• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Need to Belong

2.1.1 Pengertian Need to Belong

Pada dasarnya setiap manusia memang memiliki sejumlah kebutuhan interpersonal. Menurut Baumeister & Leary (1995), need to belong adalah kebutuhan untuk membina hubungan dengan individu lain (affiliation) dan diterima di lingkungan sosial (social acceptance). Kebutuhan to belong adalah kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dari orang lain. Teori ini menggunakan konsep yang sejajar dengan karya Abraham Maslow tentang hierarki lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis (physiological need), kebutuhan akan keamanan (safety need), kebutuhan akan cinta dan kepemilikan (love/ belonging need), kebutuhan akan penghargaan (esteem need) dan kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization need).

Maslow (dalam Alex Sobur, 2003) mendefinisikan belongingness and love

needs sebagai kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, muncul ketika kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi secara rutin. Cinta disini berarti rasa sayang dan rasa terikat (to belong) baik dari keluarga sendiri, teman sekerja, teman sekelas, dan lain-lainnya, seseorang ingin agar dirinya disetujui dan diterima. Menurut Lumumba (2012) menyatakan bahwa, “A sense of belonging is the feeling of

being connected and accepted within one’s family and community.” Sense of belonging berfungsi sebagai pembentuk identitas dalam diri individu dan sebagai motivasi untuk mereka berpartisipasi dalam masyarakat atau kelompoknya.

(2)

Kebutuhan belonging merupakan suatu pengalaman keterlibatan pribadi dalam sistem atau lingkungan sehingga orang tersebut merasakan diri mereka menjadi bagian integral dari sistem lingkungan (Hagerty, Lynch-sauer, Patusky, Bouwsema, & Collier, 1992). A sense of belonging and identification is

expectation or faith that will belong and acceptance by the community (Mcmillan & Chavis, 1986). Need to belong merupakan motivasi internal untuk berafiliasi dengan orang lain dan diterima dalam lingkungan sosial (Cherry, 2016). Kebutuhan love & belonging need meliputi kebutuhan kasih sayang, keluarga, sejawat, pasangan, anak (Lisa, 2005).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa need to belong merupakan kebutuhan untuk membina hubungan dengan individu lain dan diterima di lingkungan sosial.

2.1.2 Aspek Need to Belong

Baumeister & Leary (1995) mengatakan bahwa need of belonging memiliki penekanan pada dua aspek utama yaitu:

a. Affiliate with other yaitu kebutuhan untuk membina hubungan dengan individu lain.

b. Social Acceptance yaitu kebutuhan untuk diterima oleh individu lain di lingkungan sosial.

2.2 Masa Dewasa Awal

2.2.1 Pengertian Masa Dewasa Awal

Istilah dewasa awal (adult) berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah

(3)

menjadi dewasa. Perkembangan dewasa dibagi menjadi tiga bagian yaitu, dewasa awal (young adulthood) dengan usia berkisar antara 20 sampai 40 tahun. Dewasa menengah (middle adulthood) dengan usia berkisar antara 40 sampai 65 tahun dan dewasa akhir (late adulthood) dengan usia mulai 65 tahun ke atas (Papalia et al, 2007).

Menurut Erikson (dalam Will, 2012), Individu yang berada dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan psikososial (intimacy vs isolation), menghadapi tugas perkembangan untuk berbagi kedekatan (intimacy), berusaha membangun hubungan dan menemukan cinta yang mendalam. Orang-orang pada masa dewasa awal cenderung memiliki lebih banyak teman dibanding orang dewasa paruh baya atau tua (Upton, 2012). Tahap ini terjadi pada usia sekitar 20-30 tahun. Hurlock (Upton, 2012) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai kira-kira usia 40 tahun. Menurut Santrock (dalam Marliani, 2015), orang pada masa dewasa awal termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik, transisi secara intelektual, serta transisi peran sosial. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang diharapkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal merupakan masa manusia memasuki transisi dari remaja ke dewasa yang mencakup usia 18 tahun hingga 40 tahun. Individu menghadapi tugas perkembangan (intimacy vs isolation) untuk berbagi kedekatan, berusaha membangun hubungan dan menemukan cinta yang mendalam serta cenderung memiliki lebih banyak teman.

