87
ESTIMASI GANGGUAN foF2 IONOSFER DI ATAS SUMEDANG
MENGGUNAKAN MODEL BADAI IONOSFER EMPIRIS DAN NUMERIK
(ESTIMATION OF foF2 IONOSPHERE DISTURBANCE OVER
SUMEDANG USING EMPIRICAL AND NUMERICAL IONOSPHERIC
STORM MODEL)
Anwar Santoso1, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi,
Sri Ekawati, Anton Winarko, dan Siska Filawati Pusat Sains Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jln. DR. Djundjunan 133 Bandung 40173
1e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The time delay of ionospheric response to the geomagnetic storms are varies depending on the geomagnetic storm intensity so they are difficult to estimate. This condition is one of the problems encountered by researchers at Space Science Center-LAPAN in Swifts activity. To determine its response then be made to the model. They are empirical model of the ionosphere response by Araujo-Pradere et al. (2002) and numerical model by Santoso et al. (2016). The purpose of this study was to test the accuracy of both the models. The case studies done at the geomagnetic storms event on January 20, 2016; April 14, 2006; August 24 and 31, 2005 and September 11, 2005. Dst index and foF2 data from BPAA Sumedang BPAA is processed and analyzed. The result showed that both an empirical model and a numerical models are equally good and proper to use in the estimation of the ionospheric foF2 storm at BPAA Sumedang. But, in general, numerical models have better accuracy and more excellent than empirical models. This is indicated by a deviation foF2SMD models and
observations were less than 30% on a geomagnetic storm events on April 14, 2006 (foF2SMD = 27.1%),
24 (foF2SMD = -9.2%) and August 31, 2005 (foF2SMD = 9.4%). Likewise, the value of deviation models,
ΔTpeakfoF2SMD, still less than 30% for geomagnetic storm events on January 20, 2016 (ΔtpeakfoF2SMD
= -2.7%) and August 24, 2005 (ΔtpeakfoF2SMD = 25 7%) so that the model foF2SMD more proper to use
in modeling activities.
Keywords: foF2 ionospheric response, Geomagnetic storm, Empirical ionospheric storm model, Numerical ionospheric storm model
ABSTRAK
Waktu tunda respon ionosfer terhadap badai geomagnet berbeda-beda tergantung intensitas badai geomagnetnya sehingga sulit untuk memperkirakan waktu tunda respon ionosfer. Kondisi inilah yang menjadi permasalahan bagi peneliti di Pussainsa-LAPAN dalam kegiatan SWIFtS. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka dibuatlah model. Salah satunya yang telah dibuat adalah model empiris badai ionosfer oleh Araujo-Pradere et al. (2002) dan model numerik badai ionosfer oleh Santoso et al. (2016). Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji akurasi kedua model badai ionosfer tersebut terhadap badai geomagnet. Studi kasus dilakukan saat badai geomagnet 20 Januari 2016, 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 serta 11 September 2005. Data indeks Dst dan foF2 dari BPAA Sumedang pada tanggal tersebut diolah dan dianalisis. Hasilnya diperoleh bahwa baik model empiris badai ionosfer maupun numerik sama-sama masih layak digunakan untuk kegiatan estimasi badai ionosfer foF2 di BPAA Sumedang. Namun, secara umum model numerik memiliki keakuratan dan kelebihan yang relatif lebih baik dibandingkan model empiris. Hal ini ditunjukkan dengan nilai deviasi foF2SMD model terhadap pengamatan kurang dari 30%, pada kejadian badai
geomagnet 14 April 2006 (foF2SMD = 27,1%), 24 Agustus (foF2SMD = -9,2%) dan 31 Agustus 2005
(foF2SMD = 9,4%). Demikian juga dengan nilai deviasi ∆Tpeak foF2SMD model kurang dari 30% untuk
kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005 (∆tpeak foF2SMD = 25,7%) sehingga model foF2SMD lebih layak untuk dipergunakan dalam kegiatan permodelan.
