• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SEJARAH KARET DI INDONESIA

Pada zaman pra kemerdekaan, kebun karet Indonesia mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1937. Waktu itu produksinya mencapai 650.000 ton. Namun, sesudah itu angkanya menurun terutama karena terjadinya penurunan harga karet. Hingga Perang Dunia II meletus, penurunan produksi terus terjadi di seluruh perkebunan–perkebunan karet Indonesia. Hal ini bertambah semakin buruk dengan terjadinya pergeseran kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintahan Jepang yang kemudian ikut menjajah Indonesia (Tim Penulis, 2008).

Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya mereda di berbagai belahan dunia yang terlibat, maka permintaan karet menunjukkan peninngkatan kembali. Indonesia pun agak merasa lega karena Jepang tidak lagi berkuasa. Perkebunan– perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pengaruhnya terhadap dunia perkebunan karet di seluruh Indonesia sangat positif. Kegairahan untuk meningkatkan produksi karet alam menjalar di semua perkebunan karet (Tim Penulis, 2008).

Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional pada era pasca Perang Dunia II. Kebutuhan karet alam dunia yang besar waktu itu, sebagian besar dipasok oleh Indonesia. Sayangnya posisi sebagai produsen karet utama dunia ini tidak diikuti dengan langkah – langkah penunjang. Pengelolaan kebun karet kurang baik dan perluasan perkebunan karet kurang dilakukan. Langkah yang lebih penting, yaitu peremajaan tanaman – tanaman karet tua juga hampir tak dipikirkan. Wajar bila kemudian terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia. Situasi politik dalam negeri yang kurang stabil juga turut mempengaruhi jumlah produksi. Sementara itu, Malaysia yang memang merupakan saingan utama semakin mengintensifkan pengelolaan perkebunan karetnya. Lembaga penelitian

(2)

6

karet Malaysia berhasil menemukan klon – klon baru yang memiliki kemampuan produksi jauh di atas jenis–jenis karet yang diusahakan Indonesia. Tahun 1959 – 1960 produksi karet Indonesia dikalahkan oleh Malaysia (Haryanto Budiman, 2012).

Pada tahun 1963–1973 produktivitas perkebunan karet Indonesia mulai membaik. Pada periode ini terjadi peningkatan produktivitas yang cukup menonjol. Beberapa hal yang kurang diperhatikan pada periode sebelumnya banyak diperhatikan pada periode ini. Hal–hal seperti peremajaan tanaman, penggunaan pupuk sesuai kebutuhan, pemakaian pestisida, dan penggunaan zat pemacu produksi merupakan penunjang terjadinya peningkatan produksi tersebut di samping perbaikan ekonomi petani karet. Pada periode sebelumnya jumlah tanaman karet tua di Indonesia sebanyak 73 juta batang. Setelah peremajaan tanaman karet tua yang tersisa tinggal sekitar 32 juta batang. Penggunaan pupuk yang hanya mencapai 10.860 ton pada tahun 1963 melonjak menjadi 50.000 ton pada tahun 1973. Jumlah pestisida serta zat pemacu walaupun tidak diketahui secara persis berapa jumlahnya, tetapi jelas ikut meningkat (Haryanto Budiman, 2012).

Peningkatan produktivitas karet alam kembali terjadi pada tahun 1978. Diduga pola pengembangan tanaman karet sistem PIRNES yang banyak dilakukan di daerah pemukinan transmigrasi berperan besar sebagai penyebabnya. Pada saat ini penggunaan klon unggul tanaman karet juga mulai meluas di banyak daerah yang memiliki perkebunan karet. Harga karet alam yang turut meningkat juga memberi motivasi peningkatan produksi. Apalagi rarta–rata hasil yang diterima petani berkaitan langsung dengan harga ekspor sehingga peningkatan harga ekspor turut dirasakan sampai ke tingkat petani (Haryanto Budiman, 2012).

Pada periode 80-an hingga sekarang permasalahan pada dunia perkaretan Indonesia adalah hal yang memang sudah ada sejak lama, tetapi sekarang begitu terasa karena terlalu mencolok. Misalnya, walaupun produksi karet Indonesia tergolong besar di dunia, akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap perkaretan dunia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya mutu produksi karet karet

(3)

7

alam Indonesia. Rendahnya mutu membuat harga jual karet alam di pasaran luar negeri menjadi rendah (Haryanto Budiman, 2012).

Komoditas karet cukup berpengaruh besar terhadap perekonomian negara. Oleh karena itu, penanganan perkebunan karet dan pengelolaan serta pengolahan yang baik merupakan langkah yang tidak dapat diabaikan untuk menunjang kembali jayanya dunia perkaretan Indonesia (Haryanto Budiman, 2012).

2.2. BOTANI DAN MORFOLOGI A. Botani

Dalam dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angjospermae Kelas : Dicotylodonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Havea

Speies : Havea brasiliensi Muell. Arg

B. Morfologi

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbantang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannnya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Tim Penulis, 2008).

1) Akar

Tanaman karet memiliki perakaran tunggal, akar tunggang tanaman karet dapat menembus kedalaman tanah menuju pusat bumi sehingga mampu menompang tanaman. Tanaman yang tumbuh tinggi menjadi kokoh selain itu, dapat menimbun makan serta menyerap air dan zat–zat yang terlarut dalam air. Rambut–rambut

(4)

8

akar merupakan bagian yang sifatnya sementara artinya umurnya pendek dann hanya terdapat pada bagian ujung akar. Jika akar bertambah panjang rambut– rambut akar yang paling jauh dengan ujung lalu mati, tetapi dekat dengan ujungnya diganti dengan yang baru (Ali, 2009).

2) Batang

Batang tanaman karet berkayu keras memiliki banyak cabang atau ranting. Tanaman karet dapat tumbuh tinggi mencapai 28 meter atau lebih. Cabang– cabang batang tumbuh menyudut dan beranting dengan memiliki daun–daun yang lebat. Batang tanaman memiliki lingkar batang yang dapat mencapai 120 cm. Kulit batang menempel kuat pada kayu berwarna coklat sampai coklat tua tergantung pada jenis klon. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Dibeberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Cahyono, 2010).

3) Daun

Bagian batang tempat duduknya atau melekatnya daun disebut buku – buku (modus) tempat di atas daun yang merupakan sudut antara batang dengan daun dinamakan ketiak daun. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3–20 cm panjang tangkai anak daun antara 3–10 cm dan pada ujungnya terdapat kelanjar biasanya terdapat 3 anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptes memanjang dengan ujung meruncing tepinya rata dan gundul (Ali, 2009).

Ukuran tangkai daun dan anak tangkai daun gemuk, sedang dan kurus, tergantung pada klonnya. Panjang tangkai daun dan anak tangkai daun juga beragam dari yang panjang sampai yang pendek tergantung pada klonnya. Helaian daun berwarna daun hijau muda, hijau tua dan hijau kekuningan tergantung pada klonnya (Cahyono, 2010).

Anak daun berbentuk eliptes memanjang dengan ujungnya meruncing, tepi rata dan gundul, daun/pucuk yang pertama keluar adalah daun trifoliate, laminae

(5)

9

menggantung paralel arah ke bawah terhadap petiole dengan warna kemerah merahan dengan betambahnya waktu daun akan berubah menjadi hijau dengan membentuk sudut daun yang mungkin meningkat terhadap trifoliate, laminae dewasa berwarna hijau tua pada bagian permukaan atas dan sekitarnya (Ali, 2009).

4) Bunga

Bunga karet termasuk bunga majemuk tidak terbatas yang terbentuk rangkain dengan tangkai utamanya bercabang dan terdiri atas beberapa helai yang berbentuk kerucut. Bunga betina tumbuh diujung tangkai dan cabangnya. Sedangkan bunga jantan tumbuh disetiap tangkai bunga yang tersusun atas tiga bunga. Kedua bunga memiliki tangkai yang pendek, tangkai berwarna kuning untuk bunga jantan dan kuning kehijauan untuk betina (Ali, 2009).