(4)

2.2.2 Tugas Perkembangan pada Masa Dewasa Awal

Tugas perkembangan pada masa dewasa awal, yaitu (Turner & Helms dalam Dariyo, 2008):

a. Mencari dan memilih pasangan hidup

b. Belajar menyesuaikan diri dan hidup secara harmonis dengan pasangan c. Mulai membentuk keluarga dan memulai peran baru sebagai orangtua d. Membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan mereka

e. Belajar menata rumah tangga dan memikul tanggung jawab f. Mengembangkan karir atau melanjutkan pendidikan

g. Memenuhi tanggung jawab sebagai warga Negara h. Menemukan kelompok sosial yang sesuai

Tugas perkembangan diatas terlihat bahwa tugas terpenting pada masa dewasa awal adalah untuk membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Erikson (dalam Papalia, 2008), bahwa dimana permasalahan utama individu yang berada dalam tahap perkembangan pada masa dewasa awal adalah intimacy versus isolation. Pada tahap ini individu berusaha untuk membuat komitmen pribadi maupun dengan orang lain. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.

(5)

2.3 Intensitas Penggunaan Media Sosial

2.3.1 Pengertian Media Sosial

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (dalam Winduwati, 2016) mendefinisikan media sosial sebagai kelompok dari aplikasi berbasiskan internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi web versi 2.0 yang memungkinkan terciptanya website yang interaktif. Istilah “web 2.0” digunakan secara khusus untuk menjelaskan teknologi semacam wikis, weblogs, dan media internet lainnya. Teknologi internet berbasis “web 2.0” adalah satu pengklasifikasian “wajah baru dari web” dimana karakteristik pertukaran data adalah many-to-many atau dengan istilah pembaca berinteraksi dengan pembuat berita atau konten dan pembaca lainnya. Sebelumnya pertukaran data yang terjadi adalah one-to-many dikenal dengan teknologi “web 1.0”, disini pembaca tidak bisa berinteraksi dengan pembuat berita/konten.

Media sosial menurut Yunus (2010) merupakan media yang terhubung dengan jaringan internet yang memungkinkan pengguna melakukan komunikasi dalam dunia virtual atau online. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Jalonen (2014) menjelaskan bahwa pada umumnya media sosial merujuk pada alat komunikasi antar manusia dimana mereka dapat menciptakan, berbagi, dan bertukar informasi dalam jaringan internet (networks).

Haryanto (2009) mendefinisikan situs media sosial atau yang disebutnya situs pertemanan sebagai situs yang mengijinkan penggunanya yang telah terdaftar untuk saling berhubungan dan berkomunikasi melalui halaman profil yang bisa dicustomisasi oleh pengguna yang bersangkutan. Boyd & Ellison

(6)

(2008) mendefinisikan situs jejaring sosial atau disebut situs jaringan sosial (social network sites) sebagai layanan berbasis web yang memungkinkan individu untuk membangun hubungan publik atau semi publik dalam bentuk profil pada sebuah sistem terikat, menelusuri daftar pengguna lain dengan siapa individu berkoneksi, dan menampilkan daftar hubungan pengguna serta daftar milik orang lain. Situs jejaring sosial mengizinkan penggunanya yang telah terdaftar untuk saling berhubungan dan berkomunikasi melalui halaman profil teman yang bisa dipilih oleh pengarang yang bersangkutan. Jenis dan tata cara koneksi situs jejaring sosial dapat beragam dari satu situs ke situs lain.

2.4 Pengertian Intensitas Penggunaan Sosial Media

Menurut Ellison, dkk (2007), intensitas penggunaan media sosial dapat didefinisikan dengan seberapa banyak jumlah teman dan waktu (frekuensi atau durasi) seorang individu dihabiskan di situs media sosial. Intensitas penggunaan media sosial dilihat dengan menggunakan indeks jumlah teman, frekuensi atau durasi, keterikatan emosional individu ke media sosial dan integrasinya ke dalam kegiatan sehari-hari individu. Dalam hal ini yaitu seberapa terikat individu dengan sosial media, jumlah “teman” di media sosial dan jumlah waktu yang dihabiskan di media sosial.

Intensitas penggunaan media sosial sendiri diartikan sebagai seberapa sering dan seberapa lama seseorang dalam menggunakan atau mengakses sebuah media sosial (Daryanto dalam Antony, 2016). Menurut Horrigan (2000), Intensitas penggunaan memiliki dua dimensi yaitu durasi dan frekuensi. Durasi artinya seberapa lama orang tersebut mengakses media sosial, dan frekuensi berarti seberapa sering orang tersebut mengakses media sosial.

(7)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa intensitas penggunaan media sosial adalah seberapa banyak jumlah teman dan waktu (frekuensi atau durasi) seorang individu dihabiskan di situs media sosial serta seberapa terikat individu dengan sosial media.