Kata Kunci: Respon foF2 ionosfer, Badai geomagnet, Model empiris badai ionosfer, Model numerik
88
1 PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang keantariksaan No. 21 tahun 2013 pasal 13 dan 14, LAPAN sebagai lembaga litbang berkewajiban untuk memberikan informasi tentang cuaca antariksa kepada pengguna dan masyarakat. Informasi yang dimaksud meliputi prakiraan, peringatan dini, mitigasi bencana, maupun bantuan teknis. Pusat Sains Antariksa (Pussainsa), Kedeputian Bidang Sains Antariksa dan Atmosfer, LAPAN pada September 2015 lalu, mengembangkan program Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS), sebagai penyempurnaan dari layanan informasi cuaca antariksa sebelumnya yakni Sistem Pemantauan dan Informasi Cuaca Antariksa (SPICA). Salah satu masalah yang ditemui oleh para peneliti Pussainsa dalam SWIFtS adalah kesulitan untuk memperkirakan waktu tunda respon ionosfer di wilayah Indonesia akibat badai geomagnet.
Seperti diketahui bahwa Matahari merupakan sumber penggerak cuaca antariksa. Salah satu fenomena di matahari yang menjadi sumber penggerak cuaca antariksa adalah Coronal Mass Ejection (CME) atau dinamakan juga peristiwa ledakan matahari. Ketika terjadi CME, maka akan terjadi injeksi energi medan listrik ke magnetosfer melalui mekanisme rekoneksi. Energi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan arus cincin di sekitar Bumi yang memicu gangguan medan magnet Bumi dengan skala global. Peristiwa ini dinamakan badai geomagnet (magnetic storm) (Mayaud, 1980; Gonzales et al., 1994; Gopalswamy, 2009; Boudouridis, et al., 2004; Khabarova, 2007; Santoso, 2010; O’Brien dan McPherron, 2000; Russell, 2006). Badai geomagnet menyebabkan gangguan pada ionosfer.
Selama badai geomagnet, energi magnetosfer masuk ke dalam atmosfer atas kutub-kutub bumi. Energi ini dapat memodifikasi proses-proses kimia dan elektrodinamika sistem ionosfer-termosfer
(I-T) secara siginifikan. Konsekuensinya, gangguan densitas elektron ionosfer dan Total Electron Content (TEC) teramati sepanjang badai geomagnet (Mannucci et al., 2005). Sebuah studi oleh Abdu (1997 dan 2001) menunjukkan bahwa selama kondisi terganggu, modifikasi pada Equatorial Ionization Anomaly (EIA), Equatorial Spread-F (ESF) dan Equatorial Electrojet (EEJ) diproduksi oleh: (1) gang-guan medan listrik yang dihasilkan dari penetrasi medan listrik lintang tinggi menuju ekuator dengan cepat, (2) gang-guan dinamo yang digerakkan oleh peningkatan sirkulasi termosfer global yang dihasilkan dari masuknya energi pada lintang tinggi, dan (3) gangguan angin (zonal dan meridional) yang memodifikasi dinamika termosfer ekuator.
Pengaruh badai geomagnet pada ionosfer dapat berupa naik atau turunnya nilai foF2 ionosfer dari mediannya yang dinamakan badai ionosfer. Naiknya nilai foF2 ionosfer dari mediannya dinamakan badai ionosfer positif dan sebaliknya dinamakan badai ionosfer negatif. Pembentukan badai ionosfer positif atau negatif sangat dipengaruhi oleh perubahan angin dan komposisi udara netral, yang mengakibatkan perubahan tingkat rekombinasi dan ionisasi.
Respon ionosfer terhadap badai geomagnet tidak terjadi secara langsung melainkan melalui proses kopling magnetosfer-ionosfer. Rastogi (1999) dalam Yatini et al. (2009) melaporkan bahwa selang waktu antara munculnya badai geomagnet dan gangguan ionosfer adalah sekitar 20 jam. Lusiani et al. (2011), menggunakan data indeks Dst dan foF2 LPD LAPAN Sumedang pada Oktober-November 2003, juga melaporkan bahwa semakin kuat badai geomagnet, semakin cepat respon dari ionosfer untuk terjadinya badai geomagnet ionosfer. Badai ionosfer dapat terjadi dalam selang waktu satu sampai 4 jam setelah kejadian badai geomagnet kuat. Badai geomagnet menengah mengakibatkan badai ionosfer dalam selang waktu satu
89 sampai 10 jam setelah badai geomagnet
tersebut. Sedangkan badai geomagnet lemah mengakibatkan badai ionosfer yang terjadi dalam selang waktu lebih dari 10 jam setelah badai geomagnet menengah tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ionosfer merespon perubahan komposisi termosfer.
