• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL DIMENSI SEJARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL DIMENSI SEJARAH"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 189

ISSN - 2086-133

J

URNAL

D

IMENSI

S

EJARAH

Journal homepage: www.jurnaldimensisejarahum.com

PAKAIAN SEBAGAI SIMBOL STRATIFIKASI SOSIAL

MASYARAKAT JAWA PADA MASA KOLONIAL ABAD

KE-19 SAMPAI AWAL ABAD KE-20

Nursela Yunika Mesita, Ari Sapto

selayunika86@gmail.com, ari.sapto.fis@um.ac.id

Abstract

Initially clothing is a tool that is only used to protect human beings from dust and dirt, but along with the times the clothes are not only used as body protectors but also serve as symbols of identity and social stratification symbols for the wearer. Stratification or social level that shows the identity of someone with clothes is also shown in the model of Javanese and Western people who come and rule in Java. The arrival of Western nations had an influence including in aspects of lifestyle. Javanese people who usually only use good fingers and cloths, while Western people who use European-style clothing with many accessories and equipment. The stratification symbol between the two will be discussed more in the article. This article uses a qualitative method with a literature study in the form of books, journals and other print media to provide an analysis related to clothing which was used as a symbol of social stratification of Javanese society in the 19th century until the 20th century.

Keywords

Clothing, social stratification, society.

Abstrak

Awalnya pakaian merupakan alat yang hanya digunakan untuk melindungi diri manusia dari debu dan kotoran, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman pakaian tidak hanya digunakan sebagai pelindung tubuh melainkan juga dijadikan sebagai simbol identitas dan simbol stratifikasi sosial bagi pemakainya. Stratifikasi atau tingkatan sosial yang menunjukkan identitas seseorang dengan pakaian juga ditunjukkan pada model berbusana masyarakat Jawa dan masyarakat Barat yang datang dan berkuasa di Jawa. Kedatangan bangsa Barat memberikan pengaruh termasuk dalam aspek gaya hidup. Masyarakat Jawa yang biasanya hanya menggunakan jarik dan kain baik sedangkan masyarakat Barat yang menggunakan pakaian ala Eropa dengan banyak aksesoris dan perlengkapannya. Simbol stratifikasi diantara keduanya akan lebih dibahas dalam artikel. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kepustakaan berupa buku, jurnal dan media cetak lainnya untuk memberikan analisis terkait pakaian yang dijadikan sebagai simbol stratifikasi sosial masyarakat Jawa pada abad ke-19 sampai abad ke-20.

(2)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 190

Kata kunci

Pakaian, stratifikasi sosial, masyarakat.

*Received: 11 January 2020 *Revised: 28 March 2020 *Accepted: 5 May 2020 *Published: 25 June 2020

Pendahuluan

Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia membawa pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat pribumi diberbagai bidang, salah satunya dalam aspek kebudayaan. Kedatangan bangsa Barat seperti India, Cina dan Portugis ke Indonesia, utamanya di wilayah Pulau Jawa, yang masing-masing membawa kebudayaannya menyebabkan terjadinya pertukaran dan peleburan budaya, ditambah lagi dengan masuknya kolonial Belanda ke Indonesia. Kehadiran kolonial Belanda di Indonesia yang menjadi penguasa di Pulau Jawa turut mempengaruhi aspek kebudayaan yang meliputi tujuh unsur yaitu bahasa, sistem perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan unsur religi (Soekiman & Juwita, 2011, p. 4). Salah satu aspek kebudayaan yang mengalami perubahan adalah unsur gaya hidup dalam masyarakat pribumi. Menurut Kartodirdjo (1999, p. 80) menyatakan bahwa, adanya percampuran gaya hidup Belanda dengan gaya hidup rakyat pribumi khususnya Jawa dapat disebut sebagai gaya hidup Indis.

Membahas mengenai kebudayaan indis, maka akan berkaitan dengan gaya hidup masyarakat. Salah satu kajiannya mencakup pada model atau gaya pakaian dari masyarakat. Pakaian merupakan sesuatu yang dipakai untuk menyelimuti bagian-bagian tubuh manusia seperti baju, celana, rok dan lain sebagainya. Pakaian merupakan hal yang vital dan menjadi kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder bagi manusia (Nurhajarini & Soekiman, 2003). Pakaian merupakan kebutuhan pokok dan mendasar bagi manusia. Manusia membutuhkan pakaian karena pakaian memberikan banyak fungsi dan manfaat dalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi pakaian menurut Zaman (2002, p. 14) sebagai berikut; (1) Pakaian sebagai Pelindung tubuh manusia, pakaian digunakan untuk melindungi tubuh dari berbagai pengaruh negatif pada manusia, misalnya perlindungan dari debu, kotoran, dan lain sebagainya, (2) Membantu kegiatan atau pekerjaan manusia, contohnya seperti penggunaan pakaian menyelam yang dapat digunakan oleh manusia untuk berkegiatan dalam laut dan sebagainya, (3) Pakaian sebagai kebutuhan dasar manusia, Tiga kebutuhan dasar yang menjadi kebutuhan dasar manusia dalam ajaran Jawa yaitu sandang (pakaian), pangan (makan) dan papan (tempat tinggal), (4) Perhiasan manusia, setiap individu dapat tampil menarik dengan menggunakan pakaian yang tepat ditambah dengan aksesoris untuk pakaian, dan (5) Pakaian dapat menunjukkan status sosial manusia, pakaian biasanya dapat menunjukkan identitas seseorang yang dilihat dari model, dan bahan yang digunakan.

