• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Susu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Susu"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Susu

Susu didefinisikan sebagai produk kelenjar susu (mamary gland) atau sekresi dari kelenjar susu binatang menyusui. Hewan penghasil susu adalah hewan mamalia seperti sapi, kerbau, domba, kambing, onta, zebra dan sebagainya (Marliyati, Sulaeman & Anwar 1992). Sebagaian besar susu yang diproduksi adalah susu berasal dari sapi, baik yang dikonsumsi dalam bentuk segar maupun digunakan sebagai bahan baku dalam memproduksi berbagai susu olahan.

Secara kimia, susu adalah emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Komponen utama susu adalah air, lemak, protein (kasein dan albumin), laktosa (gula susu) dan abu. Komponen susu selain air merupakan Total Solid (TS) dan total solid tanpa komponen lemak (Solid Non Fat). Beberapa istilah lain yang biasa digunakan sehubungan dengan komponen utama susu ini adalah plasma susu atau susu skim. Susu skim yaitu bagian susu yang mengandung semua komponen kecuali lemak dan serum susu atau biasa disebut whei. Whey yaitu bagian susu yang mengandung semua komponen susu kecuali lemak dan kasein (Rahman et al. 1992).

Susu memiliki kandungan gizi yang baik dan bervariasi. Menurut Rahman et al. (1992) beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi komponen-komponen dalam susu adalah mastitis, tahapan dalam periode laktasi, musin dan keadaan makanan. Secara umum komposisi zat gizi dalam susu dapat dilihat di Tabel 1.

Mengkonsumsi susu memberikan banyak manfaat. Towers et al. (1997) menjelaskan bahwa susu mengandung komposisi zat gzi makro (protein, lemak dan krabohidrat) yang seimbang dan memiliki kualitas protein yang tinggi karena asam amino esensial yang lengkap dan rasio asam amino yang mendekati jumlah yang dibutuhkan tubuh. Susu juga mengandung vitamin yang paling banyak jumlahnya dan mempunyai biovailabilitas yang tinggi.

(2)

Tabel 1 Kandungan zat gizi dalam segelas susu sapi (200 g)

Zat Gizi Full Cream Semi Skim Skim

Energi (KJ) 282 201 148 Protein (g) 3,4 3,6 3,6 Karbohidrat (g) 4,7 4,8 4,9 Lemak (g) 4 1,8 0,3 Tiamin (mg) 0,03 0,03 0,03 Riboflavin (mg) 0,24 0,25 0,23 Niasin (mg) 0,2 0,1 0,1 Vitamin B6 (mg) 0,06 0,06 0,06 Vitamin B12 (μg) 0,9 0,9 0,8 Vitamin C (mg) 2 2 1

Vitamin D (μg) Sedikit Sedikit Sedikit

Vitamin E (mg) 0,08 0,04 Sedikit Natrium (mg) 44 44 45 Kalium (mg) 160 161 167 Kalsium (mg) 122 124 129 Magnesium (mg) 11 11 11 Fosfor (mg) 96 97 99 Zat besi (mg) 0,03 0,02 0,03 Seng (mg) 0,4 0,4 0,5 Selenium (mg) 1 1 1

Sumber: Woods et al. 2007

Selanjutnya Buckle et al. (1987) menjelaskan bahwa air susu dihilangkan dengan penguapan dan sisa yang kering dibakar pada panas rendah akan memperoleh sisa abu putih yang berisi bahan-bahan mineral. Unsur-unsur mineral yang paling utama dapat dilihat di tabel 2. Kalsium dan fosfor dari susu mempunyai nilai gizi yang penting. Kalsium fosfat merupakan bagian dari partikel kasein dan mempengaruhi sifat partikel ini terhadap penggumpalan oleh renin, panas dan asam. Kandungan mineral dari susu agak bersifat konsisten dan tidak dipengaruhi oleh makanan ternak kecuali kandungan iodiumnya.

Tabel 2 Rata-rata kandungan mineral dalam susu dan abu No Unsur Dalam susu (%) Dalam abu (%)

1 Kalium 0,140 20,0 2 Kalsium 0,125 17,4 3 Klorin 0,103 14,5 4 Fosfor 0,096 13,3 5 Natrium 0,056 7,8 6 Magnesium 0,012 1,4 7 Sulfur 0,025 3,6 Sumber: Buckle et al (1987)

Ressang dan Nasution (1987) menjelaskan bahwa susu bubuk dibuat dengan menguapkan semua air yang ada di dalam susu. Pengeringan susu pada susu bubuk dilakukan menurut prinsip pengeringan dengan penggilingan (drum drier) dan penyemprotan (spray drier). Lebih lanjut Sediaoetama (1999) menjelaskan bahwa susu bubuk dibuat dengan mengeringkan susu sehingga tertinggal komponen padat dari susu tersebut. Komposisi padat ini merupakan

(3)

sekitar 14% dari susu aslinya, maka rekonstitusi menjadi susu cair kembali dilakukan dengan menambah air matang sebanyak 7 kali sebanyak susu bubuknya (100/14 bagian). Selama proses pengeringan ini terjadi perubahan atau kerusakan pada beberapa komponen zat gizi diantaranya vitamin A dan vitamin B kompleks. Oleh karena itu pada susu bubuk ditambahkan berbagai zat gizi yang rusak atau berkurang.