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensitas Penggunaan Media Sosial

Faktor yang mempengaruhi intenistas penggunaan media sosial menurut Ellison, dkk (2011) diantaranya:

a. Hiburan bersantai (relaxing entertainment), mengacu pada orang yang menggunakan media sosial untuk bersantai (relax), have fun dan mendapatkan hal-hal yang menyenangkan dari teman-teman yang tergabung dalam jejaring sosial.

b. Berbagi infromasi ekspresif (expressive information sharing), mengacu pada orang yang menggunakan media sosial untuk saling berbagi konten, peringkat, menyimpan favorit mereka, merekomendasikan konten serta memposting komentar.

c. Pelarian diri (escapism),mengacu pada orang-orang yang menggunakan media sosial untuk menghilangkan stress dan melupakan masalah di dunia nyata dengan berkomunikasi bersama teman virtual.

d. Keren dan trend baru (cool and new trend), mengacu pada orang-orang yang menggunakan media sosial untuk mengikuti tren dan terlihat keren,

(8)

e. Persahabatan (companionship), mengacu pada orang-orang yang menggunakan media sosial untuk mendekatkan diri dengan orang lain

f. Kepentingan profesional (professional advancement), mengacu pada orang-orang yang menggunakan media sosial untuk jaringan bisnis dan profesional.

g. Interaksi sosial (social interaction), mengacu pada orang-orang yang menggunakan media sosial untuk berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain.

h. Mengisi waktu luang (habitual pass time), mengacu pada orang-orang yang menggunakan media sosial karena tidak memiliki hal lain yang dapat dilakukan sehingga untuk mengisi waktu.

i. Bertemu dengan orang baru (to meet new people).

2.6 Aspek Intensitas Penggunaan Media Sosial

Menurut Ellison, dkk (2007), intensitas penggunaan media sosial terdiri dari 3 aspek yaitu:

a. Jumlah “teman” yang dimiliki dimedia sosial.

b. Frekuensi atau durasi yaitu seberapa banyak waktu yang dihabiskan di media sosial.

c. Keterikatan emosional individu ke media sosial dan integrasinya ke dalam kegiatan sehari-hari individu.

(9)

2.7 Pengaruh Intensitas Penggunaan Media Sosial terhadap Need to Belong pada Masa Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa yang memiliki tugas perkembangan diantaranya adalah membangun hubungan intim. Orang pada masa dewasa awal menurut menurut Santrock (dalam Marliani, 2015), termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik, transisi secara intelektual, serta transisi peran social. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial menjadi semakin stabil. Keterampilan sosial seseorang menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang diharapkan.

Penelitian mengenai aspek ini pertama kali dilatar belakangi oleh Baumeister & Leary. Menurut Roy Baumeister dan Mark Leary (dalam Miller, 2007), pada dasarnya setiap manusia memang memiliki sejumlah kebutuhan interpersonal. Need to belong adalah kebutuhan untuk membina hubungan dengan individu lain (affiliate with other) dan diterima di lingkungan sosial (social

acceptance). Individu dengan afiliasi yang tinggi merasa khawatir apakah orang lain peduli padanya, ia akan mengandalkan orang lain ketika membutuhkan bantuan, memiliki kebutuhan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, dll. Sedangkan orang yang memiliki social acceptance tinggi akan merasa terganggu dan kecewa jika orang lain tidak menerimanya, ia akan berusaha keras tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat orang lain menolak dirinya.

Menurut Ellison, dkk (2011) cara yang dilakukan individu dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut diantaranya adalah dengan menggunakan media sosial. Pada saat ini, perkembangan teknologi telah menghasilkan penemuan-penemuan yang dapat mempermudah individu dalam menjalin komunikasi dengan

(10)

individu lainnya. Situs pertemanan mulai muncul kepermukaan sebagai situs yang menawarkan pola hubungan sosial dengan bentuk komunikasi yang dipermudah. Berbagai upaya untuk memperbaiki dan melengkapi situs yang telah ada dilakukan. Seiring teknologi internet dan smartphone makin maju maka media sosial pun ikut tumbuh dengan pesat. Kini untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja hanya dengan menggunakan sebuah smartphone. Hampir setiap generasi muda dari semua kalangan memiliki smartphone dan mereka membawa social media kemana-mana, bersosialisasi dimanapun dan kapanpun.

Proses interaksi antara individu satu dengan yang lainnya melalui media sosial ini menciptakan sebuah kontak sosial secara regular dengan orang-orang yang membuat individu merasa terhubung. Semakin mudahnya mengakses media digital membuat pengguna sosial media dapat tetap berhubungan dengan teman dan keluarga, selain itu juga dapat bertemu dan berbungan dengan teman lama, berkenalan dengan teman dari sahabat, serta berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenal sebelumnya. Individu memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dan berbagi pengalaman, hobi, dan minat dengan orang-orang dengan latar belakang, budaya dan negara yang berbeda. Keunggulan dan kemudahan itulah yang membuat banyak individu hampir tiap hari menggunakan sosial media dalam rangka pemenuhan need to belong.