Seiring dengan berkembangnya zaman, pakaian tidak hanya dijadikan sebagai bahan kebutuhan dasar dari manusia, akan tetapi pakaian juga dijadikan sebagai simbol stratifikasi sosial dan sebagai bagian untuk menunjukkan status sosial masing-masing individu. Stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat dapat diihat dari perbedaan-perbedaan yang ada baik pada tiap individu dengan individu maupun kelompok dengan kelompok. Beberapa aspek yang mempengaruhi stratifikasi sosial yaitu aspek ekonomi, pendidikan, keturunan, politik maupun aspek agama. Statifikasi sosial merupakan gejala umum yang ditemukan dalam setiap

(3)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 191 kehidupan masyarakat, oleh karena itu perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat sebagai bentuk pelapisan sosial. Lapisan atau strata masyarakat telah tersusun bertingkat yang membentuk kelas-kelas sosial yang saling berhubungan antara satu lapisan sosial dengan lapisan sosial lainnya (Narwoko, 2017, p. 94).

Stratifikasi sosial yang banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Jawa tidak hanya dalam bidang pertanian seperti kepemilikan tanah, berdasarkan keturunan dan etnis saja, akan tetapi stratifikasi sosial juga muncul pada gaya berpakaian masyarakat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Gaya berpakaian masyarakat sejak lama telah menajadi unsur diferensi atau pembeda bagi bermacam-macam golongan masyarakat. Pakaian dijadikan simbol sosial dan pembagian kelas dalam masyarakat. Perbedaan gaya berpakaian dapat dlihat melalui cara berpakaian, bahan pakaian yang digunakan, serta mode pakaian yang digunakan dapat menunjukkan asal kelas individu tersebut. Artikel ini akan membahas mengenai stratifikasi sosial yang terjadi pada masyarakat pribumi dengan pihak kolonial maupun dengan Timur Asing dalam hal gaya berpakaian yang terjadi di Indonesia pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Metode Penelitian

Kata metode memiliki arti sederhana yaitu cara untuk melakukan sesuatu. Metode dapat diartikan sebagai cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan (Lasa, 2009, p. 207). Secara umum, metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Artikel ini menggunakan metode kualitatif. Menurut (Moleong, 2019) metode kualitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Metode ini berfokus pada permasalahan yang akan dikaji atau dibahas, dengan didukung oleh kerangka pemikiran yang konseptual dan teoritis. Artikel ini menggunakan metode studi kepustakaan dalam pengumpulan data dan penyelesaian masalah yang dikaji. Metode kepustakaan dilakukan dengan mencari sumber yang berasal dari tulisan berupa buku, kamus, jurnal, dokumen, majalah, skripsi, ensiklopedia, dan lain-lain (Arikunto, 1998). Tidak hanya melalui sumber tertulis yang tercetak, akan tetapi juga melalui sumber tertulis elektronik. Metode kepustakaan ini termasuk metode pendekatan kualitatif, karena menekankan pada penjelasan deskriptif dalam menyelesaikan masalah. Data yang digunakan adalah data yang dikumpulkan dan diolah menggunakan konsep dan teori yang berkaitan dan akhirnya dapat diketahui mmelalui proses analisis. Proses analisis ini bertujuan untuk mengetahui pakaian yang diguankan oleh bangsa Eropa, penduduk bumi putera dan untuk mengetahui makna stratifikasi yang muncul dengan gaya hidup di masa kolonial pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gaya Berpakaian Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat dengan dengan kebudayaan yang beragam. Kebudayaan menunjukkan suatu peradaban. Manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan akan lahir besamaan dengan lahirnya umat manusia. Kebudayaan selalu menurun dari generasi

(4)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 192 satu ke generasi yang berikutnya. Kebudayaan sendiri merupakan suatu sistem yang yang mempunyai koherensi atau keterkaitan antara satu sistem dengan sistem lainnya (Kuntowijoyo, 1987, p. 29). Sistem tersebut berbentuk simbolis yang berkaitan dengan simbol sosial berupa stratifikasi sosial, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobolitas sosial, dan seluruh perilaku manusia. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil manusia untuk mencukupo segala kebuuhannya.

Tradisi budaya pada masyarakat Jawa berlangsung secata turun-temurun. Budaya tradisi dapat dibagi menjadi dua yaitu tradisi budaya keraton dan tradisi budaya rakyat (Condronegoro, 1995, p. 11). Budaya keraton merupakan kebudayaan yang diciptakan di lingkungan keraton dan dijalankan orang-orang bangsawan keraton, sedangkan budaya rakyat merupakan kebudayaan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh rakyat. Budaya Jawa merupakan segala sistem norma dan nilai yang didalamnya mencakup sistem religi, sistem pengetahuan, bahasa, kepercayaan, moral hukum, seni, masyarakat, kebiasaan, gaya hidup atau gaya busana yang berasal dari masyarakat Jawa baik yang tinggal di Jawa maupun di luar Jawa (Koentjaraningrat, 1994, p. 330). Budaya Jawa yang menjadi budaya tradisi memberikan gambaran dan ciri khas terhadap suatu golongan tertentu tanpa terkecuali tradisi busana dalam masyarakat Jawa atau biasa disebut dengan busana adat.

Busana adat merupakan pakaian yang digunakan secara turun-temurun oleh kelompok masyarakat dengan ciri-ciri yang menonjolkan unsur kearifan lokalnya. Perkembangan busana adat berjalan beriringan dengan perkembangan kebudayaan lainnya. Busana adat di Jawa memiliki keunggulan dan kekhasan masing-masing pada tiap-tiap wilayah. Misalnya wilayah Surakarta dan Yogyakarta yang juga memiliki busana adat yang berbeda. Busana adat Keraton Yogyakarta sebagian besar menggunakan motif busana kawung dan busana lurik yang dipakai oleh abdi dalemnya. Sedangkan Keraton Surakarta menggunkan motif lain selain motif kawung untuk kebesaran kerajaannya (Ngatinah, 2008, p. 177). Busana adat yang digunakan sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu busana yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari atau kegiatan non formal dan busana yang digunakan untuk kegiatan formal dan resmi. Busana adat dalam masyarakat Jawa yang digunakan dalam upacara-upacara keagamaan juga berhubungan dengan simbol identitas yang menyatakan hak dan kewajiban dalam baju yang dikenakannya (Condronegoro, 1995, p. 4). Dalam perkembangannya gaya busana masyarakat Jawa dapat dilihat dari masa ke masa. Penggunaan busana pada masyarakat Jawa terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan kaum laki-laki dan golongan kaum perempuan. Sebelum lebih jauh mengetahui tentang gaya berbusana masyarakat Jawa, yang perlu diketahui adalah kedudukan perempuan dan laki-laki dalam budaya Jawa yang akan saling berkaitan dengan perkembangan gaya busana masyarakat Jawa.

