pebruari 2011 pada siswa di SMA Negeri 2 Denpasar yang pernah memperoleh pendidikan seksualitas dari organisasi KRR yang terdapat di sekolah ditemukan bahwa dari 10 orang terdapat 4 orang siswa peduli akan bahaya seks bebas dengan menyebarkan informasi pendidikan seksualitas tersebut ke teman-temannya yang lain sementara 6 orang siswa lain ada yang memiliki sikap biasa saja dalam menanggapi masalah bahaya seks bebas.

Pendidik sebaya adalah orang yang menjadi narasumber bagi kelompok remaja sebayanya yang telah mengikuti pelatihan pendidik sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Seks bebas adalah hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan pernikahan, baik suka sama suka atau dalam dunia prostitusi. Beberapa dampak yang membahayakan dari perilaku seks bebas, yaitu : kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi, dan infeksi menular seksual (IMS)5.

Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga6. Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap isu, ide, orang , kelompok sosial dan suatu objek 7.

Metode

Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional, didasari oleh adanya pengamatan ataupun pengukuran terhadap berbagai variabel penelitian menurut keadaan alamiah, tanpa melakukan manipulasi atau intervensi. Penelitian ini menggunakan rancangan analitik observasional dengan pendekatan cross-sectional, yaitu peneliti melakukan pengamatan langsung kepada responden dengan melakukan penyebaran kuisioner untuk dianalisis. Penelitian ini menggambarkan perbedaan pada kelompok siswa SMA yang mengikuti dan yang tidak mengikuti pendidikan seksualitas yang diberikan oleh pendidik sebaya. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Denpasar pada Mei 2011. Populasi dalam penelitian ini keseluruhan remaja putra dan putri di SMA Negeri 2 Denpasar pada Maret 2011. Unit analisis atau responden dalam penelitian ini remaja putra dan putri di SMA Negeri 2 Denpasar pada Maret 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan sebagai pembanding siswa siswi diluar kriteria inklusi serta bersedia menjadi responden. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total

sampling dan untuk kelompok kontrol atau

pembanding dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik probability

sampling, yaitu proportionate stratified random sampling dengan proses matching

berdasarkan tingkatan kelas. Besar sampel keseluruhan 62 orang dengan perbandingan 31 orang mendapatkan dan 31 orang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya.

Data dikumpulkan melalui pengisian kuisioner yang dijawab langsung oleh responden selama 20 menit setelah diberi penjelasan tentang cara pengisian kuisioner. Data responden didapatkan melalui daftar hadir siswa siswi yang pernah mengikuti pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya di organisasi KRR SMA Negeri 2 Denpasar. Analisa sebaran data dilakukan berdasarkan uji normalitas data

(17)

dengan parameter Kolmogorov-Smirnov dengan nilai kemaknaan p > 0,058, dilanjtkan dengan analisis univariat dengan memaparkan nilai rata-rata dan standar deviasi. Pengujian hipotesis dilakukan dengan melakukan uji-t dua kelompok tidak berpasangan setelah diketahui bahwa data berdistribusi normal. Nilai kemaknaan dalam penelitian ini adalah

p < 0,05. Penelitian ini menggunakan uji beda

sehingga apabila setelah pengolahan data ditemukan nilai p < 0,05 maka Ha diterima dan terdapat perbedaan yang signifikan9.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran pengetahuan dan sikap remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya selengkapnya disajikan dalam tabel 1.

Berdasarkan tabel 1, variabel pengetahuan dan sikap memiliki nilai p>0,05, sehingga data seluruh variabel berdistribusi normal. Nilai rata-rata pengetahuan responden yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya 15,4, standar deviasi 2,5, nilai minimal 11 dan maksimal 23. Hasil analisis data menunjukkan nilai rata-rata sikap responden yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya 62,3 dan standar deviasi 8,3, nilai minimal 53 dan maksimal 73.