Serbuk sari berkecambah pada kepala putik untuk membentuk tabung sari, yang berisi dua sel sperma. Bila tabung sari berhasil menembus bakal biji salah satu dari sel sperma membuahi sel telur dan terbentuklah zigot. Pada taraf ini kerpel mulai tumbuh dan membentuk dua dan selanjutnya ovule berubah menjadi biji embrio berkembang dari zigot (Ali, 2009).

2.3. BUDI DAYA KARET A. Pemilihan Lokasi

Karet akan baik pertumbuhannya jika ditanami di daerah yang memiliki ketinggian antara 0–400 m diatas permukaan laut, dengan kemiringan maksimum 45°. Jika ditanam di daerah yang memiliki ketinggian di atas 400 m dari permukaan laut, maka pertumbuhannya menjadi lambat. Apalagi jika tumbuh diketinggian 600 m dari permukaan laut dan tanahnya mulai kritis, hasil yang diperoleh sangat rendah dan mudah terjangkit penyakit meskipun dirawat dengan baik. Walaupun tanaman ini ditanam pada ketinggian antara 0–400 m dari permukaan laut kalau tanahnya bekas persawahan atau selalu tergenang air, maka pertumbuhannya tetap kurang memuaskan (Tim Penulis, 2012).

(6)

10

Dewasa ini pengembangan areal perkebunan karet, baik rakyat maupun besar, ditunjukan pada jenis tanah podsolik merah kuning. Jenis tanah ini terutama dijumpai di empat pulau terbesar di Indonesia, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Tanah ini memiliki sifat asam, berpasir, mudah terjadi pencucian, liat, dan berombak. Selain itu tanah podsolik merah kuning memiliki daya menyimpan air yang sangat rendah sehingga tidak mudah tergenang. Ditinjau dari kesuburannya, jenis tanah ini tergolong sangat rendah hinggah rendah. Rendahnya tingkat kesuburan ini disebabkan karena tanah ini tergolong asam sehingga terjadi fiksasi hara fosfor (P) oleh unsur aluminium (Al) dan besi (Fe) (Tim Penulis, 2008).

Dianjurkan jangan menanam karet didaerah bekas hutan. Tanah bekas kebun karet dan bekas ditumbuhi alang–alang akan lebih baik, asalkan penjalaran akar tidak terhalang. Oleh karena itu, bila diperoleh lapisan cadas atau batu saat penanaman, sebaiknya lapisan itu disingkirkan atau dihancurkan. Tanaman karet menghendaki daerah dengan curah hujan antara 1500–4000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun, yang terbaik antara 2500–4000 mm dengan 100–150 hari hujan (Tim Penulis, 2008).

B. Pengolahan Tanah Dan Persiapan Tanam

Dalam penanaman karet dikenal dua istilah: replanting dan newplanting. Replanting merupakan penanaman ulang tanaman karet setelah tanaman yang lama dianggap tidak ekonomis lagi. Sedangkan newplanting merupakan penanaman bukaan baru yang sebelumnya tidak ditanami karet (Haryanto Budiman, 2012)

Pengolahan tanah dan persiapan tanam kedua cara ini tidak jauh berbeda, yang berbeda hanya penebangan pohon–pohon besar atau alang–alang. Persiapan tanam sebenarnya merupakan perencanaan sebelum penanaman. Persiapan yang teliti akan mengurangi biaya dan pekerjaan (Tim Penulis, 2008).

Pengolahan tanah dimulai dari pembabatan pohon–pohon yang tumbuh. Pembabatan dilakukan dengan cara manual untuk kebun yang tidak luas dan cara mekanik untuk kebun yang luas penggunaan mesin pembabat pohon dan traktor

(7)

11

lebih ekonomis dibanding tenaga manusia yang banyak. Pembabatan pohon dimulai dari pohon yang kecil kemudian pohon yang besar. Setelah itu, pohon – pohon tersebut dikeringkan lalu dibakar atau dibuat kayu bakar. Jika diadakan replanting, pohon karet yang ditebang digunakan untuk kayu bakar di rumah pengasapan dan tidak menutup kemungkinan untuk penggunaan lain.

Setelah pohon dan alang–alang dibabat dan dibakar, tanah dibongkar dengan cangkul atau traktor hingga sisa–sisa akar terangkat. Bersihkan sisa–sisa akar, rizoma, alang–alang, ranting, dan batuan yang besar karena dapat menghalangi pertumbuhan tanaman karet. Alang–alang bisa dibasmi dengan herbisida. Untuk membasmi sisa penyakit akar dapat digunakan fungisida. Kayu-kayu pohon yang tidak bisa dibakar sebaiknya disemprot dengan natrium arsenit (Tim Penulis, 2008)

Selesai dibersihkan, tanah dibiarkan hingga alang–alang benar–benar tidak tumbuh lagi. Tanah yang memiliki kemiringan diatas 10° hendaknya dibuat teras. Lebar teras minimal 1,5 m. Jarak antara teras yang satu dengan yang lain 7 m untuk jarak tanam (7x3) m. pada kemiringan yang sama dibuat satu teras. Jika teras semakin melebar sebaiknya dibuat teras anakan dengan jarak tidak lebih dari setengah lebar teras.

Pembuatan teras dilakukan dengan cara menggali tanah yang landai ke dalam. Tanah galian ini diuruk dibagian bawahnya hingga terbentuk keras. Pembuatan teras dimaksudkan agar tanah tidak mudah tererosi. Pada tanah yang landau biasanya hanya dibuatkan rorak. Rorak ini berguna sebagai pencegah erosi dan sebagai saluran air. Jenis saluaran air lainnya adalah saluran pinggiran jalan yang dibuat sesuai dengan bentuk kemiringan jalan. Kebun karet memerlukan jalan untuk lancarnya pengawasan dan pekerjaan. Pada tanaman replanting, jalan yang lama masihbisa dipakai, tetapi harus diperbaiki. Jenis jalan yang dibuat diareal kebun karet adalah jalan utama, jalan produksi, jalan antar blok, jalan control dan jalan pengangkutan lateks (Haryanto Budiman, 20012).

(8)

12 C. Penanaman

1) Sistem Penanaman Karet

Penanaman karet harus direncanakan sebaik–baiknya. Untuk mendapatkan hasil yang baik diperlukan sistem penanaman yang sesuai. Ada dua sistem penanaman karet, yaitu sistem monokultur dan sistem tumpeng sari (Tim Penulis, 2008).

2) Sistem tumpang sari

Penanaman dengan sistem tumpang sari harus direncanakan dari semula. Jarak tanaman harus sesuai, kalau tidak akan menyebabkan tanaman terlalu rapat. Akibatnya akan terjadi persaingan penyerapan unsur hara (Tim Penulis, 2008) Dalam penanaman terdapat beberapa istilah jarak tanam yaitu jarak segi tiga, bujur sangkar, pagar, jalanan, dan tidak teratur. Jarak pagar dan jalanan disiapkan untuk sistem penanaman tumpang sari (Tim Penulis, 2008).

Dengan jarak jalanan akan diperoleh tanaman yang pertumbuhan dan produksinya baik. Hal ini disebabkan karena penyinaran matahari terjadi dengan sempurna. Pada sistem ini juga ditanam tanaman pelindung misalnya lamtoro (Tim Penulis, 2008).

Sistem penanaman jarak pagar dimaksudkan untuk penanaman dengan sistem tumpang sari dan monokultur. Jika sistem penanamannya tumpang sari, maka jarak tanam di dalam barisan tanaman dibuat rapat dan jarak tanam antar barisan dibuat renggang. Yang terpenting adalah penyinaran matahari bisa terjadi dengan sempurna (Tim Penulis, 2008).

