• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN H.Ridwan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN H.Ridwan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN H.Ridwan

ABSTRAK

Kepala KUA Kecamatan adalah sosok yang paling bertanggung jawab dalam masalah Nikah dan Rujuk. Beradasarkan KMA Nomor 30 tahun 2005 tentang wali Hakim, pasal 1 ayat (2) Menteri Agama RI menunjuk Kepala KUA Kecamatan untuk menjadi wali hakim bagi mereka yang mempunyai wali dan PMA Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatn Nikah,pasal 13 ayat (2) Walai hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat 1(1) dijabat ole Kepala KUA Keacamatan/PPN Luar Negeri. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa seorang wali hakim baru bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, atau tidak mungkin menghadirkanya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghoib dan atau adhal (enggan). Bagaimana cara menetapkan wali nikah dengan wali hakim?, Apakah cukup dengan pengakuan calon pengantin perempuan atau keluarganya bahwa walinya tidak bisa hadir, ghaib atau enggan menikahkan. Ternyata tidak cukup dengan pengakuan saja. Kepala KUA Kecamatan yang notabene sebagai penghulu yang diberikan tugas tugas tambahan mereka harus berhati-hati untuk menyelidiki kebernaran fakta yang sesungguhnya bahwa seorang wali nasab tidak bisa melaksanakan perwalianya. Maka seorang petugas ketika akan menetapkan nikah dengan wali hakim harus berhati-hati dan penuh pertimbangan dari sisi hukum Syari’iyah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar pernikahan yang dilakukan sah dalam tataran agama dan tercatat menurut undang-undang.Disamping itu untuk menghindari tuntutan dikemudian hari. Diera saat ini berbagai cara masyarakat untuk mengelabuhi petugas dengan berbagai upaya yang penting bisa nikah.

Kata Kunci ; Kepala KUA Kecamatan dan wali hakim. Pendahuluan

Perkawinan adalah perjanjian sakral, oleh karena itu institusi perkawinan harus dihormati, dilaksanakan dan dilestarikan oleh umat Islam sebagai bentuk pengejawantahan rasa cinta umatnya terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagai Institusi yang sakral, perkawinan dalam ajaran Islam sarat dengan aturan aturan syariat yang sudah baku , yang terdiri dariu syarat-syarat dan rukun nikah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW , yang harus diikuti dan dipedimani oleh setiap mengaku dirinya muslim.

Pada hakekatnya, masing-masing agama memiliki aturan-aturan tersendiri dalam melegitimasi keabsahan sebuah perkawinan. Untuk umat Islam. Keabsahan perkawinan harus ditinjau dari aspek hukum Islam. Sama halnya dengan agama lain,

(2)

seperti Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi, Perkawian adalah sah apabula dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaanya itu. (Alwi, t.t.)

Rumusan yang tertuang pada pasal 2 ayat (1) tersebut di atas memberikan penjelasan bahwa keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh masing-masing agama. Oleh karena itu , setiap warga negara Indonesia harus saling menghormati dan menghargai isntitusi masing-masing agama tersebut. Dengan ketentuan bahwa bagi yang beragama Islam harus tunduk kepada hukum Islam dan bagi warga negara yang non muslim tunduk dengan ketentuan hukum yang dianutnya.

Agar suatu perkawinan memiliki kekuatan hukum maka perkawinan harus dicatat menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia. Pencatatan perkawinan bagi warga negara yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan untuk warga negara yang bergama lain dicatat di Kantor Catatan Sipil (KCS). Tanpa pencatatan oleh pihak yang berwenang maka suatu perkawinan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sesuai dengan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan,” tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perudang-undangan yang berlaku.”

Diawal makalah ini telah dijelaskan, bahwa perkawinan dalam Islam sudah memiliki aturan-aturan yang baku.Dalam istilah fiqhiyah . disebut sebagai syarat dan rukun nikah. Sebagai contoh salah satu rukun nikah adalam adanya Wali nikah. Tanpa wali nikah, jelas tidak akan terjadi suatu pernikahan, sebab wali adalah orang yang akan menikahkan (mengawinkan) mempelai perempuan kepada calon suami. Ketentuan ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW dalam hadits dibawah ini;

يٍّلِ وَلِ لّلا وَاوَلِ وّ

Artinya ; Dari Abu musa , bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,” nikah tidak sah

apabila tanpa wali (HR. Imam Ahmad dan Imam empat).(Bulughul Maram Ibnu

Hajar Al Atsqolani || Malay || Australian Islamic Library, t.t.)

