• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PRIVASI,KEPERCAYAAN dan PENGALAMAN TERHADAP NIAT BELI KONSUMEN MELALUI INTERNET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PRIVASI,KEPERCAYAAN dan PENGALAMAN TERHADAP NIAT BELI KONSUMEN MELALUI INTERNET"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PRIVASI ,KEPERCAYAAN dan

PENGALAMAN TERHADAP

NIAT BELI KONSUMEN MELALUI INTERNET

Lana Sularto

Program Doktor Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya 100 Pondok Cina Depok 16423

[email protected]

Abstrak

Dengan menggunakan teori perilaku terrencana sebagai dasar teoritis, dilakukan penelitian kepada pemakai situs untuk mengetahui apakah faktor privasi dan kepercayaan pada internet mempengaruhi niat beli konsumen untuk melakukan pembelian melalui internet. Niat beli, pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku pembelian yang sebenarnya. Dengan memperhatikan juga faktor pengalaman, ditemukan suatu model umum tentang hal tersebut.

Kata Kunci: Internet, Niat Beli, Pemasaran melalui internet, Privasi, Kepercayaan, Pengalaman

PENDAHULUAN

Potensi internet sebagai media pemasaran dan perdagangan telah banyak dibicarakan akhir-akhir ini, khususnya bagi para pemain dalam pemasaran. Pembicaraan tersebut menghasilkan suatu pandangan mengenai perdagangan elektronik, khususnya perdagangan elektronik melalui internet, yang umumnya dike-nal sebagai perdagangan elektronik, sebagai suatu bisnis dengan ber-bagai kemungkinan (Raghav Rao dkk, 1998). Menurut pandangan ini, perdagangan elektronik menawarkan sejumlah karakteristik nilai tambah baru, misalnya disebutkan bahwa suatu saat perdagangan elektronik akan menggantikan cara melakukan bisnis konvensional secara

kese-luruhan (Porter, 2001). Ramalan menunjukkan bahwa 20% dari selu-ruh pembelanjaan di supermarket selama dekade berikutnya akan dila-kukan melalui saluran elektronik (Burke, 1997). Harga yang lebih murah juga dihasilkan melalui perdagangan elektronik, salah satu alasannya adalah misalnya peng-gunaan tempat yang lebih murah, yang dimungkinkan karena cara ini tidak memerlukan lokasi yang tersen-tralisasi. Selain itu penggunaan se-jumlah perantara juga dapat diku-rangi (Peterson, 1997).

Menurut pandangan ini, Internet adalah suatu kawasan dengan ham-batan masuk yang rendah, relatif sederhana dan murah untuk diimple-mentasikan (Porter, 2001; Peterson

(2)

dkk, 1997). Hal ini ditujukan agar menjadikan Internet sebagai “a more level playing field” (Gerdes and Rolland, 2000), dimana seluruh peru-sahaan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih konsumen. Pan-dangan ini juga mensyaratkan peri-laku rasional dari konsumen, dimana saat ini Internet telah mampu secara sistematis memproses seluruh infor-masi produk yang tersedia melalui internet. Banyak peneliti menyatakan bahwa kemampuan internet mengo-lah informasi yang berhubungan dengan perdagangan elektronik, me-rupakan kekuatan utamanya (Misal-nya Porter, 2001; Peterson dkk, 1997; Burke, 1997). Akses atas infor-masi, yang ditawarkan melalui inter-net atau dipertukarkan diantara para konsumen internet, mengakibatkan perubahan proses pembelian dari mendorong menjadi menarik, misal-nya inisyatif dari perusahaan perda-gangan elektronik menjadi inisiatif dari konsumen (Hagel and Armstrong, 1997). Proses pertukaran informasi melalui pasar elektronik juga diasumsikan memberi kontribusi pada biaya logistik yang lebih murah (Bakos, 1998).

Pada saat yang bersamaan, juga sudah banyak dipahami bahwa terdapat penolakan oleh pengguna internet untuk melakukan transaksi business-to-consumer melalui Situs, terutama karena masalah privasi dan kepercayaan pada Internet (Aldridge dkk, 1997; Wang dkk, 1998). Im-plikasinya adalah bahwa seharusnya terdapat lebih banyak aktivitas B2C pada Internet jika ketakutan konsu-men tentang privasi dan kepercayaan

dapat diatasi dengan baik. Hubungan antara keyakinan tentang privasi dan kepercayaan dalam mendorong pem-belian melalui internet merupakan subyek dalam tulisan ini. Khususnya, bagaimana pandangan individu ten-tang privasi dan kepercayaan pada internet, dan sikap dalam pembelian melalui internet, akan mempengaruhi niat individu untuk melakukan pem-belian secara online serta perilaku pembelian yang sebenarnya? Pera-nan pengalaman masa lalu dengan internet dalam mempengaruhi sikap dan perilaku pembelian juga diteliti lebih lanjut.

Rencana dari tulisan ini adalah sebagai berikut: pertama ide tentang privasi dan kepercayaan akan dipa-parkan, diikuti dengan diskusi pada dasar teoritis dari tulisan ini, yaitu theory of planned behavior (TPB) (Azjen, 1985, 1991) serta diskusi peranan pengalaman pada internet. Pada bagian berikutnya, model pene-litian hasil dari peneliti terdahulu dipa-parkan dan akhirnya model penelitian dan hipotesis baru akan diusulkan berdasarkan model penelitian terse-but.

Teori dan Penelitian Terdahulu Privasi

Perhatian terhadap Privasi sering dinyatakan sebagai alasan utama mengapa konsumen tidak mau mela-kukan pembelian melalui internet. Polling di bulan maret tahun 2000 menyatakan bahwa pengguna inter-net yang belum membeli apapun melalui internet sebesar 94% dari responden, karena mereka takut jika informasi tentang diri mereka akan

(3)

berakibat mereka akan terus dikirim email tentang informasi yang tidak berguna bagi mereka (Business Week, 2000). Pada survey bulan September 2000 ditemukan bahwa sekitar 8% bekas pengguna internet telah meninggalkan dunia online karena alasan privasi, sedangkan sebesar 54% dari mereka yang belum pernah online percaya bahwa Internet termasuk "berbahaya" (Len-hart, 2000). Pada survei bulan Okto-ber 2001 ditemukan bahwa 72% responden "sangat hati-hati" sebelum mereka memberikan informasi pribadi sebelum membeli sesuatu secara online (Better Business Bureau, 2001). Pada survei yang sama, 56% responden menyatakan bahwa mere-ka amere-kan mau membeli secara online jika mempunyai akses pada proses pemesanan yang aman.