Perempuan dalam tatanan Jawa memiliki ciri khas yang identik dengan budaya Jawa seperti, memiliki tutur kata yang halus, kalem, sopan, menjunjung tinggi nilai keluarga dan memiliki pengendalian diri yang tinggi dan terkontrol. Istilah wanita dalam bahsa Jawa memiliki arti wani ditata atau berani ditata (Saraswati, 2016, p. 107). Pengertian tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa perempuan Jawa harus berani untuk kehidupannya ditata oleh keluarganya baik dalam hal pendidikan, perkawinan ataupun bahkan dalam gaya berbusana. Perempuan Jawa merupakan sosok yang sangat memegang teguh tradisi dan

(5)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 193 kebudayaan Jawa, akan tetapi pada tahun 1918 perempuan Jawa mulai menerima gagasan dan pemikirannya mulai terbuka termasuk dalam hal gaya berbusana. Perempuan Jawa juga sudah menyadari akan pentingnya derajat seorang perempuan. Perempuan-perempuan Jawa terbagi kedalam empat kelas yang didasarkan pada status sosial dalam masyarakat menurut Sewojo (2008: 63-64) dalam Yuniarti (2018, p. 32), yaitu sebagai berikut;

a. Golongan Perempuan Miskin. Golongan ini merupakan golongan yang tidak memiliki penghidupan hanya dari sawah dan tidak dapat menempuh pendidikan dan menggunakan gaya berbusana yang sesuai dengan kebudayaan Jawa.

b. Golongan Perempuan Menengah atau Cukup Mampu. Perempuan pada tingkatan ini juga tidak bersekolah akan tetapi bekerja dengan berdagang, dalam gaya berbuasanya sudah mulai menggunakan busana dari mayarakat Jawa.

c. Golongan Perempuan Snatri. Golongan ini adalah golongan yang tidak bersekolah, akan tetapi mendapatkan pelajaran agarama dirumah. Gaya berbusana para perempuan golongan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.

d. Golongan Priyayi atau Bangsawan. Sebagian besar golongan ini sudah dapat menempuh pendidikan dan gaya busana dari golongan ini lebih mengarah kebarat-baratan akan tetapi tidak meninggalkan budaya Jawa.

Model pakaian yang digunakan oleh Masyarakat Jawa umumnya hampir memiliki kesamaan akan tetapi disetiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Wilayah Yogyakarta, Surakarta, Surabaya yang saat itu pada abad ke-19 sudah mulai mengalami perkembangan dan menjadi kota-kota besar juga memiliki ciri khas dan gaya berpakaian masing-masing. Gaya pakaian Yogyakarta dengan model Keraton Yogyakarta dan gaya pakaian Surakarta dengan model Keraton Surakarta juga memiliki perbedaan-perbedaan. Sama halnya dengan gaya berbusana masyarakat Surabaya yang tidak dipengaruhi oleh adat, Keraton juga memiliki gaya berbusana yang berbeda. Gaya berbusana pada umumnya bukan hanya menampilkan penampilan luar dari seseorang saja, akan tetapi juga menunjukkan identitas dari orang tersebut.

Gaya berpakaian di Yogyakarta dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu bagi kaum perempuan dan kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan model pakaian yang digunakan adalah pinjungan, lurik dan kebaya. Sedangkan bagi kaum laki-laki umumnya menggunakan surjan dengan pelengkap jarik. Model Pinjungan adalah model pakaian yang umum digunakan oleh masyarakat Yogyakarta. Pinjungan merupakan gaya pakaian dengan model kain yang digunakan oleh perempuan untuk menutupi bagian dada atau biasa disebut dengan kemben (Nurhajarini & Soekiman, 2003, p. 84). Kemben merupakan sebuah pakaian dada yang menjadi bagian dari batik. Penggunaannya mengelilingi bagian atas tubuh untuk mengunci dari kajin jarik. Pakaian model pinjungan biasanya dilengkapi dengan baju batik atau lurik sebagai penutup dibagian luar. Pakaian pinjung memiliki beberapa perlengkapan yang menjadikannya sebagai satu kesatuan model pakaian yaitu dilengkapi dengan jarik atau kain panjang, baju batik, sanggul, ikat pinggang, selendang, dan tanpa penggunaan alas kaki. Penggunaan pinjung ini dapat digunakan oleh semua kalangan baik muda sampai tua akan tetapi yang menbedakannya adalah bahan batik dan jarik yang digunakan. Pakaian ini biasanya digunakan untuk kegiatan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat. Model pakaian pinjung dapat ditunjukkan dalam gambar sebagai berikut.

(6)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 194

Gambar 1.1 Model Pakaian Pinjung Sumber: (Susanti, 2017)

Model pakaian yang digunakan di Yogyakarta adalah model pakaian lurik. Lurik merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh perempuan disemua kalangan umur baik muda maupun tua. Pakaian lurik memiliki motif dengan garis vertikal dan memiliki lengan panjang. Pakaian lurik biasa digunakan tidak hanya untuk kegiatan sehari-hari, akan tetapi juga digunakan untuk kebutuhan profesi (Zaman, 2002). Misalnya pedagang perempuan yang bekerja dengan berjualan di pasar, maka menggunakan pakaian ini, biasanya dilengkapi dengan selendang dan model rambut yang hanya digelung. Selain model pakaian pinjung dan lurik yang digunakan oleh perempuan Jawa, juga terdapat model pakaian yang sampai saat ini masih terus eksis dan terus digunakan oleh perempuan Jawa dengan berbagai pembaharuan baik dari segi model maupun dari bahannya. Model pakaian tersebut adalah model pakaian kebaya.

