• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber: BPS 2019, (Diolah) Gambar 1. Jumlah Tenaga Kerja Perdesaan Indonesia Menurut Lapangan Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sumber: BPS 2019, (Diolah) Gambar 1. Jumlah Tenaga Kerja Perdesaan Indonesia Menurut Lapangan Usaha"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia dan tergolong negara berkembang di dunia. Todaro (2012) mengkategorikan negara berkembang dengan karakteristik masyarakatnya yang masih tradisional, tingkat pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan ketergantungan pada sektor pertanian. Sebelum era reformasi, sektor ekonomi utama indonesia adalah sektor pertanian dengan pusat pengembangan berawal dari desa. Mubyarto (1985) mengungkapkan bahwa salah satu ciri masyarakat pedesaan adalah mayoritas masyarakatnya yang bermata pencaharian pada sektor pertanian. Namun semakin berkembangnya zaman dan globalisasi mulai memasuki negara indonesia, posisi sektor pertanian mulai tergantikan oleh sektor non-pertanian sebagai penopang utama dalam perekonomian indonesia terutama di kawasan pedesaan. Perubahan struktur ekonomi tersebut terjadi di tandai dengan; (1) Menurunnya sektor pertanian, (2) Meningkatnya sektor industri, dan (3) Meningkatnya kontribusi sektor jasa yang sejalan dengan adanya pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2012). Adanya perubahan struktur ekonomi Indonesia berdampak pada menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia. Pada tahun 2014 -2018 terlihat bahwa kontribusi pertanian terhadap PDB nasional semakin menurun dan bergeser dibawah sektor industri dan sektor perdagangan. Kontribusi pertanian sebesar 13.34% pada tahun 2014 terus menurun hingga menjadi sebesar 12.81% di tahun 2018. Sebaliknya, kontribusi kegiatan ekonomi non-pertanian cenderung semakin meningkat. Secara keseluruhan pembentukan PDB Indonesia untuk kegiatan ekonomi non-pertanian mengalami kenaikan dari 82.95% pada tahun 2014 menjadi 84.18% pada tahun 2018.

Pada gambar 1.3 terlihat bahwa tenaga kerja perdesaan di Indonesia tidak hanya terserap pada sektor pertanian, tetapi juga pada sektor non pertanian dan menjadi keputusan tenaga kerja perdesaan di

Indonesia untuk tidak bermigrasi ke kota. Keputusan bekerja pada sektor non-pertanian semakin meningkat seiring berkembangnya zaman serta adanya kemudahan akses baik transportasi, informasi, dan komunikasi mengenai jenis dan syarat untuk bisa bekerja pada sektor non-pertanian seperti perdagangan dan jasa.

Sumber: BPS 2019, (Diolah) Gambar 1. Jumlah Tenaga Kerja

Perdesaan Indonesia Menurut Lapangan Usaha

Pada tahun 2016, tenaga kerja sektor tradisional/pertanian Indonesia sebesar 30.141.623 jiwa. Namun, pada tahun 2019 turun menjadi 27.650.512 jiwa dengan tingkat pertumbuhan yang semakin menurun sebesar -0.03% setiap tahunnya. Pada sektor non pertanian dalam penyerapan tenaga kerja di perdesaan tahun 2016 sebesar 26.788.799 jiwa dan meningkat pada tahun 2019 sebesar 29.656.796 dengan tingkat pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 0,04%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa asumsi kedua dari Lewis mengenai penduduk desa yang pada umumnya tidak memiliki pilihan lain selain bekerja pada sektor pertanian sudah tidak dapat dibuktikan lagi. Munculnya sektor non-pertanian di perdesaan sejak era orde baru hingga reformasi saat ini memberikan peluang tenaga kerja perdesaan untuk untuk berpartisipasi pada sektor non-pertanian seperti jasa dan perdagangan (Manning, 1990). Munculnya kegiatan ekonomi pada

(5)

sektor non-pertanian di perdesaan mampu merubah pola pemikiran masyarakat perdesaan untuk memutuskan untuk berpartisipasi bekerja pada sektor non-pertanian.

Dilihat dari distribusi pendapatan rata-rata tahunan tenaga kerja pada Gambar, terdapat perbedaan yang cukup tinggi. Tenaga kerja sektor pertanian bermigrasi karena tertarik pada tawaran tingkat upah sektor non-pertanian yang lebih tinggi daripada sektor pertanian. Rendahnya pendapatan yang diterima pada sektor pertanian dari rata-rata upah nasional menyebabkan penduduk memutuskan tidak bekerja pada sektor pertanian.

Sumber : BPS 2019, (Diolah)

Gambar 2. Rata-Rata Upah/Gaji Bersih Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Perdesaan

Adanya perbedaan distribusi upah tenaga kerja perdesaan pada sektor pertanian dan non-pertanian, diperoleh beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi fenomena meningkatnya keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. (Kumar et al., 2011), dalam penelitiannya di Bulgaria mengungkapkan bahwa pendapatan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan seseorang untuk bekerja pada sektor non-pertanian setelah adanya masa transisi di negara tersebut.

Pendidikan juga menjadi salah satu faktor terpenting mengenai keputusan seseorang untuk bekerja pada non-pertanian di Indonesia. Dilihat dari Gambar 1.5 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan tenaga kerja maka peluang untuk

terserap pada sektor non-pertanian semakin besar. Sedangkan semakin rendah pendidikan tenaga kerja maka peluang terbesar adalah bekerja pada sektor pertanian. (Davis, 2003), dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi tenaga kerja dalam memilih untuk bekerja pada sektor non-pertanian terutama pada umur produktif.

Sumber : BPS (2019), Diolah Gambar 3. Jumlah Tenaga Kerja Perdesaan Menurut Lapangan Usaha Utama dan Pendidikan Terakhir Tahun 2019

Studi mengenai keputusan tenaga kerja masih memiliki potensi untuk diteliti. Penelitian terdahulu mengenai keputusan bekerja pada masyarakat perdesaan sudah pernah dilakukan oleh (Ayambila et al., 2017; X. Wang et al., 2007), mengungkapkan bahwa karakteristik rumah tangga sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk bekerja pada sektor pertanian di perdesaan. Jumlah tanggungan keluarga yang banyak serta tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin banyak membuat orang di perdesaan tidak cukup hanya mengandalkan bekerja pada sektor pertanian.

(6)

Sumber: SAKERNAS, 2018

Gambar 4. Persentase Jumlah Tenaga Kerja Pedesaan Indonesia Berdasarkan Usia

Usia menjadi salah satu faktor penentu dalam keputusan bekerja pada sektor pertanian maupun pertanian. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.6 yang menunjukkan semakin tua usia seseorang maka keputusan untuk bekerja di sektor pertanian akan lebih besar dibandingkan seseorang yang berusia muda. Menurut (Mishra & El-Osta, 2016) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki usia tua cenderung memilih bekerja sebagai petani dibandingkan menganggur sedangkan usia muda cenderung menghindari pekerjaan petani dengan alasan pekerjaan tradisional dan tidak memberi kesejahteraan yang cukup tinggi.

Berdasarkan uraian diatas maka diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan tenaga kerja perdesaan untuk memilih bekerja pada sektor pertanian atau non-pertanian. Penelitian ini menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) gelombang 5 dengan jumlah sample sebanyak 36.598 di daerah perdesaan yang ada di 21 provinsi Indonesia. Penelitian ini diharapkan mampu memperlihatkan

gambaran mengenai kondisi

ketenagakerjaan khususnya di daerah perdesaan indonesia. Sehingga dari fenomena tersebut penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang yang mempengaruhi keputusan tenaga kerja

perdesaan untuk bekerja pada non pertanian di Indonesia.