Berdasarkan tabel 2, variabel pengetahuan dan sikap pada kelompok yang mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya juga memiliki nilai p>0,05, sehingga data seluruh variabel berdistribusi normal. Nilai rata-rata pengetahuan responden yang mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya 81,58, standar deviasi 9,93, nilai minimal 17 dan maksimal 29. Hasil analisis data menunjukkan nilai rata-rata sikap responden yang mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya 62,26 dan standar deviasi 8,26, nilai minimal 63 dan maksimal 95.

Perbedaan pengetahuan responden antara remaja yang mendapatkan dengan yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya dapat diketahui dengan melakukan uji t tidak berpasangan (independent t-test). Hasil analisa diperoleh bahwa nilai t hitung = 10,49 dengan p = 0,00. Hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat bermakna. Hal ini dapat dilihat dari nilai p < 0,05 sehingga Ho ditolak, yaitu terdapat perbedaan pengetahuan remaja tentang bahaya seks bebas pada remaja yang mendapatkan dibandingkan dengan remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya.

Perbedaan sikap responden antara remaja yang mendapatkan dengan yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya dapat diketahui dengan melakukan uji t tidak berpasangan (independent t-test). Hasil analisa diperoleh bahwa nilai t hitung = 8,33 dengan p = 0,00 . Hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat bermakna. Hal ini dapat dilihat dari nilai p < 0,05 sehingga Ho ditolak, yaitu terdapat perbedaan sikap remaja tentang bahaya seks bebas pada remaja yang mendapatkan dibandingkan dengan remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya.

(18)

Pengetahuan responden yang

mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya

Responden yang mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya yang secara keseluruhan berjumlah 31 orang memiliki nilai rata-rata 23,74, Standar deviasi 3,65, nilai minimum 17 dan maksimal 29. Pendidikan seksualitas remaja yang diberikan oleh pendidik sebaya dilakukan dengan suasana tempat dan kondisi yang menyenangkan serta materi yang disampaikan merupakan informasi yang benar. Remaja mengalami perubahan sesuai dengan masanya, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis, dengan demikian diperlukan pengarahan yang tepat seperti mendapatkan informasi yang tepat sehingga terhindar dari bahaya seks bebas. Pendidik Sebaya dapat menjadi solusi untuk kejadian yang banyak dialami remaja karena bagi remaja teman adalah orang yang terpercaya dibandingkan orang tua, sehingga melalui kegiatan pendidik sebaya mampu memberikan pengetahuan bagi remaja mengenai bahaya seks bebas dan mampu menghindarinya10.

Pengetahuan responden yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya

Responden yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya yang secara keseluruhan berjumlah 31 orang memiliki nilai rata-rata pengetahuan 15,4, standar deviasi 2,5, nilai minimum 11 dan maksimal 23

Secara psikologis remaja akan lebih banyak bersama teman sebayanya dan lebih mempercayai teman dibandingkan orang tuanya, sehingga apabila salah memilih teman dapat menyebabkan pemahaman terutama dalam hal seksualitas remaja yang tidak tepat dan rawan dengan ancaman bahaya seks bebas. Pergaulan yang berorientasi pada hal-hal yang tidak tepat, maka akan dapat menyebabkan remaja meniru dan mengikutinya11.

Pihak sekolah dalam hal ini sangatlah berperan, karena dengan usia remaja pasti lingkungan yang sering diikuti adalah sekolah dan bermain dengan teman sebaya. Melalui pendidik sebaya dapat disebarluaskan informasi tentang bahaya seks bebas yang tepat. Menyampaikan informasi yang disesuaikan dengan sasaran dan materi yang disampaikan akan mampu menimbulkan suatu pemahaman yang benar dan tidak menyimpang. Pendidikan seksualitas melalui pendidik sebaya merupakan metode untuk menyampaikan informasi agar para remaja tahu dan mengerti sehingga mampu memiliki pemahaman yang benar12.