Pemanfaatan media sosial tersebut pada gilirannya juga akan mengacu pada tingkat intensitas menggunakan media sosial yang semakin tinggi. Menurut Ellison, Steinfield, & Lampe (2007), Intensitas penggunaan media sosial dilihat dengan menggunakan indeks frekuensi, durasi, keterikatan emosional individu ke

(11)

media sosial dan integrasinya ke dalam kegiatan sehari-hari individu. Dalam hal ini yaitu seberapa terikat individu dengan sosial media, jumlah “teman” di media sosial dan jumlah waktu yang dihabiskan di media sosial. Semakin tinggi tingkat intensitas penggunaan media sosial individu maka jumlah teman yang dimiliki dan waktu yang dihabiskan dimedia sosial juga semakin tinggi. Individu yang memiliki keterikatan dengan media sosial biasanya merasa bahwa media sosial merupakan bagian dari rutinitasnya, merasa bangga untuk berbagi status, moment maupun foto di media sosial, jika tidak menggunakan media sosial maka ia merasa ada yang kurang bahkan merasa kecewa jika media sosial ditutup. Beberapa media sosial yang menyediakan fitur untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut diantaranya seperti facebook, twitter, instagram, path, snapchat, tumblr, Google+, Line, dsb.

Pada individu pada masa dewasa awal yang memiliki intensitas penggunaan media sosial tinggi maka akan semakin tinggi pula need to belong, begitupun sebaliknya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyani (2015) bahwa 68% subjek mahasiswa fakultas psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berusia antara 18-25 tahun melaporkan bahwa tingkat intensitas penggunaan media sosial termasuk dalam kategori tinggi begitu pula kepuasan hubungan interpersonal termasuk dalam kategori tinggi. Data pendukung menunjukkan waktu penggunaan media sosial adalah 134 menit per hari, dan media sosial yang paling banyak digunakan adalah facebook, twitter, google+. Menurut Notley (dalam Ag & Lang, 2017) need to belong atau to be

socially merupakan faktor dominan penggunaan media sosial. Berdasarkan penelitian Kuss & Griffiths (2011), orang-orang yang mengidentifikasi diri

(12)

mereka sebagai pengguna media sosial dan mereka mencari rasa belongingness pada media sosial beresiko untuk mengembangkan kecanduan media sosial karena intensitas penggunaan media sosial yang tinggi. Menurut survey yang dilakukan pada alumnus SMK Telkom Malang pada bulan April 2017 dengan jumlah responden diambil dari angkatan 12 sampai angkatan 16 yang berada pada masa dewasa awal dimana masing-masing angkatan diwakili oleh 10 responden, angkatan 16 memiliki intensitas penggunaan media sosial dan need to belong yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan angkatan lainnya.

Berdasarkan uraian diatas dan penelitian terdahulu, peneliti mengasumsikan bahwa adanya pengaruh antara need to belong terhadap intensitas penggunaan sosial media pada alumni SMK Telkom Malang angkatan 16.

Tabel 2.1 Kerangka Berpikir 2.8 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara intensitas penggunaan media sosial terhadap need to belong pada alumni SMK Telkom Malang angkatan 16.

Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara intensitas penggunaan media sosial terhadap need to belong pada alumni SMK Telkom Malang angkatan 16.

Gambar

Tabel 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta menganalisis manajemen pengembangan madrasah unggul berbasis pesantren yang di terapkan di Madrasah Aliyah Unggulan Darul

Dari hasil penelitian dengan hasil analisis skor atas indikator dari variabel yang diteliti dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan program

Secara signifikan guru dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) guna kepentingan belajar; (1) Guru melaksanakan kegiatan belajar berdasarkan

Secara Keseluruhan Bukti Langsung, Empati, Kehandalan, Daya Tanggap, dan Kepastian terhadap Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Swasta di Bandung berada pada kategori

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang penting dimiliki siswa sebagai modal menghadapi problematika dalam kehidupan sehari-hari. Untuk

Perusahaan juga akan mengerjakan ulang barang yang cacat dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pengerjaan ulang.... Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan

pedoman dalam menentukan model bisnis yang berlangsung pada perusahaan. Setelah itu model bisnis akan dievaluasi lagi dengan menggunakan metode SWOT pada sembilan indikator

Adapun dasar hukumnya adalah : Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturabn Pelaksanaan Undang-undang nomor