Zat gizi yang terkandung dalam susu meliputi makro nutrien dan mikro nutrien. Kadar makro nutrien (protein, lemak dan karbohidrat) susu umumnya stabil setelah mengalami proses pengolahan, sedangkan mikro nutrien (vitamin dan mineral) susu umumnya mengalami kerusakan setelah proses pengolahan (khususnya vitamin).

Badan Standarisasi Nasional (BSN) menyatakan minuman khusus ibu hamil dan atau ibu menyusui adalah produk berbentuk bubuk ataupun cair, khusus ibu hamil atau menyusui, mengandung energi, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral yang diperhitungkan berdasarkan tambahan kecukupan gizi yang dianjurkan untuk kelompok tersebu, dengan atau tanpa penambahan komponen bioaktif dan atau bahan tambahan pangan yang diijinkan.Syarat mutu produk susu bubuk di Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Adapun spesifikasi persyaratan mutu susu bubuk yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dapat dilihat di Tabel 3.

Tabel 3 Spesifikasi mutu susu bubuk ibu hamil dan atau menyusui (SNI 01-7148-2005) Zat Gizi Satuan

Persyaratan Berbentuk Bubuk

(per 100 g)

Berbentuk Cair (per 100 ml)

Energi kkal Min 370 Min 65

Protein G 18-25 3,2 – 4,4

Lemak G Min 3,5 Min 0,6

Karbohdirat G Max 65 Max 11,4

Air G Max 4 -

Abu G Max 6 Max 1,1

Kalsium mg 200-800 35-140

Zat besi mg Min 10 Min 1,8

Seng mg Min 5 Min 0,9

Vitamin A mg 300-500 53-88

Vitamin B1 (Thiamin) mg 0,5-1,0 0,1-0,2

Vitamin B2 (Ribiflavin) mg 0,5-1,1 0,1-0,2

Vitamin B3 (Niasin) mg 14 1,1-2,5

vitamin B6 (Piridoksin) mcg 0,6-1,3 0,1-0,2

Vitamin B9 (Asam Folat) mcg 285-400 49-70

Vitamin B12 mg 0,3-2,4 0,1-0,4

(4)

Kalsium

Mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia adalah kalsium, yaitu sebanyak 1,5 sampai 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam tubuh (Berdanier 1998). Kalsium berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma (darah) pada konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau 9-10,4 mg/100 ml. Kadar kalsium dalam konsentrasi darah cenderung konstan dan jika bervariasi tidak sampai 10% (Almatsier 2006). Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 1000-1300 g kalsium yang kurang dari 2% berat tubuh. Kandungan normal kalsium darah adalah 9-11 mg per 100 ml. Sekitar 48% serum kalsium adalah ionik dimana 46% dalam senyawa protein darah. Sisanya dalam bentuk senyawa kompleks yang mudah berdifusi, seperti dalam bentuk sitrat (Soekatri & Kartono 2004).

Berdasarkan Almatsier (2006), kalsium mempunyai fungsi dalam pembentukan tulang dan gigi, katalisator reaksi-reaksi biologik, dan kontraksi otot. Pada pembentukan tulang, kalsium di dalam tulang mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bagian integral dari struktur tulang dan sebagai tempat menyimpan kalsium. Selain itu, beberapa reaksi biologik yang menggunakan kalsium sebagai katalisator adalah absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, aktivasi lipase pankreas, ekskresi insulin oleh pankreas, dan proses pemecahan serta pembentukan asetilkolin.

Kebutuhan Kalsium

Menurut Winarno (2008), keperluan kalsium di dalam tubuh biasanya dihitung berdasarkan keseimbangan kalsium dimana cara perhitungannya hampir sama dengan cara menghitung keseimbangan nitrogen. Meskipun demikian menurut Muhilal, Jalal & Hardinsyah (1998), kecukupan kalsium untuk Indonesia lebih rendah daripada yang dianjurkan di berbagai negara industri, dengan pertimbangan bahwa perbandingan Ca dan P hidangan serta konsumsi protein umumnya rendah. Berdasarkan WNPG (2004) ditetapkan angka kecukupan kalsium untuk masing-masing umur dan golongan (Tabel 4).

(5)

Tabel 4 Angka kecukupan rata-rata kalsium yang dianjurkan Kelompok Kecukupan Kalsium (mg/hari) Bayi (bulan) 0-6 7-11 200 400 Anak-anak (tahun) 1-3 4-6 7-9 500 500 600 Pria (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 + 1000 1000 1000 800 800 800 800 Wanita (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 + 1000 1000 1000 800 800 800 800 Ibu Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 + 150 + 150 + 150 Ibu Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua + 150 + 150 Sumber : WNPG (2004)

Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi adalah susu dan hasil olahannya seperti keju. Selain itu, sumber kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah (Bredbenner et al. 2007). Menurut Potter dan Hotchkiss (1995) beberapa pangan sumber kalsium antara lain sayuran hijau, lobak hijau, kubis, kerang, salmon dan sardine.