Kebaya merupakan model pakaian yang digunakan oleh perempuan Jawa dan mencerminkan kepribadian masyarakat. Kebaya dalam kesehariannya digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan yang bersifat resmi atau formal. Kebaya merupakan salah satu model pakaian yang menjadi menunjuk identitas penggunnya. Pada awalnya, kebaya adalah model pakaian yang digunakan oleh para bangsawan dan priyayi saja. Aturan penggunaan kebaya dianggap lebih longgar dalam kalangan bangsawan Jawa, yaitu seperti dapat digunakan tanpa alas kaki, atau tanpa sanggul dan hanya cukup dengan rambut yang di gelung agar terlihat lebih rapi dan sopan. Umumnya kebaya yang ada di Jawa didominasi menggunakan warna putih polos dan terkadang diberikan pelengkap berupa renda di bagian bawah dan sisi dari kebaya. Sebagai pelengkap, kebaya juga dilengkapi dengan tambahan perhiasan, sangul dan alas kaki. Menurut (Suciati., Sachari & Kahdar, 2015, p. 54) kebaya pada masa ini merupakan masa konsepsi Indonesia khususnya dalam bidang mode pakaian yang memunculkan busana nasional yaitu kebaya dan berkembang menjadi identitas bangsa yang memiliki pandangan hidup, sejarah dan cita-cita hidup. Kebaya-kebaya yang digunakan pada abad ke-19 akan diperjelas dengan gambar sebagai berikut.

(7)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 195

Gambar 1.2 Kebaya bagi para Bangsawan Sumber: (Astuti, 2020)

Gambar 1.3 Penggunaan Kebaya Polos dan Kain Panjang Sumber: (N.N, 2017b)

Berbeda dengan gaya berpakaian kaum perempuan, model pakaian kaum laki-laki lebih terlihat sederhana. Umumnya, untuk pakaian laki-lai menggunakan pakaian Surjan. Pakaian surjan meruapakan pakaian lurik atau pakaian dengan model kemeja berlengan panjang. Bahan yang digunakan untuk membuat pakaian Surjan adalah kain yang bertekstur tebal dengan motif yang sebagian besar vertikal, warna surjan biasanya dominan warna gelap dan dengan menggunakan kancing baju dibagian atas. Sebagai pelengkap dari penggunaan pakaian surja, kaum laki-laki biasanya juga menggunakan jarik. Jarik yang dipadukan dengan alas kaki atau sandal dan banyak juga masyarakat yang tidak menggunakan alas kaki. Dipadukan juga dengan blangkon sebagai aksesoris. Balngkon merupakan bagian penutup kepala kaum laki-laki yang menonjol di bagian belakang dan memiliki ekor panjang dibelakangnya (Nurhajarini & Soekiman, 2003).

Gaya hidup dalam hal model berpakaian atau berbusana juga terdapat di Surakarta utamanya dalam lingkup keraton yang sudah menunjukkan tingkatan status sosial dengan pakaian yang dikenakan. Salah satunya adalah stratifikasi dalam pemakaian dodot di Surakarta dalam lingkup keraton. Pemakaian tersebut dapat dilihat berdasarkan urut-urutan

(8)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 196 sebagai berikut; (1) Para Pangeran atau putra raja, pakaian yang digunakan diperbolehkan meniru motif yang digunakan oleh raja misalnya seperti motif parang atau motif tengah-tengahan (motif pasangan putih yang ditengah-tengah dan ikat kepala atau memakai kain di pojok dodot) yang menandakan pangeran sudah dianggap sebagai putra raja, (2) Patih, pakaian yang digunakan oleh Patih tidak boleh terlalu banyak kain yang jatuh ke pojok dodot atau kanca. Motif yang baisa digunakan Patih adalah motif tumbuh-tumbuhan merambut dan sayap besar, (3) Bupati, merupakan pejabat pribumi yang memimpin diwilayah karesidenan, serta Wedana, yaitu pejabat pribumi yang memimpin diwilayah kedistrikan (Poerwadarminta, 1939, p. 54). Pakaian yang biasa digunakan oleh Bupati dan Wedana adalah pakaian dengan motif tumbuh-tumbuhan merambut dan motif sayap serat dilengkapi dengan celana cindhe, yaitu celana yang berbaha sutra berwarna merah bermotif bunga-bunga, (4) Panewu, yaitu mantri dan jajarannya ke bawah, biasanya juga menggunakan celana cindhe akan tetapi penggunaannya hanya dilakukan di saat-saat tertentu. Dan menggunakan motif ceplok dan motif tumbuhan berambut namun tidak diperbolehkan motif sayap. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya stratifikasi sosial antara kolonial dengan pribumi, yang terjadi justru stratifikasi sosial dalam gaya berpakaian masyarakat Jawa sendiri sudah menunjukkan konteks stratifikasi tersebut.