3) Sistem monokultur

Pada sistem monokultur, sistem penanamannya dengan jarak segi tiga, bujur sangkar, dan tidak teratur. Sistem jarak segitiga dan bujur sangkar menghasilkan jarak tanam yang teratur dan hanya bisa diterapkan pada penanaman di tanah datar sampai agak datar. Sedangkan jarak tidak teratur hanya untuk penanaman karet ditanah miring yang diteras. Penanaman dengan sistem jarak tidak terartur membuat penampakan barisan tidak sempurna. Namun, pada banyak perkebunan

(9)

13

sistem jarak tidak teratur ini yg sering dijumpai, selain sistem jarak segi tiga (haryanto Budiman, 2012).

D. Cara penanaman bibit 1) Pembongkaran bibit

Bibit okulasi yang akan ditanam di kebun biasanya diperoleh dari kebun pembibitan atau dai polybag. Untuk memindahkannnya, bibit ini harus dibongkar terutama bibit yang berasal dari kebun pembibitan (Haryanto Budiman, 2012). Pengambilan bibit disesuaikan dengan jenis bibit yang akan ditanam. Biasanya petani menanam bibit stum mata tidur yang sudah mempunyai 2–3 payung daun. Bibit tersebut diperlakukan seperti sudah diuraikan dalam cara memperoleh bibit stum mata tidur. Demikian juga untuk bibit stum mini dan stum tinggi. Penyedian bibit stum tinggi diperuntukkan bagi bibit penyulaman (Haryanto Budiman, 2012).

Pembongkaranbibit dilakukan dengan jalan menggali parit 50 cm disisi barsan bibit. Kemudian bibit dipegang pada bagian atas okulasi dan dicabut. Perlu diingat bahwa jumlah akar tunggangnya harus satu buah dan lurus. Jika terdapat lebih dari satu, akar yang lain dipotong. Setelah itu, bibit siap ditanam (Haryanto Budiman, 2012).

2) Pengangkutan

Bibit yang siap ditanam sering harus menempuh jarak yang cukup jauh walaupun masih terletak dalam satu kebun. Hal ini sering terjadi pada bibit–bibit yang diperoleh dari pembibitan lapangan (Tim Penulis, 2008).

Perlakuan untuk bibit yang harus menempuh jarak yang cukup jauh dilakukan dengan membungkus bibit. Tujuannya untuk menghindari terjadi kerusakan mata tunas atau batang okulasi. Bahan pembungkus yang bisa digunakan adalah gebokan pisang yang disusun selapis demi selapis dan di antaranya disusun bibit karet. Susunan harus rapat agar tidak terjadi pergeseran bibit dalam pengangkutan. Selain gedebok pisang, bisa juga digunakan karung goni atau sabut kelapa. Cara penggunaannya sama dengan jika menggunakan gedebok pisang (Tim Penulis, 2008).

(10)

14

Jika bibit berasal dari okulasi dalam kantung plastik, pengangkutan langsung dilakukan bersama kantongnya. Pembongkaran bibit bisa dilakukan pada saat ditanam di kebun. Bibit dalam kantong plastik ini paling praktis karena persentase kamatian bibit akibat pengiriman yang terlalu jauh bisa diperkecil (Tim Penulis, 2008).

E. Pelaksanaan penanaman 1) Penanaman karet

Sebelum penanaman, lubang tanam harus sudah siap. Lubang tanam dibuat dengan jarak antar lubang (7x3) m. Pembuatannya dimulai dengan mengajir lubang tanam sesuai jarak tanam tersebut (Haryanto Budiman, 2012).

Jika tanah yang disiapkan dibentuk nteras kontur yang jarak antarterasnya 7m, maka ajir dipancang pada barisan dengan jarak 3 meter. Sedangkan pada tanah datar tanpa teras, pemancangan dilakukan sesuai sistem penanamannya dengan jarak 7 m ke arah utara–selatan dan 3 m ke arah timur–barat. Perlu diingat bahwa tanah dengan kemiringan di bawah 10% digunakan larikan dan bila lebih digunakan teras.(Haryanto Budiman, 2012).

Lubang tanam untuk okulasi stum mini atau bibit dalam kantong plastik adalah (60 x 60 x 60) cm. Sedangkan untuk bibit okulasi stum tinggi umur 2–3 tahun adalah (80 x 80 x 80) cm. Jika panjang akar tunggang bibit stum tinggi lebih dari 80 cm, maka di bagian tengah lubang tanam ditugal sedalam 20 cm (Haryanto Budiman, 2012).

Selain bentuk kubus di atas, ada bentuk lubang tanam lain yang juga sering dipakai, yaitu bulat silinder dan bentuk bujur sangkar yang miring ke bawah. Bentuk miring ini disebabkan karena cangkul atau alat lain tidak bisa membentuk kubus (Haryanto Budiman, 2012).

Pada waktu menggali lubang tanam, lapisan tanah top soil atau tanah subur dipisahkan dari lapisan tanah di bagian bawah atau subsoil (Tim Penulis, 2008). Setelah lubang tanam disiapkan, bibit dapat ditanam. Pada waktu penanaman, akar tunggang harus lurus masuk ke dalam tanah. Akar yang letaknya miring akan menghambat pertumbuhan bibit. Jika bibit berasal dari okulasi kantomg plastik,

(11)

15

harus yang baru daun 2–3 buah. Dibit dan kantong plstiknya dimasukkan dalam lubang tanam dan dibiarkan selama 2–3 minggu. Ssetelah itu, kantong plastik dibuka dan tanahnya diuruk kembali (Tim Penulis, 2008).

2). Penanaman tanaman penutup tanah

Untuk menahan dan mencegah terjadinya erosi, dilakukan penanaman tanaman penutup tanah. Selain itu, tanaman penutup tanah bisa mempercepat matang sadap dan mempertinggi hasil lateksnya. Jenis tanaman penutup tanah dibedakan atas tiga golongan, yaitu tanaman merayap, tanaman semak dan tanaman pohon (Haryanto Budiman, 2012).

Tanaman merayap umumnya terdiri dari atas rumput dan jenis Legumimosae seperti Pueraria javanica, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides. Biasanya jenis Leguminosae ini dipadu dengan perbandingan (4:6:8) kg per hektar pada setiap tanam. Hampir setiap perkebunan karet menggunakan tanaman penutup tanah dari golongan merayap (Tim penulis, 2008).

Tanaman bentuk semak yang bisa dipakai seperti Crotalaria usaramoensis, C. Jucea, C. Anagyroides, Tephrosia Candida, dan T. Vogelili. Sedangkan golongan pohon yang biasa dipakai adalah petal cina (Leucaena glauca). Tanaman penutup tanah bentuk pohon ini jarang digunakan karena karet tidak memerlukan tanaman naungan. Namun, di daerah yang sering terjadi angin dan serangan babi hutan sering ditanam untuk mencegahnya (Tim Penulis, 2012).

F. Kebutuhan Bibit

Kebutuhan bibit tiap hektar dipengaruhi oleh jarak tanam (7x3) m jumlah pohon yang bisa ditanam untuk satu hektar adalah 476 pohon. Di samping bibit yang ditanam langsung, disiapkan pula bibit untuk sulaman sebanyak 5% dari jumlah yang akan ditanam sehingga jumlah bibit yang harus dipersiapkan berjumlah 500 batanng (Haryanto Budiman, 2012).

(12)

16 G. Perawatan Tanaman Sebelum Menghasilkan

Perawatan tanaman sebelum menghasilkan meliputi kegiatan penyulaman, penyiangan, pemupukan, pemeliharaan tanaman penutup tanah, serta pengendalian hama dan penyakit (Haryanto Budiman, 2012).

1). Penyulaman

Kematian tanaman karet setelah penanaman masih dapat ditolerir sebanyak 5%. Pemyiapan bibit untuk penyulaman dilakukan bersamaan dengan penyiapan bibit untuk penanaman agar diperoleh keseragaman bibit yang tumbuh (Tim Penulis, 2008).

Penyulaman jangan dilakukan pada saat tanaman berumur satu tahun sampai dua tahun. Tahun ketiga tidak ada lagi penyulaman tanaman.