METODE

Data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan pada penggunaan sumber literatur dan data sekunder Penelitian ini menganalisis determinan dari keputusan untuk bekerja pada sekttor pertanian dan non-pertanian di pedesaan Indonesia yang secara rinci diambil dari masing-masing sampel yang ada di 24 provinsi yang ada di Indonesia. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan data primer dari hasil survey Indonesian Family Life

Survey (IFLS). Teknik pengumpulan data

dalam penelitian ini terbagi dalam 4 bagian yaitu (1) membaca kuisioner yang telah tersedia dalam IFLS, (2) Pengumpulan variabel yang dibutuhkan dalam penelitian, (3) seleksi dan pembentukan variabel penelitian, (4) Merging data dan pembuatan

data set. Penelitian ini memiliki satu variabel

dependen keputusan yang diambil dari Buku 3A seksi TK. Sedangkan variabel independen berjumlah 11 variabel yang dibedakan dalam 3 karakteristik yaitu Demografi yang terdiri atas usia, jenis kelamin, status hubungan keluarga, dan status pernikahan yang diambil dari Buku K seksi AR. Karakteristik Ekonomi terdiri atas upah dari buku 3A seksi AR, akses kredit dari buku 2 seksi BH, jam kerja dari buku 3A seksi TK dan kepemilikan lahan dari buku 2 seksi UT. Dan karakteristik sosial terdiri atas modal sosial dari buku 3A seksi PMD, akses internet dari buku 3A seksi DL dan Pendidikan dari buku K seksi AR.. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Probit Regression Model yang dianalisis

dengan menggunakan software STATA 15. Tahap pengujian dari penelitian ini adalah Uji

Gooness of Fit, Uji Parsial dan Uji Serentak.

Teori Keputusan

Keputusan adalah cara manusia dalam keadaan tertentu untuk memilih suatu keadaan yang tersedia untuk mencapai tujuan yang hendak diraih (Handson, 2005).

(7)

Teori keputusan dibagi menjadi dua, yaitu (1) teori keputusan normative, (2) teori keputusan deskriptif. Teori keputusan normative merupakan bagaimana keputusan dibuat secara rasional berdasarkan prinsip yang ada. Sedangkan teori keputusan deskriptif merupakan bagaimana keputusan dibuat secara factual guna mendapatkan sebuah tahapan atau proses. Dalam menentukan pilihan keputusan di dunia nyata, individu cenderung bersifat terbuka dalam menentukan pilihan yang baru. Sehingga ketika dijadikan kedalam bentuk teori keputusan, pilihan diasumsikan menjadi tertutup. Hal tersebut dinamakan mutually exclusive, dikarenakan keputusan yang dapat direalisasikan hanya ada satu sehingga pilihan yang banyak akan digeneralisasi kedalam satu keputusan yang mampu mewakili pilihan yang banyak (Hanson:2005). Namun metode ini memiliki kekurangan bahwa dalam kenyataan informasi niai kurang akurat apalagi jika metode yang digunakan membutuhkan informasi numerik.

Keyakinan perilaku berkaitan dengan kemungkinan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi dari hal tersebuthasil. Sikap yang dihasilkan dengan demikian merupakan faktor pribadi yang mempertimbangkan sejauh mana seorang mengevaluasi perilaku tertentu secara positif atau negatif. Dalam konteks Rural Non Farm Employment

(RNFE), harapan akan mendapatkan upah

yang aman dan tinggi dari pekerjaan berupah mungkin dievaluasi secara positif

oleh rumah tangga ketika

mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan diversifikasi non-pertanian. Bersama dengan keyakinan lain tentang RNFE, ini mungkin mengarah pada sikap positif. Dalam teori ekonomi istilahnya 'preferensi' digunakan sebagian besar secara kongruen.

Teori Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional dalam prinsip keputusan perilaku individu diasumsikan ketika individu mencoba untuk berpeilaku untuk memaksimalkan manfaat dan

meminimalkan biaya. Sehingga pilihan individu untuk membuat keputusan untuk perilakunya dengan membandingkan biaya dan manfaat dari kombinasi pilihan yang tersedia. Menurut Nicholson (2002), memiliki beberapa asumsi mengenai preferensi individu dalam mengambil tindakan diantaranya:

a. Preferensi diasumsikan lengkap (complete preferences), apabila terdapat dua pilihan seperti a dan b, maka individu selalu mampu menyatakan dengan jelas dari tiga kemungkinan yang dipilih. a lebih disukai daripada b; b lebih disukai daripada a; atau a dan b sama-sama disukai.

b. Preferensi bersifat transitif (transtivity of

preferences), apabila individu

menyatakan bahwa pilihan a1 lebih disukai daripada a2, dan pilihan a2 lebih disukai daripada a3, maka a1 lebih disukai daripada a3. Artinya individu lebih konsisten terhadap pilihan pertama mereka, sehingga antar pilihan tidak saling bertentangan satu sama lain. c. Individu diasumsikan memiliki informasi

yang sempurna mengenai apa yang akan dipiih

d. Individu diasumsikan memiliki kemampuan kognitif dan waktu untuk menimbang.

Partisipasi Tenaga Kerja

Menurut Simanjuntak (1985) mendefinisikan bahwa tenaga kerja merupakan penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun tanpa ada batas usia maksimal. Artinya penduduk usia kurang dari 10 tahun tidak digolongkan sebagai tenaga kerja. Menurut Bellante, (1990) Penyerapan tenaga kerja menandakan bahwa banyaknya input yang ingin dimasukkan ke dalam suatu perusahaan adalah dampak dari apakah permintaan akan suatu barang dan jasa relatif besar yang akan membuat perusahaan berusaha untuk lebih memperbanyak output mereka dengan memasukkan input ke dalamnya. Menurut Simanjuntak (1985) tenaga kerja merupakan jumlah dari angkatan kerja ditambah dengan

(8)

jumlah bukan angkatan kerja. Tenaga kerja pada umumnya memiliki kemampuan masing-masing yang menjadi potensi sumber daya manusia yang sangat diperlukan di pasar tenaga kerja dengan imbalan upah sebagai balas jasa dari pekerjaan yang dilakukan. Keahlian yang ditawarkan dalam pasar tenaga kerja tergolong pada 9 lapangan usaha yang dikerucutkan menjadi 2 sektor utama yaitu sektor primer dan sektor sekunder. Menurut BPS (2014) tenaga kerja terdiri atas angkatan kerja dan angkatan non-kerja dengan usia kerja lebih dari 15 tahun keatas. Golongan dari angkatan kerja terdiri atas seseorang yang telah bekerja lebih dari 15 jam, seseorang yang mencari pekerjaan dan seseorang yang menjadi pengangguran. Sedangkan golongan bukan angkatan kerja adalah seseorang yang masih sekolah, seseorang yang menjadi ibu rumah tangga, dan seseorang yang telah pensiun dari pekerjaannya.

Teori Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja

Teori permintaan tenaga kerja merupakan teori yang menerangkan seberapa banyak suatu lapangan usaha akan mempekerjakan tenaga kerja dengan bermacam tingkatan upah pada suatu periode tertentu. Permintaan merupakan suatu hubungan antara harga dengan kuantitas. Apabila dikatikan dengan tenaga kerja, permintaan merupakan hubungan antara tingkat upah (harga tenaga kerja menurut majikan) dengan kuantitas tenaga kerja yang dikehendaki untuk dipekerjakan (Bellante dan Jackson, 1983). Sehingga, dengan adanya jumlah karyawan yang dipekerjakan akan mempengaruhi produksi suatu perusahaan, yang juga secara tidak langsung mempengaruhi pendapatan yang diterima oleh perusahaan. Namun, ketika perusahaan ingin mempengaruhi tingkat output agregat, maka perusahaan dapat mengatur jumlah penggunaan tenaga kerja. Tambahan terhadap output agregat (atau secara alternatif produk keseluruhan) yang dilakukan dengan cara suatu penambahan

satu unit tenaga kerja disebut MPPL (Marginal Physical Product Of Labour). Akan tetapi dengan asumsi perusahaan berada pada pasar kompetitif yang dapat menghitung jumlah penerimaan perusahaan dengan penambahan output marginal yang merupakan MR (Marginal Revenue).

Besarnya MR sama dengan VMPPL (Value

Marginal Physical Product Of Labour), yaitu

besarnya MPPL dikalikan dengan harga per unit (Simanjuntak, 1985).