Berdasarkan penelitian tersebut dikembangkan model empiris respon ionosfer terhadap badai geomagnet dengan input indeks geomagnet ap (Araujo-Pradere
dan Fuller-Rowell, 2000). Algoritma model empiris tersebut diberikan oleh Fuller-Rowell et al. (1998) dalam Araujo-Pradere et al. (2002) tampak pada persamaan (1-1) dan (1-2). Dalam tulisan ini, yang dimaksud model badai ionosfer empiris adalah model empiris respon ionosfer yang dikembangkan oleh Araujo-Pradere et al. (2002) tersebut.
= {ao + a1X(to) + a2X2(to) +
a3X3(to)} {1 + a4 sin (LT + )} (1-1)
X(to) = F() P(to - ) d (1-2)
Dengan adalah foF2 pengamatan dibagi foF2 median bulanan (foF2 pengamatan/ foF2 median bulanan), F() adalah fungsi pembobotan filter indeks ap dan P(to - ) adalah jumlah indeks ap
dalam 33 jam sebelumnya serta LT dan
. Koefisien a0, a1, a2, dan a3 diatur
untuk menyesuaikan hubungan non-linear antara respon ionosfer dan integral indeks geomagnet ap.
Dengan masukan indeks Dst Kyoto dan foF2 BPAA Sumedang saat kejadian badai geomagnet sepanjang
2005-2012 serta menetapkan koordinat bujur (LT) dan lintang geomagnet () BPAA Sumedang yakni LT = 179,95⁰ BT dan = 16,55⁰ LS maka diperoleh koefisien a0, a1, a2, a3, dan a4, dengan a4 di-set
bernilai 1 sampai 50000. Beberapa contohnya seperti ditampilkan pada Tabel 1-1.
Dengan demikian, bila konstanta a0, a1, a2, a3, dan a4 yang telah diperoleh
dalam Tabel 1-1 dimasukkan ke persamaan (1-1) menjadi, Model=(0.0015+((7.4654 10-6) Dst_Kyoto)+((9.3702 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((3.3744 10-12) x (Dst_Kyoto)3)) (1+30000 (-0.28402)) = (1-3) Model=(0.0014+((6.9987 10-6) Dst_Kyoto)+((8.7845 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((3.1635 10-12) (Dst_Kyoto)3)) x (1+32000 (-0.28402)) (1-4) Mode=(0.0013+((6.587 10-6) Dst_Kyoto)+((8.2677 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.9774 10-12) ( Dst_Kyoto)3)) x (1+34000 (-0.28402)) (1-5) Model=(0.0011+((5.989 10-6) Dst_Kyoto)+((7.0274 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.5308 10-12) (Dst+Kyoto)3)) x (1+40000 (-0.28402)) (1-6) Model=(0.0011+((5.4623 10-6) Dst_Kyoto)+((6.856 10-9) (Dst_Kyoto)2)+((2.469 10-12) (Dst_Kyoto)3)) x (1+41000 (-0.28402)) (1-7)
Tabel 1-1: KOEFISIEN MODEL ARAUJO-PRADERE et al. (2002) DENGAN MASUKAN INDEKS Dst_KYOTO
a0 0,0015 0,0014 0,0013 0,0011 0,0011 a1 7,4654×10 -6 6,9987×10 -6 6,587×10-6 5,989×10-6 5,4623×10-6 a2 9,3702×10 -9 8,7845×10 -9 8,2677×10-9 7,0274×10 -9 6,856×10-9 a3 3,3744×10 -12 3,1635×10 -12 2,9774×10-12 2,5308×10 -12 2,469×10-12 a4 30000 32000 34000 40000 41000
90
Tabel 1-2: PERSAMAAN DAN NILAI KORELASI ANTARA DST MINIMUM DENGAN PEAK foF2SMD,
∆TOnsetfoF2SMD DAN ∆TpeakfoF2SMD
No Parameter Persamaan Korelasi Nilai
Korelasi
1 Dst min dan peak foF2SMD peak = 0,2278 x (Dst Min) - 10,731 R = 55,47%
2 Dst min dan ∆TOnset foF2SMD ∆TOnset = 0,0718(Dst min) + 8,8256 R = 80,32%
3 Dst min dan ∆Tpeak foF2SMD ∆T peak = 0,0387(Dst min) + 19,003 R = 37,46%
Santoso et al. (2016) telah mem-peroleh model numerik respon foF2 ionosfer di BPAA Sumedang (foF2SMD) saat badai geomagnet (indeks Dst) menggunakan data 2010-2015. Persamaan model numeriknya serta nilai korelasinya, ditampilkan pada Tabel 1-2. Dalam tulisan ini, yang dimaksud model badai ionosfer numerik adalah model badai ionosfer numerik yang dikembangkan oleh Santoso et al. (2016) tersebut.