Penyulaman jangan dilakukan pada saat terik matahari. Sebelum dilakukan penyulaman harus diketahui dahulu penyebab kematian bibit. Jika kematiannya disebabkan oleh jamur atau bakteri, sebaiknya tanah bekas bibit yang mati diberi fungisida (Tim Penulis, 2008).

2). Penyiangan

Penyiangan gulma dapat dilakukan dengan cara manual dan kimia. Cara manual biasanya dilakukan dengan bantuan parang atau cangkul. Penyiangan dengan cara manual dilakukan 2–3 kali setahun. Sedangkan secara kimia gulma dapat diberantas dengan herbisida.

Menurut Haryanto Budiaman, (2012) pemilihan herbisida tidak boleh sembarangan. Jika salah penggunaannya, maka bisa terjadi efek lain yang merugikan. Pemilihan jenis herbisida ditentukan oleh beberapa hal sebagai berikut.

a. Jenis, sifat, penyeberangan gulma, kerapatan tumbuh, daya perkembangbiakan, serta tingkat toleransi dari gulma.

b. Keadaan pelarut untuk herbisida mudah diperoleh dan bebas dari sifat asam atau alkalis.

(13)

17

d. Lamanya daya bunuh herbisida setelah terkena udara, sinar, tanah, mikroorganisme, air, dan suhu.

e. Besarnya dosis dan hubungannya dengan harga.

f. Cara kerjanya kontak, sistemik, atau terserap oleh akar. g. Kemampuan membunuh baik.

Jika hal–hal tersebut diikuti maka pemberantasan akan berhasil dengan baik. Kemungkinan gulma tumbuh lagi menjadi sangat kecil. Pemberantasan antara 2–3 kali setahun.

3). Pemupukan tanaman

Pemupukan tanaman diberikan untuk mempercepat pertumbuhan dan matafig sadap. Cara–cara pemupukannya ada dua macam, yaitu manual circle dan chemical strip weeding. Pemupukan dengan cara manual circle dilakukan dengan terlebih dahulu membuat saluran melingkar di sekitar pohon dengan jarak dari pohon ke saluran disesuaikan umur tanaman. Umur 3-5 bulan, saluran melingkar dibuat pada jarak 20–30 cm, 6–10 bulan dengan jarak 20–45 cm, 11–20 bulan dengan jarak 40–60 cm, 21–48 bulan dengan jarak 40–90 cm, dan lebih dari 48 bulan dengan jarak 50–120 cm. Setelah itu, pupuk ditaburkan di saluran yang telah dibuat, kemudian ditutup kembali tanah. Pemupukan dengan cara chemical strip weeding dilakukan dengan meletakkan pupuk di luar jarak 1-1,5 meter dari barisan tanaman. Cara pemberiannya sama dengan cara di atas (Tim Penulis, 2008).

Pemberian pupuk jangan dilakukan pada musim penghujan karena pupuk akan cepat tercuci oleh air hujan. Pemberian pupuk dilakukan pada saat pergantian musim, antara musim penghujan ke musim kemarau (Tim penulis, 2008).

Jenis pupuk yang diberikan adalah urea (45%N), SP36 (36% P205), dan KCL

(50% K20). Dosis pemupukan berbeda untuk tiap jenis tanah. Dosis pemupukan

tanaman sebelum menghasilkan untuk jenis tanah podsolik merah kuning dan latosol dapat dilihat pada tabel berikut (Tim Penulis, 2008).

(14)

18

Tabel 2.1. Dosis pemupukan tanaman belum menghasilkan untuk tanah podsolik merah kuning

Umur (bln)

Jenis Pupuk (g/pokok/aplikasi) Urea SP36 KCL 3 21,73 44,40 13 9 43,47 88,81 26 15 65,21 133,21 36 21 86,95 177,63 52 27 108,69 222,03 65 33 130,43 267,83 78 39 173,91 355,25 104 45 217,39 444,07 150 51 260,86 532,89 156

Tabel 2.2. Dosis pemupukan tanaman belum menghasilkan untuk tanah latosol Umur

(bln)

Jenis Pupuk (g/pokok/aplikasi) Urea SP36 KCL 3 21,73 28,78 15 9 43,47 57,56 30 15 65,21 86,35 45 21 86,95 115,13 60 27 108,69 143,90 75 33 130,43 173,51 90 39 173,91 219,24 120 45 217,39 255,75 150 51 260,86 287,82 180 Sumber : Balai Penelitian Perkebunan Sembawa (2008)

4). Seleksi dan penjarangan

Seleksi pohon yang sehat dan homogen menjelang masak sedap perlu dilaksanakan. Pohon yang tetap tertinggal adalah pohon yang benar–benar baik dan tidak terserang penyakit. Sedangkan penjarangan dilakukan dengan cara membongkar pohon–pohon yang tidak baik dan terserang penyakit

Biasanya dari 476 bibit yang ditanam, yang bisa tumbuh yang baik hanya 95% atau sebanyak 452 pohon. Dari jumlah ini diramaikan akan bisa disadap sebanyak 400 pohon (Tim Penulis, 2008).

(15)

19 5). Pemeliharaan tanaman penutup tanah

Tanaman penutup tanah perlu dipupuk. Pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk hujau jenis Leguminosae. Selain pemupukan dengan pupuk hijau bisa juga digunakan pupuk lain bersamaan (Tim Penulis, 2008).

Selain pemupukan, tanaman penutup tanah perlu disiangi dengan cara dibersihkan bagian atas jika tanaman sudah menunjukkan pertumbuhan yang meninggi. Pembersihan dilakukan secara manual dengan bantuan parang.

G. Perawatan Tanaman Yang Sudah Menghasilkan

Memasuki tahun ke-5 dari siklus hidup karet yang baru saja lepas dari komposisi I, yaitu masa tanaman belum menghasilkan, tanaman karet sudah disebut tanaman yang menghasilkan. Siklus hidup tanaman menghasilkan ini disebut komposisi II. Pada tahun ini tanaman karet sudah mulai disadap. Namun, adakalanya dari sejumlah pohon karet yang berumur empat tahun itu ada pohon yang belum bisa disadap. Tanaman karet yang bisa disadap pada usia empat tahun ini belum mencapai 100%. Biasanya dari 476 pohon, yang benar–benar matang sadap hanya sekitar 400 pohon (Tim penulis, 2008).

Di PTP XVIII tanaman menghasilkan digolongkan menjadi dua jenis, yaitu tanaman menghasilkan tertunda dan tanaman yang benar–benar meghasilkan. Tanaman menghasilkan tertunda terdiri dari tanaman abnormal, tanaman yang terlambat pertumbuhannya, dan tanaman yang baru saja terserang penyakit. Dengan adanya masalah semacam itu, PTP XVIII mengadakan perbaikan– perbaikan sehingga diperoleh tanaman matang sadap yang serentak (Tim Penulis, 2008).

Untuk mendapatkan hasil lateks yang merata setiap pohon dengan rata–rata lateks yang sesuai, pohon karet harus dirawat sebaik–baiknya. Tujuan perawatan ini antara lain mencegah erosi, mempertahankan pertumbuhan tanaman penutup tanah, serta mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit yang merugikan.

(16)

20 1). Penyiangan

Penyiangan dapat dilakukan denan cara manual, kimiawi, biologis, dan kombinasi kimiawi–biologis. Cara manual ini hanya bisa dipakai jika kebun karet tidak luas karena semakin banyak menggunakan tenaga kerja.

Penyiangan cara kimiawi banyak dilakukan di perkebunan karet karena lebih praktis dan efektif. Namun, penggunaan herbisida harus diperhatikan jangan sampai merusak tanaman karet. Biasanya herbisida yang digunakan ada dua jenis, yaitu herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak sifat nya membunuh gulam secara kontak langsung dengan gulmanya. Sedangkan herbisida sistemik bersifat seperti stomata dan akhirnya membunuh gulma (Tim Penulis, 2008).