Penawaran tenaga kerja merupakan suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja. “Penawaran tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh pemilik tenaga kerja pada setiap kemungkinan upah dalam jangka waktu tertentu”. Penawaran tenaga kerja diidentikkan dengan keputusan untuk bekerja atau tidak dengan asumsi menggunakan jumlah jam kerja yang diinginkan dan telah disepakati oleh individu di pasar tenaga kerja (Soleh: 2007). Menurut Moore dan Elkin (1990), “teori penawaran tenaga kerja individu melibatkan jumlah jam kerja yang dipilih oleh pekerja untuk bekerja pada berbagai tingkat upah, dan berdasarkan asumsi tersebut pekerja mencari kepuasan maksimumnya pada alokasi waktu antara bekerja dan waktu luangnya (leisure)”. Faktor kunci pada alokasi tenaga kerja pada rumah tangga pertanian adalah tingkat upah yang menunjukkan opportunity cost dari waktu luang. "Kombinasi waktu non pasar dan barang-barang pasar terbaik adalah kombinasi yang terletak pada kurva indefferensi tertinggi yang dapat dicapai dengan kendala tertentu" (Becker 1980). Kurva penawaran tenaga kerja mempunyai bagian yang melengkung ke belakang Ketika terjadi peningkatan upah, penyediaan waktu kerja oleh individu juga akan meningkat pada tingkat upah tertentu. Namun setelah mencepai upah tertentu, waktu yang disediakan individu untuk bekerja justru berkurang ketika terjadi peningkatan upah. Hal ini disebut Backward Bending Supply Curve.

(9)

Teori Upah

Upah merupakan salah satu hal terpenting dalam sebuah pekerjaan. Upah menjadi salah satu hal terpenting dalam sebuah pekerjaan karena sebagai tanda balas jasa dari usaha yang telah dikerjakan oleh tenaga kerja. Pertimbangan pemberian upah ditentukan oleh adanya sisi permintaan tenaga kerja dengan mempertimbangkan nilai produk marjinal (MPV) yang ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja dalam berinteraksi dan mengelola input yang ada dalam lapangan usaha. Sehingga terkadang tanpa disadari tenaga kerja memiliki tingkat kepuasan masing-masing sehingga terdapat perbedaan selera atau preferensi terhadap jenis pekerjaan sehingga muncul adanya konsep penyamaan tingkat upah (theory of

equalizing wage difference). Perbedaan

upah menjelaskan ternyata terdapat pergeseran angkatan kerja tradisional ke modern. Hal tersebut disebabkan daerah dengan sumber daya tenaga kerja yang relatif tinggi dibandingkan dengan permodalan memiliki pendapatan yang lebih rendah dari rata-rata. Dengan demikian, ada insentif untuk pindah ke daerah (atau sektor) dengan upah lebih tinggi. Proses alokasi tenaga kerja yang disebabkan oleh dinamika tarik-permintaan (demand-pull) dan dorongan-tekanan (distress-push) diilustrasikan dengan model kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan yang muncul karena tenaga kerja bergeser dari sektor pertanian ke ekonomi pedesaan non-pertanian. Ini membedakan antara: (1) arah

demand-pull yang dimotivasi oleh tingkat

upah yang lebih tinggi dari tingkat upah rata-rata di bidang pertanian, dan (2) arah

distress-push dengan tingkat upah yang

tidak lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dari tingkat upah rata-rata di bidang pertanian. Motivasi untuk pergeseran

distress-push muncul dari pasar tenaga kerja

pertanian yang tidak lengkap seperti yang biasanya ditemukan di sebagian besar negara berkembang dan transisi, di mana terdapat tingkat pengangguran terselubung yang tinggi. Dimodel, oleh karena itu di hipotesiskan bahwa pendapatan yang

diciptakan di sektor non-pertanian oleh anggota rumah tangga ditambahkan sepenuhnya ke total pendapatan rumah tangga pada tahap awal. Dua kurva penawaran tenaga kerja digambar dalam model. S1 adalah kurva penawaran tenaga

kerja dari distress-shifter dorong, sedangkan S2 mewakili kurva penawaran tenaga kerja

tarik-permintaan. Perbedaan ini muncul karena perbedaan penduduk pedesaan dalam hal aset modal individu dan, akibatnya, dalam hal biaya peluang tenaga kerja pertanian.

Teori Alokasi Waktu

Alokasi waktu menurut Becker adalah bagaimana suatu rumah tangga menerima utility secara langsung dari konsumsi suatu komoditas. Konsep ini dipadukan dengan adanya tingkat kepuasan rumah tangga yang digambarkan dengan kurva indeferen yang tidak saling berpotongan karena konsep kepuasan seseorang tidak ada batasnya. Kecondongan kurva indeferen digambarkan dengan kesediaan seseorang untuk melakukan subtitusi antar kedua komoditi sehingga mampu mempertahankan total utilitas tanpa harus ada perubahan. Konsep alokasi waktu juga mengungkapkan bahwa ternyata seseorang tidak hanya mewakilkan preferensi atau pilihan bagi kedua komoditi yang digambarkan oleh kurva indeferen melainkan pendapatan yang diperoleh dari upah juga dipertimbangkan dengan batas anggaran yang dimiliki dalam rumah tangga. Menurut model Becker suatu rumah tangga mampu menghasilkan komoditi dengan menggunakan input barang-barang produksi pasar dan waktu dari anggota rumah tangga. Dari keterangan sebelumnya bahwa pendapatan yang diperoleh dari upah memiliki dampak terhadap harga relative suatu barang. Sehingga muncul model pemikiran baru yang dilanjutkan oleh Becker mengenai tingkah laku rumah tangga bahwa ketika terjadi kenaikan upah dalam pasar maka akan meningkatkan harga atau biaya dari satu input yang dipakai dalam produksi komoditi.

(10)

Teori Modal Sosial

Modal sosial pada hakikatnya menggambarkan kapasitas seseorang untuk memperoleh sebuah barang/jabatan menurut perilaku hubungan sosial dengan orang lain yang dilihat dari partisipasi sosial, kepercayaan, dan komitmen seseorang dalam melakukan sesuatu. Modal sosial memiliki titik tumpu utama dalam menjamin seseorang dalam melakukan jejaring sosial. Menurut Coleman (1989) modal sosial diciptakan untuk memudahkan tindakan individu dalam struktur sosialnya. Hal tersebut terjadi karena adanya hubungan antara individu dengan anggota dari struktur sosial untuk menjalin hubungan yang baik dengan membentuk suatu jaringan sosial serta norma yang ada dalam struktur sosial. Fukiyama (2002) menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kapasitas modal sosial yang berbeda yang disebabkan karena adanyaa radius kedekatan dan kepercayaan antar anggota dalam struktur sosial. Definisi modal sosial dalam konteks preferensi dimaknai oleh Coleman dalam dua elemen yaitu (a) hubungan sosial yang mengizinkan individu untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (b) kuantitas dan kualitas dari sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian melalui modal sosial mampu meraih akses langsung dalam perolehan sumber daya yang tersedia. Coleman juga menyebutkan bahwa kecenderungan seorang wirausahawan memiliki afiliasi atau kerja sama akibat timbulnya rasa kepercayaan masing-masing untuk mengembankan model perusahaan yang diinginkan. Portes (1998)

mengungkapkan bahwa modal sosial merupakan suatu elemen dari struktur sosial yang mempengaruhi relasi antar manusia sekaligus sebagai fungsi produksi untuk memperoleh profit atau benefit sesuai dengan tingkat kepuasan yang dimiliki oleh masing-masing individu yang saling dipadukan satu sama lain.

Konsep Rural Non-Farm Employment Secara konseptual analisis RNFE adanya beberapa elemen yang harus dipertimbankan. Hal tersebut dipertimbangkan dengan adanya pemikiran dari sebuah proses pembuatan keputusan untuk bekerja di sektor pertanian atau non pertanian di perdesaan. Perencanaan keputusan menjadi hal utama dimana terbagi menjadi 3 jenis yaitu keyakinan dalam berperilaku, keyakinan secara normative dan keyakinan yang terkontrol. Sehingga ketiga point perencanaan keputusan tersebut akan mengerucutkan niat dalam memutuskan tingkah laku yang akan dilakukan. Berdasarkan Gambar menyebutkan bahwa RNFE timbul karena adanya permasalahan dan kerentanan dari rumah tangga di perdesaan yang mencakup kesejahteraan dan intensifitas hasil. Hal tesebut dipengaruhi oleh lima hal yang mencakup alam, manusia, fisik, sosial, dan finansial asset yang saling mempengaruhi dan menimbulkan adanya efek dorongan (demand-pull) dan tarikan (distress-push) dalam mempengaruhi keputusan untuk bekerja di sektor non-pertanian perdesaan.