Gaya Berpakaian Masyarakat Barat

Kedatangan Bangsa Barat ke Indonesia secara tidak langsung juga memberikan dampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, gaya berpakian menjadi aspek yang juga dipengaruhi oleh kedatangan bansa Barat. Masyarakat Barat memiliki cara berpakaian tersendiri dan berbeda dengan masyarakat pribumi pada umumnya. Perempuan Belanda biasanya menggunakan pakaian-pakaian yang sudah berkembang dan modern. Pakaian yang digunakan biasanya menggunakan model pakaian rok terusan atau blouse, rok petticout (Nurhajarini. D, R, 2003. 90). Model Pakaian barat rok bebe biasanya menggunakan bahan kain katun dengan bagian bawah yang bergaris tegak, dengan leher yang diberi kerah bundar dari kain putih untuk menambah kesan mewah. Kemudian, bagian badan dihiasi dengan menggunkan kain miring legannya biasanya dibuat dengan model tidak berkerut. Sedangkan motif-motif yang berkembang dimasyarakat Bbarat adalah motif bunga dan motif polkadot atau motif bulat-bulat. Pakaian-pakaian yang dikenakan biasanya dipadukan dengan rok pendek dan sepatu.

Penampilan perempuan Belanda juga dilengakpi dengan menggunakan aksesoris pendukung seperti perhiasan dan aksesoris lainnya yaitu gaya rambut. Gaya rambut yang biasa digunakan oleh perempuan Belanda adalah gaya rambut pendek dengan aksesosir jepit rambut. Kemunculann model rambut ini juga memberikan pengaruh bagi perempuan Jawa yang sebelumnya menggunakan gaya rambut panjang bergelung mulai beralih menggunakan gaya rambut pendek (Tilaar, 1999, p. 80). Tidak jarang banyak pula kaum perempuan Belanda yang menggunakan penutup kepala dengan beragam corak dan bentuk. Penampilan kaum laki-laki Belanda berbeda dengan kaum perempuan. Model berpakaian kaum laki-laki Belanda secara umum kesemuanya memiliki kesamaan dan cenderung seragam. Kaum laki-laki biasanya menggunakan kemeja baik yang berlengan panjang maupun yang berlengan pendek. Sebagai perpaduan dari kemeja, kaum laki-laki

(9)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 197 menggunakan celana panjang dan juga perlengkapan tambahan seperti ikat pinggang dan terkadang juga menggunakan dasi. Dasi biasanya digunakan dapat kegiatan yang bersifat resmi dan penting baisanya untuk rapat. Kaum laki-laki Belanda biasanya juga menggunkan jas sebagai simbol intelektualitas ala Eropa (Tilaar, 1999, p. 82). Salah satu model pakaian Belanda sebagai berikut.

Gambar : 2.1 Pakaian dan Gaya Rambut Perempuan Kolonial Sumber: (Vintage, n.d.)

Salah satu pakaian yang juga berkembang pada masa kolonial adalah penggunaan batik. Batik merupakan karya seni khas Indonesia. Karya Indonesia ini tidak lepas dari zaman dan lingkungan terciptanya suatu karya seni. Dari masuknya agama Hindu-Budha dan Islam, samapai masa Kolonial di Indonesia memberikan corak tersendiri terhadap perkembangnya pakaian batik dalam kehidupan masyarakat salah satunya di Jawa. Kedatangan Belanda untuk berdagang dan akhirnya menguasai Indonesia juga memberikan variasi baru dalam seni batik yang tumbuh berkembang pada abad ke-19. Pada mulanya batik Belanda hanya dibuat untuk masyarakat Belanda dan masyarakat Indo-Belanda (Gumulya & Octavia, 2017, p. 16). Akan tetapi seiring dengan perkembangan zama, Batik ini mulai digunakan oleh kalangan rakyat biasa namun tetap dengan motif yan berbeda. Motif yang berkembang dan digunakan dalam batik Belanda adalah motif bunga yang dirangkai dengan buket , burung-burung kecil serta kupu-kupu . Warna dari batik Belanda kebanyakan berwarna cerah, dapat ditunjukkan sebagai berikut.

(10)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 198

Gambar 2.2 Motif Buketan pada Batik Belanda Sumber: (Gumulya & Octavia, 2017, p. 16).

Gambar 2.3 Motif Figur pada Batik Belanda Sumber: (Gumulya & Octavia, 2017, p. 16).

Pada masa kolonial, pembagian strata sosial terbagi menjadi tiga golongan kasta atau status sosial yaitu: Pertama adalah golongan Europeanen (orang Eropa yang didalamnya termasuk orang Jepang), golongan kedua adalah Vreemde Ossterlingen (golongan Timur Asing yang termasuk Tionghoa, Arab, India, Moor dan lain-lain), ketiga atau golongan terbawah adalah Inlanders (golongan Bumiputera) (Gumulya & Octavia, 2017, p. 13). Setelah mengetahui model dan gaya berpakiaan masyarakat Eropa, juga perlu diketahui gaya berbusana dari masyarakat Tionghoa yang menjadi bagian dari golongan kedua dari pembagian kasta sosial masyarakat Indonesia. Pakaian Tiomghoa yang ada di Jawa digolongkan menjadi beberapa kategori, yaitu:

1.

Busana Baba. Model pakaian baba merupakan busana yang biasa digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Busana baba biasa disebut dengan baju tuikhim Baju ini memiliki ciri-ciri baju dengan bukaan tengah dengan dilengkapi lima buah kancing. Baju tuikhim dibagi menjadi dua yaitu baju berkerah dan baju tidak berkerah. Perpaduan yang biasa digunakan dengan baju tuikhim adalah celana komprang. Celana komprang merupakan celana dengan potongan lebar. Bahan yang digunakan untuk pakaian ini adalah sutra tenun yang berwarna hitam. Akan tetapi

(11)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 199 seiring dengan masuknya bangsa Barat ke Indonesia, pakaian baba tidak lagi menggunakan gaya Tionghoa melainkan menggunakan gaya barat (Kustara, 2010).