2). Pemupukan

Kekurangan usur hara pada tanaman karet pada hakekatnya berhubungan erat dengan kebutuhan unsur untuk pertumbuhan dan penyadapan. Tanda – tanda kekurangan unsur hara bisa di perhatikan dari penampakan tanaman. Menghemat biaya, maka jumlah pohon sangat diperlukan untuk penetuan banyaknya pupuk yang digunakan. Pohon–pohon yang baik untuk disadap pemupukannya dihtung perpohon.

Waktu pemupukan tidak bisa karena masing–masing daerah di Indonesia berlainan sifat dengan keadaan iklimnya. Sedangkan pengadaan pupuk harus disiapkan agar jangan sampai disimpn untuk pemupukan berikutnya, apalagi nitrogen yang cepat mundur kadarnya. Karena itu, pupuk hanya bisa dipakai untuk sekali saja.

3). Peremajaan

Peremajaan tanaman karet dilakukan pada kebun–kebun karet yang pohonnya sudah tidak berproduksi dengan baik. Karet yang sudah tua ditebang dan akarnya dibongkar. Kayu karetnya bisa digunakan kayu bakar dalam proses pembuatan karet olahan seperti dalam pengasapan.

Perlakuan peremajaan dilakukan seperti pada saat penanaman baru. Hanya saja, pda penanaman bibit perlu dilakukan pemupukan karena tanah bekas kebun karet

(17)

21

sangat kurang unsur haranya. Tanaman penutup tanah hendaknya diganti dengan yang baru untuk menghindari serangan bakteri dan jamur.

2.4. TEKNIS PEMELIHARAAN TBM

Pada masa TBM, tanaman diharapkan memiliki kemampuan untuk tercapainya kriteria matang sadap yang lebih cepat melalui pertumbuhan ukuran lilit batang, tingkat homogenitas yang tinggi, dan mempertahankan populasi tetap optimal. Pemeliharaan dilakukan untuk memperoleh tanaman karet yang dapat disadap lebih cepat, yaitu < 5 tahun (Sembiring, 2012).

Pada TBM yang berumur lebih dari satu tahun biasanya dilakukan pemupukan ekstra diikuti dengan pengurangan tajuk tanaman yang berada disekitarnya, tujuan agar mendapatkan sinar matahari untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang terhambat. Dasar utama dari evaluasi TBM adalah besarnya lilit batang (Nugroho, dkk 2007). Berikut akan disajikan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Lilit batang tanaman karet umur 1–5 tahun pada berbagai kondisi pertumbuhan.

Tahun Ke Lilit batang (cm)

sangat Lambat Lambat Normal

1 7 7-8 9-10

2 <14 14-17 18-20 3 <24 24-27 28-31 4 <30 32-36 37-40 5 <40 40-44 45-47 Sumber : Pusat Penelitian Karet

Pemeliharaan TBM meliputi inventarisasi tanaman, penyulaman, pembuangan tunas palsu, induksi cabang pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, dan pemupukan. Pembuangan tunas palsu dan induksi cabang merupakan bagian dari pengelolaan tajuk (Sembiring, 2012).

Menurut Siagian (2011) tujuan pengelolaan tajuk pada masa TBM adalah untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang jagur, homogen dan mempertahankan populasi tetap optimal. Dengan demikian hasil akhir yang diharapkan pada masa

(18)

22

TBM yang singkat yaitu ≤ 4 tahun, dan produktivitas yang tinggi terutama pada tahun pertama sadap (1.300 kg/ha).

Salah satu faktor yang mempengaruhi kerusakan tanaman karet akibat angin adalah bentuk tajuk. Ditinjau dari tipe percabangan, tajuk dengan satu batang utama yang dominan dengan cabang–cabang utama berlilit batang relatif lebih kecil dan membentuk sudut cabang besar terhadap batang dinilai toleran terhadap angin. Disamping itu, tanaman karet yang toleran terhadap gangguan angin juga memiliki pertumbuhan batang yang tegak lurus, dan bertajuk padat. Sebaiknya, tajuk dengan batang yang tinggi dan mempunyai lebih dari satu cabang yang dominan sehingga batang utamanya kehilangan dominasi, relatif peka akan gangguan angin (Siregar, 1990).

A. Inventarisasi Tanaman

Inventarisasi tanaman pada masa TBM berguna untuk menetukan kebijakan selanjutnya pada program penyisipan, pemupukan dan pengendalian hama/penyakit. Inventarisasi tanaman yang mati, rusak, daunnya mengunung dan terserang penyakit mulai dilakukan tiga sampai empat minggu setelah penanaman dan segera diganti dengan tanaman yang sehat atau segar dengan bibit polybag stadia satu dan dua payung daun tua (Siagian, dkk 2009).

Dibuat pancang dengan tanda khusus pada titik tanaman yang mati, rusak, abnormal, terserang penyakit atau tumbang. Jumlah baris dan jumlah tanaman perbaris dalam satu blok dicatat di kartu tanaman yang telah di persiapkan sebelumnya. Kegiatan inventarisasi dilakukan 6 bulan sekali selama periode TBM (Siagian, dkk 2009).

B. Penyulaman/penyisipan

Penyulaman merupakan kegiatan penggantian tanaman yang mati atau terhambat pertumbuhannya dengan tanaman yang baru. Tujuan penyulaman adalah untuk mempertahankan populasi dan mencapai keseragaman pertumbuhan tanaman. Pemeriksaan tanaman dilakukan dua minggu sekali. Penyulaman dianjurkan

(19)

23

sampai tanaman berumur tiga tahun karena lebih dari tiga tahun dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman kerdil. (Sembiring, 2012).

Penyisipan yang terlambat dengan menggunakan bahan tanam yang tidak seumur dengan tanaman utama menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak seragam. Pada bulan 6 pertama digunakan bibit polybag payung dua, sedangkan umur 7–12 bulan, digunakan polybag payung 3–5. Pada umur tanaman 1-2,5 tahun dapat menggunakan bahan tanam Core Stump (CS) (Siagian, dkk 2009).

Menurut Siagian, dkk (2009) Cs adalah stum tinngi yang akarnya tetap terbungkus polybag. Panjang akar tunggang 60 cm, polybag utuh, mata tunas mulai membengkak dan warna batang coklat. Bahan tanam CS sesuai untuk bahan penyisipan pada umur TBM 1 s.d 2,5 tahun. Penanaman CS yaitu lubang digali ± 70 cm menggunakan Hole digger, tanam CS ke dalam lobang, dan pemadatan tanah tanpa merusak kolom tanah polybag perbanyakan CS terdiri dari 2 tahap yaitu :

1. Pembibitan polybag untuk menghasilkan bahan tanam berstadia satu payung daun

2. Pembibitan CS bahan tanam polybag berstadia satu payung daun yang akan digunakan sebagai bahan tanam pada pembibitan CS.

C. Penunasan/pembuangan tunas palsu

Salah satu kultur teknis yang dilakukan pada tahun pertama dari sejak penanaman di lapangan adalah penunasan. Penunasan merupakan tindak kultur teknis dengan membuang segala tunas yang tidak diinginkan seperti tunas yanng tumbuh dari batang bawah dan tunas yang tumbuh dari batang setinggi 2,8–3,0 m dari pertama pertautan okulasi (Siagian, 2011).

Hingga ketinggian 2,8–3,0 m dari pertautan okulasi tanaman karet harus bebas cabang agar diperoleh bidang sadap yang mulus. Penunasan dilakukan menggunakan pisau tajam, mepet (sedekat mungkin) dengan batang dan dilakukan sedini mungkin pada saat jaringan belum mengkayu. Pada saat penunasan, batang jangan dibengkokkan. Rotasi penunasan dilakukan 12 kali pertahun dengan prestasi 2 ha/HK (Siagian, 2011).

(20)

24 D. Induksi Cabang

Induksi cabang merupakan kegiatan bagian yang dilakukan untuk membentuk percabangan, mempercepat pertumbuhan lilit batang, dan mengurangi kepekaan pohon terhadap angin (Sembiring, 2012).