peak foF2SMD = 0,2278 x (Dst Min) -
10,731 (1-8)
∆TOnset foF2SMD = 0,0718(Dst min) +
8,8256 (1-9)
∆T peak foF2SMD= 0,0387(Dst min)+
19,003 (1-10)
Model numerik respon foF2 ionosfer terhadap badai geomagnet di atas Sumedang telah dibangun dengan pengembangan dari korelasi antara respon foF2 ionosfer BPAA Sumedang terhadap kejadian badai geomagnet kuat (Dst < -100 nT) yang terjadi sepanjang 2010-2015. Namun, model numerik tersebut belum dilakukan uji akurasi.
Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji akurasi modifikasi model empiris Araujo-Pradere et al. (2002) yakni Model dan model numerik
respon foF2 ionosfer BPAA Sumedang ((foF2SMD)Model) dengan metode uji akurasi
dalam mengestimasi gangguan ionosfer terhadap kejadian badai geomagnet kuat
(Dst < -100 nT) yang telah terjadi di sepanjang 2005-2009 dan 2016. Alasan pemilihan tahun tersebut sebagai studi kasus adalah karena periode tahun tersebut tidak digunakan sebagai masukan dalam pembangunan model numerik Model BPAA Sumedang.
Pembangunan model numerik Model
BPAA Sumedang dilakukan dengan data periode 2010-2015.
2 DATA DAN METODE 2.1 Data
Data yang digunakan adalah indeks Dst (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dstdir/) dan foF2 ionosfer dari Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) Sumedang dengan koordinat geografis 6,91⁰ LS; 106,83⁰ BT (16,55⁰ LS; BT 179,95⁰ koordinat magnet).
Periode data yang diolah untuk studi kasus adalah 2005, 2006, dan 2016. Indeks Dst digunakan untuk mengidentifikasi kejadian badai geomagnet minimal kelas sedang (Dst < -79,3 nT) menurut kriteria yang diberikan oleh Tim SWIFtS Pussainsa.
Hasil identifikasi badai geomagnet sedang (Dst < -79,3 nT) menggunakan indeks Dst diperoleh lima kejadian badai geomagnet terpilih sebagai studi kasus. Pertimbangannya karena keberadaan data foF2 dari BPAA Sumedang dan indeks Dst pada kelima kejadian badai geomagnet tersebut lengkap. Kelima badai geomagnet terpilih tersebut ditunjukkan pada Tabel 2-2.
91 2.2 Metode
Setelah terseleksi lima kejadian badai geomagnet maka kemudian dilaku-kan perhitungan variasi foF2 ionosfer BPAA Sumedang yang diakibatkan oleh masing-masing kejadian badai geomagnet
tersebut. Klasifikasi tingkat gangguan terhadap foF2 ionosfer menurut standar Space Weather Information and Forecast Service (SWIFtS) di Pusat Sains Antariksa LAPAN, ditampilkan pada Tabel 2-3.