Sumber : Buchenrieder (2004)

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada hasil estimasi regresi probit ini memiliki variabel dependen yaitu keputusan untuk bekerja di sektor pertanian atau sektor non-pertanian di perdesaan. Sementara untuk variabel independen untuk keputusan pekerja perdesaan bekerja di sektor pertanian maupun non-pertanian adalah usia, jenis kelamin, jam kerja, pendidikan, upah, status hubungan keluarga, status pernikahan, kepemilikan lahan, akses internet, modal sosial, dan akses kredit. Hasil estimasi regresi probit untuk keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Estimasi Probit Rural Non-Farm Empoyment Indonesia Variable Coeficien t Standa r Error p-value Margina l Effect Karakteristik Demografi Age -0.019 0.006 0.003 * -0.008 Status Keluarga -0.044 0.014 0.001 * -0.017 Gender 0.341 0.029 0.000 * 0.135 Status Pernikahan -0.016 0.038 0.681 -0.006 Karakteristik Ekonomi Jam Kerja 0.548 0.031 0.000 * 0.218 Kepemilika n Lahan -0.723 0.029 0.000 * -0.281 Upah 0.086 0.013 0.000 * 0.034 Akses Kredit 0.179 0.037 0.000 * 0.071 Karakterisitk Sosial Modal Sosial 0.156 0.028 0.000 * 0.062 Akses Internet 0.498 0.044 0.000 * 0.194 SD 0.352 0.062 0.000 * 0.139 SMP 0.447 0.069 0.000 * 0.174 SMA 0.620 0.07 0.000 * 0.239 University 1.374 0.086 0.000 * 0.435 Number of Observatio n 9.729 LR chi2(14) 2332.53 Log likelihood -5546.2294 Pseudo R2 0.1737 Prob > chi2 0.0000 (*) α ≤ 0.05

Sumber: Hasil Pengolahan Peneliti, 2020 Uji Likelihood Ratio merupakan uji signifikansi secara simultan (serentak) terhadap suatu model probit. Hasil uji simultan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. Hasil Uji Likelihood Ratio

Deskripsi Hasil

Observasi 9.729 Pseudo R2 0.1737

Prob>Chi2 0.0000

LR chi2 2332.53

Sumber: Hasil pengolahan peneliti, 2020 Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti mengenai keputusan tenaga kerja perdesaan bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian dengan menggunakan metode regresi probit yang ditunjukkan pada nilai Prob Chi2 sebesar 0.0000 menunjukkan bahwa keseluruhan varibel bebas secara serentak signifikan mempengaruhi variabel terikat dengan kata lain model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikatakan baik dari uji signifikansi serentak. Kemudian nilai

Pseudo R2 sebesar 0.1737 dari model ini mampu menjelaskan sebesar 17,37 persen keputusan tenaga kerja perdesaan memilih bekerja pada sektor pertanian maupun non pertanian di Indonesia. Meskipun hasil

Pseudo R2 pada model probit cukup rendah, hal tersebut tidak membuat suatu model dianggap tidak baik, karena nilai dari Pseudo

R2 bukan menjadi tolak ukur utama dalam penentuan kualitas suatu model probit melainkan tingkat signifikansi dan arah koefisien dari model yang lebih diutamakan (Gujarati, 2003).

(12)

Uji Goodness of Fit digunakan untuk menentukan model terbaik yang mampu menjelaskan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Uji

Goodness of Fit dengan pendekatan estat classification. Menurut (Hosmer,2013) pendekatan tersebut dapat digunakan untuk mengukur keakuratan model dari sebuah model probit. Berikut hasil uji Goodness of Fit menggunakan estat classification.

Tabel 3. Hasil Uji Goodness of Fit

Deskripsi Hasil

Sensitivity 78.63% Specificity 65.31% Correctly classified 73.06%

Sumber: Hasil pengolahan peneliti, 2020 Berdasarkan hasil pengujian goodness of fit terdapat 3 indikator yaitu

Sensitivity Value, Specificity Value dan Correctly Classified. Sensitivty Value

merupakan keakuratan model dalam menginterpretasi kejadian sukses dalam sebuah model penelitian. Nilai Specivicity

Value penelitian ini adalah keputusan tenaga

kerja perdesaan untuk memilih bekerja pada non-pertanian di Indonesia dari keseluruhan observasi dalam penelitian ini sebesar 78.63%. Specificity Value merupakan keakuratan model dalam menginterpretasi kejadian yang gagal dalam sebuah model penelitian. Dalam penelitian ini nilai dari

Specificity Value adalah keputusan tenaga

kerja perdesaan untuk memilih tidak bekerja pada non-pertanian di Indonesia dari keseluruhan observasi dalam penelitian ini sebesar 65.31%. Correctly classified value menggambarkan keakuratan model secara keseluruhan baik membaca kejadian sukses maupun kejadian yang gagal dari suatu model penelitian. Nilai tersebut dalam uji goodness of fit disamakan dengan nilai

Count R2 yang dapat digunakan untuk melihat kelayakan model penelitian. Dalam penelitian ini nilai dari Correctly classified adalah keputusan tenaga kerja perdesaan memilih bekerja pada sektor pertanian maupun non-pertanian di Indonesia dari

keseluruhan observasi dalam penelitian ini sebesar 73.06%.

Pengaruh Karakteristik Demografi Terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan untuk bekerja pada Pertanian dan Sektor Non-Pertanian di Indonesia

Karakteristik demografi yang dimaksud meliputi Usia, Gender, Status Pernikahan, dan Status Keluarga.

1. Pengaruh Usia terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Pertanian dan Sektor Non-Pertanian di Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel usia memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan

marginal effect sebesar -0.008. Dari hasil

tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel usia memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Hal tersebut dikarenakan ketika terjadi penambahan satu tahun pada usia pekerja maka peluang pekerja perdesaan untuk bekerja di sektor non-pertanian menurun sebesar 0.008 kali lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Berdasarkan hasil temuan penelitian menyebutkan bahwa semakin bertambah usia maka kemungkinan untuk bekerja di sektor non-pertanian semakin menurun. Hasil penelitian ini sesuai penelitian terdahulu mengenai preferensi tenaga kerja, dimana usia menjadi salah satu faktor pendorong untuk melakukan suatu pekerjaan. Hal tersebut dikarenakan usia produktif diidentikkan dengan usia muda yang memiliki kemampuan serta etos kerja yang cukup tinggi dibandingkan usia tua. Pada umumnya, semakin tua usia maka pendapatan yang diperoleh akan semakin bertambah. Namun, ternyata tidak sesuai dengan asumsi dikarenakan semakin tua usia seseorang kecenderungan memiliki waktu luang cukup banyak dibandingkan usia muda dan sektor pertanian memiliki waktu yang cukup banyak untuk melakukan pekerjaan di sektor pertanian sedangkan usia muda pada umumnya masih selalu

(13)

mencari hal-hal yang baru serta pengalaman di luar non-pertanian (Ayambila et al., 2017)

2. Pengaruh Gender terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Pertanian dan Sektor Non-Pertanian di Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel jenis kelamin memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan

marginal effect sebesar 0.135. Dari hasil

tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel gender memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Sehingga hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima. Hal tersebut dikarenakan perempuan memiliki kecenderungan bisa melakukan pekerjaan lain di bandingkan dengan laki-laki. Selain itu, pada sektor pertanian dibutuhkan tenaga yang kuat untuk mengelola lahan pertanian yang ada sehingga, laki-laki memiliki peluang yang cukup besar untuk bekerja di sektor pertanian dibandingkan perempuan. Selaras dengan penelitian Su et al., (2016) yang menyatakan bahwa jenis kelamin berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja di sektor non-pertanian. Hal tersebut dikarenakan sektor pertanian merupakan salah satu pekerjaan informal yang harus dikerjakan oleh tenaga kasar. Oleh sebab itu, laki-laki lebih pantas untuk bekerja di sektor pertanian dibandingkan dengan perempuan yang lebih cocok bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan keuletan dan ketelitian

3. Hubungan Status Pernikahan terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Pertanian dan Sektor Non-Pertanian di Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel status pernikahan

memiliki probabilitas 0.681 dengan α≤.5%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel status pernikahan memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan Hi ditolak. Sehingga, adanya peningkatan atau penurunan pada pekerja perdesaan yang menikah tidak berpengaruh terhadap keputusan pekerja perdesaan baik Sehingga status pernikahan bukan menjadi faktor terpenting dalam keputusan bekerja pada sektor non-pertanian di perdesaan.