Kekurangan dan Kelebihan Kalsium

Ketidakcukupan asupan kalsium, rendahnya absorpsi kalsium dan atau kehilangan kalsium yang berlebihan berkontribusi terhadap defisiensi kalsium. banyak faktor yang menjadi indikator defisiensi kalsium yaitu status vitamin D, penyakit tulang dan ketidakseimbangan hormon. Defisiensi kalsium akan menyebabkan ketidaknormalan pada tulang seperti riketsia dan osteoporosis. Selain itu, defisiensi kalsium juga berasosiasi dengan kejadian kejang (tetani),

(6)

hipertensi, kanker kolon, dan obesitas atau berat badan berlebih. Riketsia terjadi pada anak-anak ketika penambahan jumlah kalsium per unit matriks tulang defisien sehingga mineralisasi tulang terganggu (Gropper et al. 2005).

Osteoporosis merupakan gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya demineralisasi yaitu tubuh yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi (Soekarti & Kartono 2004). Bredbenner et al. (2007) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi untuk mempertahankan massa tulang yang cukup mula-mula akan mengarah pada osteopenia yaitu massa tulang rendah. Osteoporosis didiagnosa ketika kehilangan massa dan penurunan kekuatan tulang signifikan sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteopenia dan osteoporosis didefinisikan berdasarkan kriteria WHO (World Health Organization), dimana densitas massa tulang 0.759 sampai 0.909 g/cm2 disebut osteopenia sedangkan densitas massa tulang di bawah 0.759 g/cm2 disebut osteoporosis.

Level ion Ca2+ bebas yang rendah dalam darah (hipokalemia) diduga dapat menyebabkan kejang (tetani) yaitu kondisi yang dicirikan oleh kontraksi otot yang gagal untuk melakukan relaksasi, khususnya pada otot pergelangan tangan dan kaki (organ pergerakan). Kalsium dapat menurunkan resiko kanker kolon melalui kemampuannya mengikat asam empedu dan asam lemak bebas yang keberadaannya dapat memicu terjadinya kanker melalui hiperproliferasi kolon (Gropper et al. 2005). Sirkulasi level vitamin D yang merupakan respon terhadap rendahnya asupan kalsium menyebabkan jalur kalsium terbuka pada membran di sel-sel tertentu (contohnya otot halus dan adiposit). Hal tersebut memiliki konsekuensi terjadinya aktivasi respon spesifik dari berbagai jaringan seperti kontraksi otot halus pada arteri, peningkatan sintesis lemak dan penurunan lipolisis pada adiposit. Mekanisme tersebut merupakan dampak kurangnya asupan kalsium terhadap berkembangnya hipertensi dan obesitas (Weaver & Heaney 2008).

Kelebihan kalsium dapat berpengaruh negatif terhadap penyerapan seng, zat besi dan mangan. Disamping itu, gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat kelebihan kalsium adalah pembentukan batu ginjal dan gejala hiperkalsemia (Soekatri & Kartono 2004). Hiperkalsemia dapat terjadi apabila mengkonsumsi kalsium lebih dari 2500 mg sehari dan dapat berlanjut menjadi hiperkalsuria (kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari).

(7)

Hiperkalsuria dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Disamping itu dapat juga menyebabkan konstipasi (kesulitan buang air besar). kelebihan kalsium jarang terjadi akibat makanan alami. Umunya terjadi karena mengkonsumsi suplemen kalsium secara terus menerus (Almatsier 2006).

Bioavailabilitas Kalsium

Bioavailabilitas dapat diartikan sebagai jumlah kalsium yang tersedia dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dimanfaatkan tubuh. Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Semakin tingggi kebutuhan dan semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh akan menyebabkan absorpsi kalsium yang efisien (Almatsier 2006).

Kalsium membutuhkan lingkungan yang asam agar dapat mempertahankan kalsium dalam bentuk ionik yang mudah diabsorpsi. Absorpsi terutama terjadi pada bagian atas usus halus dan berkurang di bagian bawah usus halus yang berbatasan dengan usus besar. Dalam aliran darah, kalsium ditransportasikan dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein, dimana konsentrasinya diregulasi secara ketat oleh kontrol hormon. Ketika konsentrasi kalsium dalam darah rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Peran hormon paratiroid dalam peningkatan kalsium darah dilakukan melalui tiga jalur yaitu 1). menstimulasi perombakan kalsium dari tulang, 2). meningkatkan retensi kalsium di ginjal, dan 3). mengaktifkan vitamin D yang kemudian vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3) akan merangsang

peningkatan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Namun jika konsentrasi kalsium darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan calcitonin yang kemudian akan mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam range normal dengan jalan mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal (Bredbenner et al. 2007).