Hadits di atas memebrikan isyarat bahwa setiap perkawinan (pernikahan) dalam Islam darus ada wali nikah. Dengan demikian dapat difahami bahwa kedudukan wali nikah dalam perkawinan mutlak harus ada.

(3)

Dalam fiqh klasik maupun kontemporer terdapat kesamaan pandangan bahwa dalam menentukan wali nikah mengklasifikasikan wali nikah menjadi dua yakni wali nasab dan wali hakim. Ketika pernikahan dilaksanakan dengan wali nasab, jarang menimbulkan masalah. Tetapi ketika nikah menggunakan wali hakim . kadang-kadang menuai maslah . Oleh karena itu, para ahli fiqih ( pakar hukum Islam) berbeda pandangan dalam menetapkan fatwa menikah dengan wali hakim.

Searah dengan permasalahan tersebut di atas, maka tulisan ini akan mencoba menganalisis tentang “ Kedudukan wali Hakim Dalam Perkawinan antara Teori dan Realisasinya”. Kehadiran tulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan para praktisi dibidang pernikahan termasuk para penghulu, peneliti dan akademisi dalam pengembangan Pemikiran Hukum Islam di era kekinian.

Permasalahan

Agar pembahasan makalah ini tetap fokus pada permasalahan, penulis mencoba menawarkan dua masalah yang akan menjadi bahan acuan dan pertimbangan dalam pengembangan pemikiran hukum Islam di era saat ini. Rumusan permasalahan tersebut sebagai berikut;

1) Apa alasan dilaksanakan dengan wali hakim ?

2) Apakah ada kesesuaian antara teori dan realita dalam praktek pelaksanaan wali hakim yang dilakukan oleh Petugas (Penghulu) selama ini?

Pembahasan

A. Pengertian Wali Hakim

Sebelum membahas lebih lanjut tentang kedudukan wali hakim dalam perkawinan antara teori dan realita , perlu diketahui terlebih dahulu pengertian wali hakim. Agar lebih jelas, perlu kita ketahui terlebih dahulu arti kata perwalian.. Kata Wali berasal dari bahasa Arab berasal kata Wali artinya

1. Wakil

2. Tuan/Kepala

3. Orang yang mengurus perkara seseorang

4. Penanggungjawab, Kepala , Pimpinan. (“Kamus kontemporer Arab-Indonesia / penyusun, Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor | OPAC Perpustakaan Nasional RI.,” t.t.)

Dan kata wali menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan menurut para ahli bahasa. Arti kata Wali artinya;

(4)

1. Orang yg menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa: penjualan tanah itu tidak dapat disahkan krn pemiliknya belum dewasa

2. orang yg menjadi penjamin dl pengurusan dan pengasuhan anak: yang menjadi anak tersebut adalah pamannya karena anak itu tinggal bersama pamannya; 3. pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yg melakukan janji

nikah dng pengantin laki-laki): karena ayahnya telah meninggal 4. orang saleh (suci); penyebar agama: -Wali songo

5. kepala pemerintah dsb:

Dalam terminology Fiqih lainya para ahli fiqih memberikan pengertian wali sebagai berikut ; “Tindakan orang dewasa yang cakap bertindak atas nama orang laian yang tidak mampu mengurus segala kepentingan diri dan hartanya(“Jurjānī, ʻAlī ibn Muḥammad, al-Sayyid al-Sharīf, 1340-1413 - Fihrist,” t.t.)

Sedangkan pengertian wali hakim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “ pengasuh pengantin perempuan pada waktu akad nikah yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki karena ayahnya telah meninggal dunia “(“Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga / 2001,” t.t.)

Wali Hakim berdasarkan PMA Nomor 30 tahun 2005 Tentang wali hakim , pasal 1 ayat (2) Wali Hakim, adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.(“PMA 30 TAHUN 2005 TENTANG WALI HAKIM.pdf - Kantor Urusan Agama,” t.t.)