Dalam penelitian mengenai preferensi tenaga kerja, status pernikahan memang menjadi pertimbangan dalam memilih suatu pekerjaan sedangkan dalam teori penawaran tenaga kerja, status pernikahan bukan menjadi faktor terpenting dalam pasar tenaga kerja. Status pernikahan lebih relevan terhadap permintaan tenaga kerja bukan penawaran tenaga kerja. Hal tersebut dibuktikan pada fakta di lapangan bahwa status menikah tidak memiliki pengaruh untuk bekerja pada sektor non-pertanian karena sebenarnya meskipun belum menikah atau sudah menikah seseorang bisa bebas memilih pekerjaan yang ditawarkan. Namun apabila tenaga kerja perdesaan memutuskan untuk bekerja pada sektor pertanian, pengaruh positif dan tidak signifikan memiliki kecenderungan lebih baik dibandingkan non-pertanian. Hal tersebut dikarenakan untuk bekerja di sektor pertanian tidak memiliki syarat tertentu terutama melihat dari status pernikahan. Sejalan dengan penelitian Maligalig et al., (2019) menyatakan apabila tenaga kerja telah menikah maka kecenderungan untuk bekerja di sektor pertanian lebih besar dari bekerja di sektor non pertanian terutama pada jenis kelamin perempuan dan berdomisili di perdesaan.

4. Hubungan Struktur Keluarga terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Pertanian dan Sektor Non-Pertanian di Indonesia

(14)

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien dari variabel status keluarga yang dilihat dari marginal effect sebesar -0.017 dan nilai signifikansi yang dilihat dari p>|z| sebesar 0.001 yang berarti kurang dari α = 0.05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel status keluarga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian. Hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima. Sehingga dapat dijelaskan bahwa semakin besar status keluarga yang dimiliki masyarakat desa maka peluang untuk bekerja di sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan non-pertanian.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, adanya pengaruh dari lingkungan dan pekerjaan orang tua serta adanya faktor turun menurun dari keluarga terdahulu mendorong seseorang untuk memasuki sektor pertanian pada usia produktif. Melalui ajakan dari orang tua, tenaga kerja di perdesaan bekerja di sektor pertanian dan mendapatkan keterampilan di bidang pertanian. Sehingga dengan memiliki keterampilan di sektor pertanian sejak usia dini menyebabkan tenaga kerja sektor pertanian enggan untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian meski menawarkan tingkat upah yang lebih tinggi dan lebih terbiasa untuk bekerja di lingkungan yang telah mereka kenali. Hal tersebut didukung dengan adanya penelitan dari (Riley, 2009) mengungkapkan bahwa hubungan anak dengan keluarga sangat mempengaruhi seseorang untuk bekerja baik di sektor pertanian maupun non pertanian. Hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan orang tua/kepala rumah tangga untuk mengarahkan anaknya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan kepala rumah tangga saat ini melalui pendidikan yang direncanakan oleh orang tua dan anak. Sehingga setelah menyelesaikan studi harapan dari orang tua adalah bisa melanjutkan pekerjaan yang diakukan oleh kepala rumah tangga khusunya pada sektor

pertanian yang memiliki hubungan keluarga yang cukup kuat dalam pekerjaannya. Pengaruh Karakteristik Ekonomi Terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian.

Karakteristik ekonomi yang dimaksud meliputi Jam Kerja, Kepemilikan Lahan, Upah, dan Akses Kredit.

1. Hubungan Jam Kerja terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian

Pada hipotesis kelima diduga bahwa variabel jam kerja berpengaruh signifikan terhadap keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel jam kerja memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan marginal effect sebesar 0.218. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel jam kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Sehingga dapat dijelaskan bahwa semakin bertambah satu jam kerja yang ditawarkan sebesar 0.218 kali maka peluang untuk bekerja pada sektor non pertanian di perdesaan lebih tinggi dibandingkan bekerja pada sektor pertanian. Sehingga, hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima.

Hal tersebut menujukkan bahwa semakin tinggi jam kerja maka peluang pekerja perdesaan untuk bekerja di sektor non-pertanian lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Dalam teori ekonomi, nilai jam kerja akan mendorong tenaga kerja untuk mengambil atau melepaskan suatu pekerjaan (Becker, 1990). Semakin banyak jam kerja yang dilakukan maka semakin tinggi pula upah/gaji yang akan diterima oleh tenaga kerja. Selain itu, sejalan dengan penelitian (Su et al., 2016) menyatakan bahwa alokasi jam kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pemilihan untuk

(15)

bekerja pada sektor non-pertanian diperdesaan. Hal tersebut terutama pada jenis kelamin perempuan yang memiliki alokasi waktu paling besar dibandingkan laki-laki. Alokasi waktu yang cukup banyak memungkinkan seseorang untuk bisa bekerja lebih dari satu pekerjaan untuk menambah penghasilan serta meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya di perdesaan.

2. Hubungan Kepemilikan Lahan terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian

Pada hipotesis keenam diduga bahwa variabel kepemilikan lahan berpengaruh signifikan terhadap keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel kepemilikan lahan memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan marginal effect sebesar -0.281. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel kepemilikan lahan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Sehingga dapat dijelaskan bahwa semakin besar lahan yang dimiliki oleh tenaga kerja perdesaan maka peluang untuk bekerja di sektor non-pertanian menurun sebesar 0.034 kali dibandingkan sektor pertanian. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima.

Hal tersebut menujukkan bahwa semakin besar kepemilikan lahan yang dimiliki pekerja perdesaan maka peluang untuk bekerja di sektor non-pertanian semakin menurun. Sesuai dengan penelitian terdahulu mengenai preferensi tenaga kerja di perdesaan di Asia, lahan menjadi faktor terpenting dalam pekerjaan sektor pertanian. Apabila seseorang yang tinggal di perdesaan tidak memiiki lahan cenderung untuk bekerja pada sektor non-pertanian dengan pendapatan yang relatif tinggi atau tetap bekerja pada sektor pertanian sebagai buruh tani dengan pendapatan yang masih dibawah upah minimum. Hal tersebut

tergantung dari pilihan dan kemampuan seseorang dalam bekerja menghasilkan output. Selain itu, adanya perubahan tata guna lahan menyebabkan adanya pengaruh terhadap pilihan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor pertanian, sehingga pada akhirnya sektor pertanian akan mulai ditinggalkan karena semakin berkurangnya tata guna lahan untuk sektor pertanian di perdesaan akibat bertambahnya penduduk yang ada di suatu wilayah. Sejalan dengan penelitian Bou Dib et al., (2018) perubahan kegunaan lahan disebabkan karena adanya status kepemilikan lahan dan kebutuhan si pemilik lahan untuk memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan perubahan pekerjaan di perdesaan Indonesia karena mulai berkurangnya lahan pertanian akibat perubahan tata guna lahan di perdesaan Indonesia.

3. Hubungan Upah terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian

Pada hipotesis ketujuh diduga bahwa variabel upah berpengaruh signifikan terhadap keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel upah memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan marginal effect sebesar 0.034. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja Ketika terjadi kenaikan upah sebesar Rp. 1.000,- maka peluang pekerja perdesaan untuk bekerja di sektor non-pertanian lebih besar 0,034 kali dibandingkan sektor pertanian. Sehingga, hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima.

Sehingga dapat dijelaskan bahwa semakin bertambah upah yang diperoleh maka peluang untuk bekerja pada sektor

(16)

non-pertanian di perdesaan lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian. Menurut teori upah yang dijelaskan oleh (Sholeh, 2007), upah menjadi salah satu faktor terpenting dalam bekerja pada sektor pertanian maupun non pertanian. Pertanian memilik daya tawar pendapatan yang cukup rendah dibandingkan daya tawar pendapatan dari sektor non-pertanian. Selain itu, produktivitas marjinal tenaga kerja (MPL) sektor pertanian rendah dibandingkan sektor non-pertanian. Hal tersebut dikarenakan upah yang diterima oleh tenaga kerja perdesaan yang bekerja pada sektor pertanian tergantung musim atau masa tanam saja. Sedangkan pada sektor non-pertanian upah yang diterima bersifat tetap karena tidak tergantung oleh musim. Sejalan dengan penelitian Vasco & Tamayo, (2017) mengungkapkan bahwa pendapatan memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap keputusan bekerja pada sektor non-pertanian. Hal ini dikarenakan pendapatan menjadi salah satu ukuran untuk melihat kekayaan suatu keluarga.