Sikap responden yang mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya

Responden yang mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya yang secara keseluruhan berjumlah 31 orang memiliki nilai rata-rata 81,58, standar deviasi 9,93, nilai minimum 63 dan maksimum 95. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidik sebaya mampu mengubah atau mempengaruhi sikap remaja tentang bahaya seks bebas. Menurut teori adapun tujuan diberikannya pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya, yaitu tercapainya perubahan perilaku remaja dalam memahami perubahan-perubahan yang dialami remaja sehingga terhindar dari bahaya seks bebas sebagai upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal. Sikap remaja yang mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya tentang bahaya seks bebas sebagian besar adalah positif, hal ini menunjukkan bahwa tujuan dari pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya tersebut terbukti.

Sikap responden yang tidak

mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya

Responden yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik

(19)

sebaya yang secara keseluruhan berjumlah 31 orang memiliki nilai rata-rata sikap 62,26, standar deviasi 8,16, nilai minimum 53 dan maksimum 73.

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup Sikap remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya sebagian besar memiliki kategori negatif. Secara teori menyebutkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang akan mendorong terbentuknya sikap yang lebih baik. Hal ini pun terbukti dengan data yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki sikap dalam kategori negatif13.

Perbedaan pengetahuan responden yang mendapatkan dengan yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya

Data pengetahuan remaja yang mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya memiliki nilai p = 0,40. Data pengetahuan remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya memiliki nilai

p = 0,06. Data sikap remaja yang

mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya memiliki nilai p = 0,18. Data sikap remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya memiliki nilai p = 0,13. Mengacu pada keseluruhan data tersebut, maka dapat dilihat bahwa nilai p > 0,05 pada seluruh data, sehingga dapat disimpulkan data dalam penelitian ini berdistribusi normal.

Hasil uji normalitas data menunjukkan distribusi sebaran data normal sehingga dapat dilakukan uji-t tidak berpasangan. Menurut hasil uji statistik yang dilakukan dengan uji parametrik, yaitu uji-t 2 kelompok tidak berpasangan (independent t-test) diperoleh nilai t hitung = 10,49 dengan p = 0,00. Nilai

p < 0,05 menunjukkan bahwa Ho ditolak

yang artinya terdapat perbedaan pengetahuan remaja tentang bahaya seks bebas pada remaja yang mendapatkan dibandingkan dengan remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya. Adanya perbedaan nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi antara kedua kelompok tersebut menyatakan bahwa pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya berpengaruh terhadap pengetahuan remaja tentang bahaya seks bebas.

Nilai dari responden dalam masing-masing kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan motivasi dari masing-masing responden. Hasil penelitian ini diperkuat juga dengan teori Systematic Behavior oleh Clart

Chart menyatakan bahwa suatu kebutuhan

atau keadaan terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, dan ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar sebelum suatu respon dapat diperkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi intrinsik dapat mendorong seseorang sehingga pada akhirnya orang itu menjadi spesialis dalam ilmu pengetahuan tersebut14.

Perbedaan sikap responden yang mendapatkan dengan yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas oleh pendidik sebaya

Hasil uji statistik yang dilakukan dengan uji t 2 kelompok tidak berpasangan (independent

t-test) diperoleh nilai t hitung = 8,33 dengan

nilai p = 0,00. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa Ho ditolak yang artinya terdapat perbedaan sikap remaja tentang bahaya seks bebas pada remaja yang mendapatkan dibandingkan dengan remaja yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan pengetahuan antara kedua kelompok remaja ini, sehingga secara langsung mempengaruhi sikap remaja tentang bahaya seks bebas. Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa dalam penentuan sikap yang

(20)

utuh, pengetahuan, berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting, sehingga setiap individu akan mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek6.