Dalam pengertian lain wali hakim diartikan orang yang diangkat oleh pemerintah atau biasa disebut dengan nama ahlul halla wal aqdi untuk menjadi qodi yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan (Departemen Agama RI , 2000 hlm.61)

Rumusan PMA ini senada dengan bunyi ketentuan Hadits Rasulullah yang menyatakan yang artinya “ Pengusan adalah wali bagi orang yang tidak punya wali”

Jadi Wali Hakim adalah orang yang ditunjuk atau ditetapkan (menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku) untuk bertindak sebagai wali dalam perkawinan disebabkan wali nasabnya tidak ada atau menolak mengawinkan, dengan kata lain orang-orang yang dapat bertindak sebagai wali hakim harus berdasarkan undang-undang.

(5)

Dalam menetapkan suatu pernikahan wali hakim tidak serta merta menentukan begitu saja tetapi melalui prosedur pemeriksaan tentang wali. Sebagai bahan penulis untuk mengungkap hal tersebut di atas ada beberapa referensi yang bisa dijadikan rujukan dalam tulisan ini. Seperti yang ditulis oleh HSN Al Hamdani, dalam bukunya Risalah Nikah, bahwa jika wali tidak mau menikahkan , dapat dilihat dari alasan syar’i atau tidak sya’i , perempuan tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan belum dibatalkan, tetapi calon suaminya orang kafir (non muslim)atau orang fasik (pemabuk, penjudi, dll) Jika wali menolak untuk menikahkan anak gadisnya berdasarkan syar;i seperti itu, maka wali wajib ditaati dan perwalianya tidak pindah kepada yang lain.(“Abu Muhammad al-Hasan al-Hamdani - Wikiwand,” t.t.) Jika penyebabnya karena alasan tersebut di atas , maka nikahnya dianggap tidak syah meskipun dinikahkan dengan wali hakim. Sebab hal ini bersandar dengan Hadits Rasulullah SAW,” Tidak sah nikah kecuali dengan wali”.

Tetapi ada kasus lain yang berbeda. Ada kalanya wali menolak menikahkan dengan alasan tidak syar’I seperti calon sauaminya laki-laki yang miskin, tidak sarjana, atau istilah fiqhiyahnya tidak tidak sekufu.

Jika walinya menolak menikahkan anaknya dengan alasan yang tidak syar’I seperti ini, berarti walinnya Adhal . Jika walinya adhal, maka Syeh Taqiuddin An Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa wali yang enggan menikahkan anak perempuanya, hukumya haram (“Abu Muhammad Hasan al-Hamdani - Wikiwand,” t.t.)

Pendapat ini sedikit berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Kompilasi Hukm Islam (Fiqh Munakahat ala Indonesia), dalam pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa seorang wali hakim baru bisa bentindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkanya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghoib atau adhal (enggan). (Departemen Agama RI, 2000.hlm.22).

Kemudian Imam Syafi’I memberikan fatwa tentang urutan wali, yaitu ayah, kakek dari fihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara lai-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudara ayah), anak paman, dan seterusnya, apabila wali yang disebutkan tidak ada , maka perwalianya beralih ke tangan hakim.

(6)

Dalam masalah menetapkan nikah wali hakim ini, Imam Syafi’I nampaknya terkesan sangat berhati-hati. Kehati-hatian beliau ini dilakukan semata-mata untuk menegakkan syariat Islam agar terhindar dari kesalahan dalam menetapkan hukum. Sebab jika terjadi kesalahan dalam menentukan wali nikah , akibat hukumnya akan berdampak pada sah atau tidaknya suatu perkawinan, yang juga berdampak pada status campurnya suami istri dan status anak yang dihasilkan dari perkawinannya itu. .(Mughniyah, 2000.hlm.349).

Berbeda dengan Imam Malik, beliau berpendapat bahwa, apabila tidak ada wali yang dekat , maka haki berhak mengawinkan anak laki-laki dan perempuan kecil, orang gila laki-laki dan perempuan dengan orang sekufu, serta mengawinkan wanita dewasa dan waras dengan izin mereka.(“Fiqih Lima Mazhab by Muhammad Jawad Mughniyah,” t.t.)