Terdapat beberapa cara untuk mengukur bioavailabilitas dari kalsium. Metode tersebut antara lain metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium. Kedua metode pengukuran tersebut biasanya dilakukan secara in vivo yaitu mengukur absorpsi pada manusia atau hewan. Metode keseimbangan kalsium dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang diekskresikan lewat feses. Absorpsi nyata kalsium berkisar antara 20% sampai 40%. Keseimbangan kalsium diperoleh ketika asupan kalsium cukup untuk mengcover kehilangan

(8)

kalsium lewat urin, feses dan keringat. Keseimbangan kalsium positif dibutuhkan pada saat pertumbuhan, kehamilan, dan laktasi. Ketidakakuratan pengukuran dengan metode ini akan terjadi apabila pengumpulan sampel feses tidak tepat dan adanya perubahan efiisensi absorpsi yang disebabkan oleh adaptasi tubuh terhadap level asupan kalsium yang berubah. Dengan prinsip yang hampir sama dengan metode keseimbangan kalsium, pada metode isotop kalsium dilakukan dengan menginjeksikan isotop kalsium baik yang bersifat radioaktif maupun yang stabil lewat intravena (Allen 1982).

Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas kalsium juga dapat dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim pepsin dan pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Allen (1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium menjadi dua kelompok yaitu faktor komponen makanan dan faktor fisiologis.

Komponen makanan yang mempengaruhi absorpsi kalsium

Berdasarkan Allen (1982) komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al. (2005) menambahkan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Penjelasan dari masing-masing masing-masing faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium adalah sebagai berikut:

Fosfor. Kalsium dan fosfor saling berpengaruh erat dalam proses absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet, dan 2). secara tidak langsung dimediasi melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen 1982). Berdasarkan Linder (2006), konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor walaupun rasio kalsium dengan fosfor 1:1,5 mungkin dapat diterima. Tetapi rasio yang lebih dari 1:2, terutama jika konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif seperti demineralisasi

(9)

tulang. Hasil penelitian Bernhart et al. tahun 1969 dalam Brody (1999) pada sejumlah tikus membuktikan bahwa diet yang mengandung cukup kalsium dengan jumlah fosfor yang sedikit lebih rendah dan sedikit lebih tinggi dari kalsium dapat mendukung tingkat pertumbuhan yang hampir maksimal dan pembentukan tulang. Perbandingan kalsium dan fosfor terbaik dalam penelitian tersebut adalah 1:0,6, 1:0,9, dan 1:1,4.

Protein. Protein harian berkaitan erat dengan absorpsi kalsium. Hasil penelitian Heaney (2002) menjelaskan bahwa peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Brody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Heaney (2002) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan menigkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin. Asupan kalsium harian yang rendah (<800 mg/hr), asupan protein 20% lebih tinggi berasosiasi dengan penurunan jumlah kalsium yang diabsorpsi sebanyak 23%. Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet, dan bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah.

Komponen tumbuhan. Beberapa penelitian secara in vitro menjelaskan bahwa serat makanan mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005).

Ada dua golongan serat yaitu yang tidak larut dalam air dan yang dapat larut dalam air. Serat yang dapat larut dalam air adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, mukilase, glukan dan algal (Almatsier 2006). Serat yang tidak larut dalam air (insoluble fibers) didefinisikan sebagai serat yang tidak dapat dilarutkan dalam air dan tidak dapat dicerna oleh bakteri di dalam usus besar. sedangkan serat yang laurt dalam air

(10)

(soluble fibers) adalah serat yang dapat dilarutkan dalam air dan dapat dicerna (difermentasi) oleh bakteri di dalam usus besar (Wardlaw 1999).

Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al 2005).

Oksalat terdapat dalam jumlah yang besar pada sayuran daun berwarna hijau seperti bayam. Rasio kalsium dengan oksalat biasanya kurang dari 0,5, yang mengindikasikan bahwa semua kalsium yang terkandung dalam sayuran daun hijau seluruhnya berada dalam bentuk terikat dengan oksalat (Allen 1982). Absorpsi kalsium di usus dihambat oleh oksalat dengan mengkelat kalsium dan meningkatkan ekskresinya lewat feses (Gropper et al 2005). Absorpsi kalsium dalam bentuk kalsium oksalat hanya sekitar 10%. Kalsium yang berasal dari bayam hanya diabsorpsi sekitar 5% (Brody 1999). Sama halnya dengan oksalat dan fitat, keberadaan tanin dalam teh juga akan menghambat penyerapan kalsium (Bredbenner et al. 2007).

Laktosa. Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan transpor aktif (Allen 1982). Reiser (1988) dalam Bodwell dan Erdman (1988) menjelaskan bahwa laktosa diduga dapat meningkatkan potensial transmembran mukosa dan mendorong influks kalsium lewat brush border dan dengan demikian akan meningkatkan absorpsi kalsium.

Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal. Penelitian yang dilakukan oleh Kabayashi et al. tahun 1975 memperlihatkan bahwa hidrolisis laktosa oleh enzim laktase menjadi galaktosa dan glukosa lebih efektif dalam meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982).

Lemak. Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya steatorea yang dapat menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Gropper et al. 2005). Pembentukan kompleks

(11)

asam lemak dan kalsium akan meningkatkan panjang rantai asam lemak dan menurunkan tingkat ketidakjenuhannya (Allen 1982).