Menurut Raditya (dalam Kusumastuti, 2010) mengemukakan bahwa pendidikan seksualitas remaja yang diberikan oleh pendidik sebaya akan dapat memberikan pengetahuan yang diharapkan dapat merubah sikap1. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sumardiwati (dalam Husodo, 2008) bahwa terdapat perbedaan antara pengetahuan dan sikap setelah sasaran mendapatkan pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya10. Melalui pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa pemberian pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya tentang bahaya seks bebas sangat diperlukan, sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud yaitu remaja mampu melewati masa remajanya, memiliki moralitas yang tinggi, dan terutama dapat terhindar dari bahaya seks bebas11.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pendidikan seksualitas remaja oleh pendidik sebaya berpengaruh secara signifikan terhadap pengetahuan dan sikap remaja tentang bahaya seks bebas. Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan, maka untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang bahaya seks bebas, disampaikan beberapa saran terutama kepada institusi SMA Negeri 2 Denpasar agar tetap mendukung pelaksanaan organisasi informal di sekolah sehingga para remaja semakin memahami dirinya serta akhirnya mampu mewujudkan remaja yang memiliki moralitas tinggi, mampu menghadapi masa remaja, dan terutama terhindar dari bahaya seks bebas. Harapan kepada peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian ini dengan waktu pengamatan yang lebih lama sehingga mencapai tujuan dan hasil yang maksimal, serta penelitian dilakukan di tempat yang

berbeda dan besar sampel lebih banyak serta konsep yang berbeda disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.

Daftar Pustaka

1. Kusumastuti, F.A.D. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Sikap Seksual Pranikah Remaja. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Karya Tulis Ilmiah. Surakarta

2. Muadz, M. M. dkk. 2007. Kurikulum dan Modul Pelatihan Pemberian Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Pendidik Sebaya. Jakarta : BKKBN

3. Tim Sahabat Remaja PKBI DIY. 2006. Tanya Jawab Seputar Seksualitas Remaja (Panduan untuk Tutor dan Penceramah). Yogyakarta : PKBI 4. Muadz, M. M. dkk. 2008. Panduan

Pengelolaan Pusat Informasi & Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta : BKKBN

5. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalannya. Jakarta : CV Sagung Seto

6. Notoatmodjo,S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Cetakan I. Jakarta : PT. Rineka Cipta

7. Mu’tadin, Z. 2010. Pendidikan Seksual Pada Remaja. http:// belajarpsikologi.com/pendidikan-seksual-pada-remaja. Diakses pada tanggal 12 Pebruari 2011.

8. Dahlan, M.S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Evidence Based Medicine 1 ( Edisi 4). Jakarta :Salemba Medika

9. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : CV. Alfabeta

(21)

10. Husodo, T.B.& Widagdo, L., 2008, Pengetahuan dan Sikap Konselor SMP dan SMA dalam Penyuluhan Kesehatan Reproduksi di Kota Semarang, Makara Kesehatan 12 (2): p.59-62

11. Lukman, A. J. 2004. Remaja Hari Ini Adalah Pemimpin Masa Depan. Jakarta : BKKBN

12. Negara, O. Situasi Kesehatan Reproduksi Dan Seksual Remaja di Bali. http://okanegara.wordpress.com. Diakses pada tanggal 13 Pebruari 2011. 13. Azwar, S. 2005. Sikap Manusia, Teori, dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset

14. Mubarak, W.I., 2007, Promosi Kesehatan, Yogyakarta: Graha Ilmu

(22)

PELAYANAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT DI POLIKLINIK GIGI RSUD KABUPATEN BADUNG

Ni Nyoman Dewi Supariani1

Abstract. The utilization of oral health services by communities in Badung regency, on average every day is increasing every year, but still less than the national target that is ideally 16 people / day for hospital type C. The aim of this study to determine the factors associated with dental and oral health services utilization in the dental polyclinic in Badung regency Hospital. This study uses quantitative methods with Explanatory Research and cross sectional.. The sample size was 399 people, Univariate data analysis used chi-square bivariate. Results showed that the most respondents (90.0%) low use of dental and oral health services. Variables related to utilization of dental and oral health services is variable work, hospital image, image of health workers. Variables that are not related are the variable age, gender, knowledge.