Disamping alasan tersebut di atas. Dalam Buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, dijelaskan bahwa alasan wali hakim, salah satunya karena wali berada ditempat yang jaraknya sejauh Masafatul Qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar 92,5. (Departemen Agama RI, 2000 .hlm.34)

Menurut hemat penulis alasan masafatul qashri ini, perlu dikaji kembali. Analisanya begini. Apakah ada hubungan wali nikah dengan Shalat Qoshar? Ternyata tidak ada hubungan. Disisi lain, ranah bahasa fiqhnya berbeda. Yang satu ranah fiqh ibadah mahdhah dan lainya ranah fiqh munakahat. Disamping itu, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era saat ini menjadi niscaya. Jarak yang jauh tidah bisa dijadikan patokan, karena jarak tersebut dapat dijangkau dalam yang relative singkat. Contoh jarak tempuh Palembang -Jakarta , dapat dijangkau + 45 menit. Jadi jarak (masafah) tersebut adalah relative.

Dengan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih dan modern maka setidaknya harus membuka mata bagi para penghulu sebagai bahan ibrah . Baru-baru ini pernah kita saksikan di media televise dan media cetak, suatu prosesi akad nikah yang dilakukan antara pengantin laki-laki dan perempuan dengan menggunakan LCD layar lebar semacam teleconference. Wali dan saksi berada ditempat, pengantin perempuan berada di Indonesia , sedangkan calon pengantin laki-laki berada di USA. Dengan demikian, alasan jarak tersebut di atas sudah tidak relevan lagi dalam era kekinian.

(7)

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh klasik maupun kontemporer di atas, apabila diambil benang merahnya, pada intinya alasan nikah wali hakim sebagai berikut ;

1. Tidak mempunyai wali nasab sama sekali (Wali terputus), atau 2. Walinya mafqud artinya walinya tidak diketahui rimbanya, atau

3. Wali sendiri yang akan menjadi pengantin laki-laki, sedang wali sedrajat dengan dia tidak ada; atau

4. Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh masafatul qashri (sejauh perjalanan yang membolehkan seseorang melakukan shalat qashar) yaitu 92,5 km; atau

5. Wali dalam penjara/tahanan yang tidak boleh dijumpai; atau

6. Walinya Adal, artinya tidak bersedia /menolak untuk menikahkan; atau 7. Walinya sedang melakukan haji atau umrah.

C. Prosedur Pelaksanaan wali hakim

Sebagai seorang yang pernah bertugas dan berpengalaman di bidang kepenghuluan, penulis yang saat ini berprofesi sebagai Widyiswara di Balai Diklat Keagamaan Palembang, bukan berarti menggurui dan memberikan justifikasi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang petugas(Penghulu). Tetapi tulisan ini sebagai sarana untuk sharing pendapat dan tukar fikiran serta pengalaman penulis selama berkecimpung sebagai Kasubsi Kepenghuluan, Kepala KUA Kecamatan Seberang Ulu.I, Kepala KUA Kecamatan Ilir Timur.II dan Kepala KUA Kecamata Bukit Kecil yang notabene juga seorang Penghulu.

Menurut hemat penulis , dalam menyelesaikan wali hakim, para petugas (penghulu) perlu berhati-hati. Karena kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu kunci untuk meminimalisir akibat dari suatui problem, agar tidak berdampak merugikan pihak-pihak lain.

Ketika calon pengantin perempuan tidak mempunyai wali nikah, penulis melakukan Standar Oprasional Prosedur (SOP) dengan langkah-langkah sebagai berikut ;

Pertama, Calon pengantin setelah memenuhi persyaratan cesara syar’I dan adminstrasi (tidak ada halangan nikah dan persyaratan N1,N2.N3 dan N4, N5 kalau Kurang Umur, N6 ditinggal mati suami/istri, TNI/Polri izin atasan dan Akte cerai (cerai Hidup) kemudian didaftarkan dan selanjutnya calon pengantin perempuan

(8)

untuk membuat surat permohonan wali hakim ditujukan ke Kepala KUA Kecamatan untuk dinkahkan dengan Wali Hakim

Kedua, memanggil dan memeriksa calon pengantin perempuan, ibu kandungnya atau orang terdekat yang ada hubungan keluarga dengan calon pengantin perempuan (mungkin ibu angkat, bapak angkat atau tetangga) yang bisa memberikan keterangan dan penjelasan terkait dengan susunan urutan perwalian. Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan yang lengkap dari semua saksi-saksi yang dapat memperkuat verbal tersebut , selanjutnya data tersebut dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan Wali Hakim , kemudian yang bersangkutan diminta untuk membubuhkan tanda tangan pada berita acara tersebut.