Privasi pada Internet dapat dike-lompokkan menjadi empat bidang utama:

(1) pemilikan informasi oleh pihak yang tidak berhak.

(2) penggunaan informasi yang tidak tepat.

(3) Penjajahan privasi.

(4) Penyimpanan informasi yang tidak pada tempatnya (Wang dkk., 1998).

Perhatian pada privasi telah men-dorong para peneliti untuk memba-ngun sebuah model privasi di Internet. Contohnya seperti Byford's (1998) memperlakukan secara khu-sus tentang privasi di internet, dima-na difokuskan pada dua konsep teoritis yang berbeda tentang privasi. Konsep pertama adalah pandangan

hubungan sosial, dimana privasi di-pahami bertindak sebagai penyeim-bang pertumbuhan hubungan sosial. Privasi tidak dibenarkan berdiri sendiri, seperti didefinisikan oleh US jurisprudence, sebagai mekanisme penting dalam proses sosial. Konsep privasi pada Internet ini akan diwu-judkan dalam interaksi anonim dan identifikasi yang disamarkan, seperti pada ruang diskusi dan MUDs, dima-na diterapkan pada hubungan sosial antar anggota berbagai komunitas internet.

Konsep kedua tentang privasi le-bih baik lagi, disebut sebagai pan-dangan kepemilikan (Byford, 1998), dimana individu melihat privasi se-bagai pengembangan dimana mere-ka mengendalimere-kan informasi meremere-ka sendiri dalam semua jenis transaksi pertukaran internet. Pandangan ke-pemilikan diwujudkan sendiri dengan kemauan untuk saling menukar in-formasi pribadi dengan layanan seperti surat elektronik gratis atau diskon khusus dari penjual.

Kedua konsep privasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku indi-vidu terhadap internet, tapi perkem-bangan dimana masing-masing pan-dangan benar-benar mempengaruhi perilaku masih merupakan pertanya-an sampai saat ini. Hpertanya-anya sedikit studi empiris yang meneliti privasi dan hubungannya dengan pembelian secara on-line yang dipublikasikan saat ini. Satu pengecualian adalah Swaminathan dkk (1999) yang mela-porkan bahwa ada hubungan positif antara kepercayaan tentang penting-nya hukum untuk mengatur privasi pada internet dan juga jumlah uang

(4)

pembelian internet yang dikeluarkan oleh individu. Namun, pada studi yang sama ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara aktivitas pem-belian dengan kepercayaan tentang aspek lain privasi, seperti penyalah-gunaan informasi, anonymity, direct marketing dan pengendalian pada informasi.

Kepercayaan pada Internet

Pentingnya masalah privasi bu-kanlah satu-satunya hal yang penting dalam perilaku pembelian di internet. Pada kenyataannya, kebanyakan individu membeli melalui internet dikarenakan masalah kepercayaan. Sekitar 86% pengguna internet me-rasa takut dengan kenyataan bahwa orang lain atau perusahaan yang mereka tidak ketahui akan mendapat informasi tentang mereka melalui internet, 70% merasa takut dengan banyaknya hackers yang bisa meng-akses nomor kartu kredit mereka, 60% takut jika orang lain akan mem-buka informasi pribadi tentang me-reka disebabkan karena sesuatu yang dilakukan oleh mereka secara online (Fox, 2000). Walaupun keper-cayaan telah didefinisikan, satu definisi yang dianggap paling tepat adalah "bahwa seseorang percaya, dan mau bergantung pada pihak lain" (McKnight dkk., 1998, p. 474). Keper-cayaan muncul hanya ketika mereka yang terlibat “dipastikan oleh pihak lainnya, mau dan bisa memberikan kewajibannya" (Ratnasingham, 1998, p. 314). Banyak konsumen tidak cukup mempercayai pihak situs, untuk memberikan informasi pribadi mereka, dalam rangka melakukan

transaksi pertukaran dengan mereka (Hoffman dkk., 1999).

Selain mempercayai layanan si-tus dengan penggunaan informasi pribadi, juga muncul masalah keper-cayaan akan keamanan internet dan transaksi internet (Ratnasingham, 1998). Keamanan Internet berhu-bungan dengan masalah keamanan umum seperti jaringan, aplikasi, dan komponen sistem Internet. Ke-amanan sering dianggap sebagai hambatan utama dalam merealisasi-kan potensi komersil situs. (Aldridge dkk., 1997). Ancaman tertentu sering ditemukan seperti pencurian data, pencurian layanan, korupsi data, dan virus komputer. Dalam pandangan perhatian konsumen tentang keper-cayaan di Internet, seharusnya tidak mengejukan bahwa eksperimen labo-ratorium terbaru menemukan bahwa orang menganggap belanja di in-ternet lebih beresiko dibanding be-lanja melalui katalog cetak (Jones and Vijayasarathy, 1998).

Apa sebenarnya yang disebut kepercayaan? Apakah terdapat lebih dari satu bentuk kepercayaan? Para penulis saling tidak setuju tentang termasuk jenis apa kepercayaan itu. Kepercayaan dianggap sebagai sua-tu aksi, perilaku atau orientasi, suasua-tu bentuk karakter, suatu hubungan (Alpern, 1997). Sementara yang lain tetap menganggap bahwa keperca-yaan adalah perasaan alami atau keyakinan, suatu kepercayaan dima-na seseorang bersedia bertindak (Dasgupta, 1988), atau suatu pilihan (Alpern, 1997). Kepercayaan telah digambarkan sebagai suatu tindakan kognitif (misalnya, bentuk pendapat

(5)

atau prediksi bahwa sesuatu akan terjadi atau orang akan berperilaku dalam cara tertentu), afektif (misalnya masalah perasaan) atau konatif (misalnya masalah pilihan atau ke-inginan). Mereka yang setuju bahwa termasuk kognifit, tidak setuju jika kepercayaan adalah perhitungan rasional berbasis bukti yang tersedia, atau praktek/perilaku di luar alasan bersama-sama (Alpern, 1997).