Tabel 2-1: KLASIFIKASI INTENSITAS BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN INDEKS Dst
No Kondisi Geomagnet Indeks K Geomagnet H(Dst)
1 Tenang (Quiet) 1-3 -25,4
2 Aktif (Active) 4 -25,5 – (-44,5)
3 Badai Lemah (Minor Storm) 5 -45 – (-79,2) 4 Badai Sedang (Moderate Storm) 6 -79,3 – (-139,6) 5 Badai Kuat (Major Storm) 7 -139,7 – (-245.9) 6 Badai Sangat Kuat (Severe
Storm)
8 - 246
Tabel 2-2: DAFTAR KEJADIAN BADAI GEOMAGNET (Dst <-79,3 nT) YANG TERPILIH SEBAGAI STUDI KASUS
No Tanggal Kejadian Intensitas Badai Waktu Peak
1 20 Januari 2016 -93 nT 17.00 UT
2 14 April 2006 -98 nT 10.00 UT
3 24 Agustus 2005 -184 nT 12.00 UT
4 31 Agustus 2005 -122 nT 20.00 UT
5 11 September 2005 -139 nT 11.00 UT
Tabel 2-3: KLASIFIKASI BADAI IONOSFER BERDASARKAN DEVIASI foF2 IONOSFER ()
No Kondisi Geomagnet Durasi
1 Tenang (Quiet) -30% < < 30%
2 Mulai terganggu(Minor) > 30% < 10 menit 3 Badai Lemah (Moderat Storm) > 30% < 60 menit 4 Badai Kuat (Strong Storm) > 30% < 120 menit 5 Badai Sangat Kuat (Severe Storm) > 30% < 240 menit 6 Badai Super Kuat (Extreme Storm) > 30% > 240 menit
92
Variasi foF2 ionosfer BPAA Sumedang sebagai respon terhadap badai geomagnet dinotasikan dengan foF2PTN. Formulasinya seperti ditampilkan pada pesamaan (2-1):
(2-1)
∆TOnset foF2SMD = TOnset (foF2SMD) -
TDstminimum (2-2)
∆T peak foF2SMD= TPeak (foF2SMD) –
TDst minimum (2-3) Dengan foF2Obs-PTN adalah foF2 ionosfer pengamatan di BPAA Pontianak dan foF2Med-PTN adalah nilai median bulanan foF2 ionosfer di BPAA Pontianak. Hal sama juga dilakukan menggunakan data foF2 dari BPAA Sumedang pada kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016. Sedangkan nilai pengamatan ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
= foF2observasi/ foF2Median (2-4) dan
foF2= ((foF2data - foF2median)/
foF2Median) (2-5)
Selanjutnya dilakukan plot foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta plot (foF2SMD dan indeks Dst. Kemudian menentukan nilai menggunakan persamaan (1-3) sampai (1-7) dan peak foF2SMD, ∆TOnset foF2SMD serta ∆T peak foF2SMD menggunakan persamaan (1-8) sampai (1-10). Hasilnya kemudian dianalisis dengan metode analisis statistik. Hasil analisis kemudian disimpulkan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3-1 menunjukkan contoh pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD
serta Dst dan foF2SMD saat kejadian badai geomagnet 24 Agustus 2005.
Gambar 3-1: (A) Grafik pola variasi foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta Dst dan (B) foF2SMD saat kejadian
93 Badai geomagnet 24 Agustus
2005 dipicu oleh kejadian flare M5,6 pada 22 Agustus 2015 yang berasosiasi dengan CME. Badai geomagnet tersebut ditandai dengan depresinya indeks Dst yang mencapai nilai minimum di -184 nT pukul 12.00 UT 24 Agustus 2005. Badai geomagnet ini menyebabkan gangguan pada foF2 ionosfer BPAA Sumedang. Dari Gambar 3-1 di atas terlihat bahwa onset gangguan foF2 ionosfer BPAA Sumedang terjadi pada pukul 11.00 UT 24 Agustus 2005 atau satu jam sebelum indeks Dst mencapai nilai minimumnya. Puncak gangguan foF2 ionosfer BPAA Sumedang terjadi beberapa saat kemudian atau bersamaan dengan fase recovery badai geomagnet. Dari Gambar 3-1 dan persamaan (2-4) dapat tentukan nilai foF2 BPAA Sumedang yang terdepresi maksimal yakni 5,46 MHz (pukul 14.00 LT 25 Agustus 2005) dan nilai median foF2-nya yakni 11,975 sehingga nilai BPAA Sumedang adalah 0,54196242. Nilai model dari
persamaan (1-3) sampai (1-7) dengan memasukkan total 33 nilai indeks Dst mundur dimulai dari nilai Dst minimum (-184 nT) = -424 nT, hasilnya seperti ditunjukkan pada Tabel 3-1. Terlihat bahwa nilai model yang terdekat dengan nilai data (0,542) adalah 1,99 dengan a4 = 40000. Nilai model yang
diperoleh tersebut empat kali dari nilai
data atau kesalahannya sebesar 267,16%. Dengan demikian, dapat dikatakan akurasi model untuk kejadian badai geomagnet 24 Agustus 205 kurang bagus.