Beberapa jenis klon lambat membentuk percabangan yang disebabkan oleh sifat dominasi apikal sangat kuat. Dominasi apikal mendorong pertumbuhan tunas terminal tapi menghambat pertumbuhan tunas lateral sehingga menyebabkan tanaman tinggi/kurus. Untuk tanaman seperti itu diperlukan induksi percabangan (Siagian, dkk 2009).

Menurut Siagian, dkk (2009) syarat teknik industri cabang yang ideal : a. Dapat menambah lilit batang

b. Dapat dilakukan sedini mungkin pada tanaman muda dan relatif tidak menimbulkan stres bagi tanaman.

c. Tidak menghambat pertumbuhan tunas apikal sehingga tetap ada batang utama yang lebih dominan sebagai leader.

d. Mudah dilaksanakan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.

e. Membentuk cabang normal dalam jumlah banyak (minimal 3 sampai 4 cabang).

Teknik induksi percabangan cara clipping yaitu induksi cabang dengan clipping dilakukan dengan cara memotong tangkai daun pada payung teratas dan disiakan 3–4 tangkai daun yang paling ujung, pada saat clipping digunakan jangan pendek dan pohon jangan dibengkokkan, clipping dilakukan pada saat payung daun teratas masih berwarna kuning kemerahan sampai dengan hijau muda yang dimulai pada ketinggian 2,8 m dari pertautan okulasi, keberhasilan clipping membentuk percabangan dapat mencapai 75–80% bila dilakukan pada saat musim hujan (Siagian, dkk 2009).

Jika pohon belum berhasil membentuk percabangan, clipping dapat diulang kembali pada payung daun berikutnya, pestasi kerja clipping adalah 2 ha/HK, rotasi 2 minggu sekali, dan pada cara clipping, tetap ada batang utama yang lebih dominan sebagai leader (Siagian, dkk 2009).

(21)

25

Menurut Siagian, dkk (2009) teknik induksi percabangan cara penyanggulan/folding yaitu daun dewasa pada payung teratas secara berkelompok (6 sampai 8 helai daun) dilipat ke arah ujung menyerupai sanggul, dengan demikian titik tumbuh terminal tidak mendapat sinar matahari. Lipatan daun diikat dengan karet dan setelah 4 minggu ikatan karet dibuka, dua sampai tiga minggu setelah penyanggulan, tanaman sudah mulai membentuk cabang, pada cara ini sering kali pucuk terminalnya mati, sehingga batang leader menjadi tidak dominan, prestasi kerja sampai sanggul adalah 1 ha/Hk, dan keberhasilan cara sanggul lebih tinggi dibandingkan dengan cara clipping.

Menurut Siagian, dkk (2009) teknik induksi percabangan cara pemenggalan batang jika cara clipping dan penyanggulan tidak berhasil, maka akhir adalah pemenggalan batang, pemenggalan batang atau topping dilakukan pada ketinggian 2,8–3 m, sedikit ± 5 cm di atas kumpulan mata pada bagian batang berwarna coklat, topping sebaiknya dilakukan pada saat musim hujan, menggunakan gergaji serong yang tajam dan tangga berkaki tiga.

Prestasi kerja pemenggalan batang adalah 2 ha/Hk. Setelah topping, luka dioles dengan TB 192, setelah cabang terbentuk, dilakukan penunasan ringan terhadap cabang, sehingga tajuk menjadi seimbang. Prestasi kerja mengatus keseimbangan tajuk adalah 2 ha/Hk, dan kelemahan toppingadalah jika dilakukan pada jaringan yang masih muda, batang menjadi condong, sehingga peka terhadap serangan angin.

E. Pemangkasan tajuk/topping

Pemangkasan tajuk merupakan kegiatan pemangkasan tajuk dan cabang yang terlalu berat (Sembiring, 2012). Tujuannya yaitu untuk menguragi kepekaan pohon terhadap serangan angin, sehingga populasi tanaman per hektar tetap optimal (Siagian, dkk 2009).

Pada beberapa sentra perkebunan karet terutama di Sumatera Utara, menurunnya populasi akibat angin cukup signifikan sehingga produksi tidak optimal. Kerusakan tanaman karena angin dapat dilihat dari kondisi tanaman atau kondisi angin. Ditinjauan daris segi tanaman, kerusakan yang ditimbulkan angin dapat

(22)

26

terjadi karena beberapa hal seperti pohon terlalu tinngi, pohon tidak lentur, jarak tanam dan tajuk terlalu rapat serta arah baris menimbulkan kontak ysng besar dengan arah angin (Siagian, 2011).

Teknik pelaksanaannya yaitu pada umur 3–3,5 tahun dengan lilit batang ≥35 cm, dilakukan pemangkasan pertama pada ketinggian 6–8 m dari permukaan tanah tergantung pada kondisi tanaman. Pelaksanaannya secara manual, menggunakan tenaga dan gergaji. Norma kerja ±80 pohon/Hk termasuk untuk membersihkan areal. Cabang–cabang yang terlalu berat dipangkas juga, dan pemangkasan kedua dilakukan 2 tahunsetelah sadap, pada ketinggian 1 m di atas pengkasan pertama (Siagian, dkk 2009).

F. Pengendalian Gulma

Tujuan dari penendalian gulma pada TBM karet yaitu menekan gangguan dan kerugian yang ditimbulkan oleh gulma hingga sekecil mungkin, agar pertumbuhan dan produksi tanaman karet optimal serta kegiatan pemeliharaan lainnya tidak terganggu (Siagian, dkk 2009).

Prinsip pengendalian gulma adalah menekan populasi gulma dan mempertahankannya pada tingkat yang tidak merugikan, atau mengendalikan jenis yang tumbuh dari jenis–jenis yang tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Pemberantasan gulma dapat mengakibatkan gundulnya permukaan tanah sehingga mendorong terjadinya erosi. Penggunaan herbisida yang tidak terkendali dapat mengakibatkan pencermaran lingkungan (Siagian, dkk 2009).

Pengertian tingkat yang tidak merugikan dipandang dari dua sudut, yaitu : ambang biologis dan ambang ekonomis. Ambang biologis adalah tingkat maksimun pertumbuhan gulma tertentu yang masih dapat diterima karena belum menimbulkan efek persaingan yang merugikan pertumbuhan dan produksi tanaman. Ambang ekonomis adalah tingkat maksimun pertumbuhan gulma tertentu yang masih dapat diterima karena belum menimbulkan kerugian secara ekonomi (Siagian, dkk 2009).

(23)

27

Tingkat kerugian yang ditimbulkan pada gulma tergantung pada pertumbuhan gulma (periode tumbuh, penutupan, kerapatan dan tinggi), periode pertumbuhan karet, dan topografi.

Pengendalian gulam di perkebunan karet menggunakan tiga teknik yaitu secara manual (mekanis), kultur teknis, dan khemis. Terdapat dua metode yang dapat dilakukan untuk aplikasi pengendalian, yaitu metode piringan (circle weeding) dan metode baris (strip weeding). Metode piringan merupakan pembersihan gulma yang berada disekitar batang sehingga membentuk lingkaran (circle). Metode baris merupakan pembersihan gulma pada barisan tanaman dengan jarak sekitar 1 meter dari batang (Sembiring, 2012).

Pengendalian gulma dilakukan dengan penyiangan pada gawangan dengan rotasi 3 minggu sekali (tergantung kecepatan pertumbuhan gulma). Pengendalian cara ini memerlukan ketelitian dalam pelaksananaan untuk menghindari kerusakan perakaran tanaman karet. Tenaga kerja dan waktu yang dibutuhkan juga lebih banyak. Alternatif lain pada teknik manual ini adalah pembabatan (Sembiring, 2012).