Keywords: utilization, dental care, dental clinic, Badung District Hospital

1 Dosen Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Denpasar

Penelitian Hendrartini (1995) menunjukkan bahwa rata-rata umur dewasa muda (20-30 tahun) paling banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan dibandingkan kelompok umur lainnya.4)

Relliyani (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa salah satu karakteristik pasien yang mempengaruhi pemanfaatan peleyanan kesehatan adalah jenis kelamin. Jenis kelamin wanita lebih banyak dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki.5)

Penelitian Dharmmesta dan Handoko (2000), keputusan konsumen dalam memilih pelayanan dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Konsumen yang terpuaskan akan membuat rekomendasi positif kepada konsumen yang lain, dan konsumen yang tidak terpuaskan akan kembali keseleksi awal serta konsumen yang kecewa akan membuat rekomendasi negatif terhadap konsumen lain.6) Penelitian Andari (2006), menyimpulkan semakin baik pengalaman sebelumnya, semakin tinggi pemanfaatan pelayanan kesehatan di poliklinik gigi.7)

Berbagai program upaya kesehatan telah dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, salah satunya adalah program pelayanan kesehatan gigi. Program ini bertujuan meningkatkan, memantapkan, mempertahankan jangkauan dan pemerataan serta meningkatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di rumah sakit dan pemanfaatan poliklinik gigi oleh masyarakat1)

Rendahnya penggunaan sarana pelayanan kesehatan oleh sebagian masyarakat terkait dengan perilaku pencarian pengobatan dan konsep sakit-sehat dari masyarakat, adanya sarana dengan beragam sistem pengobatan membuka peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan pada sarana yang menjanjikan2)

Dari berbagai rujukan dan hasil penelelitian didapatkan: Faida dan Suprihanto (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat pendidikan mempunyai korelasi sangat bermakna terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan, yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin sering dia memanfaatkan pelayanan kesehatan3)

(23)

Data Dinas Kesehatan Propinsi Bali 2006 didapatkan jumlah kunjungan pasien ke Poliklinik Gigi sebesar 22,51%, 2007 22,90%, 2008 jumlah kunjungan 27,96% sedangkan 2009 sebesar 22,33 %.8)

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Badung 2009, perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan atau pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Kabupaten Badung diperoleh 32,36% masyarakat berkunjung ke rumah sakit dan sisanya sebanyak 67,64% masyarakat cenderung berobat ke sarana-sarana kesehatan swasta, dokter gigi praktek, puskesmas dan pengobatan alternatif.9)

Pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dapat dilihat dari jumlah kunjungan pasien dan tindakan yang dilakukan pada poliklinik gigi RSUD Kabupaten Badung dari 2006 sampai dengan 2009, rata-rata tiap hari meningkat, dari tahun ketahun, tetapi masih kurang dari 16 orang/hari.10). Target Nasional yaitu idealnya 16 orang / hari untuk rumah sakit tipe C.11)

Adapaun masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah” Apakah faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poliklinik gigi RSUD Kabupaten Badung? Sedangkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poliklinik gigi RSUD Kabupaten Badung tahun 2011.

Metode

Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian

Explanatory Research dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini

adalah masyarakat di wilayah kabupaten Badung yang terindikasi terkena karies berdasarkan Riskesdas 2009 sebesar 38,4 % (109.193 orang). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus dari Notoatmodjo yaitu :12) 2 ) ( 1 N d N n + =

Dengan dispersi hasil penelitian dibatasi sebesar 5% maka diketahui besar sampel ideal yang diinginkan dalam penelitian ini adalah 399 sampel. Untuk pengambilan sampel di masing-masing kelurahan/desa dilakukan secara proporsional random

sampling.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Responden

Umur responden terbanyak pada kelompok umur dewasa (≥30 tahun) sebesar 52,9%., dan sisanya umur muda (< 30 tahun ) sebesar 47,1%. Jenis kelamin responden terbanyak perempuan sebesar 55,4% dan sisanya 44.6% laki-laki.

Pekerjaan responden terbanyak sebagai wiraswasta sebesar 33.3%, pelajar/ mahasiswa sebesar 29,8%, pegawai negeri sipil 17,3%, karyawan swasta sebesar 16,3%, tidak bekerja 2,8% dan terkecil adalah sebagai TNI/POLRI sebesar 0,5%. Pengetahuan responden tentang pelayanan kesehatan gigi dan mulut terbanyak pada kategori pengetahuan tinggi yaitu sebesar 86,0% dan sisanya 14,0% pengetahuan responden dengan kategori rendah.