Sebagai pengalaman penulis , hampir tekecoh mengapa? Kerena ternyata pengantin calon perempuan sangat pandai dalam bersandiwara dan mengemas kata-kata yang menyentuh hati hingga penulis terbawa rayuan dan bujukannya. Namun sebagai seorang petugas harus jeli dan waspada, seperti Calon pengantin perempuan dan saksi mengecoh dan mengelabuhi petugas, dengan menjelaskan bahwa walinya jauh di kota lain dan sulit untuk dihubungi. Maka petugas (Penghulu) harus gigih untuk memburu keterangan yang benar. Secara tidak sadar terkadang terucap dan akhirnya memberikan keterangan yang sebenarnya. Hal ini dilakukan karena malu untuk mengungkapkanya kepada Petugas (Pengulu) karena kedua orang tuanya sudah lama cerai. Setelah digali dengan sabar, akhirnya pengakuan terungkap. Ternyata walinya ada tidak jauh dari calon pengantin perempuan dan bisa dihubungi kemudian pernikahan dilaksanakan dengan wali nasab (berwakil kepada Pamannya) Kasus ini berbeda dengan kasus wali yang terputus, walinya beda agama, atau tidak diketahui rimbanya, termasuk walinya sedang melakukan ibadah haji dan umrah.

Setelah diketahui secara pasti bahwa calon pengantin perempuan tidak mempunyai wali yang berhak, kemudian baru mengambil langkah yang selanjutnya. Ketiga, dengan mempersilahkan calon pengantin perempuan membuat surat pernyataan dihadapan kedua orang saksi dan diteketahui pejabat setempat (ketua RT dan Lurah) berdasarkan hasil verbal yang sudah ada. Hal ini dilakukan untuk memperkuat verbal itu sendiri. Apabila dikemudian hari timbul permasalahan yang tidak diinginkan, surat pernyataan akan berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah.

(9)

Apabila langkah pertama sampai dengan ketiga selesai, kemudian dari hasil pemeriksaan secara seksama menyimpulkan bahwa syarat dan rukun nikah telah terpenuhi, berkas administrasi telah lengkap sesuai dengan peraturan yang berlaku , maka langkah selanjutnya mengumumkan pemberitahuan kehendak nikah ( Selama 10 kerja). Kemudian setelah diumumkan dan tidak ada pihak-pihak yang mencegah pernikahan tersebut, maka baru bisa dilaksanakan pernikahanya.

Langkah-langkah penyelesaian masalah seperti yang diuraikan di atas, berbeda dengan masalah wali adhal. Untuk menyelesaikan kasus wali adhal, disamping petugas (penghulu) melakukan langkah-langkah yang tersebut di atas, setelah diperiksa ternyata memang benar orang tuanya enggan menikahkan (adhalnya wali), maka langkah selanjutnya Petugas (Kepala KUA sebagai penghulu) Kecamatan yang mewilayahi membuat surat pemberihuan adanya kekurangan syarat (N.5) dan apabila catin perempuan dan laki-laki tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut maka Kepala KUA Kecamatan memberikan penolakan (N.5). Kemudian selanjutnya catin laki-laki dan perempuan mengadu ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya untuk mohon penetapan wali hakim adhal. Apabila sudah ada ketetapan hukum yang sah, dan telah memenuhi persyaratan dan rukun nikah serta lengkap administrasinya, baru Penghulu dapat melaksanakan akad nikah dan pencatatannya.

Mohon maaf terkadang di lapangan tekadang masih ada petugas (penghulu) yang mengabaikan prinsip kehati-hatian seperti ini. Tanpa mempertimbangkan manfaat dan madharatnya. Apalagi kalau petugas (penghulu) tergiur dengan iming-iming financial dan lain sebagainya.Yang penting: Nikah. Seperti kasus nikah wali hakim dengan alasan walinya jauh. Apabila ada seorang cati perempuan memberikan walinya jauh atau enggan, seyogianya seorang petugas (penghulu) jangan mudah percaya. Perlu pemeriksaan lebih teliti, siapa tahu orang tunya masih ada. Atau, jika masih mumungkinkan , perlu dicarikan solusi lain untuk menyelesaikanya. Salah satunya dengan cara wali berwakil, bukan dengan wali hakim. Karena nikah dengan wali hakim alasan walinya jauh, dikemudian hari dapat dituntut oleh orang tuanya (walinya). Jika ada tuntutan dari walinya, nikahnya dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi : “ Perkawinan dapat dibatalkan , apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perwakawinan.(Alwi, t.t.)