Kation divalen. Gropper et al. (2005) menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium.

Faktor fisiologis yang mempengaruhi absorpsi kalsium

Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan (Allen 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta lansia.

Status vitamin D. Vitamin D dalam bentuk aktif atau biasa disebut calcitriol akan meningkat jika sekresi hormon paratiroid tinggi, asupan kalsium harian rendah, dan dalam kondisi hamil dan menyusui (Allen 1982). Calcitriol akan meningkatkan absorpsi kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium (CaBP/Calcium binding protein) yang juga biasa disebut calbindin D9k (Gropper et al. 2005).

Defisiensi vitamin D akan menyebabkan sintesis CaBP lebih lama yaitu sekitar 6 – 8 hari yang kemudian akan menghambat penyerapan kalsium (Allen 1982). Defisiensi vitamin D jangka panjang akan menyebabkan riketsia pada anak-anak dan osteomalsia pada dewasa, sedangkan kelebihan vitamin D akan menyebabkan hiperkalsemia yang dapat menimbulkan kalsifikasi (pengerasan) pada jaringan lunak (calcinosis) seperti pada ginjal, hati, paru-paru dan pembuluh darah (Gropper et al. 2005).

Defisiensi kalsium dan fosfor. Kebiasaan asupan kalsium harian baik rendah maupun tinggi dalam jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi absorpsi kalsium melalui mekanisme adaptasi. Jika terjadi defisiensi kalsium, efisensi absorpsi kalsium akan meningkat dengan jalan meningkatkan transpor kalsium yang dibantu vitamin D. Penelitian pada tikus memperlihatkan peningkatan absorpsi kalsium di duodenum dan ileum berturut-turut yaitu 200%

(12)

dan 400%. Tingginya absorpsi kalsium di usus disertai peningkatan asupan kalsium harian akan mengurangi demineralisasi tulang dan akan mengembalikan keseimbangan kalsium menjadi positif (Allen 1982). Namun, jika asupan kalsium tidak ditingkatkan, absorpsi kalsium akan menurun karena jumlah kalsium yang dapat diserap bekurang (Almatsier 2006).

Defisiensi fosfor juga akan meningkatkan absorpsi kalsium. Penelitian yang dilakukan oleh Dominguez et al. tahun 1976 menunjukan bahwa defisiensi fosfor meningkatkan produksi 1,25-(OH)2-vit D3 yang kemudian akan

meningkatkan absorpsi kalsium (Allen 1982).

Daur kehidupan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Younoszai tahun 1981 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan linier antara konsumsi dan absorpsi kalsium pada bayi. Pada asupan kalsium yang rendah, efisiensi absorpsi kalsium pada bayi berkurang daripada dewasa. Hal ini disebabkan karena mekanisme adaptasi tubuh terhadap asupan kalsium yang rendah tidak terjadi dan transpor kalsium biasanya hanya terjadi lewat difusi. Beberapa susu formula yang mengandung cukup kalsium dapat diabsorpsi 30%, sedangkan asupan 239 mg/kg/hari kalsium dari susu formula yang mengandung vitamin D dan trigliserida dapat diabsorpsi sebanyak 73% (Allen 1982).

Kemampuan untuk absorpsi kalsium lebih tinggi pada masa pertumbuhan dan menurun pada proses penuaan. Kebutuhan kalsium pada masa pertumbuhan lebih tinggi karena itu secara alamiah tubuh akan menyerap lebih banyak kalsium. Remaja cenderung menyerap kalsium lebih banyak daripada orang lanjut usia (Almatsier 2006).

Linder (2006) dan Almatsier (2006) menyebutkan bahwa pada dewasa normal absorpsi kalsium berada dalam kisaran 30% - 50%. Namun menurut Bredbenner et al. (2007), tubuh manusia (dewasa) menyerap sekitar 25% hingga 30% kalsium dari makanan yang dikonsumsi, akan tetapi apabila tubuh membutuhkan kalsium dalam jumlah ekstra tinggi seperti pada tahap pertumbuhan, bayi dan ibu hamil, absorpsi meningkat mencapai 75%.

Pada wanita menopause, penurunan sekresi hormon esterogen akan menyebabkan demineralisasi tulang (Linder 2006). Terapi esterogen selama 6 bulan dapat meningkatkan level calcitriol serum sebesar 40%. Peningkatan calcitriol serum tersebut meningkatkan absorpsi kalsium sebesar 20% dan reabsorpsi kalsium di renal ginjal. Absorpsi kalsium pada lansia dengan diet

(13)

kalsium 2000 mg/hr yaitu sekitar 20% sedangkan pada diet kalsium 300 mg/hr, absorpsi kalsium meningkat menjadi 40% (Allen 1982).