Banyak definisi yang ternyata ti-dak akurat. Kepercayaan jelas titi-dak hanya kepercayaan dimana suatu pihak memiliki keyakinan (walaupun setiap kepercayaan mungkin memiliki elemen kepercayaan seperti halnya kecenderungan orang untuk menem-patkan tingkat keyakinan yang tinggi pada kepercayaannya). Jika saya percaya bahwa anda akan melaku-kan hal yang salah dan menolak bekerja sama dengan anda, maka kepercayaan saya akan terlihat se-perti ketidakpercayaan. Bahkan ke-percayaan bukan merupakan ha-rapan internal manusia “dimana secara alamiah baik fisik dan biologis serta landasan moral akan tetap ada dan lebih atau kurang terealisir” (Bar-ber, 1983). Saya dapat memperkira-kan bahwa matahari amemperkira-kan terbit besok pagi atau pintu akan terbuka ketika saya memasukkan kunci tapi untuk menyatakan "trusting"/meyakini matahari atau pintu terlihat seperti dipaksakan (Flores and Solomon, 1997; Baier, 1994). Kita bisa juga meramalkan bahwa sekelompok penjahat akan melakukan kejahatan dalam tahun depan tapi kita tidak percaya pada kelompok itu. Ramalan kita bahkan bertindak sebagai dasar

untuk ketidakpercayaan. Maka keper-cayaan bukanlah merupakan "keper-cayaan pada harapan seseorang" (Luhmann, 1979). Lebih tepa meng-anggap kepercayaan sebagai keya-kinan dalam suatu harapan dari kemauan baik yang terpercaya (Baier, 1994; Gambetta, 1988).

Terdapat beberapa bentuk keper-cayaan: (1) berbasis tujuan, (2) perhi-tungan, (3) berbasis pengetahuan, dan (4) berbasis penghargaan (Koehn, 2003).

(1) Kepercayaan berbasis tujuan

Kepercayaan berbasis tujuan muncul ketika dua orang yang mengira mereka memiliki tujuan yang sama. Tujuannya mungkin bisa baik atau buruk. Para teroris mungkin saling mempercayai selama masing-masing mempercayai yang lain agar konsisten dalam mencapai tujuan. Dalam hubungan berbasis tujuan, trustors memiliki sedikit minat dalam mempelajari tentang karakter atau keinginan dari mitra mereka. Mereka bahkan bisa sama mengidentifikasi mitranya. Dengan memfokuskan pa-da tujuannya, mereka hanya ingin mengetahui apakah mitra mereka sama tujuannya. Setiap mitra mung-kin mengharapkan dan bahkan meminta bahwa yang lain mengor-bankan nyawanya demi tercapainya tujuan. Kedua pihak mengira bahwa tujuan atau hasil akhir menghalalkan segala cara. Trustees berbasis tujuan sering tergantung pada propaganda atau retorika yang dihembuskan untuk menginspirasi trustors agar bersedia menanggung resiko besar. Penggunaan propaganda dan mani-pulasi sering mengartikan

(6)

keperca-yaan ini memiliki komponen afektif yang besar

(2) Kepercayaan perhitungan

Kepercayaan perhitungan men-coba meramalkan apa yang dilaku-kan mitra terpercaya dengan mencari bukti untuk hal-hal yang bisa dipercaya lainnya – misalnya, apakah pihak lainnya memiliki sejarah mene-pati janjinya? Reputasi yang bagus? Pihak yang akan menjadi trustor memperhitungkan keuntungan dan keandalan untuk kepercayaan. Jika keuntungannya melebihi biayanya, maka individu akan mempertanyakan pihak tersebut. Kepercayaan perhi-tungan umumnya bersifat kognitif dan konatif. Biasanya dalam hubungan komersil dimana pihak–pihak mung-kin saling tidak mengenal satu sama lain, mereka mungkin memiliki keter-tarikan yang sama, maka perte-manan seperti itu sering bersandar pada kontrak. Kontrak tidak sepe-nuhnya merupakan lawan dari kepercayaan (Foorman, 1997). Menjaga kepercayaan sering melibat-kan proses negoisasi dan artikulasi oleh semua pihak dengan memper-cayai hubungan mereka. Lebih jauh lagi, pihak yang bergantung pada kontrak mungkin disebut memperca-yai sistem legal untuk memaksa mereka dan pada pengacara yang memfasilitasi perjanjian. Ada kenya-taan bahwa tindakan untuk menggu-nakan dan memaksa kontrak menja-dikan kelemahan kepercayaan. Se-tiap pihak yang terlibat kontrak tidak mau tergantung pada yang lainnya untuk menggunakan pertimbangan-nya membantu pihak lain. Dalam hubungan utilitas, obyek

keperca-yaan sering kurang untuk pihak lainnya dan lebih pada kontrak aturan main. Ketika pihak yang terlibat bergantung pada sistem verifikasi reputasi untuk membangun tingkat kepercayaan masing-masing pihak dan untuk meminimalkan resiko bertransaksi dengan orang asing, maka fungsi sistem reputasi adalah sebagai obyek kognitif dari keper-cayaan.

Dalam kasus ini, kepercayaan kurang rasional dan mungkin diang-gap sebagai pengurangan keper-cayaan. Kepercayaan akan tepat digunakan dan memiliki nilai tertinggi ketika setiap aturan tidak bisa diten-tukan dan dikendalikan sebelumnya.

(3) Kepercayaan berbasis

pengeta-huan

Kepercayaan berbasis pengeta-huan muncul ketika orang saling mengenal satu sama lain dan atau sering berinteraksi. Hubungan keper-cayaan berbasis pengetahuan mung-kin berubah ketika kedua pihak saling mencurigai perusahaan lawannya, Dalam kasus ini, baik pihak yang dipercaya dan yang mempercayai mungkin lebih memperhatikan ten-tang bagaimana memperoleh keun-tungan. Hubungan itu bisa afektif bisa juga kognitif.

Berbasis pengetahuan dan kepercayaan perhitungan tidak selalu berbeda. Perusahaan lelang online seperti ebay dan perusahaan saudaranya bernama half.com telah mencoba untuk membangun kalku-lasi hybrid dan kepercayaan berbasis pengetahuan. Pada situs lelang ini, pembeli ebay dan penjualnya saling memberi peringkat tentang kinerja

(7)

mereka secara online. Sistem peringkat telah banyak berhasil, terutama karena banyak konsumen menginginkan membentuk relasi utilitas yang dibangun berdasarkan kepercayaan berbasis pengetahuan.