Dari Gambar 3-1 juga diperoleh nilai pengamatan foF2SMD, ∆tonset foF2SMD dan ∆tpeak foF2SMD, seperti ditunjukkan pada Tabel 3-2. Nilai model foF2SMD, ∆tonset foF2SMD dan ∆tpeak foF2SMD yang dihitung menggunakan persamaan (1-8) sampai (1-10) dengan memasukkan nilai indeks Dst minimum = -184 nT, juga ditampilkan pada Tabel 3-2.
Tabel 3-1: NILAI MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET TANGGAL 24 AGUSTUS 2005 (Dst MINIMUM = -184 nT dan 33Dst = -424 nT)
Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 (Data)
(-424 nT) 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542
Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai model
(1,99) untuk a4 = 41000 yakni nilai model terkecil dan data yakni 0,541962. Tabel 3-2: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonset foF2SMD; ∆tpeak foF2SMD SAAT BADAI
GEOMAGNET 24 AGUSTUS 2005 (Dst MINIMUM = -184 nT)
Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi
foF2SMD ∆tonset foF2SMD ∆tpeak foF2SMD foF2SMD ∆tonset foF2SMD ∆tpeak foF2SMD foF2SMD ∆tonset foF2S MD ∆tpeak foF2S MD -57,98% -1 jam 16 jam -52,65% -4,4 11,9 jam -9,2% 338,6 % -25,7 %
94
Terlihat bahwa nilai deviasi foF2SMD sebesar -9,2% menunjukkan bahwa selisih antara hasil model dengan pengamatan relatif cukup kecil. Dengan demikian, model foF2SMD layak untuk digunakan. Nilai deviasi ∆tpeak foF2SMD sebesar -25,7% juga bisa dianggap cukup bagus. Sedangkan nilai deviasi ∆tonset
foF2SMD sebesar 338,6% tidak bagus. Hl ini menunjukkan bahwa terdapat selisih yang cukup besar antara hasil model
dengan pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa model untuk ∆tonset foF2SMD masih perlu diperbaiki lebih lanjut.
Cara yang sama seperti di atas juga diterapkan untuk kejadian badai geomagnet lainnya dalam studi kasus yakni 20 Januari 2016, 14 April 2006, 31 Agustus 2005, dan 11 September 2005. Hasilnya seperti ditunjukkan pada Tabel 3-3 dan Tabel 3-4.
Tabel 3-3: NILAI MODEL BPAA SUMEDANG SAAT BADAI GEOMAGNET DALAM STUDI KASUS Nilai Dst a4 = 30000 a4 = 32000 a4 = 34000 a4 = 40000 a4 = 41000 ( Data) () % 20-01-2016 -93 1,34 1,40 1,57 3,29 1,32 0,549 140,44 14-04-2006 -98 0,804 0,861 1,031 2,61 0,775 0,34 127,94 24-08-2005 -184 2,03 2,08 2,26 4,19 1,99 0,542 267,16 31-08-2005 -122 1,5 1,56 1,73 5,44 1,47 0,63 133,33 11-09-2005 -139 0,86 0,92 1,09 7,98 0,83 0,708 17,23
Dengan () dirumuskan [(Mod-Data)/ Data)*100%] adalah deviasi antara nilai model
untuk a4 = 6,304777 (nilai model terkecil) dan data yakni 0,541962.