(10)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, nikah wali hakim adalah merupak solusi terakhir ketika wali nikah terputus, berbeda agama, tidak diketahui rimbanya , walinya ada dipenjara yang tidak mungkin ditemui, walinya sedang melakukan haji dan umrah dan Adhanya wali.

D. Penutup

Pernikahan adalah suatu peristiwa yang suci dan sakral, oleh karena itu pernikahan dalam Islam merupakan cara untuk mengesahkan hubungan suami istri yang akan hidup berumah tangga. Dalam fiqh munakahad seseorang yang akan nikah harus memenuhi syarat dan rukunnya, termasuk di dalamnya pernikahan wali hakim. Pernikahan wali hakim ada 2 (dua) pertama wali hakim adhal dan kedua wali hakim lain adhal. Pernikahan wali hakim adhal merupakan pernikahan yang walinya enggan menikahkan oleh karena itu kepala KUA sebagai wali hakim bisa melaksanakan setelah ada keputusan dari Pengadilan Agama. Sedangkan pernikahan wali hakim adhal yang menentukan adalah Penghulu/Kepala KUA oleh karena itu harus cermat dan berhati-hati dalam menentukannya. Tetapi apabila terjadi kesalahan dalam menetapkan maka akan berakibat fatal sehingga pernikahannya tidak sah.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad al-Hasan al-Hamdani - Wikiwand. (t.t.). Diambil 14 November 2018, dari http://www.wikiwand.com/en/Abu_Muhammad_al-Hasan_al-Hamdani

Alwi, M. (t.t.). Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 | m-alwi.com. Diambil 12 November 2018, dari http://m-alwi.com/undang-undang-perkawinan-no-1-tahun-1974.html, http://m-alwi.com/

Bulughul Maram Ibnu Hajar Al Atsqolani || Malay || Australian Islamic Library. (t.t.).

Diambil dari http://archive.org/details/BulughulMaramIbnuHajarAlAtsqolani

Fiqih Lima Mazhab by Muhammad Jawad Mughniyah. (t.t.). Diambil 14 November 2018, dari https://www.goodreads.com/book/show/2394023.Fiqih_

Lima_MazhabJurjānī, ʻAlī ibn Muḥammad, al-Sayyid al-Sharīf, 1340-1413 - Fihrist. (t.t.). Diambil 14 November 2018

darihttps://www.fihrist.org.uk/catalog/person_19930855

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga / 2001. (t.t.). Diambil 9 November 2018, darihttps://perpustakaan.bapeten.go.id/opac//index.php?p=show_detail&id=5667

(11)

Kamus kontemporer Arab-Indonesia / penyusun, Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor | OPAC Perpustakaan Nasional RI. (t.t.). Diambil 14 November 2018, dari http://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=74385

PMA 30 TAHUN 2005 TENTANG WALI HAKIM.pdf - Kantor Urusan Agama. (t.t.). Diambil 14 November 2018, dari

http://kuakecamatan.blogspot.com/2013/04/pma-30-tahun-2005-tentang-wali-hakimpdf.html

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019tentangpencatatan Pernikahan

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap jumlah kutipan dan indeks h pada publikasi dosen ITS di scopus secara keseluruhan dan perjurusan dengan model

Tahapan pada Markov Chain antara lain: (1) Membuat tabel jumlah pelanggan pada setiap merek; (2) Membuat tabel perpindahan merek yaitu berupa data perubahan atau

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya penyusunan skripsi yang berjudul “Aplikasi Pupuk Organik Cair Kulit Nenas Terhadap Pertumbuhan

Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa laporan keuangan Bank Jabar Banten Syariah KCP Sumedang terjadi permasalahan selama kurun waktu dua tahun, periode

Selain dari sisi security, Provider jadi tidak perlu menyediakan satu router khusus untuk setiap customer, keunggulannya lainnya adalah Service Provider bisa menggunakan IP Address

Aminuddin (1986:47) ngandharake yen karya sastra mujudake kreasine manungsa kang ana sajrone panguripan, lan uga ngandharake pamikiran-pamikiran evaluatif

Simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah : Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat Hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dengan waktu tanggap

Kemacetan proses pewarisan tersebut disebabkan oleh upaya pewarisan yang kurang relevan dengan kondisi sosial budaya masyarakat masa kini.. Selain itu, titiak