(4) Penghargaan berbasis

kepercayaan

Penghargaan berbasis keperca-yaan muncul dan dipaksakan ketika kedua pihak yang terikat pada suatu hubungan memiliki love of virtue yang sama, excellence, dan kebijaksanaan serta bersedia melakukan dialog dengan tujuan agar lebih baik dalam saling memahami satu sama lain. Bentuk kepercayaan ini merupakan persahabatan diantara orang baik. Saling menghormati satu sama lain, dan tidak ingin saling mengeksploa-tasi lainnya.

Teori Perilaku Terrencana

Teori Perilaku Terrencana (TPT) (Azjen, 1985, 1991) merupakan pe-ngembangan dari teori aksi beralasan (TAB) (Azjen and Fishbein, 1980), Inti dari TPT dan TAB, adalah niat individu untuk melakukan perilaku tertentu (lihat Gambar 1). Bagi TAB dan TPT, sikap terhadap perilaku dan norma subyektif pada perilaku dinyatakan mempengaruhi niat beli, tapi TPT memasukkan unsur kontrol perilaku yang dirasakan dalam mempengaruhi perilaku sebagai faktor tambahan yang mempengaruhi niat beli konsumen. Menurut TPT, tindakan individu pada perilaku tertentu ditentukan oleh niat individu tersebut untuk melakukan perilaku. Niat itu sendiri dipengaruhi sikap terhadap perilaku, norma subyektif

yang mempengaruhi perilaku, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan (Dharmmesta, 1998). Menurut Azjen (1985), sikap terhadap perilaku merupakan evaluasi positif atau negatif dalam melakukan perilaku. Sikap terhadap perilaku menunjukkan tingkatan dimana seseorang mempu-nyai evaluasi yang baik atau yang kurang baik tentang perilaku tertentu. Norma subyektif menunjukkan te-kanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan/perilaku, sedangkan kontrol keperilakuan yang dirasakan menun-jukkan mudahnya atau sulitnya seseorang melakukan tindakan dan dianggap sebagai cerminan penga-laman masa lalu disamping halangan atau hambatan yang terantisipasi (Dharmmesta, 1998).

TPT telah banyak digunakan pada literatur sistem informasi (cf Mathieson, 1991; Taylor and Todd, 1995a,b; Harrison dkk, 1997). TAB juga telah digunakan pada banyak penelitian tentang sistem informasi, kebanyakan digunakan sebagai dasar dalam penelitian mengenai penerimaan pengguna dan model penerimaan teknologi (MPT) (cf. Davis, 1989). TAB terus menjadi dasar bagi riset sistem informasi (e.g. Venkatesh, 2000).

Suatu premis dalam penelitian terbaru menyatakan bahwa privasi dan kepercayaan pada internet mempengaruhi perilaku pembelian melalui internet (George,2002). TPT menyediakan dasar teoritis kasar untuk menguji premis tersebut., disamping juga kerangka pikir untuk pengujian apakah sikap memang

(8)

berhubungan dengan niat untuk melakukan perilaku tertentu, dimana hal ini seharusnya berhubungan dengan perilaku yang sebenarnya. Berdasarkan teori, kepercayaan mengenai seberapa penting merefe-rensikan orang lain tentang pembe-lian melalui internet, dan motivasi untuk menyamakan pandangan

dengan orang lain, seharusnya juga mempengaruhi niat untuk membeli melalui internet.

Akhirnya kepercayaan tentang pen-tingnya memiliki kesempatan dan sumber yang penting untuk mendo-rong pembelian melalui Internet seharusnya mempengaruhi niat untuk membeli.

Gambar 1. Perbandingan antara Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior (Azjen, 1991, Dharmmesta, 1998)

Pengalaman

Faktor penting lainnya adalah pengalaman dengan Internet. Penga-laman dengan Internet merupakan pertimbangan penting dalam mela-kukan pembelian secara online (Hoffman dkk, 1999). Hoffman menemukan bahwa perhatian konsu-men terhadap pengendalian infor-masi pribadi ternyata meningkatkan pengalaman akan internet, sebalik-nya perhatian pada hambatan fung-sional untuk belanja secara online menurun. Pengguna internet yang belum berpengalaman, biasanya

jarang membeli secara online: 27% pengguna dengan pengalaman ku-rang dari 6 bulan pernah membeli sesuatu melalui internet, dibanding dengan 60% mereka yang berpenga-laman 3 tahun lebih dalam dunia internet. (Fox, 2000). Sebagai tambahan, pendatang baru lebih takut dengan masalah pencurian kar-tu kredit (70%) daripada pengguna internet berpengalaman. (46%) (Fox, 2000).

Jika Pengalaman akan internet dimasukkan dalam analisis, pertanya-annya menjadi apakah pengalaman

SIKAP TERHADAP PERILAKU NORMA SUBYEKTIF KONTROL KEPERILAKUAN YANG DIRASAKAN NIAT PERILAKU

(9)

sesuai dengan model umum TPT?. Ajzen (1991) menyatakan masalah pengalaman dalam tulisannya tentang TPT. Dia menyatakan bahwa telah disarankan oleh beberapa orang bahwa perilaku masa lalu seharusnya dimasukkan dalam teori aksi beralasan sebagai variabel independen yang sama dengan sikap dan norma subyektif. Dia menya-takan pengujian empiris tentang TAB yang memasukkan hubungan lang-sung dari perilaku masa lalu dengan perilaku selanjutnya menjelaskan lebih banyak variansi dalam perilaku selanjutnya dari pada model tanpa hubungan langsung tersebut. Ajzen beralasan bahwa satu alasan untuk penemuan tentang perilaku masa lalu adalah TAB tidak memasukkan variabel perceived behavioral control (PBC), dan bahwa PBC memiliki peranan penting dalam menghubung-kan pengaruh masa lalu dengan perilaku selanjutnya. Dengan mere-ferensi pada karya Bandura, Azjen (1991. p 204) menyatakan bahwa "Pengalaman masa lalu dengan perilaku adalah sumber paling penting dari informasi kontrol peri-laku".

Fungsi pengalaman masa lalu, telah diuji dalam beberapa bidang penelitian sistem informasi manaje-men, seperti penelitian tentang self-efficacy dan pelatihan keahlian komputer. Compeau dan Higgins (1995) menemukan bahwa penga-laman masa lalu sangat berhubungan dengan self efficacy untuk hampir sebagian besar paket perangkat lunak dan pada tampilan saat ini untuk dua paket perangkat lunak

yang berbeda. Pengalaman masa lalu dioperasionalkan sebagai nilai kinerja dalam pelatihan hari sebelumnya.