4. Hubungan Akses Kredit terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian

Pada hipotesis delapan diduga bahwa variabel akses kredit berpengaruh signifikan terhadap keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel akses kredit memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan marginal effect sebesar 0.071. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel akses kredit memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja perdesaan yang mendapatkan pinjaman memiliki peluang bekerja di sektor non-pertanian sebesar 0.071 kali dibandingkan pekerja yang tidak mendapatkan kredit. Hasil tersebut menujukkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima.

Sehingga dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi akses kredit dijangkau oleh pekerja desa maka peluang untuk bekerja pada sektor non-pertanian lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian. Berdasarkan penelitian mengenai preferensi tenaga kerja, akses kredit menjadi salah satu faktor dalam pemilihan keputusan untuk bekerja pada sektor pertanian atau pertanian. Kemudahan akses kredit dalam hal ini merupakan kemudahan untuk melakukan pengajuan kredit, karena dalam pengajuan kredit terdapat beberapa proses yang harus di analisis terutama terkait pendapatan tetap yang dimiliki sudah sesuia dengan tingkat pengambilan atau pengajuan kredit. Sejalan hasil penelitian (Ayambila et al., 2017) yang menunjukkan bahwa akses kredit memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan bekerja di sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan akses kredit menjadi salah satu peran penting bagi sumber pembiayaan yang digunakan sebagai tambahan pengembangan usaha atau digunakan untuk konsumsi pribadi. Dalam akses kredit terutama di perdesaan sangat dibutuhkan sekali terutama taraf hidup masyarakat desa yang masih relatif rendah. Sehingga untuk melakukan pemimjaman harus dilakukann analisa terlebih dahulu dari pemberi kredit untuk memberikan kredit yang sesuai dengan karakteristik masyarakat di perdesaan.

Pengaruh Karakteristik Sosial Terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian.

Karakteristik sosial yang dimaksud meliputi Modal Sosial, Akses Internet, dan Pendidikan.

1. Hubungan Pendidikan terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian

Pada hipotesis sembilan diduga bahwa variabel pendidikan berpengaruh signifikan terhadap keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah

(17)

dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel pendidikan memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan

marginal effect keseluruhan sebesar 0.026.

selain itu, nilai koefisien dan nilai signifikansi dari variabel pendidikan dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan jenjang yang ditempuh di Indonesia mulai dari SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Nilai koefisien dan nilai signifikansi dari pendidikan SD sebesar 0.139 dengan tingkat signifikansi 0.000. Kemudian nilai koefisien dan nilai signifikansi dari pendidikan SMP sebesar 0.174 dengan tingkat signifikansi 0.000, nilai koefisien dan nilai signifikansi dari pendidikan SMA sebesar 0.239 dengan tingkat siginikansi 0.000 dan nilai koefisien dan nilai signifikansi dari pendidikan Perguruan Tinggi sebesar 0.435 dengan tingkat signifikansi 0.000.

Hasil penelitan diatas menujukkan bahwa semakin tinggi pendidikan yang diselesaikan maka pekerja perdesaan memiliki peluang untuk bekerja di sektor non-pertanian semakin besar. Sesuai dengan teori penawaran tenaga kerja pendidikan menjadi faktor terpenting yang dimiiki seseorang dalam pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan, maka daya tawar pekerjaan juga akan meningkat karena kapasitas sumber daya manusia yang cukup baik dibandingkan seseorang yang memiliki pendidikan yang cukup rendah Hal tersebut sejalan dengan penelitian Su et al., (2016) mengungkapkan bahwa semakin tinggi lama sekolah yang ditempuh oleh seseorang maka spesialisasi pekerjaan akan semakin banyak karena tingginya tingkat intelektualitas/pengetahuan sumber daya manusia. Selain itu, penelitian serupa dilakukan oleh Gashe, (2016) menyatakan bahwa pendidikan formal memiliki dampak yang signifikan terhadap kegiatan ekonomi khususnya pada sektor non pertanian karena masyarakat desa yang berpendidikan tinggi memiliki kualifikasi pekerjaan sendiri dibandingkan orang yang bekerja di sektor pertanian.

2. Hubungan Modal Sosial terhadap Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian

Pada hipotesis kesepuluh diduga bahwa variabel modal sosial berpengaruh signifikan terhadap keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel modal sosial memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan

marginal effect sebesar 0.062. Dari hasil

tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel modal sosial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja perdesaan yang memiliki modal sosial memiliki peluang memilih bekerja di sektor non-pertanian meningkat sebesar 0.062 kali dibandingkan tidak memiliki modal sosial. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima.

Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan dapat diartikan bahwa semakin besar modal sosial yang dimiliki oleh tenaga kerja perdesaan maka peluang untuk bekerja pada sektor non-pertanian lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Sesuai dengan teori modal sosial (Coleman, 1998) dalam ekonomi yang merupakan suatu tindakan yang merujuk pada hubungan antar individu dalam suatu jaringan sosial yang memiliki timbal balik atas kepercayaan yang dilakukan antar individu. Modal sosial memiliki hubungan dalam teori penawaran tenaga kerja terutama pada sektor non-pertanian. Hal tersebut dikarekanan adanya tingkat kepercayaan antar individu yang baik mengakibatkan segala informasi mengenai pekerjaan di sektor non-pertanian mampu dengan mudah diterima dan ditawarkan oleh seseorang khususnya di daerah perdesaan yang rata-rata masih memiliki norma dan perilaku yang baik terhadap seseorang. 3. Hubungan Akses Internet terhadap

Keputusan Tenaga Kerja Perdesaan Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian

(18)

Pada hipotesis kesebelas diduga bahwa variabel akses internet berpengaruh signifikan terhadap keputusan pekerja perdesaan bekerja pada sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa nilai koefisien dari variabel akses internet memiliki probabilitas 0.000 dengan α≤.5% dengan marginal effect sebesar 0.194. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel akses internet memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan tenaga kerja perdesaan untuk bekerja pada sektor non-pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja perdesaan yang memiliki akses intenet memiliki peluang memilih bekerja di sektor non-pertanian meningkat sebesar 0.194 kali dibandingkan tidak memiliki akses internet. Sehingga, hasil penelitian ini menyebutkan bahwa H0 ditolak dan Hi diterima.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan semakin banyak akses internet yang diperoleh, maka peluang tenaga kerja perdesaan untuk bekerja di sektor non-pertanian lebih besar dibandingkan bekerja di sektor pertanian. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Ma et al., 2018) mengungkapkan bahwa dengan masuknya akses internet ke perdesaan di suatu wilayah, maka pola pikir masyarakat desa akan memiliki kecenderungan yang berbeda dibandingkan belum memiliki akses internet di perdesaan. Hal tersebut memiliki hubungan positif dan signifikan karena akses internet memberikan semua hal dan informasi terutama cara untuk menaikkan kesejahteraan hidup. Penelitan tersebut membuktikan bahwa orang desa khususnya yang berusia muda karena kecakapan mereka terhadap internet mulai meninggalkan perdesaan dan pekerjaan pertanian dan cenderung berpindah ke kota dan mencari pekerjaan non pertanian melalui akses internet yang telah masuk di perdesaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan terkait determinan keputusan bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian di Indonesia berdasarkan aspek karakteristik yaitu aspek demografi, aspek sosial dan aspek ekonomi sebagai berikut:

1. Apabila dilihat dari segi aspek demografi pada usia ketika terjadi penambahan usia untuk bekerja di sektor non pertanian maka akan menurunkan kesempatan kerja pada sektor tersebut. Selain itu pada variabel jenis kelamin menjadi faktor terpenting dimana

perempuan memiliki

kecenderungan memilih bekerja di sektor non-pertanian lebih besar dibandingkan laki-laki untuk kasus di pedesaan Indonesia. Kemudian status hubungan keluarga memiliki hubungan terbalik yang mana status hubungan keluarga di pedesaan sangat kuat dirasakan pada sektor pertanian dibandingkan pada sektor non-pertanian.