Pengendalian kultur teknis yang biasa di terapkan di perkebunan salah satunya yaitu legume cover crop (LCC), seperti Mucuna bracteate. Tujuan penanaman LCC adalah menekan pertumbuhan gulma, memperbaiki sifat fisik tanah, dan menghasilkan bahan organik yang cukup tinggi. Pengendalian gulma dengan menggunakan LCC ini biasanya dilakukan di perkebunan besar. Perkebunan rakyat belum sepenuhnya menggunakan teknik pengendalian tipe ini karena biaya yang dibutuhkan cukup tinggi dan pemeliharaan seperti penyiangan yang semakin intens karena adanya LCC (Sembiring, 2012).

Pengendalian secara khemis adalah penggunaan herbisida sesuai dengan dosis dan rotasi aplikasi. Pengendalian seperti ini lebih sering dilakukan karena wkatu yang dibutuhkan untuk aplikasi ini lebih cepat, tenaga kerja lebih efisien, dan hasil lebih efektif. Namun kelemahannya adalah memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk memperoleh herbisida tersebut dan membutuhkan pengentahuan dalam aplikasi herbisida. Pada TBM, herbisida yang digunakan dalam pengendalian gulma adalah Round up dengan dosis 120 cc/15 liter air (Sembiring, 2012).

(24)

28

Pengendalian gulma pada areal TBM bernutup tanah kacangan bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan LCC dan tanaman karet (Siagian, dkk 2009).

Teknis pelaksanaan yaitu selama 3 bulan pertama setelah karet ditanam, penyiangan jalur dan gawangan dilakukan 2 minggu sekali dengan norma kerja 10–12 HK ha/rotasi, semua tumbuhan selain tanaman karet dan kacangan (LCC) digaruk dengan radius jalur 1–1,25 m, pada saat menggaruk, sukur kacangan jangan mengganggu (jangan diangkat–angkat), terutama pada LCC jenis M. bracteate (Siagian, dkk 2009).

Selanjutnya, penyiangan dilakukan 3 minggu sekali selama 2 bulan dengan norma kerja 8–10 Hk/ha/rotasi, selanjutnya penyiangan dilakukan 4 minggu sekali dengan norma kerja 5 Hk/ha/rotasi, setelah tanaman berumur 2 tahun, penyiangan jalur dapat dilakukan secara khemis menggunakan Glyphosate (0,1%-0,3%)+2,4 D Amine (0,5%-0,1%), penyemprotan dilakukan 2 bulan sekali dengan norma kerja 2 HK/ha/rotasi atau diselang seling khemis dan manual, pada tahun ke-4 jika ada anak kayu, maka dilakukan pendongkelan dengan rotasi 3–4 bulan sekali. Norma kerja 1 Hk/ha/rotasi, sulur kacangan yang merambat ke batang diturunkan dengan rotasi setiap 2 minggu (Siagian, dkk 2009).

Teknik pengendalian gulma pada areal TBM berpenutup tanah rumput alami yaitu, selama 3 bulan pertama setelah penanaman, penyiangan jalur dilakukan 3 minggu sekali dengan norma kerja 4-5 Hk/ha/rotasi. Lebar jalur 2 m, selanjutnya penyiangan jalur dilakukan 1 bulan sekali dengan norma kerja 4 Hk/ha/rotasi (Siagian, dkk 2009).

Setelah tanaman berumur 2 tahun, penyiangan jalur dapat dilakukan secara khemis menggunakan Glyphosate (0,33%-0,5%) dengan dosis 330–500 ml/ha/ rotasi, pengendalian gulma di gawangan dilakukan secara manual (dibabat) setiap 3 bulan sekali dengan norma kerja 2 Hk/ha/rotasi, dan anak kayu di gawangan di dongkel dengan rotasi 3–4 bulan sekali. Norma kerja 1 Hk/ha/ rotasi (Siagian, dkk 2009).

Buru alang–alang (Imperata cylindcica) dilakukan pada areal yang penyiapan lahannya dilakukan secara manual, sering tumbuh alang–alang. Sejak dari awal tanaman alang–alang harus sudah diberantas sampai habis, dan selanjutnya

(25)

29

dikontrol dengan pekerjaan memburu alang–alang. Jika alang–alang tumbuh secara sporadic, maka dilakukan pekerjaan buru alang–alang. Memburu alang-alang dilakukan secara kimiawi mengunakan herbisida Glyphosate (1%) (Siagian, dkk 2009).

Herbisida diaplikasikan dengan alat penjepit dengan kedua ujungnya dibungkus dengan kain. Penjepit dicelupkan ke didalam larutan dan sedikit ditekan pada pinggir wadahnya, agar tidak terjadi penetesan. Kemudian kedua ujung penjepit dilapkan pada alang–alang dari pangkal sampai ke ujung, sampai daun basah. Dosis herbisida yang dibutuhkan per hekter areal tergantung dari populasi alang– alang. Jumlah bahan yang diperlukan 10–15 ml Gluphosate/ha/rotasi. Rotasi buru lalang dilakukan sebulan sekali selama masih ada pertumbuhan, dengan norma kerja 0,3–0,5 HK/ha/rotasi (Siagian, dkk 2009).

G. Pengendalian Hama dan Penyakit

Kerugian secara ekonomis yang diakibatkan oleh penyakit pada tanaman karet sebenarnya telah lama dirasakan oleh para perkebunan Indonesia akan tetapi perhatian untuk pengendalian penyakit tersebut masih kurang. Pengendalian penyakit tanaman karet dimasa mendatang nampaknya membutuhkan biaya yang besar pengetahuan yang memadai serta didukung oleh prasarana dan sarana, jejaring dan disiplin kerja dari semua pihak yang terlibat (Sujatno, dkk 2007). Berdasarkan Direktorat Perlindungan Perkebunan 2003, jenis–jenis hama pada TBM karet yaitu :

a. Rayap, pengendalian hama rayap dilakukan dengan beberapa cara yaitu mencegah rayap memperoleh jalan masuk ke dalam tanaman inang, mengurangi jumlah rayap yang berada di lokasi tanaman dan membuat tanaman itu sendiri memiliki ketahanan terhadap serangan rayap

b. Uret, pengendalian yaitu mengumpulkan uret di sekitar tanaman terserang dan dimatikan.

c. Babi hutan, pengendalian yaitu dengan cara sanitasi, fisik, biologi dan kimiawi.

(26)

30

Menurut Siagian, dkk (2009) jenis–jenis penyakit TBM karet yaitu : a. Jamur akar putih (Rigidoporus lignosus)

Gejala serangan jamur akar putih (JAP) yaitu daun hijau kusam, menguning, tepi daun menggulung, lebih tebal, akar diliputi benang–benang jarum berwarna putih, jika yang terserang JAP akar tunggangnya tanaman akan tumbang tanpa gejala daun menguning. Metode pengendalian JAP :

1) Kultur teknis

Kegiatan ayap akar saat penyiapan lahan untuk mengumpulkan sisa – sisa akar dan ranting yang dapat menjadi sumber inokulum JAP. Penanaman penutup tanah (LCC) akan mempercepat pelapukan sisa–sisa akar yang tertinggal sehingga mengurangi serangan JAP dan meningkatkan mikroba antagonis terhadap JAP. Kegiatan seleksi untuk memastikan bibit yang terinfeksi JAP tidak ikut terbawa ke lapangan.

2) Pengendalian hayati dengan Triko SP plus

Menaburkan biofungisida Triko SP berbahan aktif jamur Tricoderma sp yang dapat membunuh jamur R. lignosus. Tujuan untuk menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi pertumbuhan JAP. Aplikasi pada waktu kondisi tanah lembab, Triko SP bersifat ramah lingkungan, tidak membahayakan kesehatan dan 20% lebih hemat dibandingkan dengan menggunakan cara khemis.

3) Pengendalian JAP secara kimiawi

Ada dua cara yang dapat dilakukan yaitu dengan penyiraman dan dengan pelumasan. Cara penyiraman efektif apabila tingkat serangan JAP masih pada stadium awal (stadium 1 dan 2), yaitu miselium JAP masih menempel dan belum menetrasi ke dalam jaringan kulit. Kelemahan cara penyiraman adalah bahan mudah tercuci oleh air hujan. Apabila JAP sudah menetrasi ke dalam jaringan kulit (stadium 2 dan 3), maka penyiraman tersebut tidak efektif dan harus dilakukan pelumasan.