Tabel 1 diketahui bahwa persentase image rumah sakit terbanyak pada kategori buruk sebesar 57,4 % dan sisanya 42,6% kategori baik.

(24)

Tabel 2 diketahui bahwa persentase image tenaga kesehatan di poliklinik gigi rumah sakit terbanyak pada kategori baik sebesar 60.2%, sedangkan sisanya pada kategori buruk yaitu sebesar 39,8%.

Tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar responden tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yaitu 90,0% dan sisanya 10,0% responden memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Analisis Bivariat

Hasil uji Chi Square enam variabel yang dianalisa terdapat tiga variabel yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di rumah sakit yaitu variabel umur, jenis kelamin, pengetahuan tentang pelayanan kesehatan gigi dan mulut,sedangkan variabel yang berhubungan adalah pekerjaan dengan p value=0,00; image rumah sakit dengan p value = 0,00; image tenaga kesehatan dengan p value = 0,00; artinya ada hubungan yang bermakna dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan 90% responden yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan hanya 10% yang memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dirumah sakit karena responden malas memeriksakan giginya, tidak ada waktu dan takut tertular penyakit lain. 10% responden yang memanfaatkan pelayanan kesehatan membersihkan karang gigi, penambalan gigi, mencabut gigi, kontrol kesehatan gigi dan berobat karena sakit gigi. Berdasarkan umur diperoleh hasil 52,9% responden berumur dewasa (≥30 tahun) dan 47,1% berumur muda (<30 tahun). Tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poliklinik gigi. Artinya responden berumur dewasa dan berumur muda tidak ada hubungan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poliklinik gigi rumah sakit. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Hendratini (1995) yang menunjukkan bahwa rata-rata umur muda paling banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Berdasarkan jenis kelamin diperoleh hasil responden berjenis kelamin perempuan sebesar 55,4%, jenis kelamin laki-laki sebesar 44,6%. Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Walaupun variabel jenis kelamin tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di rumah sakit , namun responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dibandingkan dengan responden berjenis kelamin laki-laki. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Relliyani (2000) menyatakan karateristik pasien yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan

Gambar

Tabel 1 diketahui bahwa persentase image rumah sakit terbanyak pada kategori buruk sebesar 57,4 % dan sisanya 42,6% kategori baik.
Tabel 2 diketahui bahwa persentase image tenaga kesehatan di poliklinik gigi rumah sakit terbanyak pada kategori baik sebesar 60.2%, sedangkan sisanya pada kategori buruk yaitu sebesar 39,8%.
Tabel 1 memberi informasi bahwa seluruh data tidak berdistribusi normal (p&lt;0,05).
Tabel 6 memberi informasi bahwa sebagian besar kelompk perlakuan berhasil melaksanakan IMD, sedangkan kelompok control sebaliknya, yaitu 70,83% gagal melakukan IMD.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai sinkronisasi antara Pasal 36 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan terhadap Pasal 23 ayat (1)

 Masa percobaan adalah untuk majikan untuk menguji kesesuaian karyawan untuk pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Majikan dapat menguji bakat, sikap, kemampuan

komputer, sekolah dan sekitarnya dengan cermat dan berhati-hati  Bekerja sama dan berdiskusi untuk menemukan informasi di  Mengiden tifikasi peralatan teknologi

Pelaksanaan kewenangan ini masih menemui kendala, yaitu tumpang tindihnya kewenangan dari para stakeholders, banyak stakeholders yang terlibat di dalamnya namun

Melalui metode deskriptif analisis, penulis mencoba untuk menyusun, mengolah, menganalisis dan menginterpretasikan fakta-fakta yang didapat guna menjawab dan mengetahui

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Metode kata ganti orang pertama di dalam teks buku biografi GUE BETAWI: Benyamin Suaeb Si Tukang Artis, merupakan cara yang tepat untuk mengkomunikasikan pengalaman

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa civil society merupakan suatu ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain, dalam ruang