2. Apabila dilihat dari segi aspek ekonomi variabel upah menjadi kunci utama dalam pemilihan sektor pekerjaan utama di pedesaan Indonesia terutama pada sektor non-pertanian. Adanya kenaikan upah akan menambah jam kerja serta mengurangi waktu luang dari mengakibatkan kecenderungan tenaga kerja pedesaan Indonesia untuk memilih bekerja di sektor non-pertanian. Selain itu, factor kepemilikan lahan menjadi pilihan utama masyarakat pedesaan bekerja di sektor non-pertanian karena semakin berkurangnya lahan yang digunakan untuk bercocok tanam di pedesaan. Kemudian akses kredit menjadi

(19)

pertimbangan tenaga kerja pedesaan untuk memilih bekerja di sektor non-pertanian karena dirasa mampu memberikan jaminan yang layak dibandingkan di sektor pertanian.

3. Apanila dilihat dari segi aspek sosial pada variabel pendidikan menujukkan adanya keterkaitan pada sektor non-pertanian di pedesaan Indonesia yang menjadikan tolak ukur dimana sektor pertanian di pedesaan Indonesia cenderung tidak terlalu mementingkan pendidikan yang tinggi dibandingkan pendidikan untuk sektor non pertanian. Selain itu, adanya factor pendukung lainnya seperti akses internet yang masih awam untuk tenaga kerja di sektor pertanian pada pedesaan Indonesia. Kemudian modal sosial tenaga kerja pedesaan juga menunjukkan adanya hubungan positif untuk tenaga kerja pedesaan yang bekerja di sektor non-pertanian yang menujukkan bahwa jaringan sosial tenaga kerja pedesaan non-pertanian lebih banyak dibandingakan tenaga kerja pedesaan pertanian.

Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, ada beberapa saran dan kebijakan yang dapat diambil dan diimplemetasikan yaitu:

1. Diperlukan motivasi pentingnya pendidikan terhadap pekerja perdesaan sehingga mampu memiliki kemampuan serta keahlian lebih tinggi sesuai bidang masing-masing. Dan pemberian subsidi pendidikan untuk anak dari keluarga petani agar mereka memiliki pendidikan yang layak dengan harapan juga meneruskan pekerjaan pertanian keluarga. 2. Adanya motivasi untuk tetap

menjaga kepemilikan lahan agar lahan yang dimiliki di perdesaan bisa tetap terjaga sesuai dengan fungsi dan produktifitasnya, sehingga keberlanjutan dari sektor

pertanian di perdesaan tetap terjaga.

3. Adanya upah minimum pedesaan agar upah yang diperoleh masyarakat pedesaan layak untuk diterima dan mencukupi kebutuhan baik di sektor pertanian dan sektor non pertanian di perdesaan Indonesia.

4. Diperlukan bantuan atau peran dari pemerintah terkait akses internet yang masuk di perdesaan Indonesia agar bisa merata dan pemberian informasi mengenai pengetahuan serta wawasan teknologi terutama dalam sektor pertanian agar tenaga kerja perdesaan di usia muda mau bekerja di sektor pertanian. 5. Adanya kemudahan akses kredit

yang merata baik di sektor pertanian maupun sektor non pertanian di perdesaan. Karena saat ini untuk akses kredit di sektor pertanian di perdesaan Indonesia masih belum bisa diterapkan karena secara menyeluruh karena jaminan yang digunakan belum begitu banyak dibandingkan akses kredit untuk sektor non pertanian.

6. Terkait modal sosial perlu adanya penekanan terkait pentingnya masyarakat desa yang berusia muda untuk mengembangkan potensi desa terutama di sektor pertanian dengan luar desa agar sektor pertanian di perdesaan bisa bertahan.

7. Adanya pemanfaatan waktu luang untuk meningkatkan nilai tambah dari sektor pertanian agar sektor pertanian di pedesaan tidak hilang tergantikan sektor non-pertanian secara keseluruhan.

8. Implementasi konsep Rural Non-Farm Employment harus dipertimbangkan atas dasar keputusan pribadi dengan adanya motivasi dan daya dukung dari pemerintahan desa. Agar mampu

(20)

tercipta tata kelembagaan masyarakat yang baik.

9. Penelitian ini diharapkan bisa dilanjutkan dengan data IFLS 6 dengan membandingkan antara IFLS wave 6 dengan wave

sebelumnya dengan

memperlihatkan transformasi data antar wave sehingga bisa memperlihatkan pergerakan pekerja perdesaan Indonesia yang bekerja di sektor pertanian maupun sektor non-pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Akpan, S. B. et al. (2015) “Determinants of Decision and Participation of Rural Youth in Agricultural Production: a Case Study of Youth in Southern Region of Nigeria,” Russian Journal

of Agricultural and Socio-Economic Sciences, 43(7), hal. 35–48. doi:

10.18551/rjoas.2015-07.05.

Almeida, A. N. dan Bravo-ureta, B. E. (2019) “Agricultural productivity , shadow wages and off-farm labor decisions in Nicaragua,” Economic Systems. Elsevier, 43(1), hal. 99–110. doi: 10.1016/j.ecosys.2018.09.002. Andri Harsoyo, E. S. (2015) “Pengaruh

Fertilitas Terhadap Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan,” Jurnal

Ekonomi Kuantitatif Terapan, 11 (2),

hal. 147–162.

Anim, F. D. K. (2011) “Factors Affecting Rural Household Farm Labour Supply in Farming Communities of South Africa,” Journal of Human

Ecology, 34(1), hal. 23–28. doi:

10.1080/09709274.2011.11906365. Ayambila, S., Osei-Akoto, I. dan Ayamga, M.

(2017) “Determinants of Non-farm Micro and Small Enterprise Participation in Rural Ghana,” British

Journal of Economics, Management & Trade, 17(4), hal. 1–12. doi:

10.9734/bjemt/2017/33814.

Badan Pusat Statistik. (2014). Keadaan

Angkatan Kerja di Indonesia 2014

Badan Pusat Statistik. (2014). Keadaan

Pekerja Indonesia 2014.

Badan Pusat Statistik. (2019). Keadaan

Angkatan Kerja di Indonesia 2019

Badan Pusat Statistik. (2019). Keadaan

Pekerja Indonesia 2019.

Bantilan, C. (2014) “Rural Non-Farm Employment and Rural Transformation in India,” Working Paper Series, (57). Barbier, E. B. (2020) “Is green rural

transformation possible in developing countries?,” World Development. Elsevier Ltd, 131, hal. 104955. doi: 10.1016/j.worlddev.2020.104955. Borjas, George J. (2013). Labor Economics:

Sixth Edition. New York: McGraw–Hill Companies, Inc.

Berjan, S. et al. (2013) “Off-Farm and Non-Farm Activities Development in Rural South-Eastern Bosnia,” International

Journal of Environmental and Rural Development, 4(1), hal. 130–135.

Buchenrieder, G. dan Möllers, J. (2006) “A Synthesis of theoretical concepts for analysing Non-Farm Rural Employment,” International Association

of Agricultural Economists Conference,

44(1), hal. 19–36.

Becker, Gary S. (1986). Irrational Behavior

and Economic Theory. The Journal of political Economy, (70)1: 1 – 13.

Bellante, D., Jackson, M., (1983). Ekonomi Ketenagakerjaan. Terjemahan oleh Wimandjaya dan M. Yasin 1990. Jakarta : LPFEUI

Chand, P. et al. (2018) “Non-Farm Employment and Implication on

(21)

Agriculture Sector in Rural India,” Indian

Journal of Economics and

Development, 14(1a), hal. 287. doi:

10.5958/2322-0430.2018.00073.2. Chenery, Hollis B., and Syrquin. 1975.

Pattern of Development, 1950 1970.Oxford University Press for the

World Bank.

Chowdhury, S. (2017) “Microfinance and rural non-farm employment in developing countries,” IZA World of

Labor, (April), hal. 1–9. doi: 10.15185/izawol.350.

Coleman, James S.1988. Social Capital in the Creation of Human Capital,

American Journal of Sociology, Vol.

95, Supplement: 95-120

Davis, J. R. (2003) “The rural non-farm economy, livelihoods and their diversification: Issues and options,”

Natural Resources Institute,

2753(July).

Deichmann, U., Shilpi, F. dan Vakis, R. (2009) “Urban Proximity, Agricultural Potential and Rural Non-farm Employment: Evidence from Bangladesh,” World Development. Elsevier Ltd, 37(3), hal. 645–660. doi: 10.1016/j.worlddev.2008.08.008. Dhanaraj, S. dan Mahambare, V. (2019)

“Family structure, education and women’s employment in rural India,”

World Development. Elsevier Ltd,

115, hal. 17–29. doi: 10.1016/j.worlddev.2018.11.004. Dirven, M. (2004) “Rural non-farm

employment and rural diversity in,”

CEPAL Review, (83), hal. 1–19.

Escobal, J. (2001) “The determinants of nonfarm income diversification in rural Peru,” World Development, 29(3), hal. 497–508. doi: 10.1016/S0305-750X(00)00104-2.

Fahmi, F. Z. dan Sari, I. D. (2020) “Rural transformation, digitalisation and subjective wellbeing: A case study from Indonesia,” Habitat

International. Elsevier Ltd,

98(November 2019), hal. 102150. doi:

10.1016/j.habitatint.2020.102150. French, B. C. (2013) “Determinants of

Off-Farm Labor Force Participation: Implications for Low Income Farm Families,” Agricultural & Applied

Economics Association Operations,

42(4), hal. 767–778.

Garner, E. dan de la O Campos, A. P. (2014) “Identifying the ‘family farm,’” ESA

Working Paper, (14), hal. 1–30.

Gashe, K. (2016) “Determinants of Employment Participation in Rural Nonfarm Activities,” An International

Peer-reviewed Journal, 29(Start 2001), hal. 10–21. Tersedia pada: www.iiste.org.

January Bongole, A. (2016) “Determinants of Farm and Non-Farm Activities as Sources of Income amongst Rural Households: Evidence from Kahama District in Tanzania,” Issn, 7(4), hal. 2222–1700. Tersedia pada: www.iiste.org.

Kone, Z. L. et al. (2018) “Labor Market Effects of Demographic Shifts and Migration in OECD Countries.” doi: 10.1016/j.euroecorev.2018.11.007. Kumar, S., Dimova, R. dan Nugent, J. B.

(2011) “Off-farm labor supply and labor markets in rapidly changing circumstances : Bulgaria during transition,” 35, hal. 378–389. doi: 10.1016/j.ecosys.2010.09.005. Kuncoro, M. (1997). Ekonomi

Pembangunan. Yogyakarta: AMP

YKPN.

Lanjouw, P. dan Shariff, A. (2004) Rural

(22)

Incomes and Poverty Impact, Economic and Political Weekly.

Larralde, A. S. & B. (2008) “Electronic copy

available at :

http://ssrn.com/abstract=2545489 Electronic copy available at :,” Grou, 23529(2), hal. 1–45.

Lim-Applegate, H., Rodriguez, G. dan Olfert, R. (2002) “Determinants of non-farm labour participation rates among farmers in Australia,” Australian Journal

of Agricultural and Resource

Economics, 46(1), hal. 85–98. doi:

10.1111/1467-8489.00168.

Ma, W. et al. (2018) “Off-farm work, smartphone use and household income: Evidence from rural China,” China

Economic Review. Elsevier Inc, hal.

#pagerange#. doi:

10.1016/j.chieco.2018.06.002.

Manning, Chris. (1995). Approaching The Turning Point? Labor Market Change Under Indonesia New Order. The Jurnal of Institute of Developing Economics. Vol.XXXIII No.1 March 1995

Maligalig, R. et al. (2019) “Off-farm employment increases women’s empowerment: Evidence from rice farms in the Philippines,” Journal of

Rural Studies. Elsevier,

71(December 2018), hal. 62–72. doi: 10.1016/j.jrurstud.2019.09.002. Marothia, D. (1996) “Rural Non-Farm

Employment,” Indian Journal of

Agricultural Economics, 51(1), hal.

33–34.

Matshe, I. dan Young, T. (2004) “Off-farm labour allocation decisions in small-scale rural households in Zimbabwe,”

Agricultural Economics, 30, hal. 175

186. doi:

10.1016/j.agecon.2003.01.001. Misra, S. B. (2014) “Growth and Structure of

Rural Non-farm Employment in Maharashtra: Reflections from NSS Data in the Post Reform Period,”

Procedia Economics and Finance.

Elsevier B.V., 11(14), hal. 137–151. doi: 10.1016/s2212-5671(14)00184-1.

Ngeywo, J., Basweti, E. dan Shitandi, A. (2015) “Influence of Gender, Age, Marital Status and Farm Size on Coffee Production: A Case of Kisii County, Kenya,” Asian Journal of

Agricultural Extension, Economics & Sociology, 5(3), hal. 117–125. doi:

10.9734/ajaees/2015/15702.

Nguyen, D. L., Grote, U. dan Nguyen, T. T. (2019) “Migration, crop production and non-farm labor diversification in rural Vietnam,” Economic Analysis

and Policy. Elsevier B.V., 63, hal.

175–187. doi:

10.1016/j.eap.2019.06.003.

Nivievskyi, O. dan von Cramon-Taubadel, S. (2006) “Rural non-farm employment in Ukraine,” Agriculture in the Face of

Changing Markets, Institutions and Policies: Challenges and Strategies,

33, hal. 484–496.

Nugraha, Y. A. dan Herawati, R. (2015) “Menguak Realitas Orang Muda di Sektor Pertanian Perdesaan,” Jurnal

Analisis Sosial, 19(1), hal. 27–40.

Poerwono, D. (2013) “FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMPENGARUHI

KEPUTUSAN ( Studi Kasus : Kabupaten Rembang ),” Diponegoro

Journal Of Economics, 2, hal. 1–13.

Prabowo, H. (2011) “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Tenaga Kerja Desa Untuk Bekerja Di Kegiatan Non-Pertanian,” proposal. RAND Labor and Population Corporation.

(2015). Indonesia Family Life Survey

2014. United States: Rand Corp.

Gambar

Gambar 2. Rata-Rata Upah/Gaji Bersih  Tenaga Kerja Menurut Lapangan  Pekerjaan Utama di Perdesaan
Gambar 4. Persentase Jumlah Tenaga  Kerja Pedesaan Indonesia Berdasarkan  Usia
Gambar 5. Konsep Rural Non-Farm Employment
Tabel 1. Estimasi Probit Rural Non-Farm  Empoyment Indonesia  Variable  Coeficien t  Standa r Error   p-value  Marginal Effect  Karakteristik Demografi   Age  -0.019  0.006    0.003 *  -0.008  Status  Keluarga  -0.044  0.014  0.001*  -0.017  Gender   0.341

Referensi

Dokumen terkait

Ungkapan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan segenap

Melihat dari tujuan pembelajaran mata pelajaran akuntansi yang pada dasarnya menuntut siswa mampu menerapkan konsep-konsep dasar, prinsip dan prosedur, maka model

Poliol yang digunakan dalam pembuatan film poliuretan terdiri dari tiga jenis yaitu: poliol L.OHV, poliol H.OHV dan poliol komersial.. Diagram alir pembuatan bahan

 Dapat dioperasikan pada lahan yang memiliki lebar minimal 1m dan panjang lintasan minimal 2,5m (panjang lintasan yang terdeteksi 1m) dengan kondisi

Penyelenggara akan melakukan berbagai tindakan untuk melindungi pengunjung serta menjamin segala fasilitas pameran dalam kondisi baik, antara lain dengan menempatkan

Selanjutnya data tersebut digunakan untuk membuktikan apakah ada pengaruh penggunaan masker campuran kulit jeruk lemon dan bolus alba terhadap pengurangan minyak

Taksirlah nilai ln(2) dengan interpolasi linier serta hitunglah kesalahan relatifnya jika digunakan data : a.. INTERPOLASI

Asuhan yang berkelanjutan berkaitan dengan kualitas pelayanan dari waktu ke waktu yang membutuhkan hubungan terus menerus antara pasien dengan tenaga kesehatan.Tujuan