Gambar 2.4 Busana Baba dengan Pengaruh Eropa Sumber: (Gumulya & Octavia, 2017, p. 18)

2. Busana Nyonya. Busana nyonya merupakan busana yang biasa digunakan oleh masyarakat Cina peranakan (nyonya). Baju nyonya ini merupakan baju kurung yang dipadukan dengan batik sebagai bawahannya. Baju kurung biasannya identik dengan model baju yang dimaksudkan dari arah kepala. Potongan bajunya hampir sama seperti kebaya panjang. Baju Panjang diawali dari model kebaya yang semakin diperpendek dan mengalami proses akulturasi dengan budaya cina peranakan.

Pakaian sebagai Simbol Identitas dan Statifikasi Sosial antara Masyarakat Jawa dan Kolonial Belanda

Perkembangan kebudayaan tidak akan lepas kaitannya dengan kehidupan masyarakatnya yang mencakup gaya hidup. Gaya hidup merupakan cara-cara yang digunakan dalam menjalankan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sehari-hari yang mengisyaratkan nilai-nilai dan simbol (Ibrahim, 2011, p. 307). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa gaya hidup seseorang dapat mengidentifikasikan diri dan sekaligus dapat menjadi pembeda antara satu orang dengan orang lainnya. Gaya hidup masing-masing individu adalah sebuah pilihan yang diambil. Gaya hidup dapat dijalankan, diciptakan, dan diatur ulang dalam kehidupan yang terus bejalan seiring dengan perkembangan kebudayaan, arus teknologi dan arus komunikasi. Gaya berpakaian merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan gaya hidup seseorang. Masa perkembangan awal pakaian, hanya digunakan untuk melindungi dan menutupi tubuh manusia, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya.

Kehidupan masyarakat Jawa sebelum kedatangan Kolonial, sudah mengenal status sosial atau stratifikasi sosial, hal tersebut dapat terlihat saat Pulau Jawa dipimpin oleh

(12)

raja-ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 200 raja. Adanya stratifikasi sosial tersebut berlaku tidak hanya dalam kehidupan kerajaan, akan tetapi juga berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat. Stratifikasi sosial yang tersebut menyebabkan sesuatu yang dilakukan dalam lingkup kerajaan tidak diperkenankan dilakukan oleh rakyat biasa. Stratifikasi sosial tersebut yang membedakan antar kelompok maupun individu terus berlangsung sampai masa kolonial di Indonesia. Stratifikasi sosial misalnya adalah gaya berpakaian masyarakat. Sebelum kedatangan kolonial, perkembangan gaya berpakaian berkembang pada saat agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia (Kartodirdjo & Sudewa, 1987, p. 165). Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan model pakaian Indonesia yang tampak pada relief bangnan candi. Misalnya adalah relief-relief yang terdapat pada dinding candi Borobudur yang menggambarkan keanekaragaman mode pakaian dan perhiasan masyarakat pada zamannya. Kemudian model pakaian masyarakat Indnesia juga dipengaruhi oleh agama Islam yang masuk di Indonesia, hal tersebut ditunjukkan dengan model pakaian dari yang awalnya pakaian terbuka menjadi pakaian yang mulai tertutup dan sopan.

Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya kolonial ke Indonesia.. Perkembangan gaya berpakaian di Indonesia memiliki corak yang beragam sejak kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia yang dalam tahapan selanjutnya, pakaian Eropa menjadi pakaian yang menunjukkan simbolisasi yang kuat akan budaya asing. Gaya berpakaian ala Eropa awalnya merupakan gaya berpakaian yang hanya boleh digunkan oleh orang keturunan Eropa dang golongan bangsawan dari kalangan pribumi atau orang Indo-Eropa yang diperbolehkan untuk mengenakan pakaian dengan model Indo-Eropa. Akan tetapi, lama kelamaan terdpat aturan yang mulai diterapkan oleh orang Eropa mengenai cara mengenakan pakaian bagi berbagai bangsa yang diupayaka melalui peta dan pengaturan model berpakaian bagi kelompok penduduk (Nurhajarini & Soekiman, 2003, p. 197). Kaitannya dengan hal tersebut, pemerintah juga memiliki peran yang turut mengatur gaya berpakaian masyarakatnya yang bertujuan untuk menentukan ciri khas, simbol dan jati diri dari masyarakat Indonesia.

Gaya berpakaian Belanda pada masa kolonial merupakan suatu petunjuk tentang kebudayaan dan agama yang ada bagi tuan tanah asing. Terjadinya pergeseran makna simbolis yang terjadi pada pemakaian busana di Jawa terjadi semenjak kedatangan VOC yang menerapkan aturan berupa larangan-larangan berbusana yang sama bagi setiap penduduk sebagai bagian dari bentuk kontrol sosial kolonial Belanda terhadap masyarakat jajahannya (bumiputera). Gaya berpakaian Eropa pada masa itu merupakan gaya pakaian yang menjadi tren dan menjadi tanda moderenitas. Hal tersebut menyebabkan pengaruh terhadap golongan-golongan lainnya selain orang Eropa untuk mengikuti gaya berpakaian masyarakat Eropa. Pada awal abad ke-20 gaya berpakaian semakin menunjukkan simbol stratifikasi sosial pemakainya. Pengaruh dan pencitraan mode pakaian Eropa mulai dilakukan melalui media massa yang terbit pada masa itu seperti koran dan lain-lain.

Pencitraan gaya berbusana Barat yang memberikan kesan moderenisasi sesuai dengan perkembangan zaman salah satunya dilakukan melalui iklam-iklan pakaian. Selain iklan-iklan pakaian, kolonial juga menampilkan iklan-iklan lainnya yang memberikan gambar-gambar dengan berpenampilan menggunakan pakaian Barat (Riyanto, 2000). Meskipun iklan-iklan yang dibuat menampilkan suatu produk yang akan diperjualbelikan, namun

(13)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 201 biasanya lebih menyoroti pada gaya berbusana dari ujung kaki sampai ujung rambut seseorang atau kelompok yang menjadi model dalam iklan tersebut, yang menjadi perhatiannya adalah model pakaian, aksesoris yang digunakan serta bahan pakaian tersebut. Salah satu contoh iklan tersebut dapat ditunjukkan dalam gambar berikut.