Peranan pengalaman juga telah diteliti dalam literatur SIM dalam bidang penerimaan pengguna, dima-na TAB dan TPT telah diterapkan dalam pengembangan Model karya Davis (1989) yaitu model penerimaan teknologi (MPT). Szanja (1996, p. 91) menyarankan bahwa bidang peneli-tian penting di masa datang tentang MPT adalah "menentukan nilai dan status komponen pengalaman". Da-lam model MPT aslinya, kemudahan penggunaan disadari dan kegunaan yang disadari dipercaya bahwa sikap yang diberitahukan pada akhirnya menjadi niat perilaku yang dibe-ritahuan. Versi lanjut dari MPT telah menghilangkan elemen sikap, se-hingga keyakinan tentang kemu-dahaan penggunaan dan kegunaan langsung membentuk niat (Venkatesh and Davis, 1996). Venkatesh dan Davis (1996), dalam pengembangan MPT yang memfo-kuskan pada variabel awal dari kemudahan penggunaan disadari, secara teoritis menyatakan bahwa pengalaman langsung dengan perangkat lunak menjadi perantara dalam hubungan langsung antara tujuan penggunaan dan kemudahan penggunaan disadari. Tujuan peng-gunaan dari suatu sistem adalah ukuran tentang bagaimana mudah-nya sistem tersebut digunakan, diturunkan dengan membandingkan apa yang diperlukan agar seorang ahli menyelesaikan suatu tugas dengan menggunakan sistem dengan

(10)

apa yang diperlukan oleh orang awam untuk menyelesaikan tugas yang sama dengan menggunakan sistem yang sama, Venkatesh dan Davis (1996) memperkirakan bahwa tujuan penggunaan akan menjadi peramal dari kemudahan penggu-naan disadari hanya jika seorang individu telah memiliki pengalaman langsung dengan perangkat lunak. Mereka menemukan dukungan bagi ramalan mereka. Pengalaman lang-sung dioperasionalkan dalam perco-baan mereka dalam pelatihan untuk suatu paket perangkat lunak. Dalam penelitian terbaru, pendahulu dari kemudahan penggunaan disadari dalam MPT, Venkatesh (2000) mene-mukan bahwa pengalaman tidak memerankan peranan sebanyak peranannya seperti yang diharapkan dalam menjelaskan varian dalam kemudahan penggunaan disadari. Kepercayaan pada General sistem-independent tentang komputer lebih menjadi peramal yang lebih kuat dari kemudahan penggunaan disadari dari pada pengalaman, selama tiga kali periode.

Dengan menggunakan TPT disamping MPT, Taylor dan Todd (1995b) menyelidiki perbedaan anta-ra mahasiswa yang berpengalaman dan tidak berpengalaman dari sebuah pusat komputer. Mereka menemukan hubungan yang lebih kuat antara perilaku niat dan perilaku aktual bagi pemakai yang berpe-ngalaman, dibanding pemakai yang tidak berpengalaman. Mereka juga menemukan bahwa niat dari pemakai yang tidak berpengalaman lebih mudah diramalkan oleh variabel awal

dari pada kasus untuk pemakai yang berpengalaman. Kemudahaan peng-gunaan merupakan peramal yang lebih baik atas sikap dan kegunaan yang disadari merupakan peramal yang lebih baik untuk niat. Dari pada memperkenalkan pengalaman seba-gai suatu variabel dalam model TPT, Taylor dan Todd menguji model TPT dua kali, satu kali dengan data dari pemakai berpengalaman dan satu lagi dengan data dari pemakai yang tidak berpengalaman.

Walaupun TPT hanya merupakan landasan teori dalam tulisan ini, ter-dapat teori lainnya untuk menjelas-kan dan meramalmenjelas-kan perilaku. Salah satunya yang paling terkenal adalah yang disarankan oleh Triandis (1980). Dibangun berdasarkan teori perilaku Triandis, Thompson dkk (1994), menguji pengaruh penga-laman dalam penggunaan PC. Mereka meramalkan bahwa penga-laman akan memiliki pengaruh lang-sung pada penggunaan PC selain juga memberikan pengaruh tidak langsung dalam kepercayaan tentang penggunaan PC, khususnya kom-pleksitas penggunaan PC, pekerjaan yang sesuai dengan penggunaan PC, dan konsekuensi jangka panjang dari penggunaan PC. Mereka juga mera-malkan bahwa pengalaman akan memiliki pengaruh tidak langsung pada penggunaan PC melalui norma sosial (berhubungan dengan norma subyektif pada model TPT) dan memfasilitasi kondisi untuk peng-gunaan PC (salah satu komponen dari kontrol perilaku disadari dalam TPT). Mereka menemukan bahwa pengalaman memiliki pengaruh

(11)

langsung kuat pada utilisasi, dan semua hubungan lainnya kecuali satu, kesesuaian pekerjaan, dimana dipengaruhi secara kuat oleh penga-laman. Pengalaman diukur berda-sarkan lama penggunaan PC dan tingkat keahlian pribadi.

Dengan memperhatikan catatan Azjen tentang pengalaman dalam komponen kontrol perilaku disadari, kelihatannya tempat paling logis untuk memperkenalkan pengalaman dalam TPT adalah sebagai satu awal dari PBC. Namun, dengan memper-hatikan karya Thompson dkk. (1994), Venkatesh dan Davis (1996), dan Venkatesh (2000), satu kasus seha-rusnya juga dapat dibuat bagi penga-laman agar dimasukkan sebagai satu pendahulu bagi keyakinan.

Pengaruh Privasi, Kepercayaan dan Pengalaman terhadap Niat Beli Konsumen melalui Internet

Dengan mendasarkan pada TPT, maka dihasilkan sebuah model ten-tang pengaruh privasi, kepercayaan dan pengalaman terhadap niat beli konsumen melalui internet yang hanya mengambil satu elemen dalam TPT, yaitu “sikap terhadap pembelian melalui internet” (George, 2002). Model tersebut seperti terlihat pada Gambar 2, tidak memasukkan ele-men norma subyektif dan kontrol keperilakuan yang dirasakan, hal ini dikarenakan keterbatasan data yang digunakan dalam penelitian tersebut. Perilaku yang diteliti dalam penelitian tersebut adalah pembelian melalui internet. Konsep awalnya adalah niat untuk melakukan pembelian melalui internet dan pengalaman internet.