Tabel 3-4: NILAI PENGAMATAN DAN MODEL foF2SMD; ∆tonset foF2SMD; ∆tpeak foF2SMD PADA BADAI
GEOMAGNET STUDI KASUS
Nilai Pengamatan Nilai Model Nilai Deviasi (%) foF2S MD ∆tonset foF2S MD (Jam) ∆tpeak foF2S MD (Jam) foF2SM D ∆tonset foF2S MD (Jam) ∆tpeak foF2S MD (Jam) foF2S MD ∆tonset foF2S MD ∆tpeak foF2S MD -32% 2.15 15.4 -49% 3 15 53,4 39,5 -2,6 20-01-2016 -35% 1.3 15 -61 7 18 -43 -82 -17 13-10-2016 -26% 5 49 -33,1% 1,8 15,2 27,1 -64,2 -69 14-04-2006 -58% -1 16 -52,6% -4,4 11,9 -9,2 338,6 -25,7 24-08-2005 -35% -1 28 -38,5% 0,07 14,3 9,4 -106,6 -49 31-08-2005 -63% 2 28 -42,4% -1,16 13,6 -32,9 -157,7 -51,3 11-09-2005
95 Dari Tabel 3-3, terlihat bahwa
nilai model = 0,83 bisa dianggap logis terjadi saat badai geomagnet 11 September 2005 dengan nilai a4 = 40000 atau
hanya berbeda 17,23% dari data. Nilai deviasi model pada kejadian badai geomagnet 11 September 2006 terhadap data kurang dari 30% sehingga dapat dikategorikan model sangat bagus.
Dari Tabel 3-4, terlihat bahwa nilai foF2SMD model untuk kejadian badai geomagnet 14 April 2006, 24 dan 31 Agustus 2005 mendekati nilai foF2SMD pengamatan. Nilai deviasi diantara mereka berada di bawah 30%. Demikian juga untuk nilai deviasi ∆tpeak foF2SMD model dan pengamatan masih ada yang berada di bawah 30% yakni pada kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak
foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005 (∆tpeak foF2SMD = 25,7%). Jadi dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa baik model empiris global (Araujo-Pradere et al., 2002) maupun model numerik lokal sama-sama layak dipergunakan untuk kegiatan pemodelan badai ionosfer foF2 di BPAA Sumedang. Namun, memiliki akurasi dan sedikit kelebihan dibanding-kan model empiris. Kelebihan tersebut diantaranya adalah dapat mengestimasi durasi waktu antara Dst minimum dengan foF2SMD mencapai minimum (∆tpeak foF2SMD) dandurasi waktu antara Dst minimum dengan onset foF2SMD mulai terganggu (∆tonset foF2SMD). Oleh karena itu, cukup beralasan untuk lebih mempertimbangkan model numerik sebagai model gangguan foF2 ionosfer BPAA Sumedang (foF2SMD).
4 KESIMPULAN
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa baik model empiris global (Araujo-Pradere et al., 2002) maupun model numerik lokal sama-sama layak dipergunakan untuk kegiatan pemodelan badai ionosfer foF2 di BPAA Sumedang. Namun, secara umum model numerik lokal memiliki keakuratan yang
relatif lebih baik dibandingkan model empiris global. Hal ini ditunjukkan dengan nilai deviasi foF2SMD model terhadap pengamatan kurang dari 30% pada kejadian badai geomagnet 14 April 2006 (foF2SMD = 27,1%), 24 (foF2SMD = -9,2%) dan 31 Agustus 2005 (foF2SMD = 9,4%). Demikian juga dengan nilai deviasi ∆TpeakfoF2SMD model, masih kurang dari 30% untuk kejadian badai geomagnet 20 Januari 2016 (∆tpeak foF2SMD = -2,7%) dan 24 Agustus 2005 (∆tpeak foF2SMD = 25,7%) sehingga model ∆Tpeak foF2SMD juga cukup layak dipergunakan dalam kegiatan permodelan.
Selain itu, dapat dikatakan bahwa model numerik memiliki kelebihan dibandingkan model empiris. Kelebihan tersebut diantaranya adalah dapat mengestimasi durasi waktu antara Dst minimum dengan foF2SMD mencapai minimum (∆tpeak foF2SMD) dan durasi waktu antara Dst minimum dengan onset foF2SMD mulai terganggu (∆tonset
foF2SMD).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Sains Antariksa atas perkenannya menggunakan data ionosfer BPAA Sumedang. Terima kasih juga disampaikan kepada tim scaling ionogram yang telah men-scaling data ionogram untuk mendapatkan nilai foF2 (salah satu parameter ionosfer) BPAA Sumedang yang digunakan sebagai analisis dalam penelitian ini
DAFTAR RUJUKAN
Abdu, M. A., 1997. Major phenomena of the
Equatorial Ionosphere Thermosphere System Under Disturbed Conditions, J.