Gambar 3.1 Iklan Rokok dengan seseorang Berpakaian Eropa Sumber: (N.N, 1918)

Moderenisasi industri mode pakaian di Jawa yang dibawa oleh bangsa Barat menyebabkan terjadinya banyak perubahan dalam jenis pakaian yang dipakai. Stratifikasi sosial dalam pakaian yang digunakan lama-kelamaan sudah mulai melebur dan menjadikannya hanya sebagai identitas bagi pemakainya, tidak sekolot pada awal perkembangan pakaian Barat di Jawa. Pada awal abad ke-20 model berpakaian dikategorikan menjadi tiga, yaitu pakaian harian, pakaian kerja termasuk pakaian sekolah dan pakaian resmi atau pesta. Penjelasan dari pengkategorian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pakaian Harian merupakan pakaian yang biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari

masyarakat biasanya berupa kebaya, kain panjang, alas kaki dan kelengkapan seperti sanggul dan ikat pinggang untuk perempuan. Gaya rambut perempuan Jawa biasanya hanya dibiarkan terurai atau diikat sanggul kebelakang untuk memberikan kesan rapi dan untuk laki-laki menggunkan celana sebatas lutut atau kain sarung dan pakaian dengan kancing. Sedangkan untuk pakaian harian yang digunakan oleh bangsa Barat adalah pakaian dengan model terusan atau blouse untuk kaum perempuan dan laki-laki dengan kemeja dan celana panjang. Biasanya kaum laki-laki dominan menggunakan pakaian berwarna putih. Ditunjukkan sebagai berikut:

(14)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 202

Gambar 3.2 Pakaian Gaya Belanda dan Pribumi Sumber: (N.N, 2017a)

b. Pakaian Kerja. Wilayah Jawa pada abad 20 telah menjadi wilayah administratif

dengan banyaknya pusat sektor ekonomi yang memberikan banyak peluang pekerjaan bagi masyarakatnya. Stratifikasi sosial dalam pakaian kerja dimasa kolonial dapat dilihat dari pakaian-pakaian yang dipakai oleh pejabat maupun pegawai Hindia Belanda (Soekiman & Juwita, 2011). Pakaian kerja gubernur adalah jas putih dengan garis hitam, sedangkan pakaian residen dan asistennya menggunkan pakaian yang hampir sama akan tetapi jas yang digunakan tidak memiliki garis hitam.

c. Pakaian Sekolah. Gaya berpakaian sekolah masa kolonial terbagi menjadi dua yaitu

gaya berpakaian sekolah masyarakat biasa dan gaya berpakaian sekolah Eropa. Pakaian sekolah perempuan biasanya hanya menggunkan jarik dan laki-laki menggunakan lurik. Sedangkan bagi priyayi dan orang Eropa. Pakaian sekolah yang digunakan perempuan adalah rok dan blouse, sedangkan bagi laki-laki menggunakan kemeja dengan celana panjang dan bersepatu (Nurhajarini & Soekiman, 2003, p. 180).

Gambar 3.3 Pakaian Sekolah Masyarakat Biasa Sumber: (KITLV, n.d.)

d. Pakaian Resmi. Pakaian ini biasa digunakan untuk acara-acara yang bersifat formal

misalnya acara penjamuan, pernkahan maupun upacara adat. Biasanya kaum perempuan Bangsa Eropa menggunakan gaun terusan ataupun baju dan rok dengan

(15)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 203 mode yang modern ala Eropa dan kaum laki-laki menggunakan jas dan celana panjang serta dilengkapi dengan dasi dan alas kaki. Sedangkan untuk kaum pribumi, untuk perempuan menggunakan kebaya dan laki-laki menggunakan seragam sesuai dengan pangkat dan jabatannya.

Kesimpulan

Gaya hidup merupakan salah satu pengaruh yang terjadi akibat kedatangan kolonial ke Indonesia khususnya di Jawa. Gaya hidup yang didalamnya termasuk gaya berpakaian turut mengalami perubahan. Fungsi pakaian yang awalnya hanya digunakan sebagai pelindung tubuh, seiring dengan perkembanagn zaman pakaian juga dijadikan sebagai simbol dan stratifikasi sosial antara masyarakat Jawa dan masyarakat Barat. Masyarakat Jawa dengan gaya berbusana yang masih sederhana dengan menggunakan kebaya, baju pinjungan dan lurik sedangkan kaum laki-laki menggunakan surjan sebagai gaya berpakaian yang masih kental dipengaruhi oleh adat keraton. Sedangkan gaya berpakaian masyarakat Eropa yang berbeda dari kaum pribumi. Bagi perempuan, pakaian yang digunakan adalah rok terusan atau blouse dengan model ala Eropa dan bagi kaum laki-laki menggunakan celana panjang dan kemeja.

Kasta sosial pada masa kolonial terbagi menjadi tiga golongan yaitu golongan Eropa menempati posisi teratas, golongan Timur Asing menempati posisi kedua dan golongan pribumi menempati golongan terendah. Perbedaan gaya berpakaian antara masyarakat Jawa dan masyarakat Eropa secara tidak langsung menunjukkan simbol stratifikasi sosial. Bergaya dengan mode pakaian Eropa bagi pemakainya mengisyaratkan masyarakat yang modern dan berkasta sosial tinggi sedangkan gaya berpakaian sederhana dan tidak dapat mengkuti perkembangan mode pakaian Eropa berarti menunjukkan bahwa pemakainya merupakan masyarakat dari golongan kasta rendah. Meskipun golongan Timur Asing merupakan golongan dari kasta sosial kedua, akan tetapi dalam hal berpakaian di Jawa yang menjadi menguasa dan mengatur segala tren model pakaian adalah golongan Eropa. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pihak kolonial mulai melonggarkan peraturan tentang gaya berpakaian dan masyarakat bumiputra diperbolehkan untuk menggunakan busana Eropa akan tetapi hanya dari kalangan priyayi dan kalangan bangsawan.