Bioavailabilitas berbagai garam kalsium

Bentuk kimia dari kalsium yang ditambahkan dalam produk dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium (Rajagukguk 2004). Menurut Gropper et al. (2005), terdapat beberapa bentuk garam kalsium yang biasanya digunakan dalam suplemen dan fortifikasi yaitu kalsium karbonat, kalsium laktat, kalsium sitrat dan kalsium glukonat. Garam kalsium akan bersifat bioavailable dalam bentuk terlarut. Kalsium karbonat umumnya terdapat dalam bahan pangan dalam jumlah yang tinggi namun kelarutannya rendah (Muchtadi 2008). Kressel et al. (2010) menyatakan bahwa pada suhu 21oC, kalsium karbonat hampir tidak larut dalam air (0,014 g/l) dan dalam jus apel yang bersifat asam sekalipun (3 g/l) sehingga bioavailabilitasnya juga rendah (5,5%).

Sementara itu, beberapa macam garam kalsium yang mempunyai sifat kelarutan yang baik, misalnya kalsium glukonat, kalsium laktat. Kalsium laktat yang tersedia dalam bentuk pentahidrat (5H2O), mengandung 13% kalsium.

Garam kalsium ini mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9,3 g/l), sehingga paling banyak digunakan dalam industri minuman, sedangkan kalsium glukonat memiliki kelarutan sebesar 3,5 g/l (Muchtadi 2008).

Selanjutnya Muchtadi (2008) menjelaskan bahwa trikalsium sitrat memberikan kombinasi yang baik. Bentuk yang paling banyak digunakan adalah bentuk tetrahidrat (4H2O), dengan kadar kalsium yang cukup tinggi (21%) dan

kelarutan yang moderat (0,9 g/l). Sifat kelarutan garam kalsium dalam air sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) larutan, di mana kelarutan garam kalsium akan meningkat dengan meningkatnya keasaman (menurunnya pH). Trikalsium sitrat menunjukkan kelarutan yang lebih baik pada pH lebih rendah dari 4,5. Berbeda dengan garam kalsium lain, trikalsium sitrat lebih mudah larut pada suhu rendah. Baker (1991) menambahkan bahwa kelompok sumber kalsium organik seperti dari tepung tulang, bentuk dikalsium fosfat, trikalsium fosfat, dan kalsium sulfat memiliki ketersediaan yang tinggi.

Fortifikasi kalsium juga terkadang menggunakan gabungan dari dua garam organik seperti kalsium laktat glukonat, kalsium laktat malat, dan kalsium laktat sitrat. Kalsium laktat glukonat merupakan garam kalsium yang sangat mudah larut dalam air (45 - 50 g/l) (Muchtadi 2008).

(14)

Zat Besi

Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom, dan enzim katalase serta peroksidase. Lebih dari 65% zat besi dalam tubuh ditemukan dalam bentuk hemoglobin dan lebih dari 10% ditemukan dalam bentuk mioglobin, 1% sampai 5% ditemukan dalam bentuk bagian dari enzim dan menjaga zat besi dalam darah atau cadangan zat besi dalam tubuh (Gropper et al. 2005). Di samping itu berbagai jenis enzim memerlukan besi sebagai faktor penguat. Di dalam tubuh sebagian besar besi terkonjugasi dengan protein dan terdapat dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri (Sediaoetama 1991). Dalam tubuh senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam darah. Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam senyawa dengan protein dan sekitar 5% ada dalam protein otot dan dalam sel. Semua senyawa itu sangat vital untuk pernafasan sel dimana oksigen dan karbon dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam enzim (Gibson 1999 dalam Soekatri & Kartono 2004).

Kebutuhan Zat Besi

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat besi adalah keasaman lambung dan bioavailabilitas termasuk penghambat maupun pemacu penyerapan besi nonheme. Zat besi pada wanita sangat diperlukan, terutama karena adanya kehilangan besi selama menstruasi. Menurut WNPG (2004), kecukupan zat besi untuk masing-masing kelompok umur disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Angka kecukupan rata-rata zat besi yang dianjurkan Kelompok Kecukupan Zat Besi (mg/hari) Bayi (bulan) 0-6 7-11 0.5 7 Anak-anak (tahun) 1-3 4-6 7-9 8 9 10 Pria (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 + 13 19 15 13 13 13 13

(15)

Kelompok Kecukupan Zat Besi (mg/hari) Wanita (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65 + 20 20 26 26 26 12 12 Ibu Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 + 0 + 9 + 13 Ibu Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua + 6 + 6 Sumber : WNPG (2004)

Menurut British Nutrition Foundation (1995) berdasarkan kandungan besinya makanan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu makanan dengan kandungan besi rendah yaitu kurang dari 0.7 mg (besi/1000 Kal), makanan dengan kandungan besi sedang yaitu antara 0.7-19 mg (besi/1000 Kal) dan makanan dengan kandungan besi tinggi yaitu lebih dari 2.0 mg (besi/1000 Kal). Besi yang berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam badan dan besi yang diserap dari saluran pencernaan. Besi hasil hemolisis merupakan besi sumber utama. Pada manusia yang normal kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Winarno 1997).

Metabolisme Zat Besi

Zat besi lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa usus. Pada kondisi besi yang baik, hanya sekitar 10 persen dari besi yang terdapat dalam makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi defisiensi besi yang diserap lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut (Sediaoetama 1991).

Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri (umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCl) direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Di dalam sel mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung besi yaitu ferritin. Selanjutnya untuk

(16)

masuk ke plasma darah, besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferrin (Suhardjo & Kusharto 1988).

Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan atau cadangan. Hemoglobin, mioglobin, sitokrom dan beberapa besi lainnya yang berkaitan dengan protein termasuk dalam kelompok utama. Senyawa tersebut berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi serta penyimpanan dan penggunaan oksigen. Tergantung pada tingkat status besi seseorang, jumlah senyawa ini berskisar antara 25-55 mg/kg berat badan dan lebih dari 80% diantaranya berbentuk hemoglobin. Senyawa zat besi dalam bentuk cadangan berkisar antara 5-25 mg/kg berat badan, terutama sebagai feritin dan hemosiderin. Senyawa zat besi dalam bentuk cadangan tidak mempunyai fungsi fisiologis selain sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi jika dibutuhkan untuk kompartemen fungsional. Apabila za besi cukup dalam bentuk simpanan maka kebutuhan akan hemopoesis (pembentukan sel-sel darah merah) dan sumsum tulang akan terpenuhi (Wilson et al. 1979).

Besi heme harus dihidrolisis dari bentuk globin hemoglobin atau mioglobin sebelum diserap. Pencernaan dilakukan oleh protease di dalam lambung dan usus halus menghasilkan besi heme. Penyerapan besi dapat terjadi di sepanjang usus halus akan tetapi penyerapan paling efisien terjadi pada bagian atas duodenum. Pengeluaran besi kemungkinan berikatan dengan protein dalam bentuk kompleks paraferitin dan dapat digunakan pada sel mukosa intestinal (Gropper et al. 2005).

Ikatan besi nonheme pada komponen makanan harus dilepaskan secara enzimatis pada saluran pencernaan agar absorbsi terjadi. Sekresi getah lambung termasuk asam asam hidroklorat dan enzim proteasepepsin pada perut dan protease usus halus, membantu untuk mengeluarkan zat besi nonheme dari komponen makanan. Apabila zat besi nonheme keluar dari komponen makanan akan berbentuk sebagai besi ferri. Sisa besi ferri akan larut selama pH lingkungan dalam keadaan asam. Beberapa dari besi ferri akan berkurang dan membentuk besi ferro. Apabila besi ferri mampu melewati lambung menuju distal duodenum dan jejenum, besi ferri bercampur dengan getah alkaline yang

(17)

disekresikan usus halus menuju pankreas. Pada lingkungan yang lebih alkali, besi ferri akan kompleks memproduksi hidroksi ferri (Fe(OH)3), senyawa yang

relatif tidak larut dalam jumlah yang besar dan mengendap, menyebabkan berkurangnya penyerapan zat besi (Gropper et al. 2005).

Kekurangan dan Kelebihan Zat Besi

Defisiensi zat besi biasanya terjadi pada 4 golongan yaitu: 1) bayi dan anak kecil (6 bulan sampai dengan 4 tahun), karena kurangnya kadar zat besi pada susu dan makanan yang dikonsumsi, pertumbuhan yang pesat dan rendahnya cadangan zat besi yang dibutuhkan, 2) dewasa muda, karena terjadi pertumbuhan yang pesat dan membutuhkan sel darah merah yang lebih banyak, 3) wanita subur karena kehilangan zat besi selama mentruasi, 4) wanita hamil karena volume darah mengembang akibat adanya fetus dan plasenta, dan terjadinya kehilangan darah ketika melahirkan (Gropper et al. 2005).

Defisiensi zat besi pada anak-anak akan mengakibatkan keabnormalan perkembangan psikomotornya. Keabnormalan ini akan muncul sebagai konsekuensi dari berubahnya metabolisme dopamine. Defiisiensi zat besi menjadi penyebab dari menurunnya kehamilan, dimana tingginya angka kematian dan prematur bayi. Merusaknya respon imun, abnormalitas saluran pencernaan, perubahan epidermal anggota tubuh, perubahan metabolisme tiroid dan perubahan catecholamine (Stipanuk 2001).

Defisiensi menyebabkan anemia. Pada penderita anemia, jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang dibawa ke jaringan juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekurangan energi dan kelesuan, sakit kepala dan pusing-pusing yang merupakan gejala anemia. Anemia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria disebabkan antara lain karena kehilangan darah selama menstruasi (Gaman & Sherrington 1992).

Bioavailabilitas Zat Besi

Bioavailabilitas zat besi diartikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah untuk digunakan dalam proses metabolisme (Latunde & Neale 1986). Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan proses absorbsi zat besi dalam usus halus (duodenum) sehingga istilah bioavailabilitas zat besi dapat disamakan dengan absorbsinya dalam usus. Secara umum faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas zat besi dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan).

(18)

Faktor eksogen yang mempengaruhi bioavailabilitas zat besi meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan.

Kandungan Zat Besi. Weaver dan Heaney (2008) menyatakan bahwa frkasi zat besi yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan asupannya. Efisiensi absorbsi zat besi memang berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah (Yeung & laquarta 2003).