Atmos. Terr. Phys., 59, 1505–1519. Abdu, M. A., 2001. Outstanding Problems in the
Equatorial Ionosphere Thermosphere Electrodynamics Relevant to Spread-F,
J. Atmos.Terr. Phys., 2001,63, 869–884. Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell, 2000.
T. J. A Model of a Perturbed Ionosphere using the Auroral Power as the Input,
96
Araujo-Pradere, E. A., and Fuller-Rowell T. J., 2002. STORM: An Empirical Storm-Time
Ionospheric Correction Model, 2, Validation,
Radio Sci., 37, 10.1029/ 2002 RS00 2620, in press.
Boudouridis, A., E. Zesta, L.R. Lyons, P.C. Anderson, and D. Lummerzheim, 2004.
Magnetospheric Reconnection Driven by Solar Wind Pressure Fronts, Ann.,
Geophys., 22, 1367–1378.
Fuller-Rowell, T. J., M. V. Codrescu, Araujo-Pradere E. A. and I. Kutiev, 1998.
Progress in Developing a Storm-Time Ionospheric Correction Model, Adv. Space
Res., 22(6), 821–827.
Gonzalez, W. D., J. A. Joselyn, Y. Kamide, H. W. Kroehl, G. Rostoker, B. T. Tsurutani, and V. M. Vasyliunas, 1994. What is a
Geomagnetic Storm?, J. Geophys. Res., 99, 5771–5792.
Gopalswamy, N., 2009. Halo Coronal Mass
Ejections and Geomagnetic Storm, Earth
Planet Space, 61, 1-3.
Khabarova O. V., 2007. Current Problems of
Magnetic Storm Prediction and Possible Ways of their Solving, Sun and
Geosphere, 32-37, 2(1).
Lusiani, Mumpuni E. S., dan Utama J. A., 2011. Analisis Kaitan Badai Geomagnet
Dengan Badai Ionosfer Sebagai Dampak Kejadian Lontaran Massa Korona Matahari (Oktober-November 2003), Prosiding Sem. Himpunan Astronomi Indonesia, ITB Bandung.
Mannucci, A. J., B. T. Tsurutani, B. A. Iijima, A. Komjathy, A. Saito, W. D. Gonzalez, F. L. Guarnieri, J. U. Kozyra, and R. Skoug, 2005. Dayside Global Ionospheric Response
to the Major Interplanetary Events of
October 29–30, 2003 Halloween Storms, Geophys. Res. Lett., 32, L12S02.
Mayaud, P. N., 1980. Derivation, Meaning and
use of Geomagnetic Indices, Geophysical
monograph 22. America Geophysical Union, Washington, DC.
O’Brien, T. P. and R. L. McPherron, 2000. An
Empirical Phase Space Analysis of Ring Current Dynamics: Solar Wind Control of Injection and Decay, J. Geophys. Res.,
105, 7707-7720.
Rastogi R. G., 1999. Morphological Aspects of a
New Type of Counter Electrojet Event,
Ann. Geophysicae, 17, pp. 210-219 EGS Springer-Verlag.
Russell C.T., 2006. The Solar Wind Interaction
with the Earth’s Magnetosphere: Tutorial, Department of Earth and
space sciences and Institute of Geophysics and Space Physics of University of California, Los Angeles. Santoso A., 2010. Identifikasi Kondisi Angin
Surya (Solar Wind) untuk Prediksi Badai Geomagnet, Prosiding Pertemuan Ilmiah
XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang, 275-283, 10 April 2010.
Santoso A., Juangsih M., Winarko A., Filawati S., Ekawati S., Nurmali D., dan Rusnadi I. E., 2016. Analisis Pengaruh Badai
Geomagnet Terhadap Respon foF2 Ionosfer di BPAA Sumedang, Prosiding
Seminar Nasional Sains Antariksa 2016, LAPAN (in progress).
Yatini C. Y., Jiyo, dan Ruhimat M., 2009. Badai
Matahari dan Pengaruhnya pada Ionosfer dan Geomagnert di Indonesia,
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, Vol. 4 No. 1, 17-24.