Niat didahului oleh sikap terhadap pembelian melalui internet. Tiga ben-tuk keyakinan diposisikan unben-tuk membantu sikap terhadap pembelian melalui internet adalah :

(1) keyakinan tentang Internet trustworthiness.

(2) keyakinan tentang privasi dari sudut pandang kepemilikan. (3) keyakinan tentang privasi dari

sudut pandang hubungan sosial.

Pengalaman diposisikan memiliki hubungan langsung pada semua bentuk keyakinan.

Karena kontrol keperilakuan yang dirasakan tidak dimasukkan dalam penelitian tersebut, model ini mem-buat hubungan langsung dari penga-laman dengan perilaku pembelian melalui internet. Azjen (1991) mencatat bahwa, dengan ketiadaan ukuran kontrol keperilakuan yang dirasakan, hubungan langsung dari perilaku masa lalu dengan perilaku selanjutnya akan meningkatkan pro-porsi perbedaan yang dijelaskan oleh TAB, dibanding pengujian tanpa hubungan langsung tersebut. Thompson dkk (1994) juga mema-sukkan hubungan langsung dari pengalaman dengan perilaku dalam pengujian teori perilaku Triandi.

Berdasarkan model yang diha-silkan, untuk memperoleh gambaran model yang utuh tentang pengaruh privasi, kepercayaan dan penga-laman terhadap niat beli konsumen melalui internet sesuai model TPT, maka dibutuhkan suatu model baru yang masih berupa hipotesis seperti terlihat pada Gambar 3. Model baru ini sudah memasukkan elemen

(12)

norma subyektif dan kontrol kepe-rilakuan yang dirasakan. Elemen faktor sosial mewakili elemen norma subyektif, dimana faktor sosial dide-finisikan sebagai persepsi seseorang bahwa sebagian besar orang lain yang dianggap penting menyarankan agar orang tersebut sebaiknya melakukan suatu perilaku (Brown dkk, 2004). Dalam hal ini, pendapat dari teman dan kerabat tentang pentingnya membeli melalui internet dianggap mempengaruhi seseorang dalam menentukan niat untuk membeli melalui internet. Sedangkan elemen pengalaman masa lalu dengan internet merupakan elemen dalam kontrol keperilakuan yang dirasakan yang akan mempengaruhi niat. Elemen pengalaman tidak mempunyai hubungan langsung dengan perilaku.

Pengguna internet yang berpe-ngalaman, karena waktu yang mereka habiskan untuk on-line dan karena keahlian yang mereka peroleh melalui pengalaman, seharusnya yakin bahwa internet lebih bisa dipercaya dari pada mereka yang kurang berpengalaman. Pengguna berpengalaman seharusnya telah belajar bagaimana menghindari perilaku yang tidak dapat dipercaya dan bagaimana menggunakan situs dengan lebih aman, seperti halnya warga kota yang mengetahui bagian-bagian kota dan tempat yang tidak aman yang harus dihindari. Intinya adalah bahwa kepercayaan muncul dengan tingkat pengetahuan tertentu, dimana pengetahuan diperoleh dari pengalaman.

Gambar 2 Model pengaruh privasi, kepercayaan dan pengalaman terhadap niat beli konsumen melalui internet (George,2002)

Social Relation Beliefs Property Beliefs Internet Trustworthtiness Beliefs Attituides Toward Internet Purchasing Intent To Purchase Interent Experien t Internet Purchasing

(13)

Tujuh hipotesis yang digam-barkan dalam model terlihat pada Gambar 3. Setiap hipotesis diturun-kan dari diskusi sebelumnya tentang privasi, kepercayaan, pengalaman, sikap dan perilaku. Tiga hipotesis

pertama seluruhnya berhubungan dengan keyakinan individu tentang privasi dan keamanan dan pengaruh dari keyakinan ini pada sikap individu terhadap pembelian melalui internet.

Gambar 3 Model pengaruh privasi, kepercayaan dan pengalaman terhadap niat beli konsumen melalui internet (hipotesis)

H1. Semakin percaya seseorang dengan internet, semakin positif sikap mereka tentang pembelian melalui Internet.

H2. Semakin percaya seorang harus menjaga data pribadinya (pan-dangan kepemilikan dari privasi), semakin negatif sikap mereka terhadap pembelian melalui in-ternet,

H3. Semakin percaya seseorang ten-tang interaksi tanpa nama (ano-nim) melalui internet adalah

penting (pandangan hubungan sosial dari privasi), semakin ne-gatif sikap orang tersebut terha-dap pembelian melalui internet. H4. Semakin positif faktor sosial yang

mendorong seseorang untuk me-lakukan pembelian melalui in-ternet, semakin positif orang ter-sebut mempunyai niat untuk membeli melalui internet.

H5. Semakin berpengalaman sese-orang dengan internet, semakin positif orang tersebut mempunyai

Keyakinan Hubungan Sosial Keyakinan Kepemilikan Keyakinan Kepercayaan Internet Perilaku Terhadap Pembalian di Internet Niat untuk Membeli Pengalaman Dengan Internet Pembelian di Internet Faktor Sosial H3 H2 H1 H6 H7 H4 H5

(14)

niat untuk membeli melalui inter-net.

Hipotesis berikutnya berhubung-an dengberhubung-an pengaruh keyakinberhubung-an pada sikap. Secara umum, sema-kin percaya seseorang dengan internet, semakin positif sikap mereka tentang pembelian mela-lui Internet. Sikap positif terhadap pembelian melalui internet seha-rusnya memiliki pengaruh positif pada niat individu untuk melaku-kan pembelian melalui internet: H6. Semakin positif sikap individu

terhadap pembelian melalui inter-net, semakin kuat niat individu untuk melakukan pembelian me-lalui internet.

Akhirnya, diharapkan bahwa niat diterjemahkan menjadi tindakan. Oleh karena itu: diharapkan bah-wa individu dengan niat kuat untuk membeli melalui internet untuk segera melakukannya: H7. Semakin kuat niat seseorang

membeli melalui internet, sema-kin sering individu melakukan pembelian melalui internet.

PENUTUP

Sampai saat ini, banyak penulis telah memaparkan berbagai model yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian secara online (melalui internet), salah satunya se-perti yang diuraikan oleh Joey F George menggunakan teori perilaku terrencana (Azjen, 1985, 1991) sebagai dasar teoritis. Dari hasil penelitiannya, disimpulkan bahwa faktor privasi, kepercayaan dan pengalaman terbukti telah menjadi

faktor utama yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembe-lian melalui internet.

Menurut hasil penelitian tersebut, jika konsumen telah mulai memiliki pengalaman (experiences) dengan internet, maka mereka cenderung akan melakukan pembelian pertama-nya melalui internet, dan mereka semakin berpengalaman, maka me-reka akan semakin sering membeli melalui internet. Semakin konsumen berpengalaman dengan pembelian melalui internet, maka konsumen akan mulai mempercayai metode pembelian melalui internet. Akan te-tapi konsumen yang terlalu memba-tasi penggunaan data pribadinya untuk keperluan internet, ternyata memiliki sikap negatif terhadap pembelian melalui internet. Hal ini bisa diatasi dengan meyakinkan konsumen bahwa informasi pribadi mereka tidak akan disebarluaskan tanpa seijin orang yang bersang-kutan.

Kelemahan dari hasil penelitian Joey F George tersebut adalah pengaruh privasi, kepercayaan dan pengalaman terhadap niat beli konsumen melalui internet diteliti de-ngan hanya mengambil satu elemen dalam TPT, yaitu “sikap terhadap pembelian melalui internet”. Model tersebut tidak memasukkan elemen norma subyektif dan kontrol kepe-rilakuan yang dirasakan (PCB) seperti yang disyaratkan oleh TPT, oleh karena itu perlu dibuat suatu model hipotesis baru yang mema-sukkan semua elemen dalam TPT, yaitu elemen “faktor sosial” yang mewakili elemen “norma subyektif”.

(15)

Dalam hal ini, pendapat dari teman dan kerabat tentang pentingnya membeli melalui internet dianggap mempengaruhi seseorang dalam menentukan niat untuk membeli melalui internet. Sedangkan elemen “pengalaman masa lalu” dengan in-ternet merupakan elemen dalam “kontrol keperilakuan yang dirasakan” yang akan mempengaruhi niat konsumen untuk membeli melalui internet. Setelah model hipotesis ter-sebut diuji dengan menggunakan data primer, maka diharapkan akan diperoleh model baru dalam pene-litian tentang perilaku konsumen da-lam pembelian melalui internet.

DAFTAR PUSTAKA

Aldridge, A., White, M. and Forcht, K. 1997. Security considerations of doing business via the Inter-net: cautions to be considered,

Internet Research, Vol. 7 No. 1, h. 9-15.

Alpern, K. D. 1997. What Do We Want Trust to Be? Some Distinctions of Trust, Business

and Professional Ethics Journal 16 (1-3). h.29-46.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Inter-net Indonesia. www.apjii.or.id Azjen, I. 1985. From intentions to

actions: a theory of planned behavior, in Kuhl, J.and

Beck-man, J. (Eds), Action-Control: From Cognition to Behavior, Springer, Heidelberg, h. 11-39. Azjen, I. 1991. The theory of

plan-ned behavior, Organizational Behavior and Human Decision Processes. Vol. 50. h. 179-211.

Azjen, I. and Fishbein, M. 1980. Un-derstanding Attitudes and Pre-dicting Sosial Behavior.

Pren-tice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. Baier, A.1994. Trust and Anti Trust.

in A. Baier (ed.). Moral Prejudices (Harvard University Press, Cambridge, MA). h. 95-129. Bakos, Y.1998. The emerging role

of electronic marketplaces on the Internet. Communication of

the acm. Vol 41 No 8. h. 35-42. Better Business Bureau. 2001.

Third-party assurance boosts online purchasing. available at:

www.bbbonline.org/about/press/2 001/101701.asp

Business Week. 2000. A growing threat. BusinessWeek. 20 March.

p. 96.

Byford, K.S. 1998. Privacy in cyber-space: constructing a model of privacy for the electronic com-munications environment.

Rut-gers Computer and Technology Law Journal. Vol. 24. h. 1-74. Burke R.R. 1997. Do You See What

I See? The Future of Virtual Shopping. Journal of the Academy of Marketing Science. 25 (4). h. 352-360.

Compeau, D. and Higgins, C.A. 1995.

Application of sosial cognitive theory to training for computer skills. Information Sistems

Re-search. Vol. 6 No. 2. h. 118-43. Compeau, D., Higgins, C.A. and Huff,

S. 1999. Sosial cognitive theory and individual reactions to computing technology: a longi-tudinal study. MIS Quarterly.

(16)

Davis, F.D. 1989. Perceived useful-ness, perceived ease of use, and user acceptance of infor-mation technology. MIS

Quar-terly. Vol. 13 No. 3. h. 319-40. Daryl Koehn. 2003. The nature of

and conditions for online Trust. Journal of Business Ethics. Dordrecht:Vol.43. Iss. 1/2; h. 3

Dasgupta, P. 1988. Trust as a Com-modity. in D. G. Gambetta (ed.).

Trust (Blackwell,Oxford). h.49-72. Dharmmesta, B. S. 1998. Theory of Planned Behaviour dalam Pe-nelitian Sikap. Niat dan Peri-laku Konsumen. KELOLA

Ga-djah Mada University Business Review. Th. VII. No. 18. h. 90. Fox, S. 2000. Trust and privacy

online: why Americans want to rewrite the rules, Pew Internet and American Life Project.

available at: www.pewinternet.org Flores, F. and R. Solomon 1997.

Rethinking Trust. Business and

Professional Ethics Journal 16 (13). h. 47-76.

Foorman, J. L. 1997. Trust and Con-tracts: Are They Mutually Ex-clusive? Business and

Profe-ssional Ethics Journal 16 (1-3). 195-204.

Gambetta, D. 1998. Can We Trust in Trust? in D. Gambetta (ed.).

Trust: Making and Breaking Coo-perative Relations (Blackwell, Oxford). h. 213-237.

George, Joey F. 2002. Influences on the intent to make Internet purchases. Internet Re-search. Bradford: Vol. 12. Iss. 2; h.165

Gerdes, J., Rolland, E. 2000. What Went Wrong. Gary Anderson

Graduate School of Manage-ment. Working paper. University of California Riverside. California. GVU. 2000. GVU's WWW User Survey. tersedia pada: www.gvu.gatech.edu/user_surve ys.

Hagel III. J.. Armstrong, A.G.1997.

Net Gain. expanding markets through virtual communities.

Harvard Business School Press. Harrison, D.A., Mykytyn, P.P. and

Riemenschneider, C.K. 1997.

Executive decisions about adoption of information tech-nology in small business:

theo-ry and empirical tests. Infor-mation Sistems Research. Vol. 8 No. 2. h. 171-95.

Hoffman, D.L., Novak, T.P. and Pe-ralta, M. 1999. Building consu-mer Trust online.

Communica-tions of the ACM. Vol. 42 No. 4. h. 80-5.

Irwin Brown, Rudi Hoppe, Pauline Mugera, Paul Newman, and Adrie Stander, 2004.The Impact of National Environment on the Adoption of Internet Banking:

Comparing Singapore and South Africa. Journal of Global Information

Management. Hershey..Vol.12. Is s. 2; h. 1.

Jones, J.M. and Vijayasarathy, L.R. 1998. Internet consumer cata-log shopping: findings from an exploratory study and direc-tions for future research.

Inter-net Research. Vol. 8 No. 4. h. 322-30.

(17)

Lenhart, A. 2000. Who's not online: 57 per cent of those without Internet access say they do not plan to log on. Pew Internet and

American Life Project. available at:www.pewinternet.org.

Luhman, N. 1979. in T. Burns and G. Poggi (eds.). Trust and Power

(John Wiley and Sons, New York). h. 4 dan 39.

McKnight, D.H., Cummings, L.L. and Chervany, N.L. 1998. Initial Trust formation in new organizational relationships.

Academy of Management Review. Vol. 23 No.3. h. 473-90. Mathieson, K. 1991. Predicting user

intentions: comparing the technology acceptance model with the theory of planned behavior. Information Sistems Research. Vol. 2 No. 3. h. 173-91.

Porter, M.E.2001. Strategy and the Intemet. Harvard Business Review. h. 63-78.

Peterson, R.A, Balasubramanian, S., Bronnenberg, B.J.1997.

Exploring the Implications of the Internet for Consumer Marketing. Journal of the Academy of Marketing Science. Vol. 25 No. 4. h. 329-346.

Raghav Rao, H., Salam, A.F., & DosSantos, B.1998. Marketing and the Internet.

Communications of the acm. Volume 41(3) h. 34-43.

Ratnasingham, P. 1998. The importance of Trust in electronic commerce. Internet

Research. Vol. 8 No. 4. h. 313-21.

Saeed, Khawaja A , Hwang, Yu-jong, Yi, Mun Y. 2003. Toward an integrative framework for online consumer behavior re-search: A meta-analysis approach. Journal of End User Computing. Hershey.Vol.15. Iss. 4; h. 1.

Swaminathan, V., Lepkowska-White, E. and Rao, B.P. 1999. Brow-sers or buyers in cyberspace?

An investigation of electronic fac-tors influencing electronic ex-change. Journal of Computer-Mediated.

Szanja, B. 1996. Empirical evalua-tion of the revised technology acceptance model.

Manage-ment Science. Vol. 42 No. 1. h. 85-92.

Taylor, S. and Todd, P.A. 1995a. Un-derstanding information tech-nology usage: a test of

compe-ting models. Information Sistems Research. Vol. 6 No. 2. h. 144-76.

Taylor, S. and Todd, P.A. 1995b.

Assessing IT usage: the role of prior experience. MIS Quarterly.

Vol. 19 No. 4. h. 561-70.

Thompson, R.L., Higgins, C.H. and Howell, J.M. 1994. Toward a conceptual model of utilization.

MIS Quarterly. Vol. 15 No. 1. h. 125-43.

Triandis, H.C. 1980. Values, atti-tudes and interpersonal beha-vior, in Howe, H.E. (Ed.).

Ne-braska Symposium on Motiva-tion. 1979: Beliefs, Attitudes, and Values.

Venkatesh, V. 2000. Determinants of perceived ease of use:

(18)

inte-grating control, intrinsic motiva-tion, and emotion into the tech-nology acceptance model. Infor-mation Sistems Research. Vol. 11 No. 4. h. 342-65.

Venkatesh, V. and Davis, F.D. 1996.

A model of the antecedents of perceived ease of use:

deve-lopment and test. Decision Sciences. Vol. 27 No. 3. h. 451-82.

Wang, H., Lee, M.K.O. and Wang, C. 1998. Consumer privacy con-cerns about Internet marketing.

Communications of the ACM. Vol. 41 No. 3. h. 63-7.

Gambar

Gambar 1.  Perbandingan antara Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned  Behavior (Azjen, 1991, Dharmmesta, 1998)
Gambar 2  Model pengaruh privasi, kepercayaan dan pengalaman terhadap niat beli konsumen  melalui internet  (George,2002)
Gambar 3  Model pengaruh privasi, kepercayaan dan pengalaman terhadap niat beli konsumen  melalui internet (hipotesis)

Referensi

Dokumen terkait

fl uktuasi harga yang ada tidak memiliki gap yang terlalu tinggi, (2) RPA dan pelanggan RPA untuk meninjau ulang proses produksinya untuk memperbaiki nilai-nilai dari faktor input

Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran kinerja dengan pendekatan Vendor Performance Indicator (VPI) yang berkerangka Quality , Cost , Delivery , Flexibility , dan

Peningkatan produktivitas tanaman karena meningkatnya keperluan atau permintaan konsumen; Sehubungan hal tersebut maka dilakukan perbaikan dalam budidaya tanaman:

XI. 11)Merencanakan dan mengendalikan pembangunan dengan menyusun RDTR dan ZR serta RTBL yang lebih dapat diandalkan dalam menata dan mengatur pembangunan di wilayah Kota

(2) Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, ini dimaksudkan untuk

Horretarako, emakumeen eta gizonen portaeren motibazioak, eremu soziala eta politika publikoen suposizioak aztertu behar dira; eta hori egiteko, adierazle kuantitatiboak

Pengontrolan secara terpusat yang dilakukan disini adalah menggunakan suatu komputer ataupun laptop yang sudah terhubung dengan modul Wireless transmitter yang terdiri atas

Kumpulan lepas Foraminifera, berbagai jenis Foraminifera benthos (gbr. kiri), berbagai jenis Foraminifera plankton (gbr. Perhatikan perbedaan bentuk test dari dua kelompok