Bentuk Zat Besi. Bentuk zat besi yang terkandung dalam makanan juga menentukan ketersediaannya untuk diserap karena kelarutan zat besi dalam medium intralumenal saluran pencernaan merupakan prasyarat bagi absorbsi. Garam ferro sederhana lebih mudah diserap daripada garam kompleks dan garam ferri. Besi ferro memiliki ketersediaan yang lebih tinggi karena memiliki kelarutan lebih besar pada pH saluran cerna usus yang basa. Sedangkan besi ferri akan mengendap sebagai ferri oksida pada pH di atas 3,5 sehingga berkurang kelarutannya dan lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu besi ferro dapat diserap 3 kali lebih besar daripada besi ferri (Rofles & Whitney 2008).

Selain itu bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh kebutuhan gizi seseorang, kecukupan sekresi enzim-enzim pencernaan dan berbagai macam komponen bahan pangan. Untuk faktor yang terakhir ini dapat berupa faktor pendorong atau faktor penghambat absorpsi, juga kandungan zat besi dan bentuk kimianya. Faktor-faktor yang mendorong penyerapan zat besi di dalam tubuh yaitu asam (asam askorbat, asam sitrat, asam laktat dan tartarat), gula, protein, dan musin. Faktor penghambat penyerapan zat besi yaitu polifenol (tanin), asa oksalat, fitat, fosvitin dan zat gizi seperti kalsium, fosfat, seng, magnesium dan nikel.

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa beberapa komponen makanan dapat menghambat penyerapan zat besi. Komponen tersebut membentuk kelat dengan besi yang tidak larut. Namun, hal tersebut kadang-kadang menunjukkan hasil yang berlainan, misalnya oksalat pertama kali dilaporkan berpotensi menghambat penyerapan besi, tetapi penelitian selanjutnya menunjukkan hasil

(19)

yang netral dalam hal penyerapan besi pada manusia dan efek positif pada tikus percobaan. Serat dan komponennya menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda pada ketersediaan biologis zat besi. Apabila hemiselulosa dan lignin menghambat penyerapan besi pada manusia maka selulosa dan pektin menunjukkan pengaruh yang berlawanan. Bagaimanapun beberapa faktor dapat menyebabkan hasil penelitian menjadi tidak konsisten yaitu diantaranya penggunaan komponen yang berbeda, pengaruh pH dan ada tidaknya pengkelatan (Latunde & Neale 1986).

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur bioavailabilitas zat besi diantaranya dengan metode in vivo dan in vitro. Metode in vitro mengukur bioavailabilitas zat besi dengan menentukan jumlah zat besi dan makanan dengan asam lemak atau memisahkan besi ion dari makanan dengan pengikat logam. Metode ini didasarkan pada simulasi pencernaan makanan atau tes makanan dengan pepsin, asam hidroklorida dan enzim-enzim pencernaan yang diikuti pemisahan diasilat atau besi yang larut. Pengukuran ketersediaan biologis zat besi secara in vitro ini secara umum memberikan nilai yang sama dengan manusia, meskipun underestimate pada absorpsi komponen-komponen yang ketersediaan biologisnya rendah. Variasi yang besar pada ketersediaan biologis zat besi secara in vitro boleh jadi tidak sebesar variasi pada in vivo (Allen & Ahluwalia 1997).

Menurut Muchtadi, Palupi dan Astawan (1992) metode in vitro memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan metode lainnya yaitu dapat dikerjakan dengan cepat, dapat mengurangi keragaman yang terjadi dalam penetuan secara in vivo misal: (keragaman yang disebabkan karena perbedaan status zat besi pada hewan percobaan yang digunakan). Selain itu, dapat dilakukan pengontrolan kondisi secara tepat selama pengujian.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan media pembelajaran game anak akan tertarik mengulang pembelajaran tidak hanya disekolah.Penelitian dilakukan dengan tujuan membuat pembelajaran yang menarik agar

Tahap pertama dimulai den- gan persetujuan penugasan ( agreement of engagement ). Kemudian, tahap kedua melakukan pen- gumpulan informasi, pemahaman bisnis dan sistim akuntansi

Disain ini diharapkan akan memberikan distribusi panas yang seragam kepada sampel selama proses HMT sehingga pengaruh kondisi proses (suhu, waktu dan kadar air)

Dalam hal ini Theda juga banyak melakukan customization karena retailer yang memesan kepada Theda mempunyai persyaratan pencampuran beragam produk yang spesifik seperti memesan

Setelah kurang lebih 24 jam, anda akan mendapatkan balasan dari PayPal, meminta anda untuk mengupgrade ke tipe primer (jika anda tidak memilih tipe primer pada saat membuat

Kelebihan dari metode ini adalah jumlah zat yang digunakan dapat diatur, namun kekurangannya kertas cakram kurang menempel pada media sehingga kertas cakram mudah

Oleh karena itu maka pada penelitian ini akan diamati pengaruh komposisi dalam pembuatan briket biobatubara campuran batubara dan biomassa purun tikus (eleocharis dulcis)