Daftar Rujukan Buku dan Jurnal

Arikunto, S. (1998). Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Astuti, D. (2020). Melihat Perkembangan Kebaya dari Masa ke Masa. GoodNews From Indonesia.

Retrieved from https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/01/28/kebaya-dari-masa-ke-masa

Condronegoro, M. S. (1995). Busana Adat Kraton Yogyakarta, 1877-1937: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Gumulya, D., & Octavia, N. (2017). Kajian Akulturasi Budaya pada Busana Wanita Cina Peranakan. Jadecs, 2(1), 12–26.

Ibrahim, I. S. (2011). Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

(16)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 189-204 DOI: 10.17977/um020v1i12020p189

Nursela Yunika Mesita & Ari Sapto | 204 Kartodirdjo, S. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari

Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.

Kartodirdjo, S., & Sudewa, A. (1987). Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

KITLV. (n.d.). Pakaian Sekolah Masyarakat Biasa.

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Kustara, A.-H. (2010). Peranakan Tionghoa Indonesia-sebuah Perjalanan Budaya. Jakarta: Intisari. Lasa, H. S. (2009). Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Moleong, L. J. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).

https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.02.055

N.N. (1918). Iklan Rokok dengan seseorang Berpakaian Eropa. Surat Kabar Kawan Kita Jang Toeloes.

N.N. (2017a). Pakaian Gaya Belanda dan Pribumi. GoodNews From Indonesia. N.N. (2017b, September 23). Perjalanan Panjang Kebaya. Koran Sulindo.

Narwoko, J. D. & S. (2017). Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan. In Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.

Ngatinah, N. (2008). Karakter Busana Kebesaran Raja Surakarta dan Yogyakarta Hadiningrat Periode 1755-2005. ITB Journal of Visual Art and Design, 2(2), 173–196. https://doi.org/10.5614/itbj.vad.2008.2.2.5

Nurhajarini, D. R., & Soekiman, D. (2003). Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa di Kota Yogyakarta Pada Awal Abad XX Sampai Akhir Masa Kolonial. [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada.

Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: JB Wolters.

Riyanto, B. (2000). Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial, 1870-1915. Yogyakarta: Tarawang.

Saraswati, U. (2016). Kuasa Perempuan dalam Sejarah Indonesia Kuna. Sejarah Dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya, Dan Pengajarannya, 10(1), 105–114. https://doi.org/10.17977/um020v10i12016p105

Soekiman, D., & Juwita, N. (2011). Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu.

Suciati., Sachari, A., & Kahdar. (2015). NILAI FEMININITAS INDONESIA DALAM DESAIN BUSANA KEBAYA IBU NEGARA. RITME, 1(1), 52–59. Retrieved from http://ejournal.upi.edu Susanti, D. (2017). Busana Adat Daerah Istimewa Yogyakarta. Retrieved April 23, 2020, from

Back packer Jakarta website: https://backpackerjakarta.com/busana-adat-daerah-istimewa-yogyakarta/

Tilaar, M. (1999). Kecantikan Perempuan Timur. Magelang: IndonesiaTera.

Vintage, S. (n.d.). Dutch East Indies. Retrieved April 25, 2020, from Pinterest website: pinterest.co.uk/pin/753227106402485519/

Yuniarti, E. S. (2018). PENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN JAWA PADA ABAD KE 19. Sejarah Dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, Dan Pengajarannya, 10(1), 30–39. Retrieved from http://journal.um.ac.id/index.php/sejaah-dan-budaya/

Zaman, M. (2002). 100 Tahun Mode di Indonesia (1901-2000). Jakarta: Meutia Cipta Sarana & DPP Ikatan Penata Busana Indonesia “Kanini.

Gambar

Gambar 1.3 Penggunaan Kebaya Polos dan Kain Panjang  Sumber: (N.N, 2017b)
Gambar : 2.1  Pakaian dan  Gaya  Rambut Perempuan Kolonial  Sumber: (Vintage, n.d.)
Gambar 2.3 Motif Figur pada Batik Belanda  Sumber: (Gumulya & Octavia, 2017, p. 16)
Gambar 2.4 Busana Baba dengan Pengaruh Eropa  Sumber: (Gumulya & Octavia, 2017, p
+3

Referensi

Dokumen terkait

(2012), terdapat karakteristik utama yang merupakan dimensi budaya organisasi salah satunya adalah orientasi hasil, yang menyatakan bahwa sejauh mana manajemen

Alternatif mempertahankan sistem yang lama dengan membuat beberapa aturan tambahan Alternatif ini dimana Mengurangi peran pemerintah dalam monopoli hal yang berkaitan dengan

 Saus hoisin adalah saus yang terbuat dari pasta kedelai dengan campuran pasta wijen, air jeruk lemon, cuka beras (rice vinegar), bawang putih, aneka rempah dan cabai merah

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan ibu rumah tangga dalam upaya mengatasi pencemaran lingkungan akibat sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Jatibarang Kota Semarang

Pengertian judul secara keseIuruhan adaIah: Pada perusahaan benang "BINTANG APOLLO" perlu sekali diperhatikan kegiatan pengawasan persediaan bahan baku untuk

persediaan dengan menggunakan sistem teknologi computer dan tidak melakukannya melalui buku lagi, ini akan sangat menghemat waktu dan juga lebih efektif dalam

Sintesis Surfaktan Metil Ester Sulfonat Minyak Jarak dari Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).. Skripsi

Glositis atrofi atau hunter glossitis adalah suatu kondisi yang ditandai oleh lidah mengkilap halus dan nyeri yang disebabkan oleh atrofi dari papila lingual (depapillation)..