Cara pelumasan yaitu pengobatan JAP dilakukan dengan cara menggali tanah disekitar pangkal pohon. Tanah digali sampai leher akar dan dilanjutkan bila akar

(27)

31

leteral juga terserang. Penggalian tanah menelusuri perakaran yang terserang jamur sampai batas akar yang tidak terserang. Setelah tanah digali, akar kemudian dikerok dengan sebilah bambu tipis untuk menghilangkan jamur yang melekat. Jika terdapat perakaran yang terinfeksi berat dan menunjukan gejala pembusukan maka dilakukan pemahatan.

Selanjutnya akar dibersihkan dengan kain lap kemudian, akar diolesi dengan fungisida Anvil 50 SC atau Bayleton 250 E atau Calixin 750 EC yang telah dicampurin dengan lateks. Pencampuran Anvil 50 SC dengan lateks dilakukan dengan takaran 130 cc Anvil 50 SC ditambah 1000 cc lateks dengan Kadar Karet Kering (KKK) 40% dan diaduk selama 90 menit. Dalam satu regu ayang terdiri dari 2 orang mampu menyelesaikan 4–6 pohon/ha.

b. Penyakit gugur daun

Penyakit gugur daun terdiri dari Corynespora cassicola. Colletotrichum gloeosporiodes dan Odium hevea. Secara kultur teknis, penyakit gugur daun dapat dikendalikan dengan menurunkan kelembaban di dalam kebun dengan cara perbaikan drainase, pengolaan gulma secara normatif, pemangkasan tajuk strata bawah hingga ketinggian 3–4 m, dan pemupukan normatif.

c. Jamur upas (Corticium salmonicolor)

Pengendalian dapat dilakukan secara kultur teknis dan secara kimiawi. Secara kultur teknis, pengendalian gulma secara intensif/total, pemangkasan tajuk strata bawah hingga ketinggian 3-4 m, pembuatan parit agar tidak ada genangan air di dalam kebun dan pemupukan sesuai anjuran.

d. Fusarium

Pengendalian yaitu pada batang atau cabang yang terserang dikerok kulitnya kemudian diobati dengan pengolesan fungisida. Selanjutnya dilakukan penyemprotan insektisida untuk mencegah serangan kumbang penggerek batang, dan juga dilakukan penyiraman fungisida pada daerah perakaran pada tanaman yang terserang. Serangan yang terdapat pada tanaman berumur < 1 tahun dapat

(28)

32

dilakukan dengan cara pembuangan jaringan yang terserang. Pemotongan dilakukan 20–30 cm di bawah jaringan yang masih tampak sehat. Tanaman yang mati dikumpulkan dan dibakar untuk mencegah penularan penyakit ini pada tanaman lain yang sehat. Untuk pencegahan tanaman sehat disekitar tanaman sakit dapat dioles cabang atau batangnya dengan fungisida.

H. Pemupukan

Pada dasarnya pemupukan bertujuan untuk mempertahankan kesuburan tanah serta menjaga kelestariannya, menjaga keseimbangan hara tanah dan tanaman, meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan dan mempertahanan produksi, dan meningkatkan ketahanan tanman terhadap serangan penyakit (Thomas, dkk 2010).

Secara umum tanaman karet yang kuraang atau tidak mendapat pemupukan yang sempurna akan menunjukkan gejala tanaman kerdil, daun berwwarna pucat dengan ukuran kecil, ukuran lilit batang lebih kecil dari ukursn standar, periode TBM lebih dari 6 tahun, produksi karet kering jauh di bawah angka taksiran, jika daunnya dianalisir dilaboratrium angka–angka N,P,K dan Mg berada pada taraf di bawah rendah sampai dengan sangat rendah (Thomas, dkk 2010).

Pada pemupukan ada 4 T yaitu tepat jenis, tepat dosis, tepat cara dan tepat waktu. Menurut Thomas, dkk (2010) dosis pupuk seharusnya diberikan dalam jumlah yang cukup. Dosis pupuk yang terlalu sedikit, hanya akan dimanfaatkan oleh jasad renik dalam tanah serta gulma, sedangkan tanaman utama mungkin kurang bisa memanfaatkan. Sebaliknya dosis pupuk yang terlalu tinggi merupakan pemborosan.

Biaya pemupukan yang dikategori sebagai biaya produksi, cenderung semakin tinggi terutama karena harga pupuk yang semakin naik akibat dicabutnya subsidi pupuk, kenaikan upah, transport, dan biaya tidak langsung lainnya. Akan tetapi dipihak lain pemupukan mutlak diperlukan karena berpengaruh langsung kepada pemeliharaan kesehatan tanaman dan kemantapan produksi. Oleh karena itu, dalam progaram semakin dituntut usaha untuk meningkatkan efisiensi pemupukan

(29)

33

dengan nilai tambah dari kenaikan produksi yang dapat memberikan keuntungan yang layak (Istianto dan E. Purnomo, 2003).

Menurut Siagian, dkk (2009) pada beberapa hal yang pada diperhatikan dalam aplikasi pemupukan, yaitu lokasi letak tebar pupuk harus bebas dari gulma, dua minggu setelah pemupukan letak tabur pupuk harus dibersihkan/disemprot, jika menggunakan pupuk tunggal, pencampuran pupuk harus benar–benar homogenya dan campuran pupuk segera digunakan dan tidak dianjurkan melebihi waktu 24 jam setelah dicampur (untuk menjamin efektivitas pemupukan sebaiknya masin– masing pupuk tunggal tersedia dalam waktu yang bersamaan), keadaan tanah yang lembab pada saat aplikasi pupuk sangat diperlukan untuk menjamin daya larut pupuk (sebaiknya pemupukan dilakukan setelah hujan turun dengan curah hujan ≥ 600 mm/bulan).

Pada pengujian pupuk majemuk pukalet pada tanaman TBM dan TM karet, telah dilakukan pengambilan contoh tanah untuk tujuan analisa kesuburan tanah pada areal yang akan dijadikan lokasi percobaan dan perlakuan pemupukan (Istianto, 2006).

Hasil percobaan pemupukan pukalet terhadap perkembangan lilit batang di areal TBM pada beberapa kebun di Sumatra Utara selama 12 bulan menunjukkan bahwa, pukelet dengan formulasi 18–10–14–2+TE dapat menyamai pertumbuhan lilit batang TBM karet yang dipupuk dengan pupuk tunggal. Pukalet bahkan menunjukkan trend yang lebih baik (Nugroho dan Istianto, 2010).

Gambar

Tabel  2.1.  Dosis  pemupukan tanaman belum menghasilkan untuk  tanah podsolik  merah kuning

Referensi

Dokumen terkait

Sistem yang digambarkan oleh Tim RPAM PDAM Tirtawening Kota Bandung melingkupi keseluruhan komponen penyediaan air minum, mulai dari sumber air baku, sistem

 Pada tahun pertama melantai di pasar modal, nilai dividen yang dibagikan oleh emiten bersandi saham ASII hanya IDR60.54 miliar, atau dengan rasio 25.49% dari

OSHA: Tiada komponen dalam produk ini pada tahap yang melebihi atau sama dengan 0.1% dikenal pasti sebagai bahan karsinogenik manusia yang mungkin, boleh jadi atau disahkan

• Guru meminta siswa untuk melihat susuatu yang berhubungan dengan Perakitan Komputer (PC)2. • Guru menugaskan siswa membaca buku tentang

Baik kerangka konseptual maupun kerangka teori tidak digambarkan secara jelas dalam jurnal penelitian tersebut, namun pada bagian pembahasan, tinjauan pustaka

Guru sosiologi tidak menerapkan 1 komponen yang tidak dieterapkan yaitu memotivasi siswa.Dari semua komponen keterampilan menutup pelajaran yang terdiri dari 3 komponen

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa